Oleh: Fian Sofian
A. Filologi dan Sifat Interdisiplinernya.
Pada
hakikatnya, ilmu pengetahun itu bersifat interdisipliner. Maknanya, tidak ada
satupun ilmu pengetahuan yang dapat berdiri sendiri. Ilmu pengetahuan saling memiliki
hubungan satu sama lain. Demikianlah pula ilmu filologi, sebagai salah satu
dari sekalian ilmu pengetahuan yang pasti membutuhkan ilmu-ilmu bantu lain.[1]
Filologi merupakan ilmu pengetahuan yang membutuhkan
dan dibutuhkan dalam bidang ilmu sejarah, antropologi (ilmu budaya), ilmu
bahasa, ilmu sastra, sosiologi (ilmu tentang kemasyarakatan), kajian keislaman,
peradaban suatu bangsa, dan lain-lain. Ilmu ini juga banyak dipahami sebagai sebuah
disiplin ilmu yang menjadikan kodikologi dan tekstologi sebagai objek kajiannya.
Singkatnya, kodikologi adalah ilmu yang mengkaji tentang seluk beluk suatu
naskah atau buku. Sementara tekstologi adalah ilmu yang mengkaji suatu teks
(susbstansi ataupun kandungan) dari sebuah naskah kuno yang dimiliki oleh
sebuah bangsa beserta sejarah, gagasan, kebudayaan, keilmuan, dan peradabannya.[2]
Paragraf berikutnya akan sedikit kami ulas mengenai definisi filologi dan
korelasinya terhadap ilmu-ilmu lain, terutama paleografi–yang memang merupakan
bahasan utama dalam makalah kami.
B. Definisi
Singkat Filologi
“Philology is about reading manuscripts”, begitu
ringkasnya. Atau bisa juga dikatan bahwa filologi adalah “ilmu yang mempelajari
kebudayaan suatu bangsa berdasarkan bahasa dan kesusastraannya”.[3]
Yang terpenting dalam ilmu filologi adalah membaca naskah-naskah kuno. Naskah
yang dibaca seorang filolog akan memantiknya untuk berimajinasi tentang
kehidupan masyarakat beserta bangunan peradabannya di masa lalu. Mungkin itu langkah
pertama tatkala seorang filolog melakukan penelitiannya. Langkah kedua yang
dibutuhkan oleh seorang filolog adalah mendiskusikan hasil bacaannya terhadap
naskah dengan bidang-bidang ilmu lain yang juga sedang ia geluti. Teks yang
telah dia kaji lembar demi lembar hendaklah ia korelasikan dengan bidang-bidang
ilmu lain yang sudah kami sebutkan di atas. Teks yang termaktub dalam sebuah
naskah tidak sekedar dilihat, dibaca, diartikan, dan dipahami secara an sich;
namun harus diarahkan pada sebuah konteks yang berlaku pada zaman tersebut. Seorang
filolog dituntut untuk mengkontekstualisasikan teks-teks tersebut dan mengungkap
nilai-nilai substansial suatu masyarakat yang dijadikan objek dalam naskah
tersebut.[4]
Definisinya secara etimologis, tentu bukan tempat yang
tepat untuk memaparkannya di sini. Kami hanya ingin menjelaskan korelasi ilmu
filologi dengan ilmu-ilmu lainnya. Paragraf berikut akan kami ulas sedikit
mengenai korelasi ilmu filologi dengan ilmu sejarah, dan sedikit penjelasan
mengenai definisi paleografi.
C. Korelasinya
dengan Ilmu Lain.
Sejatinya seorang filolog tidaklah mungkin membatasi
pergaulan hanya pada sesama mereka, juga menekuni bidang kajian atau penelitian
pada naskah belaka. Namun ia akan mengarungi berbagai kehidupan sosial dan
intelektual yang lebih luas cakupannya.[5]
Sebutlah sejarah.
Naskah merupakan bagian dari kitab sejarah yang menceriterakan tentang
kehidupan masyarakat suatu bangsa di masa lalu. Naskah juga bisa menjadi
refleksi bagi para pembacanya saat ini, terkait kehidupan dan seluk beluk nenek
moyang mereka di masa dahulu. Sejarah bagi sebagian penulis bukan lagi diartikan
sebagai history, namun berubah menjadi his story, cerita dia. Artinya
melalui sejarahlah seseorang dapat menuliskan dengan tinta muram wajah
lawannya. Dengan sejarah pula, seseorang dapat mengangkat kedudukan bangsanya
sebagai suatu bangsa yang memiliki peradaban yang tinggi tanpa cela. Inilah
yang disebut dengan distorsi sejarah.
Peter Carey dalam
bukunya Inggris di Jawa 1811-1816 menyebutkan ada beberapa naskah dari
sekian babad terkait penyerangan Inggris ke Jawa yang telah banyak disunting
demi memenuhi keinginan khalayak Eropa. Banyak teks dalam naskah tersebut yang
dipotong atau dihapus sama sekali dikarenakan isinya yang menyinggung perasaan
Eropa.[6]
Hal ini tentu menjadi afirmasi bahwasanya ilmu filologi berkait erat dengan ilmu
sejarah. Dan ternyata ilmu filologi sudah lama sekali dikenal oleh bangsa Eropa,
bahkan banyak sekali naskah-naskah kuno Nusantara–entah itu berupa babad
ataupun yang lain–beserta komoditas pertanian Nusantara diangkut ke negeri-negeri
Eropa. Naskah-naskah kuno dari Nusantara itu meski dijarah oleh bangsa Eropa,
namun tersimpan rapi dalam museum-museum mereka. Sebutlah saja misalkan British
Library (Inggris), Universiteit Leiden (Belanda), Leipzig University (Jerman),
Harvard University Library (Amerika Serikat), Tokyo University (Jepang), dan
Universiti Kebangsaan Malayasia (Malaysia).[7]
Adapun korelasinya
dengan paleografi, hendaklah seorang filolog mengkaji terlebih dahulu teks-teks
kuno sebelum mereka memaknai dan menafsirkan teks tersebut. Secara etimologis
istilah paleografi berasal dari bahasa Yunani, palaois yang artinya tua
(old) atau kuno (ancient), dan graphein yang artinya tulisan
(writing). Secara sederhana paleografi bisa diartikan sebagai kajian
atas tulisan tangan kuno.[8]
Ada beberapa hal yang berkaitan dengan aksara dalam sebuah teks yang hendak
dikaji. Sebelum seorang filolog memaknai dan menafsirkan teks tersebut, maka
hendaknya ia mengkaji terlebih dahulu perubahan dan perkembangan sebuah aksara
dari waktu ke waktu. Tak jarang seorang penulis atau penyalin menuliskan
beberapa kata dengan singkatan dalam rangka efisiensi media tulisnya, sehingga
mau tak mau seorang filolog harus lebih teliti dan memahami secara mendalam
tradisi tulisan dalam naskah tersebut, sehingga ia mampu menampilkan,
mentranskripsikan, dan bahkan mentransliterasikannya kepada khalayak dengan
versi tulisan modern atau yang sedang berlaku saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Carey, Peter. 2017. Inggris di Jawa 1811-1816. Jakarta, Kompas.
Fathurahman, Oman. 2017. Filologi Indonesia Teori dan Metode. Jakarta, Kencana.
Sulistyorini, Dwi. 2015. Filologi Teori dan Penerapannya. Malang, Madani.
[1] Dwi Sulistyorini, Filologi Teori dan Penerapannya, Madani [Malang,
2015], hal. 5.
[2] Singkatnya
begini, antara naskah dan teks meskipun terlihat ada dikotomi, namun kedua hal
tersebut tidak saling menegasikan satu sama lain. Teks merupakan bagian dari
sebuah naskah, sementara naskah merupakan media dari teks. Di dalam naskah
tentu ada banyak teks. Naskah berbentuk fisik dan merupakan benda konkret,
sementara teks merupakan kandungan atau substansinya yang berisi gagasan, pikiran,
worldview, ataupun weltanschaung dari pengarang kepada para
pembaca. Lihat Ibid., hal. 18.
[3] Oman Fathurahman, Filologi Indonesia Teori dan Metode, Kencana [Jakarta,
2017], hal. 3&16.
[4] Ibid., hal. 3-4.
[5] Ibid., hal. 4.
[6] Peter
Carey, Inggris di Jawa 1811-1816, Kompas [Jakarta, 2017], hal. 3-4.
[7] Untuk
nama yang terakhir ini tentunya kita sama-sama tahu, bahwa Malaysia merupakan
bagian pendudukan Inggris saat itu, dan menjadi pusat pemerintahan Inggris di
Asia Tenggara.
[8] Oman Fathurahman, Filologi Indonesia Teori dan Metode, Kencana [Jakarta,
2017], hal. 117.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar