SEPUTAR SASTRA INDONESIA

Oleh: Fian Sofian – Prodi Bahasa dan Sastra Arab UIN SGD Bandung

Essay ini merupakan tugas pengganti Ujian Akhir Semester penulis di Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, untuk mata kuliah Sastra Indonesia. Penulis sudah mengajukan keringanan kepada dosen pengampu untuk mengganti tugas UAS yang berupa pembuatan tiga buah puisi, dengan tugas yang lain. Dipilihlah essay oleh dosen untuk syarat pengerjaan UAS.

Maka yang pertama-pertama penulis ucapkan terimakasih kepada dosen pengampu mata kuliah Sastra Indonesia, yaitu ibu Isma Fauziah, S.Hum, M.Pd. dan bapak Resa Restu Fauzi, M.Pd. yang selama semester genap ini telah membersamai kami dalam pembelajaran di semester ke-2 di Prodi kami, Bahasa dan Sastra Arab.

Adapun mengenai tema yang diberikan oleh dosen, yaitu seputar atau berkaitan dengan sastra Indonesia. Penulis ingin membuat pendekatan yang lebih komprehensif mengenai sejarah kemunculan sastra di Indonesia, yang bagi penulis memiliki korelasi dengan kemunculan pengaruh Islam di Indonesia. Islam yang bagi penulis–terlepas dari kapan waktu kedatangannya[1] dan bukan merupakan hal yang substansial untuk diperdebatkan–telah menanamkan pengaruhnya di Nusantara, pada akhirnya banyak merubah tatanan sosial kemasyarakatan dan pendidikan di Nusantara.

Sebutlah misalnya pesantren–yang menurut Martin van Bruinessen merupakan great tradition (tradisi besar) dalam khasanah kebudayaan Islam di Indonesia, dan Nurcholish Madjid bahkan menyebut pesantren sebagai indeginous (mengandung makna keaslian Indonesia)[2]–, yang merupakan produk budaya Indonesia dari proses akulturasi ajaran Islam dengan tradisi-tradisi Nusantara pra-Islam yang sampai pada saat ini masih terus bertahan di tengah arus modernisasi pendidikan ala Barat.

Pesantren, yang bagi Gusdur (sebutan Abdurrahman Wahid) merupakan sub-kultur kehidupan masyarakat di Indonesia, menjadi penengah antara dua dunia, yaitu dunia kehidupan dalam beragama dan dunia modern.[3] Dalam sebuah artikel pendek yang diterbitkan harian Kompas di akhir tahun 1973, Gusdur memberinya judul Pesantren dalam Kesusasteraan Indonesia.[4] Meskipun dalam artikel tersebut lebih banyak memuat sastra dan agama di luar Islam, bukan sastra yang berkaitan dengan kehidupan agama Islam–dalam hal ini pesantren–di Indonesia yang mendapatkan porsi cukup banyak dalam artikelnya. Dalam bukunya Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Greg Barton juga mengutip dari artikel Gusdur tersebut mengenai beberapa judul yang berkaitan dengan kehidupan di sebuah kampung di Sumatera Barat mengenai kehidupan sub-kultur pesantren berjudul Robohnya Surau Kami, yang cukup diapresiasi oleh Gusdur. Berkebalikan dengan novel Hamka yang berjudul Di Bawah Lindungan Ka’bah, yang tidak mendapatkan apresiasi Gusdur dikarenakan hanya memuat kisah percintaan dan berlatarbelakang di Mekah.[5] Gusdur membuat sebuah kesimpulan dari artikel singkatnya tersebut dengan menyerukan sebuah refleksi yang tegas terhadap siapa saja yang fokus terhadap fenomena pesantren dan kesusasteraan di Indonesia:

Kalau ada juga sastrawan kita yang merasa terpanggil untuk menggarap kehidupan pesantren sebagai obyek sastra nantinya, terlebih dahulu harus diyakininya persoalan-persoalan dramatis yang akan dikemukakannya. Tanpa penguasaan penuh, hasilnya hanyalah akan berisi kedangkalan pandangan belaka.[6]

Tujuan awal penulis hanya menelusuri akar sejarah kehidupan sosial dan pendidikan di Indonesia, dalam hal ini seputar kesusasteraan di Indonesia. Namun pembahasan ini ternyata lebih luas dari yang penulis kira. Bahkan, pesantren yang memang merupakan sistem pendidikan tertua bagi umat Islam di Indonesia, juga turut menggarap bidang kesusasteraan. Dalam pembahasan berikutnya, penulis ingin lebih menjelaskan mengenai awal mula penggunaan bahasa Indonesia yang lagi-lagi erat kaitannya dengan kehidupaan keagamaan di Indonesia. Maka bisa disimpulkan, bahwa Islam di Indonesia kuat mengakar dalam seluruh aspek kehidupan bangsa ini.

Bahasa Melayu Sebagai Lingua Franca

Setidaknya ada tiga kesamaan masyarakat di Nusantara, yang kelak dari tiga kesamaan tersebut terbentuklah sebuah jati diri dan identitas kebangsaan yang dinaungi oleh sebuah negara bernama Indonesia.[7] Kesamaan pertama, bahwasanya penduduk Nusantara kala itu berada dalam kekuasaan pemerintah kolonial Belanda.[8] Kedua, seluruh masyarakat Nusantara–yang bukan saja kepulauan Indonesia saat ini, melainkan sampai ke negara tetangga mulai dari semenanjung Malaya (kini Malaysia), Filipina Selatan, Brunei, Thailand Selatan, bahkan sampai ke Papua–dipersatukan melalui komunikasi antar mereka oleh bahasa pergaulan (lingua franca), yaitu bahasa Melayu. Ketiga, sebagian besar penduduk Nusantara beragama Islam. Setidaknya tiga kesamaan inilah yang kelak memantik rasa nasionalisme di kalangan masyarakat Nusantara.[9]

Perbedaan bangsa yang menjajah, menimbulkan perbedaan pula dalam kehidupan sosial, budaya, pendidikan dan bahkan cita-cita politik dari masing-masing wilayah tersebut. Yang pada akhirnya menjadikan wilayah yang disebut Nusantara tersebut terpecah kembali dalam sekat-sekat nasionalisme ala Eropa modern. Dalam tulisan ini, tentu kita akan lebih memfokuskan diri pada perkembangan sejarah kesusasteraan di Indonesia, yang pada saat zaman penjajahan berada di bawah kendali kerajaan Belanda. Maka wilayah jajahan tersebut, yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dinamakan Nederlandsch Indie (Hindia Belanda).[10] Tentunya terdapat pengecualian bagi daerah Aceh, karena paling terakhir ditaklukkan oleh Belanda, sehingga penolakan terhadap budaya dan sistem pendidikan Belanda masih teramat kuat.

Ketika kerajaan Belanda bangkrut disebabkan peperangan yang dilancarkan oleh Diponegoro di tanah Jawa, maka pemerintah kolonial Belanda menerapkan sebuah kebijakan yang amat menyengsarakan rakyat bumiputera, yaitu cultuurstelsel (“kebijakan” tanam paksa). Dari hasil bacaan yang penulis dapatkan, pihak kolonial Belanda menginginkan agar rakyat bumiputera turut menanam beberapa tumbuhan yang menjadi komoditas inti kerajaan Belanda, yang kelak akan dapat di ekspor ke dataran Eropa.[11]

Menyadari kekejaman yang mereka lakukan terhadap rakyat koloninya, maka di awal abad ke-20 pihak kerajaan Belanda memberikan “ganti rugi” terhadap rakyat bumiputera berupa etische politiek (politik etis), yang salah satu diantarnya adalah edukasi atau pendidikan. Namun bagi Ajip Rosidi, kebijakan politik etis itu tidak mengurangi ketamakan pihak penjajah Belanda dalam mengeksploitasi wilayah jajahannya. Namun sekedar balas jasa untuk lebih memperhatikan nasib rakyat bumiputera. Politik etis, sambungnya, bercita-cita untuk membuat rakyat Indonesia merasa dekat dengan bangsa Belanda. Maka dalam sekolah-sekolah yang dibangun pemerintah kolonial tersebut, anak-anak bumiputera dididik mengenai tata cara kehidupan, moral, ilmu pengetahuan, budaya dan bahkan bahasa Belanda. Bagi Ajip, bahasa Belanda merupakan bahasa dari sebuah bangsa kecil dari daratan Eropa yang tak memiliki pengaruh dan peranan dalam percaturan kehidupan di Eropa. Maka bahasa yang tak memiliki pengaruh apapun di Eropa, hendak dijadikan sebagai bahasa resmi di seluruh wilayah Indonesia.

Sebagai reaksi atas kebijakan tersebut, maka para pemimpin nasional Indonesia dan para tokoh pergerakan saat itu kian giat memperjuangkan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional. Bahasa Melayu yang merupakan lingua franca di antara daerah-daerah di seluruh Nusantara, pada masa itu sudah dipergunakan oleh para tokoh-tokoh pemimpin pergerakan, salah satu yang memeloporinya adalah H.O.S. Tjokroaminoto, yang merupakan pemimpin besar Sarekat Islam. Dalam setiap rapat besarnya, dia selalu menggunakan bahasa Melayu. Bagi para sejarawan, sosok H.O.S. Tjokroaminoto adalah guru dan panutan para tokoh bangsa. Dalam hal politik dan kebangsaan, dialah yang memulai pergerakan politik kebangsaan melalui wadah organisasi terbesar saat itu, yaitu Sarekat Islam. Dalam hal kebudayaan–dikhususkan lagi dalam penggunaan bahasa–, dia pula yang menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional dan menjadi lambang kebanggaan bagi seluruh rakyat Nusantara. Apa yang telah dilakukan H.O.S. Tjokroaminoto, maka selanjutnya akan diikuti oleh para tokoh bangsa lainnya.

Maka pada sekitar tahun 1920, penggunaan bahasa Belanda diresmikan oleh pihak pemerintah kolonial. Di saat itulah, para tokoh bangsa mulai massif menggunakan bahasa Melayu dalam setiap pidato-pidato dan tulisan-tulisannya. Pun sama halnya dengan H.O.S. Tjokroaminoto, Muhammad Yamin dalam tulisan-tulisannya di majalah Jong Sumatra yang terbit pada sekitar tahun 1918, menyerukan penggunaan bahasa Melayu. Dikarenakan pada tahun-tahun tersebut para tokoh bangsa lebih fasih dan lebih intens menggunakan bahasa Belanda dalam setiap pidato-pidato dan tulisan-tulisannya.

Para pemimpin nasional dalam pidato-pidato dan tulisan-tulisannya mulai banyak yang mempergunakan bahasa Indonesia yang sampai ketika itu pun masih disebut bahasa Melayu. Muhammad Yamin dalam tulisan-tulisannya dalam majalah Jong Sumatra pada sekitar tahun 1918, menyerukan penggunaan bahasa Melayu. Kalau pada tahun-tahun belasan para pejuang kemerdekaan Indonesia seperti Ki Hadjar Dewantara, Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan lain-lain lebih fasih dan lebih banyak mempergunakan bahasa Belanda dalam pidato-pidato dan tulisan-tulisan mereka, maka pada tahun dua puluhan para pejuang bangsa Indonesia telah lebih umum mempergunakan bahasa nasional. Haji Agus Salim, Abdul Muis, Tan Malaka, Semaun, dan lain-lain mempergunakan bahasa Melayu saja, baik dalam tulisan maupun dalam pidato mereka, sehingga membantu perkembangan bahasa tersebut menjadi bahasa Indonesia. Terutama Soekarno yang mulai pertengahan tahun dua puluhan menerjunkan diri dan aktif bergerak dalam perjuangan kebangsaan, besar jasanya dalam pertumbuhan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia. Soekarno telah membuat bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia yang hidup, lincah, lentuk, mudah dicernakan bukan saja oleh orang-orang yang berasal dari Sumatera atau Kepulauan Riau, melainkan juga oleh orang-orang yang berasal dari wilayah Nusantara yang lain. Soekarno telah membuat bahasa Indonesia menjadi lebih popular.[12]

Islamisasi dan Implikasinya Terhadap Modernisasi Bahasa Melayu

Masih dalam pengantarnya di buku Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia, Ajip Rosidi membuat sebuah sub-judul Perkembangan Sastra. Dia menjelaskan bahwa sejak abad ke-19, di wilayah Sumatera dan Kepulauan Riau sudah terdapat karya sastra. Namun bahasa Melayu yang digunakan  bukanlah bahasa Melayu yang murni dan bernilai seni tinggi, melainkan bahasa Melayu Pasar dan bermutu rendah. Sementara karya sastra Melayu yang bernilai tinggi juga sudah ada sejak saat itu. Terdapat banyak hikayat, syair, pantun dan karya sastra lain yang bernilai indah dan memiliki usia yang telah berabad-abad. Ajip membawakan beberapa contoh judul dari karya sastra tersebut yang disebut sebagai karya-karya sastra klasik Melayu. Tak lupa Ajip juga menyebutkan beberapa tokoh-tokoh sastrawan Melayu yang masyhur. Sebut saja misalnya Raja Ali Hadji, Nuruddin Ar-Raniri, Tun Sri Lanang, Hamzah Fansuri, Abdullah Munsyi, dan lainnya. Ajip memberi catatan mengenai Abdullah Munsyi, yang menurutnya sebagai tokoh terkenal yang memperbaharui sastra Melayu. Yang di zamannya, isi dalam sastra tersebut bukan lagi berkisah tentang kehidupan fantasi para raja dan puteri cantik, melainkan kehidupan sehari-hari.[13]

Menarik untuk kembali membahas mengenai tokoh-tokoh sastrawan Melayu tersebut, dalam salah satu bagian di buku Jas Mewah, Tiar Anwar Bachtiar memuat sebuah sub-judul Islam Bukan “Pelitur” Melainkan “Daging”. Bahasan tersebut menjadi antitesis terhadap beberapa anggapan dari para orientalis bahwa islamisasi di Nusantara hanya menyentuh aspek permukaan saja. Islam yang datang ke Nusantara dianalogikan sebagai pelitur, yang kalau digosok akan hilang esensi keislamannya, dan tampak tampilan dasarnya berupa peradaban Hindu-Budha. Hal ini cukup menarik perhatian penulis, karena islamisasi yang digaungkan di Nusantara memiliki implikasi pada pemikiran dan falsafah hidup masyarakat Nusantara, yang dalam hal ini akan membentuk kesusasteraan yang bernilai tinggi.[14]

Dalam tema yang disuguhkannya tersebut, Tiar mengutip pendapat Syed Muhammad Naquib al-Attas yang pada tahun 1972 dikukuhkan sebagai profesor di Universiti Kebangsaan Malaysia dalam bidang Bahasa dan Kesusasteraan Melayu. Dalam pidato pengukuhannya tersebut, al-Attas juga menyuguhkan sebuah makalah berjudul Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu. Bagi al-Attas, islamisasi memiliki implikasi yang berpengaruh dalam hal pemikiran dan pembentukan susunan bahasa dan kesusasteraan Melayu, yang bukan lagi melulu pada hasil karya sastra yang bersifat seni belaka dan hanya memuja keindahan fisik, melainkan lebih terfokus pada esensi dari hasil pemikiran tersebut.

Bagi al-Attas, yang layak disebut sebagai Bapak Sastra Melayu Modern adalah Hamzah Fansuri–dikarenakan naskah-naskah tulisannya lebih menunjukkan pada hal tersebut–, bukan Abdullah Munsyi yang terpengaruh pada kebudayaan Barat. Lebih jauh lagi, Tiar–yang juga mengutip pendapat al-Attas–mengajukan sebuah pendapat bahwasanya sebelum bersentuhan dengan Islam, bahasa Melayu kuno adalah bahasa yang bersifat seni dan hanya menampilkan estetika. Pun halnya dengan Eropa sebelum berinteraksi dengan literatur-literatur Islam–terlebih di zaman Yunani, Romawi dan abad pertengahan Kristen–, tidak pernah sampai pada suatu peradaban yang rasional dan ilmiah. Sebagai contoh, dalam pemahaman Melayu kuno yang dipengaruhi oleh Hindu-Budha, alam ini tidak dianggap sebagai wujud yang bersifat rasional dan ilmiah, melainkan sebagai bayangan semu belaka dan ilusi. Berbeda dengan Islam, yang mengajarkan tentang wujud kehidupan dunia ini adalah suatu kenyataan. Perspektif seperti ini tentu akan memberikan penekanan kepada manusia bagaimana seharusnya memperlakukan alam ini. Akibat persentuhan dengan Islam, pada akhirnya masyarakat Nusantara banyak yang meninggalkan dunia klenik dan mistik menuju hal yang ilmiah, rasional dan berperadaban yang tinggi. Hal ini tentu dibuktikan tatkala Islam sudah menancapkan akarnya di Nusantara, transformasi ilmu pengetahuan melalui naskah-naskah berbahasa Melayu-Islam bertuliskan huruf Jawi (Arab Pegon) dihasilkan dengan sangat melimpah. Isi naskah-naskah tersebut bukan lagi tentang kesusasteraan yang bersifat memuja-muji penguasa, melainkan nilai-nilai ilmiah dan rasional.

Periodisasi Sastra[15]

Ajip Rosidi membaginya menjadi dua bagian. Pertama, masa kelahiran yang terbagi menjadi tiga periode. Periode pertama dimulai pada tahun 1900-1933, periode kedua dimulai pada tahun 1933-1942, dan periode ketiga dimulai pada tahun 1942-1945. Kedua, masa perkembangan. Dimulai pada tahun 1945 sampai dengan saat ini.

1.      Periode 1900-1933.

Disebut sebagai periode Bacaan Liar dan Commissie voor de Volkslectuur (Balai Pustaka). Periode ini tangga awal bagi rakyat pribumi untuk lebih mengenal kesusasteraan modern dan Barat. Sumber-sumber bacaan bagi rakyat pribumi bukan hanya berbahasa Melayu saja, melainkan berbahasa Belanda. Hal ini imbas dari kebijakan etische politiek yang diterapkan penjajah Belanda, sehingga banyak rakyat pribumi yang dapat membaca berbagai literatur karena meningkatnya pendidikan dan kegemaran akan membaca. Dan dari bacaan ini pula, rakyat Indonesia menyadari akan kedudukannya sebagai bangsa yang dijajah.

2.      Periode 1933-1945.

Disebut sebagai periode Poedjangga Baroe. Tokoh-tokoh yang terkenal pada periode ini adalah Armijn Pane (1908), Sutan Takdir Alisjahbana (1908) dan Amir Hamzah (1911). Kalau melihat dari tahunnya, maka di periode tersebut masuk juga Hamka (sebutan untuk Haji Abdul Malik Karim Amrullah) sebagai salah satu tokoh sastrawan Poedjangga Baroe.

Salah satu romannya yang pertama[16] berjudul Di Bawah Lindungan Ka’bah yang dibuat pada tahun 1938, mengisahkan tentang cinta yang tak sampai antara dua kekasih yang terhalang oleh adat. Penjelasan Ajip ini sekaligus mengkonfirmasi apa yang dikatakan oleh Gusdur di atas. Lalu romannya yang kedua berjudul Tenggelamnya Kapal van der Wijck yang dibuat pada tahun 1939. Salah satu buku Hamka yang penulis miliki berjudul Tasauf Modern boleh jadi masuk dalam kategori karya sastra yang dapat diperhitungkan dan menjadi daftar karya milik Hamka. Yang menurut penuturan Hamka, disusun pada pertengahan tahun 1937 di dalam majalah Pedoman Masyarakat. Namun boleh jadi ini menjadi karya sastra Hamka yang ketiga karena berhasil dicetak pada tahun 1939.[17]

3.      Periode 1942-1945.

Periode ini adalah zaman penjajahan Jepang. Terkait keadaan pada saat itu, Ajip Rosidi memiliki anggapan bahwa pada zaman tersebut merupakaan keuntungan bagi perkembangan bahasa dan sastra Indonesia.

Dijajah Jepang selama tiga setengah tahun merupakan pengalaman dan saat yang penting dalam sejarah bangsa dan juga sastra Indonesia. Bahasa Indonesia yang tadinya dengan berbagai akal dan alasan dihindarkan Belanda supaya jangan resmi menjadi bahasa persatuan, oleh Jepang sekaligus dijadikan satu-satunya bahasa yang harus dipergunakan di seluruh kepulauan dan dalam seluruh bidang kehidupan. Bahasa Belanda dilarang. Tentu saja maksud Jepang kemudian akan menggantinya dengan bahasa Jepang. Tetapi karena waktu mereka di sini hanya tiga setengah tahun, maka besar keuntungannya buat bahasa Indonesia. Sebelum diganti dengan bahasa Jepang, Jepang sudah kalah, dan bahasa Indonesia sudah tetap dan kuat kedudukannya.

Dengan makin intensifnya bahasa Indonesia dipergunakan dalam kehidupan di segenap kepulauan Nusantara, maka sastra Indonesia pun mengalami inetensifikasi pula. Para pengarang beserta dengan para seniman lainnya dikumpulkan oleh Jepang di Kantor Pusat Kebudayaan yang dinamakan Keimin Bunka Shidosho.

Selanjutnya, seniman-seniman yang berhasil dikumpulkan tersebut dimaksudkan untuk membuat propaganda dan membangkitkan semangat perlawanan terhadap sekutu, karena memang pada saat itu Jepang tengah berhadapan dengan pihak sekutu.

4.      Periode 1945-1953.

Periode ini disebut sebagai Angkatan ’45. Salah satu tokoh kunci dalam periode ini adalah Chairil Anwar (1922). Di masa penjajahan Jepang, dia sudah aktif dalam kehidupan kesusasteraan Indonesia. Namun, dia merupakan salah seorang yang mencurigai maksud Jepang yang menginisiasi terbentuknya Kantor Pusat Kebudayaan tempat para seniman dan pengarang tersebut berkumpul. Bahkan, Chairil Anwar mengejek para seniman yang berkumpul tersebut. Lebih jauh lagi, Amal Hamzah yang searah sepemikiran dengan Chairil Anwar, malah menulis sebuah sandiwara berjudul Tuan Amin, sebagai bentuk sindiran kepada Armijn Pane yang pada saat itu turut menyokong Jepang dan sering menulis sandiwara-sandiwara pesanan Jepang. Karya terkenal dari penyair sekaligus tokoh Angkatan ’45 ini adalah Aku. Yang bait-bait syairnya tersebut menjadi sumber inspirasi bagi Sjuman Djaya dalam membuat sebuah buku yang berkisah tentang Chairil Anwar, berjudul Aku. Buku tersebut pernah booming di awal tahun 2000-an, ketika ada adegan salah seorang actor di film Ada Apa dengan Cinta memegang buku tersebut. Hal ini tentu menjadi indikasi, bahwa sastra di Angkatan ’45 ini cukup berbekas pada periode kesusasteraan berikutnya, bahkan sampai saat ini. Kalau membicarakan sastra, maka sosok Chairil Anwar lah yang selalu diungkit.

Kesimpulan

Penulis tidak ingin lebih jauh melanjutkan pembahasan mengenai periodisasi tersebut. Untuk lebih lengkapnya, penulis menyarankan untuk langsung merujuk pada buku karya Ajip Rosidi tersebut.

Perkembangan zaman dan modernisasi turut membentuk nilai-nilai yang terkandung dalam bahasa dan kesusasteraan Indonesia. Nusantara pernah melewati fase dimana nilai-nilai kebudayaan, pendidikan dan sosial berada di zaman Hindu-Budha. Nusantara juga pernah mengalami persentuhan dan akulturasi terhadap nilai-nilai keislaman, yang bahkan sampai saat ini masih terus tertanam dalam hati sanubari masyarakat kita. Dan akultarasi dengan nilai-nilai keislaman tersebut, turut memengaruhi nilai-nilai dalam kesusasteraan Indonesia sehingga memiliki harga tawar yang tinggi. Di periode awal tahun 2000-an, sebenarnya periode dimana nilai-nilai sastra Indonesia mengalami degradasi kualitas. Karena pada saat itu, pengaruh liberalisasi juga turut mewarnai kehidupan sosial dan budaya kita. Oleh karenanya, sangat tidak berguna sekali kalau kita terlalu dalam membahas periode tersebut.


[1] Di banyak buku-buku sejarah, terdapat beberapa teori mengenai kedatangan Islam ke Nusantara (baca: Indonesia). Di sebuah buku yang penulis miliki ditulis oleh Nasaruddin Umar, Islam Nusantara, Jalan Panjang Moderasi Beragama di Indonesiai, Elex Media Komputindo [Jakarta, 2019], hal. 48-57, menjabarkan beberapa teori mengenai masuknya Islam ke Indonesia. Setidaknya ada empat teori yang dikenal dalam catatan-catatan sejarah; yaitu teori Arab, teori Gujarat, teori Persia dan Teori Cina. Bagi penulis, hal tersebut bukanlah sebuah substansi dalam menjelaskan hubungan antara Islam dan keindonesiaan, dalam hal ini korelasi antara sastra Indonesia dengan kemunculan Islam beserta pengaruhnya.

[2] Tiar Anwar Bachtiar, Jas Mewah, Pro-U Media [Yogyakarta, 2018], hal. 66-70.

[3] Gusdur membuat sebuah tulisan berjudul Pesantren Sebagai Sub-Kultur, pada tahun 1974. Lihat Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Paramadina [Jakarta, 1999], hal. 338.

[4] Ibid., hal. 401.

[5] Bagi penulis, alasan Gusdur tersebut tidak konsisten, karena dalam beberapa tulisan di artikelnya, ia malah mengutip banyak sekali karya-karya kesusasteraan di luar agama Islam dan berlatarbelakang di luar Indonesia, hanya untuk memberikan sebuah refleksi pelajaran bagi kehidupan keagamaan di Indonesia yang menurutnya harus bisa menghadapi tantangan modernitas. Karena bagi Greg Barton, Gusdur merupakan salah satu dari empat tokoh neo-Modernisme di Indonesia yang berlatarbelakang Pesantren dan kehidupan keagamaan tradisional, yang juga mendapatkan pelajaran dari beberapa literatur Barat. Ibid., hal.402-404.

[6] Ibid., hal. 405.

[7] Tiar Anwar Bachtiar, Jas Mewah, Pro-U Media [Yogyakarta, 2018], hal. 6-7.

[8] Daerah yang pernah menjadi koloni Belanda saat ini adalah Indonesia. Sementara daerah yang menjadi koloni Inggris saat ini adalah Malaysia. Adapun daerah yang menjadi koloni Spanyol adalah Filipina. Di beberapa daerah di Indonesia ada yang pernah menjadi daerah koloni Portugis, yaitu Timor Timur. Namun, pada tahun 70-an menjadi bagian integral negara Indonesia. Tapi hanya beberapa tahun saja menjadi bagian dari NKRI. Sampai pada tahun 2002, secara resmi Timor Timur memisahkan diri dari NKRI dan berganti menjadi sebuah negara berdaulat bernama Timor Leste. Dalam buku yang penulis miliki, ditulis oleh Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat, Gema Insani, [Jakarta, 2005], hal. 207, disebutkan mengenai perang opini yang digaungkan oleh kaum Kristen di bawah kepemimpinan Uskup Belo, bahwa telah terjadi proses Islamisasi di Timor Timur. Padahal realitanya, yang terjadi adalah Katolikisasi di masa integrasi tersebut. Di mana pada tahun 1972, orang Katolik di Timor Timur hanya 27,8% dari total penduduk 674.550 jiwa. Dan di tahun 1994, jumlah orang Katolik menjadi 92,3% dari total jumlah penduduk 783.086 jiwa. Hal ini perlu penulis angkat, untuk membenarkan hipotesis Tiar Anwar Bachtiar mengenai tiga kesamaan yang membentuk jati diri dan identitas kebangsaan bernama Indonesia.

[9] Tiar memberi penjelasan lebih jauh, bahwa dalam penulisan sejarah umum, terutama yang bercorak Indonesia-sentris, faktor kesamaan yang pertama dan kedua memang menjadi bahan utama untuk membangun identitas ke-Indonesia-an, bahkan dieksploitasi sedemikian rupa sehingga bukan hanya melahirkan sejarah, namun juga mitos-mitos. Hal ini tentunya berbeda tatkala menuliskan sejarah nasional Indonesia, maka tema mengenai “Islam sebagai pembentuk ke-Indonesia-an” banyak dihindari oleh para sejarawan sekuler pada umumnya.

[10] Ajip Rosidi, Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia, Binacipta [Bandung, 1991], hal. 2.

[11] Penulis tidak menjadikan sumber buku yang berkaitan dengan hal tersebut sebagai referensi ilmiah dalam essay ini, karena memang sangat jauh korelasinya dengan tema bahasan ini. Namun bagi para pembaca yang ingin mengetahui lebih dalam apa yang telah penulis sampaikan, bisa merujuk pada sebuah novel berjudul Sang Pangeran dan Janissary Terakhir, yang menurut penulisnya sendiri, Salim A. Fillah, memiliki bobot referensi yang beragam. Atau dapat juga merujuk pada buku berjudul Nasib Rakyat di Tanah Jajahan, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.

[12] Ibid., hal. 3-4.

[13] Ibid., hal. 4-5.

[14] Tiar Anwar Bachtiar, Jas Mewah, Pro-U Media [Yogyakarta, 2018], hal. 28-29.

[15] Ajip Rosidi, Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia, Binacipta [Bandung, 1991], hal. 11-12. Selanjutnya periode-periode yang diuraikan di sini mengutip sepenuhnya dari buku tersebut.

[16] Hal ini dikatakan oleh Ajip Rosidi. Ibid., hal. 61.

[17] Hamka, Tasauf Modern, Pustaka Panjimas [Jakarta, 2000], hal. 1-4.


Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Definition List

Definition list
Consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua.
Lorem ipsum dolor sit amet
Consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua.

Theme Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.
Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

Ordered List

  1. Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.
  2. Aliquam tincidunt mauris eu risus.
  3. Vestibulum auctor dapibus neque.

Recent Posts

Unordered List

  • Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.
  • Aliquam tincidunt mauris eu risus.
  • Vestibulum auctor dapibus neque.

Sample Text

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua.

Pages

Theme Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.