MENGAPA HARUS MEMPELAJARI FILSAFAT (LAGI)?
Oleh: Fian Sofian Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Arab UIN SGD Bandung
“Mengapa harus mempelajari filsafat?” Itu yang terbesit dalam benak penulis tatkala mendapati mata kuliah Filsafat Islam di semester empat kali ini. Padahal, bagi penulis sudah cukup untuk mengenal dan mengetahui Filsafat Umum ketika menginjak semester pertama. Bagi beberapa kalangan, filsafat ibarat obat mujarab yang dapat menangkal kebodohan, kepercayaan kepada mitos, dan sikap kultus; maka begitu pun juga filsafat akan menjadi overdosis jika terus menerus mencekoki pikiran seseorang yang sudah melek literasi dan menerima rasionalitas. Belum lagi jika harus ditambah dengan beberapa cabang filsafat dan segala tetek bengek-nya.
Filsafat lahir dari peradaban Yunani pada abad ke 6 SM, di samping matematika, penulisan sejarah, dan ilmu pengetahuan lainnya. Diakui oleh Betrand Russell, bahwa peradaban Mesir dan Mesopotamia memang sudah lahir terlebih dahulu, namun peradaban Yunani-lah yang menyempurnakannya.1 Menurutnya filsafat berbeda dengan teologi, karena bagi Barat filsafat merupakan induk dari segala disiplin ilmu yang terlahir atas sebab pure reason (penalaran murni) yang terbebas dari dogma dan keyakinan apapun. Sementara teologi—yang pernah dianut masyarakat Yunani kuno—merupakan masalah mistik yang memiliki kemungkinan akan unsur pedagogis yang bersifat temporal.2 Antara filsafat dan teologi saling berebut dominasi ketika agama Kristen bangkit dan Romawi jatuh.3
Lantas mengapa saat ini umat Islam mengadopsi ilmu filsafat yang notabene berasal dari Yunani? Untuk menjawab pertanyaan ini dan sekaligus pertanyaan yang menjadi judul di atas, ada beberapa faktor yang bisa menjawab. Pertama, faktor eksternal berupa sejarah futuhât (penaklukkan dan penyebaran) umat Islam dan akulturasi antara kebudayaan-kebudayaan dari wilayah yang telah ditaklukkan tersebut. Kedua, bisa dibilang sebagai faktor internal berupa kebijakan dari pemerintahan di zaman Dinasti Abbasiyah yang melakukan gerakan penterjemahan, terutama ilmu-ilmu yang berasal dari Yunani seperti filsafat, teologi, matematika, logika, fisika, astronomi, dan kedokteran.4 Contoh dua pertama lebih dominan dalam pembahasan filsafat Islam. Kalau begitu, apakah berarti bahwa ilmu filsafat Islam yang kita pelajari saat ini merupakan carbon copy dari peradaban Yunani an sich? Pertanyaan ini akan lebih menarik jika kita mengetahui tentang perkembangan pemikiran ilmu kalâm dalam peradaban umat Islam.
Dalam sejarahnya, ilmu kalam bukanlah hasil pengaruh filsafat Yunani, apalagi dikatakan bahwa ia merupakan cabang dari ilmu filsafat. Ilmu kalam tercipta dari pertentangan antara as-Salaf ash-Shalih5 dengan kelompok Mu’tazilah mengenai status al-Qur’an, apakah ia kalamullah ataukah makhluk? Para ulama Salaf bersepakat bahwa al-Qur’an adalah kalamullah—baik itu huruf-huruf dan makna-maknanya—bukan makhluk. Hal ini dilandaskan pada al-Qur’an surat at-Taubah ayat 6, “Wa in ahadun min al-musyrikîna-stajâraka fa-ajirhu hattâ yasma’a kalâmallâhi (Dan jika seorang di antara kaum musyrik itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar kalâm (perkataan) Allah)”. Dalam ayat ini Allah mengaitkan bahwa kalâm merupakan salah satu dari sekian sifat-sifat Allah, yang jelas bukan makhluk.6 Sementara Mu’tazilah—yang menjadi mazhab resmi Dinasti Abbasiyah—mendasarkan pendapatnya pada ayat “Innâ ja’alnâhu Qur’ânan ‘Arabiyyan la’allakum ta’qilûn (Sesungguhnya Kami telah menjadikan al-Qur’an itu dari bahasa Arab agar kalian mengerti)”,7 dengan mendefinisikan kata ja’ala dengan khalaqa (menciptakan). Sehingga mereka berkesimpulan bahwa al-Qur’an itu sama-sama diciptakan oleh Allah sebagaimana makhluk lainnya seperti manusia. Imam Ahmad bin Hanbal mengkritik pendapat Mu’tazilah tersebut, bahwa tidak semua kata ja’ala itu khalaqa. Jika dikatakan bahwa al-Qur’an itu makhluk, maka itu artinya al-Qur’an bersifat hadîts8 sama seperti penciptaan makhluk lain.9 Lantas jika al-Qur’an belum tercipta sebagai makhluk—yang diwahyukan kepada Rasulullah Saw, lantas bagaimana Allah berfirman kepada para Nabi lain sebelum beliau? Apakah menurut Mu’tazilah saat itu Allah bisu?10 Wal ‘iyâdzubillâh.
Maka dari perdebatan-perdebatan tersebutlah ilmu kalam lahir sebagai bagian dari tsaqâfah Islâmiyyah yang sama sekali tidak ada pengaruh dari peradaban Barat. Ilmu kalam juga memiliki perbedaan dengan teologi dalam Kristen, yang merupakan pengaruh filsafat Yunani dan diperoleh dari hasil interaksi pendeta Vatikan dengan Ibnu Rusyd di Andalusia. Dalam perkembangan berikutnya, ilmu kalam memang terpengaruh dengan filsafat Yunani sehingga jauh dari corak akidah. Dari sinilah asal usul filsafat Islam, yang menjadi bagian dari khazanah pemikiran Islam sampai saat ini.11 Saling mempengaruhi antara dua disiplin ilmu atau lebih merupakan suatu keniscayaan, karena memang pada hakikatnya ilmu pengetahuan itu memiliki sifat interdisipliner, yang berarti tidak ada satupun ilmu pengetahuan yang dapat berdiri sendiri.12 Meskipun para ulama Salaf menolak bahkan mengharamkan ilmu kalam, dan mereka lebih senang menggunakan istilah ilmu akidah atau ilmu tauhid, namun pada kenyataannya banyak sekali ulama yang terlibat dalam ilmu kalam sehingga dapat mendudukkan ilmu kalam sebagai sebuah alat untuk menjaga akidah Islam. Adalah Ibnu Khaldun yang membagi beberapa fase dalam perkembangan ilmu kalam.13 Dalam paragraf berikutnya akan kita bahas mengenai hubungan filsafat dengan ilmu kalam beserta korelasi dan relevansinya dengan akidah Islam, di samping itu akan kita sajikan beberapa pendapat ulama mengenai ilmu kalam maupun filsafat Islam. Hal-hal tersebut penting untuk dibahas sebelum kita masuk lebih dalam pada tema filsafat dan segala bentuk cabang-cabangnya.
Perlu diingat bahwa salah satu produk filsafat adalah sikap skeptis, yaitu menebar keragu-raguan, bahkan terhadap keyakinan agama.14 Maka dalam artikel ini, penulis juga ingin menawarkan sikap skeptis terhadap kurikulum ilmu filsafat, yang rasanya tidak cukup relevan bagi beberapa kalangan umat Islam.
Hubungan Ilmu Kalam dan Filsafat
Setidaknya ada sedikit kesamaan antara filsafat dan ilmu kalam, keduanya berangkat dari tinjauan nalar dan akal. Namun perbedaan di antara keduanya juga cukup signifikan. Berikut penjelasan dari Prof. Dr. Amal Fathullah Zarkasyi,
فالمتكلّم يبدأ من عقيدة يؤمن بها سلفا، ويقوم بالاستدلال على ما آمن بها العقل والإيراد الأدلّة العقلية على صحة ما يؤمن به بقلبه. لذا فإن العقيدة والنصّ الديني لهما اعتبار كبير عند المتكلّم، إذ أنهما البداية والمقدّمة التي يبدأ منها المتكلّم، لذا فإن البحث في علم الكلام يجري على قانون الإسلام حيث أن المتكلّم ينتهي في بحثه إلى إثبات ما أثبته الإسلام من أصول العقيدة.
أمّا الفيلسوف فإنه يبدأ بحثه دون عقيدة أو رأي سابق عليه أن يقوم بإثباته بل يبدأ بالعقل وينتهي إلى ما ينتهي إليه العقل.ويبحث في الوجود وقد ينتهي إلى إثبات علة موجودة ومنظمة لهذا الوجود، وقد تكون علة أولى كالمحرّك الأول عند أرسطو. أو مجموعة علل وقد تكون علة غير مادية وقد تكون مادية، المهمّ إنه ليس صاحب عقيدة معيّنة يحاول إثباتها فيكون بحثه موجّها منذ البداية لإثباتها، بل هو يبدأ بحثه محررا من كل شيء سابق.15
“Adapun ahli kalam memulainya dengan mengikuti keyakinan yang diimani oleh para ulama terdahulu. Dan mereka berargumentasi dengan sesuatu yang dapat diimani oleh akal dan petunjuk-petunjuk akal atas hal yang benar menurut kata hatinya. Oleh karenanya keyakinan dan nash agama menjadi pertimbangan besar bagi seorang ahli kalam. Karena kedua hal tersebut merupakan titik mula bagi seorang ahli kalam. Dan karenanya pula penelitian dalam ilmu kalam berjalan di atas aturan-aturan Islam. Di mana seorang ahli kalam melabuhkan penelitian dan pencarianya kepada apa-apa yang telah ditetapkan oleh pokok keyakinan agama Islam.
Adapun seorang filsuf, maka ia memulai penelitian dan pencariannya tanpa keyakinan atau doktrin yang sudah ditetapkan sebelumnya. Malahan memulainya dengan akal pikiran dan akan berlabuh dimana akal tersebut menghentikan pencariannya. Penelitiannya akan eksistensi wujud terkadang berhenti pada penetapan tentang sebab-sebab dan struktur dari wujud tersebut. Atau terkadang hanya sampai pada sebab berupa penggerak pertama sebagaimana pemahaman Aristo. Atau sekempulan sebab-sebab yang mengarah pada suatu sebab yang metafisik dan sebab fisik. Pada intinya, seorang filsuf itu bukanlah seorang yang memiliki keyakinan tertentu, di mana penetapannya akan sebuah keyakinan merupakan landasan dalam memulai penelitiannya. Seorang filsuf memulai penelitiannya dari sesuatu yang bebas dari keyakinan yang ada sebelumnya”.
Apa yang telah dijelaskan di atas tentunya menjadi dasar yang membedakan antara ilmu kalam dan filsafat. Antara keduanya memiliki tujuan dan obsesi yang berbeda. Dalam menyikapi perbedaan ini, Ibnu Khaldun juga mengatakan,
واعلم أن المتكلمين لما كانوا يستدلون في أكثر أحوالهم بالكائنات وأحوالها على وجود الباري وصفاته. وهو نوع استدلالهم غالبا والجسم الطبيعي ينظر فيه الفيلسوف في الطبيعيات وهو يعد من هذه الكائنات إلا أن نظره فيها مخالف لنظر المتكلم. وهو ينظر في الجسم من حيث يتحرّك ويسكن. والمتكلم ينظر فيه من حيث يدل على الفاعل.16
“Ketahuilah, bahwasanya ahli kalam itu berargumentasi dengan berlandaskan pada keyakinan akan eksistensi dan keadaan wujud Allah Sang Maha Pencipta beserta seluruh sifat-sifat-Nya. Hal tersebut adalah salah satu dari sekian argumentasi para ahli kalam yang dominan dalam membahas tentang keadaan alam (naturalisme), yang mana hal ini berbeda dengan para filsuf dalam membahas permasalahan tentang alam. Para filsuf hanya memandang sebuah bentuk ciptaan atas sebab sesuatu yang bergerak dan diam (alamiah, tanpa campur tangan Tuhan). Adapun ahli kalam memandangnya sebagai bukti akan wujud Sang Pencipta”.
Nah, marilah sekarang kita permasalahkan terkait apa dan bagaimana filsafat Islam itu dapat diterapkan dalam kehidupan umat Islam? Apakah filsafat yang dimaksud sudah relevan dengan kehidupan umat Islam dan memiliki korelasi dengan dasar keyakinan mereka? Jika yang dimaksud filsafat Islam adalah ilmu kalam, bagaimana ia bekerja untuk membangun, mengukuhkan, dan membela akidah umat Islam? Apakah filsafat Islam yang dimaksud sudah berperan positif dalam menambah keyakinan umat manusia mengenai eksistensi dan wujud Tuhan Sang Pencipta yaitu Allah al-Bâri? Karena memang tujuan sebagian ulama menggunakan ilmu kalam adalah untuk menjawab berbagai syubuhat17 dalam beragama dan mengukuhkan peran Tuhan atas penciptaan alam semesta. Inilah yang dilakukan oleh Imam al-Ghazali tatkala ia mempelajari filsafat, yaitu untuk menggali hakikatnya dan mengenali karakteristiknya yang kemudian memberikan kritik atasnya.
“Saya tahu dengan yakin bahwa tidak mungkin mendeteksi kerancuan dan distorsi suatu disiplin ilmu tanpa memahami betul tentang ilmu tersebut. Seorang bahkan harus bisa melampaui pemilik disiplin ilmu ini sehingga mampu menguak sisi bahaya yang tidak diketahui oleh mereka (filsuf)”.18
Sebagai contoh peran Imam al-Ghazali—dalam dunia filsafat dan ilmu kalam adalah—mengenai doktrin tentang penciptaan yang sudah dibangun oleh kalangan filsuf, ia menyisipkan sebuah argumen yang menguatkan eksistensi Tuhan. Baginya, setiap hasil perbuatan yang dirancang pasti berasal dari pelaku yang kuat. Dunia dan alam semesta ini adalah perbuatan yang dirancang dan ditata dengan sangat baik, karenanya bisa dipastikan ia berasal dari pelaku yang kuat. Atau dalam hal ini banyak penulis menyebutkan tentang terminologi Prima Causa (Sebab Utama) menurut perspektif al-Ghazali, yang disandarkan pada wujud Satu Tuhan (al-Wahdâniyyah atau at-Tawhîd).
كل حديث فلحدوثه سبب، والعالم حديث فيلزم منه أن له سببا19
“Setiap makhluk ciptaan itu memiliki sebab pada awalnya. Dan dunia ini adalah makhluk ciptaan yang mengharuskannya memiliki sebab yang menciptakannya”.
Sebelum kita masuk pada beberapa pendapat ulama mengenai ilmu kalam dan filsafat, kita akan mengulas sedikit mengenai perdebatan dalam ilmu kalam yang justru membawa pada kekeliruan dalam meyakini akidah Islam. Secara umum, memang para ulama Salaf telah melarang umat Islam untuk mempelajari ilmu kalam. Namun ketika merebak kekeliruan di tengah umat, maka wajib bagi seorang ulama untuk memberikan perlawanan dan sanggahan dalam menanggulangi kekeliruan tersebut. Adalah Imam Ahmad bin Hanbal—salah satu dari imam mazhab terkenal—yang telah bertungkus lumus dalam menghadapi kesesatan kelompok Mu’tazilah, sehingga ia dipenjara oleh rezim pendukung paham menyimpang tersebut. Ia juga membuat sebuah tulisan yang berisi bantahan terhadap kaum zindiq yang salah dalam membuat interpretasi tentang al-Qur’an.20 Maka inilah peran ilmu kalam, ia bisa menjadi pisau yang entah untuk merusak akidah Islam, atau malahan untuk menjaga akidah Islam. Dalam sebuah syair disebutkan,
عرفت الشر لا للشر لكن لتوقيه # ومن لا يعرف الشر من الخير يقع فيه
“Aku mengenali keburukan bukan untuk berbuat keburukan tersebut, akan tetapi untuk membentengi diri darinya. Dan barangsiapa yang tidak mengenali keburukan dari kebaikan, dikhawatirkan terjatuh ke dalamnya”.21
Sahabat yang Mulia, Amir al-Mu’minin Umar bin al-Khattab ra juga mengatakan,
يُوشك أن تَنقُض عُرى الإسلام عروة عروة، إذا نشأ في الإسلام من لا يعرف الجاهلية
“Hampir-hampir ikatan tali Islam terurai sehelai demi sehelai, jika ada orang yang tumbuh dalam Islam namun tidak mengenal perkara jahiliyah”.22
Pendapat Para Ulama Salaf Tentang Ilmu Kalam
Para ulama mazhab yang empat telah bersepakat atas penolakannya terhadap ilmu kalam. Bahkan tak segan-segan mereka menyebutkan vonis zindiq bagi yang menyebarkan ilmu tersebut (ulamanya). Dam hukum mempelajarinya makrûh tanpa keraguan sama sekali. Berikut beberapa ucapan mereka,
لو علم الناس ما في الكلام من الأهواء لفرّوا منه كما يفرّون من الأسد
“Seandainya manusia mengetahui (jahatnya) hawa nafsu yang terdapat dalam ilmu kalam, mereka akan menjauhinya seperti halnya mereka menjauh dari singa”. (Imam asy-Syafi’i).
حُكمي في أهل الكلام أن يضربوا بالجريد، ويطاف بهم في القبائل وينادي عليهم هذا جزاء من ترك الكتاب والسنة وأقبل على الكلام
“Menurutku hukuman bagi penganut ilmu kalam adalah dipukul dengan pelepah kurma, lalu diarak ke seluruh kabilah dan suku. Lalu diserukan bahwa ini adalah balasan bagi orang yang meninggalkan al-Qur’an dan as-Sunnah dan malah menerima ilmu kalam”. (Imam asy-Syafi’i).
لا يُفلح صاحب الكلام أبدا ولا تكاد ترى أحدا نظر في الكلام إلا وفي قلبه دغل
“Seorang penganut ilmu kalam tidak akan beruntung selamanya. Dan kamu tidak akan mendapati seorang pun yang menganut ilmu kalam, kecual dalam hatinya ada daghal (aib dan penyakit)”. (Imam Ahmad bin Hanbal).23
Imam Malik juga menganggap tidak diterimanya kesaksian dari ulama ahli kalam. Sementara Imam Abu Hanifah menghukumi makrûh mempelajari ilmu kalam tanpa sedikitpun keraguan akan hukum tersebut.
Sebagai penutup, maka sudah sewajarnya kita kembali mempertanyakan mengenai urgensi dan relevansi dari filsafat Islam. Apakah ia sekedar taqlîd pada fenomena yang terjadi saat ini, sehingga mau tak mau umat Islam harus dicekoki dengan ilmu filsafat dan berbagai cabangnya? Atau ia sekedar bagian dari khazanah umat Islam yang perlu diketahui historisitasnya—yang terkadang tatkala kita berbicara tentang filsafat Islam—dan hanya mampu menyebutkan mengenai biografi para tokohnya tanpa mau menggali substansi dari pemikiran-pemikiran yang berkembang di zaman mereka? Atau malah bisa jadi setelah mempelajari filsafat, kita semakin skeptis dengan agama Islam? Allâh al-Musta’ân. Wa billâh at-tawfîq wa al-hidâyah.
Foot Note
1 Betrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, Pustaka Pelajar [Yogyakarta, 2023], hal. 3.
2 Henri Shalahuddin, Mawaqif Beriman dengan Akal Budi, INSISTS [Jakarta, 2019], hal. xxvi& 1.
3 Op.cit., Betrand Russell, hal. xv.
4 Op.cit., Henri Shalahuddin, hal.13-4.
5 Ulama Salaf.
6 Al-Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisy, Pokok-Pokok Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Pustaka Sumayyah [Pekalongan, 2007], hal. 106-7.
7 Al-Qur’an surat az-Zukhruf ayat ke 3.
8 Baru tercipta.
9 Untuk memudahkan pemahaman tentang hal ini, tarulah kita setuju dengan pendapat Mu’tazilah mengenai kemakhlukan al-Qur’an. Maka itu artinya posisi al-Qur’an dengan kita selaku manusia adalah sama. Hitung saja usia Anda saat ini, maka angka itulah yang menjadi usia penciptaan Anda. Dan usia al-Qur’an adalah saat turun wahyu dari Jibril As kepada Nabi Muhammad Saw, lalu ada proses pengumpulan al-Qur’an yang dihafal oleh para Sahabat ra, dan kemudian proses kodifikasi al-Qur’an di zaman Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan ra.
10 Kata Pengantar Prof. Dr. Amal Fathullah Zarkasyi, M.A, Mawaqif Beriman dengan Akal Budi, INSISTS [Jakarta, 2019], hal. xix.
11 Ibid., hal. xx.
12 Dwi Sulistyorini, Filologi Teori dan Penerapannya, Madani [Malang, 2015], hal. 5. Lihat https://www.historislam.com/2023/10/korelasi-filologi-dan-paleografi.html?m=1 Diakses tanggal 25/03/2024 Pukul 10.04 WIB.
13 Henri Shalahuddin, Mawaqif Beriman dengan Akal Budi, INSISTS [Jakarta, 2019], hal. 54.
14 Betrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, Pustaka Pelajar [Yogyakarta, 2023], hal. 319.
امل فتح هللا زركشي، دراسة في علم الكالم، )كونتور، جامغة دار السالم، 2020( ص: 22 15
نفس المرجع، ص: 23 16
17 Kerancuan.
18 Henri Shalahuddin, Mawaqif Beriman dengan Akal Budi, INSISTS [Jakarta, 2019], hal. 36.
19 Hamid Fahmy Zarkasyi, Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan, Unida Gontor Press [Ponorogo, 2018], hal. 127-9. Lihat https://www.historislam.com/2023/11/filsafat-dan-intelektualitas.html?m=1 Diakses Tanggal 25/03/2024 Pukul 11.20WIB.
20 Op.Cit., hal. 30.
21 Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Perilaku dan Akhlak Jahiliyah, Pustaka Sumayyah [Pekalongan, 2008], hal. 11.
22 Ibid.
23 Henri Shalahuddin, Mawaqif Beriman dengan Akal Budi, INSISTS [Jakarta, 2019], hal. 55-6.
Daftar Pustaka
Al-Fauzan, Shalih bin Fauzan. 2008. Perilaku dan Akhlak Jahiliyah. Pekalongan, Pustaka Sumayyah.
Al-Maqdisy, Ibnu Qudamah. 2007. Pokok-Pokok Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Pekalongan, Pustaka Sumayyah.
Russell, Betrand. 2023. Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Shalahuddin, Henri. 2019. Mawaqif Beriman dengan Akal Budi. Jakarta, INSISTS.
Sulistyorini, Dwi. 2015. Filologi Teori dan Penerapannya. Malang, Madani.
Zarkasyi, Hamid Fahmy. 2018. Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan. Ponorogo, Unida Gontor Press.
امل ثتح الله زركشي، دراسة في علم الكلام، كونتور: جامغة دار السلام للطباعة والنشر، 2020.
Link Website:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar