Ciri khas filsafat pada fase abad pertengahan terletak pada sebuah rumusan terkenal yang dikemukakan oleh Saint Anselmus (1033-1109) yaitu credo ut intelligam, believe in order to understand. Atau kalau kita terjemahkan, "Percayalah dahulu nanti juga akan mengerti."
Dalam membuktikan adanya Tuhan, Anselmus sering kali mengatakan bahwa ia tidak perlu tahu tentang Tuhan, ia telah beriman kepada Tuhan, "I believe, that unless I believe, I should not understand."
Konsekuensi dari pernyataan di atas akan berimplikasi pada cara pandang seseorang dalam merumuskan tentang konsep ketuhanan dan menjalankan aturan agamanya. Sebut saja salah satunya dalam meyakini tentang konsep trinitas, yang merupakan pusat doktrin dalam agama Kristen.
Trinitas atau tritunggal yaitu doktrin iman Kristen yang mengakui adanya satu Allah yang Esa namun hadir dalam tiga pribadi: Allah Bapa, Allah Putera, dan Allah Roh Kudus. Di mana menurut mereka ketiga pribadi tersebut memiliki kesamaan esensi, kesamaan kedudukan, kesamaan kuasa, dan kesamaan kemuliaannya. Istilah trinitas mengandung guna tiga pribadi dalam satu kesatuan esensi Allah. Istilah "pribadi" dalam bahasa bahasa Yunani yaitu hupostasis, diterjemahkan ke dalam bahasa Latin menjadi persona, dan dalam bahasa Inggris person. Sejak awal abad ke 3 Masehi doktrin trinitas telah dinyatakan sebagai "Satu keberadaan (Yunani: ousia, Inggris: beeing) Allah di dalam tiga pribadi dan satu substansi: Bapa, Putera, dan Roh Kudus."
"Formula ini tampaknya bukan berasal dari pengaruh filsafat Yunani, karena terbentuknya formula ini (tiga dalam satu) lebih dulu terbentuk dibandingkan dengan kontak gereja dan filsafat Yunani. Formula ini memang diambil dari ayat-ayat kitab suci Kristen." (Ahmad Tafsir).
Plotinus (204-270 M) adalah seorang filsuf yang mengawali filsafat di abad pertengahan. Dan pada saat itu pengaruh agama Kristen nampaknya mulai meluas, sehingga warna filsafat pada zaman itu lebih condong kepada arah spiritual. Atau bisa dikatakan filsafat pada zaman tersebut didominasi oleh keyakinan dan kepercayaan semata. Sehingga akal dan nilai-nilai rasionalitas kalah total dari hegemoni hati dan nilai-nilai keyakinan..
Filsafat pada abad pertengahan juga dipenuhi oleh lembaran hitam berupa pemusnahan orang-orang yang berfikir out of the box, karena pemikirannya berlawanan atau berbeda dengan pemikiran dan doktrin tokoh-tokoh gereja. Sebut saja Copernicus (1473-1543 M) dan Galileo (1564-1642 M) yang meyakini teori heliosentris atau matahari sebagai pusat tata surya (bumi mengelilingi matahari), pada akhirnya meregang nyawa oleh otoritas setempat, karena pada saat itu tokoh-tokoh gereja meyakini teori geosentris atau bumi sebagai pusat tata surya.
Filsafat Plotinus ditandai dengan konsep transendens dan teori tentang tiga realitas: The One, The Mind, dan The Soul. Terkait dengan kesamaannya dengan konsep trinitas yang ditawarkan oleh Kristen, maka perlu diteliti lebih dalam mana yang mempengaruhi dan mana yang dipengaruhi. Yang jelas ajaran Plotinus yang disebut juga sebagai neo-Platonisme, dijadikan sumber dalam pengembangan filsafat Kristen.
Istilah trinitas ini mula-mula digunakan oleh Theophilus dari Antakya pada tahun 180 Masehi. Namun kemudian pernyataan resmi tentang istilah ini dikeluarkan dalam pertemuan Konstantinopel pada tahun 382 Masehi.
