RESENSI BUKU: LOGICAL FALLACY (Muhammad Nuruddin)

“Anak muda tau apa? Udah diem aja, biar ini jadi urusan orangtua!”

Atau, “Tau apa kamu tentang persoalan ini? Emangnya pernah mempelajarinya? Saya yang lebih tinggi ilmunya dari kamu aja ga tau, apalagi kamu!”

Lalu berkaitan dengan bidang pekerjaan, “Kamu anak baru tau apa? Saya yang lebih berpengalaman dan udah lama kerja di sini! Jangan sok cari muka di depan atasan deh!” 

Dan kalimat-kalimat lain yang senada dengan beberapa contoh di atas, mungkin pernah sahabat alami? Beberapa kejadian yang senada dengan contoh kalimat di atas, juga pernah saya alami. Merasa bahwa apa yang kita utarakan tidak dihargai di hadapan orang lain yang secara usia lebih senior dari kita. Atau orang yang mementahkan pendapat kita itu lebih memiliki banyak gelar akademik sehingga menganggap pendapat kita hanya angin lalu. Dan bahkan diremehkan oleh senior di tempat kerja, sehingga tuduhan bahwa kita ingin cari muka di hadapan atasan.

Hal di atas ternyata pernah saya anggap sebagai salah satu bentuk logical fallacy, atau kekeliruan dalam berpikir. Dan mirisnya, di sekitar kita –bahkan di lingkungan akademik– hal ini masih saja dipraktikkan. Sebagai contoh kating atau kakak tingkat kita –yang terlebih juga menjabat di kampus–, selalu membubuhkan kalimat-kalimat seperti “IPK saya di atas rata-rata” atau kalimat-kalimat lain yang membuktikan bahwa dia memilik prestasi akademik, dalam beberapa argumennya. Mungkin dengan cara seperti itu, akan ada anggapan bahwa argumen yang dia bangun adalah sudah pasti kebenarannya? Sehingga menutup ruang bagi adik tingkatnya untuk melakukan bantahan dan argumen tandingan.

Namun sebelum Barat –yang selama ini diasumsikan sebagai kiblat bagi ilmu pengetahuan– membuat teori-teori dalam berlogika, hal yang saya sebutkan di atas sudah lebih dahulu di bahas dalam ajaran Islam. Seseorang yang menolak kebenaran dan meremehkan orang lain, akan dikategorikan sebagai orang yang sombong. Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda,

اَلْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْتُ النَّاسِ

“Sombong itu adalah menolak kebenaran, dan meremehkan orang lain.”

Buku yang saya resensi ini, ditulis oleh seorang intelektual muda yang menempuh pendidikan di Universitas al-Azhar Kairo, Mesir. Isi buku ini, selain mengoreksi apa yang menjadi anggapan kita selama ini, juga menambahkan beberapa contoh kasus lain dalam kekeliruan berpikir dan berargumen.

Di awal pembahasannya, penulis menjelaskan tentang definisi argumen.           Menurutnya, argumen adalah sekumpulan klaim yang diajukan untuk membuktikan benar atau salahnya klaim lain. Penulis juga mengutip  definisi dari seorang filsuf dan penulis Amerika, T. Edward Damerd bahwasanya argumen itu adalah “klaim yang didukung oleh klaim-klaim lain.” Namun dalam menyusun klaim-klaim tersebut, adakalanya tidak memiliki korelasi satu sama lain. Maka inilah yang disebut dengan logical fallacy atau kekeliruan berpikir. T. Edward Damerd menyebut fallacy sebagai “pelanggaran atas standar pembangunan argumen yang baik.”

Namun bagi saya pribadi, sangat penting membuat standarisasi sebuah istilah. Agar kita tahu mana yang disebut dengan pelanggaran yang berimplikasi pada sebuah kesalahan, dan mana yang merupakan kebenaran hakiki. Bagi saya yang seorang muslim, kebenaran itu menurut Allah dan Rasul-Nya, dan segala ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia juga dari Allah. Logis atau tidak, maka kebenaran tersebut akan tersingkap seiring berjalannya waktu meskipun standarisasi-standarisasi dan teori-teori Barat menganggap itu sebuah kesalahan dan pelanggaran. Namun yang saya yakini, Islam tidak hanya mewajibkan ketaataan dan keimanan atas manusia, namun juga memberikan kebebasan bagi manusia untuk mengoptimalkan akal dan pikirannya. Maka saya sangat yakin, Islam bukanlah agama yang memusuhi ilmu pengetahuan, sains, dan teknologi.

Dalam bab berikutnya, Nuruddin menuliskan tentang pengalaman pribadinya ketika berdikusi dengan seorang doktor di platform media sosialnya. Yang mana doktor tersebut beranggapan bahwa sains itu lebih penting ketimbang ilmu logika. Namun, tak dikutipkan apa dasar argumen doktor tersebut yang oleh penulis dianggap tak berkualitas, memprihatinkan, dan kacau. Saya pribadi sangat menginginkan untuk mengetahui argumen masing-masing pihak, yang setidaknya dapat menambah wawasan saya dalam membuat suatu argumen. Dan yang cukup disayangkan, penulis pun tidak menjelaskan argumen yang menjadi antitesis bagi pernyataan doktor tersebut.

Dalam menjelaskan tentang tolak ukur kebenaran dan kesalahan, penulis membawakan beberapa contoh yang terjadi di masyarakat. Pertama, menggantungkan kebenaran pada suara mayoritas. Kedua, bersandar kepada keimanan. Ketiga, mengikuti kata orang. Dan disimpulkan bahwa beberapa contoh di atas merupakan tolak ukur yang tidak dibenarkan.

Namun kita tahu, Islam membolehkan seorang muslim untuk mengikuti kebenaran yang telah disepakati oleh mayoritas, yakni para ulama. Itulah yang dinamakan dengan ijma’. Keimanan merupakan hal yang sangat vital bagi seorang muslim. Seorang muslim tak mungkin beribadah kepada Allah dan menaati Rasul-Nya kalau tidak memiliki keimanan. Dalam agama Islam, keimanan terdiri dari tiga unsur. Yakni; pembenaran dengan hati, ucapan dengan lisan, dan perbuatan dengan anggota badan. Kita fokuskan pada perkara hati. Pada umumnya, manusia sudah mengetahui bahwa keimanan, kepercayaan, dan keyakinan itu “espisentrum” nya di hati. Dan dalam hadits, tatkala seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah mengenai kebaikan, maka jawaban beliau “Mintalah fatwa kepada hatimu” (اِسْتَفْتِ قَلْبَكَ), karena kebaikan adalah apa saja yang membuat tenang jiwa dan hati. Sementara keburukan adalah apa saja yang membuat resah di jiwa dan membuat bimbang dada manusia. Begitu pentingnya perkara keimanan, yang menjadi tolak ukur bagi seorang muslim sebelum menilai, berkata, dan memutuskan segala sesuatu. Lantas, bolehkah kita mengikuti pendapat orang lain? Dalam Islam ada sebuah istilah taqlid, bisa kita terjemahkan secara bebas bermakna membeo atau membebek. Namun secara terminologis atau istilah yang dikenal oleh para ulama, adalah “mengikuti perkataan seseorang tanpa mengetahui dasar dalilnya” (قَبُولُ قَولُ الْقَائِلِ مِنْ غَيْرِ مَعْرِفَةِ لِدَلِيْلِهِ). Taqlid ada yang tercela, yakni taqlid buta (اَلتَّقْلِيْدُ الْأَعْمَى). Namun bagi orang awam yang belum memiliki kemampuan untuk ber-ijtihad dalam memutuskan suatu perkara, maka dibolehkan untuk taqlid kepada ulama madzhab yang menjadi rujukannya. Salahkah? Tidak. Itulah ketentuan dalam Islam. Karena standar atau tolak ukur dalam menentukan suatu kebenaran dan kebaikan, bukan hanya dari satu sisi, namun dari berbagai sisi.

Ada empat teori yang diajukan penulis yang menjadi tolak ukur untuk menentukan kebenaran dan kesalahan. Pertama, kejelasan. Kedua, kegunaan. Yang benar adalah yang menghasilkan manfaat. Ketiga, korespondensi. Benar atau salahnya suatu pandangan bergantung pada sesuai tidaknya dia dengan kenyataan yang ada. Keempat, konsistensi. Benar atau salahnya suatu pandangan ditentukan pada konsistensinya dengan pandangan-pandangan lain yang telah disepakati kebenarannya.

A.    Argumentum Ad Hominem

Menolak argumen orang lain dengan cara menjatuhkan kepribadiannya. Penulis mengatakan di halaman 111, “Padahal, idealnya, seperti kata nabi, kita melihat apa yang dikatakan, bukan hanya melihat siapa yang mengatakan.” Mungkin pendapat penulis didasari oleh sebuah kalimat اُنْظُرْ مَا قَالَ وَلَا تَنْظُرْ مَنْ قَالَ. Perlu ditegaskan, ucapan ini bukanlah dari Nabi Muhammad .

Di paragraf akhir pembahasan, penulis memberi pengecualian dalam kondisi-kondisi tertentu. Dia memberikan contoh tentang konteks pemilu dan persaksian. Maka dalam menyikapi kedua keadaan ini, kita perlu melihat kepribadian orang lain ketika orang tersebut sedang berbicara.

Maka menurut hemat saya, begitupun dengan perkara agama. Kita perlu melihat kepribadian orang yang menyampaikan agama kepada kita. Sebagaimana yang diucapkan oleh seorang ulama tabi’in,

إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِيْنٌ فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِيْنَكُمْ

“Sesungguhnya ilmu itu adalah bagian dari agama, maka perhatikanlah dari mana kalian mengambil agama.”

B.     Appeal to Pity / Argumentum Ad Misericordiam

Menjadikan tolak ukur kebenaran dan kesalahan karena sebab emosional. Sebagai contoh ketika di persidangan, seorang hakim meringankan hukuman dikarenakan merasa kasihan.

Rasulullah yang merupakan seorang pemimpin negara, pernah mengatakan,

وَايْمُ اللهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتُ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا

“Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, maka aku yang akan memotong tangannya.”

C.    Appeal to Authority / Argumentum Ad Verecundiam

Menjadikan suara otoritas sebagai satu-satunya jalan kebenaran. Saya teringat pelajaran filsafat umum di kampus. Dalam buku tersebut dijelaskan tentang fenomena filsafat abad pertengahan yang mana penurut para ilmuwan disebut dengan medieval philosophy atau abad kegelapan dark age. Ilmu pengetahuan saat itu dibatasi dan cendrung mundur ke belakang. Hal itu dikarenakan otoritas pemangku kebijakan ada di gereja. Siapapun yang berlainan pendapat dengan gereja, maka akan mendapatkan konsekuensi dari gereja. Doktrin ini terus bertahan sampai zaman Reinassance. Sebagai contoh adalah Galileo Galilei yang mengikuti pendapat Nicolaus Copernicus, dihukum oleh otoritas gereja Katolik karena dianggap melakukan kesesatan.

 

Untuk lebih lengkapnya mengenai beberapa contoh kekeliruan berpikir, mungkin bisa dibaca kembali bukunya. Atau buku-buku lain mengenai hal ini. Namun ada beberapa kalimat atau uraian dari penulis yang sangat perlu saya berikan kritik. Sebagai seorang penuntut ilmu, sangat perlu bersikap kritis terhadap perkataan ataupun tulisan orang lain. Beberapa uraian yang saya akan kritisi adalah terkait dengan hukum-hukum akal. Bisa dilihat pada halaman 138 misalnya, syarat dalam membuktikan pandangan yang benar itu harus dari dalil yang kuat, kesesuaian dengan fakta, dan tidak bertentangan dengan hukum-hukum akal. Jika sebaliknya, maka menurut penulis itu merupakan pandangan yang salah. Saya ingin membawakan ucapan sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu,

لَوْ كَانَ الدِّيْنُ بِالرَّأْيِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلَاهُ

“Seandainya tolak ukur dalam beragama itu dengan akal logika, maka bagian bawah alas kaki lebih utama untuk dibersihkan ketimbang bagian atasnya.”


Yang menarik untuk dikritisi lagi, penulis membawakan contoh kasus Ahok pada halaman 156. Penulis beranggapan bahwa penistaan yang dilakukan Ahok hanya sekedar dugaan saja. Dan memberikan kesimpulan bahwa Ahok tak bermaksud untuk menistakan agama. Karena bagi penulis, apa yang Ahok ucapkan di pulau Pramuka itu merupakan suatu kebetulan semata. Karena niat Ahok hanya sekedar mengingatkan umat Islam agar tidak tertipu dengan kelompok yang suka mempolitisasi agama. Justru faktanya –masih menurut penulis–, Ahok peduli dengan warganya. Karena dia membangun masjid, membantu orang yang tidak mampu, ulama-ulama muslim didekati, marbot masjid diberikan hadiah umroh. Dan penulis beranggapan bahwa yang mempermasalahkan ucapan Ahok itu merupakan kelompok yang tidak menjadi representasi umat Islam. Benarkah begitu? Baiklah, kita simak uraiannya di bawah ini.

Dalam laman internetnya tanggal 11 Oktober 2016, MUI yang merupakan representasi dan gabungan dari seluruh ormas Islam yang ada di Indonesia memberikan fatwa bahwa Ahok itu dikategorikan sebagai mengina Al-Qur’an dan menghina ulama, dan memiliki konsekuensi hukum. MUI menyarankan agar pemerintah mencegah penodaan terhadap Al-Qur’an dan agama Islam tersebut, juga meminta dengan tegas agar aparat hukum menindaknya, dan meminta masyarakat agar tidak main hakim sendiri dan menyerahkan penanganannya terhadap aparat penegak hukum. Maka yang harus ditanyakan, kesimpulan dari mana bahwa umat Islam menginginkan agar Ahok disiksa saja? Dari mana penulis tahu niat yang tersembunyi dalam hati Ahok? Siapakah yang mempolitisasi agama? Apakah MUI –yang saat itu dibawah KH. Ma’ruf Amin– bukan representasi utama dari umat Islam? Lagipula menyebutkan orang lain mempolitisasasi agama, merupakan bentuk ketidakpahaman terhadap sejarah bangsa ini.

Di halaman 270, lagi-lagi saya mendapati penulis mengutip pandangan orang lain yang menjadi lawan diskusinya, entah di media sosial ataupun diskusi tatap muka secara langsung, tanpa memberi kejelasan siapa yang mengucapkan perkataan tersebut dan apa isi ucapannya. Setidaknya, saya sebagai pembaca ingin melakukan konfirmasi secara langsung terhadap yang bersangkutan. Dikhawatirkan kalau lawan diskusi penulis berada di dunia maya, akun tersebut adalah akun anonim yang tidak jelas asal-usulnya. Dan secara gegabah penulis kutip dan jadikan bahan tulisan di buku ini. Kenapa hal ini harus dipermasalahkan? Karena orang yang menjadi lawan diskusi penulis mengutip ucapan Ibnu Taimiyyah, yang menurut pandangan penulis bukanlah pakar dalam ilmu akidah dan melakukan banyak penyimpangan. Penulis juga melakukan framing busuk terhadap Ibnu Taimiyyah, bahwasanya pandangan Ibnu Taimiyyah itu menjadi rujukan baku dan dianggap sebagai kitab suci bagi pengikutnya. Dan penulis menyebutkan bahwa para teolog raksasa dari kalangan Sunni banyak yang meragukan otoritas keilmuan Ibnu Taimiyyah. Namun lagi-lagi, penulis tidak menyebutkan siapa teolog atau ulama yang meragukan keilmuan Ibnu Taimiyyah. Justru dalam berbagai kesempatan, Ibnu Taimiyyah mengatakan agar umat Islam mengikuti panduan dari Al-Qur’an, As-Sunnah, dan teladan para sahabat dan tabi’in.

Dalam salah satu babnya, Meaningless Question, penulis mengutip dari buku Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara tentang sebuah pertanyaan yang penting dan sah, yaitu “Apa itu Tuhan.” Bagi penulis, pertanyaan tersebut tergolong sia-sia dan tak bermakna. Lantas karena tertarik dengan tema yang disodorkan dalam buku tersebut, penulis pun memberikan contoh-contoh pertanyaan lain yang menurutnya sia-sia dan tak bermakna, yaitu “di mana Tuhan?”, karena bagi penulis Tuhan itu tidak bertempat. Kalau pertanyaan tersebut dijawab, maka jawaban tersebut keliru. Benarkah seperti itu? Kita lihat faktanya dalam beberapa literatur para ulama akidah.

Dalam kitab hadits imam Muslim, kitab al-Janaiz wa Maudhi ash-Shalah, disebutkan bahwa Nabi pernah bertanya kepada seorang budak perempuan, “Di manakah Allah?” Maka budak tersebut menjawab, “Ada di atas langit.” Beliau bertanya kembali, “Siapakah aku?” Dia menjawab, “Anda adalah Rasulullah.” Maka beliau bersabda,

أَعْتِقْهَا فَإنَّهَا مُؤْمؤنَةٌ

“Bebaskanlah ia, sesungguhnya ia orang yang beriman.”

Adakah yang berani mengatakan bahwa pertanyaan Rasulullah itu sia-sia dan tak bermakna?

Dalam mempelajari ilmu filsafat, saya mendapati salah satu definisinya adalah “The attempt to answer ultimate questions” (Usaha untuk menjawab pertanyaan yang berbobot). Salah satu bentuk pertanyaan yang penting dan berat bobotnya pernah diajukan oleh bapak filsafat, Thales, “What is the nature of the world stuff”, Apa bahan baku alam semesta ini? Ada yang menjawab air, dengan alasan bahwa air menghidupi tumbuhan dan hewan. Namun, pertanyaannya lebih berbobot dari pada jawabannya. Di halaman lain, saya dapati bahwa salah satu bentuk pertanyaan yang tidak berbobot menurut penulis buku filsafat tersebut adalah pertanyaan mengenai apa rasa gula? Karena kita akan tahu kalau sudah merasakannya. Contoh-contoh seperti ini mungkin bisa jadi pertimbangan bagi penulis ketimbang harus membawakan tema yang berkaitan dengan masalah akidah.

Di halaman 364, dalam menentukan tolak ukur suatu kemajuan umat, penulis tidak berpendapat bahwa kemajuan itu dengan banyaknya anak-anak yang hafal Al-Qur’an, tingginya animo masyarakat untuk memasukkan anaknya ke pesantren dan kampus islami. Karena baginya, orang yang hafal kitab suci belum tentu memberikan kontribusi, dan orang yang belajar Islam belum tentu membawa kemajuan yang signifikan. Hal ini wajib kita tanyakan kepada penulis, siapakah yang menyatakan klaim seperti di atas? Apakah penulis sedang melakukan strawman fallacy (kekeliruan berpikir manusia jerami)? Yaitu argumen yang tidak pernah dinyatakan oleh orang lain, namun kita nisbatkan kepada orang lain yang menjadi lawan diskusi kita atau objek pembahasan kita. Padahal sejatinya penulis sedang berdialektika dengan manusia khayalan yang dibuat-buat sendiri, layaknya manusia jerami. Maka penting sekali menyertakan sumber dan referensi dari lawan diskusi atau objek kita. Karena tidak ada kebenaran mutlak dalam berdialektika, maka perlu bagi para pembaca menelusuri dan menggali fakta dari dua pihak yang sedang berdialektika. Bisa jadi, lawan diskusi penulis tersebut membawakan fakta bahwa ketika Indonesia masih dalam penjajahan Belanda, orang-orang yang terus melawan penjajahan Belanda adalah kalangan kaum santri, kalangan umat Islam. Hal ini jauh sebelum adanya kebijakan politik etis di Hindia Belanda. Sebutlah misalnya perang yang diusung Diponegoro selama lima tahun di tanah Jawa. Perang tersebut bukan seperti yang dituliskan dalam lembaran sejarah pada umumnya, yakni karena masalah tanah yang direbut oleh pihak Belanda, namun dalam berbagai sumber perang yang dilakukan Diponegoro dan para ulama kala itu adalah untuk menegakkan agama dan syariat Islam, demi kemajuan Islam dan rakyat Jawa khususnya. Maka sangat jelas, jauh sebelum adanya politik etis, umat Islam sudah sangat maju karena berani melakukan konfrontasi dengan kaum kafir kolonialis. 

Di bab kedua terakhir dalam bukunya, Subverted Support (Dukungan yang Ditumbangkan), penulis memberikan sebuah dialog imajiner antara dua orang yang membahas tentang mayoritas anak-anak sekarang yang menyimpang dari tuntunan agama. Bantahan yang diajukan penulis juga tidak kalah jauh minimnya dari data dan fakta. Penulis hanya mengatakan “Anak-anak yang berprestasi dan berperilaku baik justru jauh lebih banyak ketimbang anak-anak yang berperilaku menyimpang.” Namun sama sekali tidak ada data yang diajukan oleh penulis. Dikutip dari CNN Indonesia, detikcom, dan liputan6.com, mengangkat berita yang hampir sama tentang ratusan anak yang mengajukan dispensasi nikah. Berita tersebut diunggah pada tanggal 14 Januari 2023 oleh CNN. Namun di beritasatu.com, 60 persennya sudah hamil duluan, menurut Plt. Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak KemenPPPA, Rini Handayani. Ini baru di Ponorogo, belum di daerah yang lain, yang seharusnya dicarikan fakta dan datanya oleh penulis. Bagi saya pribadi, tidak ingin terlalu dalam terlibat mengenai kasus tersebut. Kalau pun berita itu benar, maka setidaknya kita selaku muslim bersikap antisipatif dan lebih menjaga keluarga kita, bukan memilih sikap denial dengan keadaan saat ini. Yang saya yakini, sesuai dengan sabda Nabi Muhammad ,

اِصْبِرُوْا فَإِنَّهُ لَا يَأْتِيْ عَلَيْكُمْ زَمَانٌ إِلَّا وَالَّذِيْ بَعْدَهُ شَرٌّ مِنْهُ حَتَّى تَلْقَوا رَبَّكُمْ

“Hendaklah kalian bersabar. Sesungguhnya tidak datang kepada kalian suatu zaman, kecuali yang setelahnya lebih buruk dari sebelumnya. Sampai kalian menemui Rabb kalian.”


Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Definition List

Definition list
Consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua.
Lorem ipsum dolor sit amet
Consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua.

Theme Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.
Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

Ordered List

  1. Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.
  2. Aliquam tincidunt mauris eu risus.
  3. Vestibulum auctor dapibus neque.

Recent Posts

Unordered List

  • Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.
  • Aliquam tincidunt mauris eu risus.
  • Vestibulum auctor dapibus neque.

Sample Text

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua.

Pages

Theme Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.