SELAMAT [MENGGUGAT] HARI LAHIR PANCASILA
(Kritik atas Relativisme Ketuhanan Pancasila)
Fian Sofian – Mahasiswa Prodi Bahasa
dan Sastra Arab UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Umumnya, pemerintah dan sebagian masyarakat Indonesia memperingati
hari kelahiran Pancasila pada tanggal 1 Juni. Maka patutlah kita bertanya,
sejak kapan tanggal 1 Juni ditetapkan sebagai Hari Lahir Pancasila? Siapa penggali
dan penggagas awal Pancasila? Apa dasar historis dan filosofisnya?
Melihat ke laman resmi situs-situs pemerintah (Kemenkumham,
Kemenkeu dan Kemeparekraf), semuanya kompak mendasari peringatan tersebut
kepada Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomer 24 Tahun 2016 yang
menetapkan tanggal 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila sekaligus hari libur nasional.
Ibarat grup paduan suara, kementrian-kementrian tersebut ditambah dengan media-media
mainstream–yang condong dan taqlid dengan segala kebijakan
beserta sejarah versi pemerintah–kompak menyatakan bahwasanya tokoh penggagas
Pancasila adalah Soekarno.
Tulisan ini tak bermaksud disrupsi peran Soekarno bagi bangsa,
apalagi ada upaya distorsi sejarah. Namun, tulisan ini bertujuan untuk sedikit
meluruskan kronologi sejarah dan memberikan gambaran yang utuh mengenai sejarah
kepada para pembaca. “Di negeri kita, sejarah bukanlah sepenuh history,
tapi sudah bergeser kepada His story, pada sebuah kisah pribadi dan
golongan.”
Tahun 2020 kita pernah dikejutkan oleh Rancangan Undang-Undang
Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang diinisiasi oleh fraksi PDIP. Di mana
pasal-pasal kontroversial tersebut mengenai pemerasan atau kristalisasi
Pancasila menjadi Trisila, yang salah satu isinya adalah Ketuhanan yang
Berkebudayaan. Lalu Ekasila, yang hanya menyebutkan Gotong-Royong sebagai dasar
negara. Banyak kalangan menilai bahwa hal tersebut merupakan upaya sekularisasi
nilai-nilai dasar negara dan sebagai bentuk Soekarnoisasi Pancasila. Rancangan
tersebut memang terinspirasi dari pidato Soekarno saat sidang penentuan
dasar-dasar negara. Upaya yang dilakukan fraksi PDIP menjadi preseden buruk dalam
kehidupan berdemokrasi, dengan bersikap kultus kepada Soekarno dan sebagai
upaya melanggengkan trah Soekarno dalam jabatan kepemimpinan di negeri ini. Di
samping itu juga sebagai upaya menghilangkan peran penting tokoh lain dalam
sejarah negeri ini. “Pihak pemenang akan menulis yang kalah sebagai
pengkhianat, dan ketika musim berganti, maka berganti pula kisah sebuah
sejarah.”
Sejarah Singkat Pancasila
Pancasila merupakan sebuah produk dari sejarah panjang bangsa ini.
Maka untuk memahaminya kita harus melihat kembali peristiwa-peristiwa sejarah
yang melatarbelakanginya. Mengutip perkataan Prof. Dr. Abdul Kahar Muzakkir mengenai
hal ini, “Kejadian-kejadian sejarah bagi tiap negeri biasanya merupakan
rangkaian yang berjalin satu dengan yang lain, sehingga susahlah kalau hendak
dipungut satu kejadian saja dengan meninggalkan yang lain. Saya berkata
demikian itu, karena mengenai Pancasila saja, kita tidak dapat meninggalkan
kejadian-kejadian dan latar belakang sebelumnya.” Beliau merupakan salah satu
dari sekian tokoh yang membidani lahirnya undang-undang dasar negara Indonesia.
Jepang yang lebih kurang sudah tiga tahun menduduki bangsa ini,
memberikan janji kemerdekaan bagi segenap rakyat Nusantara. Maka dibentuklah
suatu badan musyawarah untuk menyusun undang-undang dasar negara bernama Dokuritsu
Zyunbi Tyoosakai atau Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK).
Pada tanggal 29 Mei 1945 Mr. Muhammad Yamin maju dalam pidato dan menghasilkan
sebuah susunan yang terdiri dari lima dasar. Yaitu:
1.
Peri
Kebangsaan
2.
Peri
Kemanusiaan
3.
Peri
Ketuhanan
4.
Peri
Kerakyatan
5.
Kesejahteraan
Rakyat (Keadilan Sosial)
Lalu disusul kemudian pada tanggal 1 Juni 1945 Ir. Soekarno
berpidato tentang lima dasar negara yang urutannya telah dirubah dari susunan
yang dibawakan oleh Mr. Muhammad Yamin. Dalam hal ini, Soekarno tidak
mengeluarkan penemuan dan galian baru, beliau hanya membawakan tafsiran dan
rumus baru dari yang telah disampaikan sebelumnya. Susunan tersebut adalah:
1.
Kebangsaan
2.
Kemanusiaan
3.
Demokrasi
4.
Kesejahteraan
Rakyat
5.
Ketuhanan
Karena kepiawaiannya dalam berpidato tanpa teks, maka hadirin
merasa terpukau dibuatnya. Maka setelah itu Pancasila (dasar yang lima) mulai
dipopulerkan olehnya saat pertemuan Gerakan Pembela Pancasila di Istana Negara
pada tanggal 17 Juni 1954, Dekrit Presiden di Sidang Konstituante 5 Juli 1959, kuliah
umum di Istana Negara Jakarta dan UGM yang diselenggarakan oleh Liga Pancasila,
dll.
Diskursus mengenai siapa penggali dan penggagas awal Pancasila
masih menjadi perdebatan hangat sampai saat ini. Namun yang pasti, Mr. Muhammad
Yamin lah yang terlebih dahulu melontarkan gagasan tentang lima dasar negara
dalam sidang tersebut. Maka kesimpulannya tiga hari sebelum Ir. Soekarno
berpidato, sudah banyak tokoh yang menelurkan gagasannya mengenai dasar negara.
Namun tidak ada perbedaan yang signifikan dari setiap gagasan mereka. Bernard
Johan Boland, seorang orientalis dan misionaris Kristen asal Belanda, penulis
buku yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul Pergumulan Islam
di Indonesia menyebutkan, “The Pancasila was in fact a creation of Yamin’s
and not Soekarno’s.”
Realita sejarah berikutnya bukan hanya perdebatan mengenai siapa
penggali dan penggagas Pancasila, namun tafsir mengenai Pancasila pun
selalu diperebutkan oleh berbagai kalangan, terlebih oleh penguasa. Otoritas
penguasa selalu berusaha mendominasi tafsir tunggal mengenai Pancasila. Di
Orde Lama Soekarno terbentuk Gerakan Pembela Panca Sila (GPPS) yang diinisiasi
oleh seorang tokoh partai yang berkuasa saat itu (PNI), lalu ada pula Liga
Pancasila sebagaimana yang telah diungkit di atas. Di zaman Orde Baru Soeharto
dirumuskan Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (P4) yang dimasukkan dalam kurikulum pendidikan tahun
1975. Lalu di tahun 1985 ada Asas Tunggal Pancasila yang diwajibkan bagi partai
politik dan organisasi kemasyarakan jika ingin diakui eksistensinya oleh penguasa.
Pasca sidang BPUPK tersebut belum ada kebulatan mengenai dasar
negara, maka pada tanggal 22 Juni 1945 diadakanlah perkumpulan kembali di
Hokokai (Kementrian Keuangan) dengan jumlah anggota 38 orang. Pada akhir rapat
itu Soekarno mengusulkan dibentuknya panitia kecil yang menyelesaikan soal
dasar negara yang berjumlah 9 anggota, yang salah satu anggotanya merupakan
wakil Kristen bernama A.A. Maramis. Panitia 9 tersebut pada akhirnya terus
bekerja di rumah kediaman Soekarno di
jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta, sampai pukul 20.00 WIB. Dalam rapat tersebut
menghasilkan suatu rumusan yang salah satunya berbunyi, “Ketuhanan dengan
Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-Pemeluknya.” Kelak dasar ini
disebut sebagai Jakarta Charter atau Piagam Jakarta.
Namun yang jelas harus kita akui, bahwa diksi Ketuhanan
merupakan ide yang datang dari Muhammad Yamin dan Soekarno, terkait masalah
penempatannya di mana, yang jelas sila tentang Ketuhanan ini tidak menjadi
sebuah dasar yang prioritas bagi mereka. Dan diksi Ketuhanan tetap bertahan
sampai saat ini. Adapun tujuh kata dalam Piagam Jakarta merupakan ide yang
disumbangkan oleh para wakil umat Islam yang tergabung dalam panitia sembilan.
Namun sehari setelah diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia,
tujuh kata yang tercantum dalam Piagam Jakarta dihapuskan secara sepihak, hal
ini dilakukan atas desakan dan ultimatum dari pihak Kristen. Atas kejadian ini,
Prof. Dr. Abdul Kahar Muzakkir mengatakan dalam pidato di Majelis Konstituante,
“Saudara ketua, akan tetapi apa lacur pada tanggal 18 Agustus 1945? Semua
prinsip-prinsip yang baik dan luhur itu oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan
telah diubah, dicoret-coret dan dihapuskan dari Mukaddimah dan Undang-Undang
Dasar. Itulah sebabnya ada orang yang mengatakan bahwa Pancasila itu dikebiri.
Kalau saya tidak mengatakan demikian, akan tetapi Pancasila telah dirusak.
Sebab prinsip-prinsip yang mendatangkan moral yang luhur dengan adanya
Pancasila Piagam Jakarta itu telah hilang dari wujud Pancasila, yang tadinya
merupakan agreement (kesepakatan bersama, pen.) itu telah
dicederai dengan sengaja. Itu berarti pula bahwa perjanjian itu telah
dibatalkan dengan sengaja. Itu berarti pula bahwa perjanjian itu telah
dibatalkan dengan kehendak eenzijdig (sepihak, pen.). Saya katakan atas
kehendak satu pihak, yaitu pihak kebangsaan.”
Prof. Kasman Singodimedjo yang juga merupakan anggota di rapat PPKI
dan sidang Konstituante turut berkomentar terkait keadaan saat itu. Bahwasanya
pihak non muslim tersebut pandai memanfaatkan kondisi psikologis pada waktu itu
dengan melakukan lobbying agar tujuh kata dalam Piagam Jakarta
dihapuskan. Pada akhirnya Ir. Soekarno menjanjikan bahwa enam bulan lagi para
perwakilan tersebut akan berkumpul dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
dalam rangka menetapkan undang-undang dasar yang lebih sempurna. Pihak Islam
pun menerima keputusan saat itu dikarenakan janji yang disampaikan oleh
Soekarno.
Mohammad Natsir menggambarkan peristiwa tersebut dengan
menyebutkan, “Hari 17 Agustus adalah Hari Proklamasi, hari raya kita. Hari raya
18 Agustus adalah hari ultimatum dari umat Kristen Indonesia bagian Timur.
Kedua-dua peristiwa itu adalah peristiwa sejarah. Kalau yang pertama kita
rayakan, yang kedua sekurang-kurangnya jangan dilupakan. Menyambut hari
Proklamasi 17 Agustus kita bertahmid. Menyambut hari besoknya, 18 Agustus, kita
beristighfar. InsyaAllah umat Islam tidak akan lupa.”
Makna dari Sila Ketuhanan yang Tidak Bermakna
Sila Ketuhanan dari lima sila yang digagas oleh Mr. Muhammad Yamin
dan Ir. Soekarno dalam pidatonya di BPUPK tidak menempati posisi prioritas dan
tidak menjadi point of reference yang mana sila-sila lain mengacu dan
menginduk kepadanya. Bahkan sila Ketuhanan yang digagas oleh Soekarno berada
pada posisi paling akhir dan di bawah. Sila Ketuhanan yang digagas oleh mereka
bukan bermakna monoteisme, bukan menunjukkan pada salah satu konsep ketuhanan
yang diajarkan dalam salah satu agama yang ada, terlebih dimaknai sebagai
Tauhid atau menganggap bahwa ide dan konsep tentang Tauhid ada dalam Pancasila.
Muhammad Yamin dan Soekarno tidak pernah secara eksplisit menyebutkan bahwa ide
mengenai Tauhid ada dalam Pancasila, atau tidak sekalipun memiliki anggapan
bahwa Tauhid–yang menjadi ajaran utama dalam Islam–memiliki korelasi atau
keterkaitan dengan sila Ketuhanan yang Maha Esa. Karena Ketuhanan yang dimaksud
dalam sila tersebut adalah religiusiteit (religiusitas, atau suatu paham
yang memiliki kepercayaan kepada suatu hal gaib yang menguasai dan mengatur
hidup manusia).