Orang Kristen menganggap Esa dalam tiga pribadi itu bukanlah suatu konsep yang berlawanan dengan akal logika, melainkan suatu konsep yang tidak dapat dipahami dengan akal logika. Tidak dapat dipahami, bukan berlawanan.
Doktrin tentang keesaan Allah menurut agama Kristen sama sekali tidak bertentangan dengan konsep trinitas atau tiga pribadi. Untuk memahami ini semua mereka menganjurkan untuk menjadikan hati lebih terbuka dalam memahaminya, dan mewajibkan siapapun yang akan mengkajinya untuk melepaskan "kacamata kuda"nya. Pemahaman akan konsep dan doktrin trinitas tersebut merupakan misteri dan rahasia yang berada di atas pemahaman logika manusia.
Berbagai teori yang ditawarkan mengenai konsep trinitas tersebut diejawantahkan dengan sebuah analogi matahari yang memiliki unsur matahari itu sendiri, sinar, dan panasnya. Atau dengan sebuah simbol visual segitiga scutum fidei, perisai tritunggal, di mana Allah Bapa, Allah Putera, dan Allah Roh Kudus menempati masing-masing sudutnya namun tetap dalam satu segitiga.
Namun, "makin maju wetenschap mereka, makin rajin mereka memeriksa sejarah bibel mereka, makin bergoncanglah iman mereka kepada kitab suci itu." (Mohammad Natsir).
"Apabila orang Barat menghendaki agama yang dapat memberi perasaan kuat dalam mencari kemajuan dan kesadaran kepada harga diri sendiri, tinggalkanlah agama yang mengajarkan bahwa manusia itu lahir ke dunia dengan membawa dosa, dan dia harus meminta pengampunan dengan perantaraan wakil-wakil Tuhan di atas dunia ini. Agama yang memaksa otak manusia membenarkan 1=3 dan 3=1. Ambillah agama Islam yang dengan sempurna mengesakan Tuhan." (Mohammad Natsir).
Kristen Telah Mati!
Teriakan Friedrich Nietzsche (1844-1900 M) "Tuhan telah mati" masih berdengung di dunia Barat, dan sekarang terbaur dengan kidung sedih "Kristen telah mati." Beberapa teolog Kristen berpengaruh -khususnya dari kalangan Protestan yang nampaknya menerima nasib Kristen tradisional yang seperti itu dan cenderung untuk ikut berubah dengan waktu- bahkan telah memulai persiapan-persiapan untuk meletakkan landasan teologis baru di atas puing reruntuhan yang di dalamnya terkubur tubuh hancur Kristen tradisional, dan yang dari dalamnya akan dihidupkan kembali suatu Kristen baru yang telah disekulerkan.
Seorang filsuf Denmark, Soren Kierkegaard (1813-1855 M) membuat sebuah pengakuan yang juga diamini oleh kalangan Barat, "Kita selalu menjadi orang-orang Kristen."
Dalam usahanya untuk menyesuaikan agama Kristen dengan krisis sekularisasi, mereka menganjurkan konseptualisasi kembali ajaran-ajaran Kristen, pendefinisian kembali konsep mereka tentang Tuhan, dan dehellenisasi dogma Kristen.
Bagi mereka, rumusan Kristen dalam bentuk-bentuk hellenik pada abad-abad awal perkembangannyalah yang bertanggung jawab atas banyak masalah-masalah sulit dan membingungkan. Di antaranya adalah mengenai penggambaran Tuhan sebagai pribadi suprarasional, mengenai doktrin trinitas yang ruwet dan tak mudah teruraikan itu.
Agama Kristen telah mati, semenjak awal persentuhannya dengan dengan filsafat Yunani. Namun jauh sebelum bersentuhan dengan filsafat, ajaran yang dibawa oleh Yesus tersebut sudah mengalami distorsi yang dilakukan oleh kaum Yahudi, Bani Israel.
"Mereka suka mengubah firman (Allah) dari tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian pesan yang telah diperingatkan keoada mereka." (QS. Al-Ma`idah: 13).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar