ISLAM SEBAGAI SUMBER AJARAN: KARAKTERISTIK AJARAN ISLAM


Oleh: Fian Sofian (Materi kali ini adalah tugas penulis di mata kuliah Pengantar Kajian Islam, dengan judul yang diberikan oleh dosen pengampu).

A.     Sebuah Kritik Atas Judul

Jika dikatakan bahwa Islam sebagai sumber ajaran, maka sebenarnya kalimat ini belum sempurna. Namun jika yang dimaksud adalah sumber ajaran Islam, maka hal ini barulah dapat dipahami dengan baik bagi seorang muslim serendah apapun tingkat keislamannya.

Kita tentu memahami bahwa sumber ajaran Islam adalah al-Qur’an dan al-Hadits. Hal ini sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw. yang berbunyi, “Aku telah meninggalkan kepada kalian dua perkara, yang mana jika kalian berpegang teguh kepada keduanya niscaya tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah dan sunnahku ini”.

Namun, jika yang dimaksud adalah kalimat yang pertama, maka ajaran apa yang menjadikan Islam sebagai sumbernya? Untuk menjawab pertanyaan ini, tentunya kita harus mengetahui karakteristik ajaran Islam secara lebih terperinci yang akan dibuatkan pembahasannya di sub bab berikutnya. Namun, paragraf berikutnya akan sedikit saya ulas mengenai perbedaan agama Islam dengan agama-agama lainnya.

Penamaan Islam sebagai al-diin, hanya berkaitan dengan konsep, misi, dan ajarannya yang bersifat universal. Akar penamaan Islam dapat dilacak dari sebuah kata bahasa Arab yaitu islam, yang merupakan bentuk mashdar atau kata dasar dari aslama-yuslimu (menundukkan, menghadapkan wajah, atau berserah diri). Al-Islam juga memiliki akar kata dari tiga huruf Arab yaitu sin, lam, dan mim. Maka bentuk kata dari huruf-huruf tersebut menjadi salima yang berarti selamat atau menyelamatkan; salam yang berarti kesejahteraan atau keselamatan; salim yang berarti kedamaian; dan sullam yang berarti tangga. Dari ketiga huruf tersebut terbentuklah berbagai kata. Sementara kata islam membentuk sebuah nama agama yang merupakan konsep mengenai ketundukan, penyerahan diri, dan penghadapan wajah kepada Allah yang sampai hari ini dikenal sebagai agama Islam.[1]

Perbedaan agama Islam dengan agama lain tentu terlihat sangat jelas. Terlihat dari namanya saja, Islam tidak terasosiasi dengan nama tempat kemunculan, pendiri, atau ras suatu bangsa yang hidup pada saat itu. Sebutlah misalkan agama Kristen, yang diambil dari nama Yesus Kristus; agama Budha diambil dari nama pendirinya yaitu Budha Gautama; Hindu yang berasal dari sebuah nama tempat, yaitu Hindustan; Zoroaster merupakan nama yang berasal dari pendirinya; dan Yahudi merupakan nama suatu ras atau suku Judah dari negeri Judea. Upaya-upaya untuk mengasosiasikan agama Islam dengan nama-nama tersebut–sebagaimana agama-agama lain yang telah saya sebutkan–memang cukup masif di kalangan pemikir-pemikir orientalis Barat. Mereka menamakan agama ini sebagai Mohammadanisme, yang seolah-olah agama ini buatan Nabi Muhammad Saw. Mereka juga membuat istilah Saracen, yang memiliki kaitan dengan isteri Nabi Ibrahim As. Adapula istilah The Religion of The Arab, yang mengaitkan agama Islam dengan tanah Arab. Bahkan ketika Barat merasakan superioritas Islam dalam bidang militer pada abad ke 17 sampai ke 19, mereka menyebut agama Islam sebagai The Turk. Maksud penamaan-penamaan atau istilah-istilah ini jelas sekali, bahwa orienta;is Barat ingin menyamakan Islam dengan agama-agama lain yang ada di dunia ini, yang mana agama-agama tersebut memiliki keterkaitan historis dengan ras, suku, asal negara, bahkan pendirinya.[2] Dalam hal ini, Sayyed Hossen Nasr menyanggah adanya kesamaan agama Islam dengan agama-agama tersebut,

“Islam adalah agama yang utama, yang mana tidak terkait dengan individu atau kelompok etnis tertentu, tapi berkaitan dengan ide sentral agama itu.”

B.     Karakteristik Ajaran Islam

Sebagaimana telah kita ketahui, bahwasanya agama Islam merupakan konsep yang universal. Bahkan dalam ajaran Islam diketahui bahwa tujuan penciptaan jin dan manusia adalah dalam rangka beribadah kepada Allah,[3] yang menunjukkan nilai-nilai universalitas Islam yang bukan saja menembus pada alam fisik, namun juga alam metafisik. Mengenai tujuan penciptaan ini, sudah Allah Swt. Sampaikan dalam surat al-Dzariyat ayat ke 56 dan diberikan penafsiran oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir al-Sa’adi sebagai berikut,

هذه الغاية التي خلق الله الجن والإنس لها، وبعث جميع الرسل يدعون إليها، وهي عبادته المتضمنة لمعرفته ومحبته، والإنابة إليه والإقبال عليه، والإعراض عما سواه، وذلك متوقف على معرفة الله تعالى، فإن تمام العبادة متوقف على المعرفة بالله، بل كلما ازداد العبد معرفة بربه كانت عبادته أكمل، فهذا الذي خلق الله المكلفين لاجله، فما خلقهم لحاجة منه إليهم

“Tujuan ibadah ini adalah sebab mengapa Allah menciptakan jin dan manusia. Allah juga mengutus semua Rasul untuk menyeru manusia dan jin untuk beribadah kepada-Nya. Ibadah yang dimaksud tersebut mengandung pengetahuan akan eksistensi Allah, cinta kepada Allah, berharap penuh kepada Allah, dan bersugguh-sungguh mendekat kepada Allah. Di samping itu juga menolak apapun yang menjadi tandingan Allah. Dan ibadah tersebut berlandaskan kepada pengetahuan tentang eksistensi Allah Ta’ala. Karena sesungguhnya kesempurnaan ibadah itu berlandaskan atas pengetahuan akan eksistensi Allah. Bahkan ketika pengetahuan seorang hamba bertambah tentang Tuhannya, maka ibadahnya menjadi lebih sempurna. Maka inilah kiranya tujuan Allah menciptakan jin dan manusia, dan sekali-kali Allah tidaklah membutuhkan mereka, namun merekalah yang membutuhkan Allah”.[4]

Disebutkan, maka praktik ibadah yang dilakukan oleh seorang muslim haruslah berlandaskan pada pengetahuan akan eskistensi Allah. Itulah mengapa beberapa ulama berpendapat bahwa salah satu dari sekian sifat agama Islam adalah tauqifi, segala sesuatunya harus memiliki landasan epistemologis. Yang adalam hal ini tentulah seorang muslim harus mengetahui perintah dan larangan Allah lewat firman-Nya, juga melalui sabda Rasul-Nya Muhammad Saw.[5]

Saya tertarik mengikuti perdebatan yang terjadi di zaman pra-kemerdekaan antara Soekarno dengan Mohammad Natsir. Soekarno yang seorang nasionalis tulen melandaskan pemikirannya atas epistemologi Barat yang dikenal overdosis terhadap nilai-nilai rasionalitas yang berujung pada pemahaman sekuler dan liberal. Sementara Natsir yang aktif di Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) melandaskan pemikirannya pada nilai-nilai dasar keislaman tanpa menolak modernisasi. Dalam sebuah tulisannya yang terbit tahun pada tahun 1940 di majalah Panji Islam dengan judul Sikap Islam Terhadap Kemerdekaan Berfikir, ia menulis pada bagian-bagian akhir tulisannya,

“Kemukakanlah Islam itu sebagaimana yang dibawa dan yang diterangkan serta ditafsirkan oleh Muhammad Saw. sendiri. Tidak ada satu interpretator yang lebih berhak serta lebih benar interpretasinya selain Rasulullah sendiri. Islam yang macam itu, Islam yang bersih dari segala macam tambahan manusia di belakangnya, tak usah kuatir akan jatuh merknya di mata siapapun juga.”[6]

Dari ucapan Mohammad Natsir di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa selain karakteristik agama Islam yang universal, Islam juga tidak menentang dan mengekang rasio dan akal manusia. Namun, akal dan rasio manusia dibimbing oleh keimanan kepada Allah. Terkait masalah ini, Ahmad Tafsir dalam bukunya Filsafat Umum membuat perbedaan yang cukup mencolok terhadap akal dan hati di jalur Timur dan Barat. Kalaulah di Barat akal mendominasi terlalu besar, sehingga menyebabkan masyarakat Barat meninggalkan agama dan memilih materialisme dan ateisme. Hal ini sangat kontras dengan Islam yang tersebar di Timur, akal dan rasio tetap dihargai dan tidak dikekang, namun akal dan rasio tidak sampai mendominasi keadaan mereka. Di Timur yang di dominasi ajaran agama Islam, akal dan hati berjalan beriringan dan saling melengkapi. Meski terlihat ada dikotomi, namun tidak saling menegasikan.[7]

Apa yang terjadi di Barat, yaitu sikap mereka yang cendrung mengedepankan akal dan rasio ketimbang keimanan (terhadap agama Kristen), tentu memiliki alasan yang cukup jelas. Kalaulah kita mau menelisik lebih dalam, hal ini tentu akan menjawab teka-teki dan pertanyaan yang mengusik kita akhir-akhir ini, “Mengapa umat Islam terbelakang, sementara selain mereka maju?” Untuk menjawab hal ini tentu kita perlu mengetahui secara lebih mendalam tentang sejarah bangsa Barat beserta agama mereka, yaitu Kristen. Kesimpulan yang meskipun terlihat simplifikasi, yang dikutip dari jawaban Amir Syakib Arslan tentang pertanyaan di atas, bahwasanya sebab kemunduran umat Islam adalah dikarenakan mereka meninggalkan nilai-nilai ajaran agama Islam. Sementara banga Barat maju karena mereka meninggalkan agama mereka, yaitu Kristen.[8]

Sikap traumatis Barat terhadap agama, membekas pada alam pikiran mereka yang menganggap agama itu sebagai doktrin, ritual, inquisisi, tahayul, dogmatis, lemah semangat, pembakaran buku, ketakutan, taat aturan agama atau sikap pengekangan. Persepsi-persepsi inilah yang menjadikan Barat memilih jalan hidup sekuler dan liberal. Karenanya, paham-paham dogmatis tentang agama Kristen melalui sebuah istilah Extra Ecclesiam nulla salus (Latin) atau outside the church there is no salvation (Inggris) yang berarti tidak ada keselamatan di luar gereja.[9]

Maka kesimpulan yang dapat diambil, karakteristik agama Islam yang bersifat universal tidak terbatas pada kehidupan manusia saja, melainkan kehidupan metafisik yaitu kalangan jin. Kalau cakupan Islam melewati batas kehidupan dua alam, maka tentu cakupan agama Islam melewati batas-batas territorial, ras, suku, daerah, dan bangsa. Allah pun dalam banyak ayat-ayat Al-Qur’an memerintahkan agar manusia senantiasa berpikir dan mengoptimalkan fungsi akalnya. Maka hendaklah umat Islam senantiasa berpikir seraya diiringi dengan keimanan yang maksimal kepada Allah dan Rasul-Nya. Akhir kata, Allah berfirman dalam Al-Qur’an, “Barangsiapa yang mencari selain agama Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi.”[10]



[1] Hamid Fahmy Zarkasyi, Minhaj Berislam dari Ritual hingga Intelektual, INSISTS [Jakarta, 2020], hal. 5-6.

[2] Ibid., hal. 3-4.

[3] Surat al-Dzariyat: 56.

[4] Abdurrahman bin Nashir al-Sa’adi, Taysir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan, Darul ‘Alamiyah [Kairo, 2016], hal. 872.

[5] Surat al-Nisa: 59.

[6] Mohammad Natsir, Islam dan Akal Merdeka, Sega Arsy [Bandung, 2018], hal. 167.

[7] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Rosda [Bandung, 2021], hal. 236.

[8] Hamid Fahmy Zarkasyi, Minhaj Berislam dari Ritual hingga Intelektual, INSISTS [Jakarta, 2020], hal. xxiv-xxv.

[9] Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat, Gema Insani [Jakarta, 2005], hal. 40.

[10] Surat Alu Imran: 85.

[11] Hamid Fahmy Zarkasyi, Minhaj Berislam dari Ritual hingga Intelektual, INSISTS [Jakarta, 2020], hal. 168-169.


DAFTAR PUSTAKA 

Al-Sa’adi, Abdurrahman bin Nashir. 2016. Taysir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan. Kairo, Darul Alamiyah.

Husaini, Adian. 2005. Wajah Peradaban Barat. Jakarta, Gema Insani.

Natsir, Mohammad. 2018. Islam dan Akal Merdeka. Bandung, Sega Arsy.

Tafsir, Ahmad. 2021. Filsafat Umum. Bandung, Rosda.

Zarkasyi, Hamid Fahmy. 2020. Minhaj Berislam dari Ritual hingga Intelektual. Jakarta, INSISTS.

Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Definition List

Definition list
Consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua.
Lorem ipsum dolor sit amet
Consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua.

Theme Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.
Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

Ordered List

  1. Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.
  2. Aliquam tincidunt mauris eu risus.
  3. Vestibulum auctor dapibus neque.

Recent Posts

Unordered List

  • Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.
  • Aliquam tincidunt mauris eu risus.
  • Vestibulum auctor dapibus neque.

Sample Text

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua.

Pages

Theme Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.