Falsafah dan tafsir mengenai Ketuhanan telah dijabarkan secara
panjang lebar oleh penggagasnya dalam sebuah pertemuan Gerakan Pembela
Pancasila di Istana Negara pada tanggal 17 Juni 1954. Hal ini telah disebutkan
oleh Mohammad Natsir pada pidatonya di sidang Konstituante. Natsir menganggap
bahwa wujud Tuhan yang diinginkan oleh Soekarno bersumber dari sebuah pandangan
sekuler, la diniyah. Dalam pidatonya, Soekarno mengaku bahwa ide
mengenai Ketuhanan tersebut adalah hasil galiannya atas keadaan masyarakat
Indonesia yang memang sudah sejak beratus-ratus bahkan beribu-ribu tahun telah
memiliki religiusitas. Apa sebab? Soekarno memberikan tamtsil,
bahwasanya tatkala masyarakat Indonesia (Nusantara) masih hidup dalam taraf
agraria (bercocok tanam), mereka mau tidak mau membutuhkan suatu hal yang gaib
tempat mereka memohon dan berharap. Soekarno insyaf, bahwasanya pada
taraf tersebut belum ada istiah Ketuhanan yang Maha Esa apalagi Allah, hanya
sekedar meyakini akan suatu hal yang gaib. Lantas Soekarno juga membuat sebuah tamtsil
mengenai sebuah masyarakat yang telah hidup dalam taraf industrialisme, mereka
banyak yang menanggalkan sikap religiusiteit-nya. Karena menurut
pandangannya, jika suatu masyarakat sudah hidup dalam taraf industrialisme
mereka sudah berhadapan dengan banyak sekali kepastian-kepastian. Ketuhanan
bagi Soekarno bukan bersumberkan kepada wahyu atau firman Allah, melainkan
sebuah paham akan adanya hal yang gaib semata. “Bagi seorang sekularis, soal
Ketuhanan sampai pada soal Ketuhanan Yang Maha Esa, tak ada hubungannya dengan
wahyu; baginya, soal Ketuhanan adalah ciptaan manusia yang berganti-ganti.”
(Mohammad Natsir, Islam Sebagai Dasar Negara).
Nasionalis Yang Chauvinis
“Agama musuh Pancasila,” ujar Yudian Wahyudi, Kepala Badan Pembinaan
Ideologi Pancasila (BPIP) yang kemudian mendapatkan pembelaan dari Kepala Staf Presiden,
Moeldoko. Yudian, yang juga pernah menjabat sebagai rektor di UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta tersebut, menyebutkan secara eksplisit kalimat di atas tatkala
ia belum lama dilantik sebagai Kepala BPIP.
Dalam pidatonya di Hut PDIP
ke-44, Megawati mengulang apa yang telah disampaikan oleh Soekarno mengenai
pemerasan Pancasila. Tak lupa, aroma tendensius terhadap para pemeluk agama mewarnai
pidato di malam tersebut dengan diiringi riuh tepuk-tangan para hadirin. Pidato
lain Megawati yang mengkritik tentang kehidupan setelah dunia fana tanpa ada
dasar ilmu yang memadai. Adapula kritiknya terhadap ibu-ibu pengajian.
Lain Megawati lain Sukmawati, adiknya. Dalam sebuah diskusi yang
diadakan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, ia membuat sebuah pertanyaan yang
membandingkan antara Nabi Muhammad ﷺ
dengan Ir. Soekarno. Arah pertanyaan beliau untuk menyanggah
anggapan bahwa tidak boleh menghormati orang-orang mulia di abad modern. Dari
pertanyaan ini saja sudah tidak apple to apple, karena Nabi Muhammad
sendiri tidak hidup di zaman modern. Lantas, mengapa hanya Soekarno yang
dijadikan contoh teladan bagi bangsa ini? Di mana peran pahlawan lain, termasuk
jika konteks kita adalah tentang Pancasila dan dasar negara, maka peran
Soekarno tidak seberapa dibandingkan dengan para tokoh kemerdekaan lainnya.
Kalaulah bukan bersumber dari ajaran Nabi Muhammad ﷺ, apakah yakin Pancasila yang ada saat ini akan terisi dengan
nilai-nilai mulia yang bersumber dari ajaran Islam? Atau hanya Pancasila versi
Soekarno, dengan definisi Ketuhanan yang relatif, bergantung pada akal pikiran
manusia?
“Djikalau kita sekarang mau berselisih, amboi, tak sukarlah
mendatangkan perselisihan itu sekarang pula!” (Soekarno, Dibawah Bendera
Revolusi).
Narasi-narasi kebencian terhadap agama dipertontonkan oleh mereka
yang mengaku Pancasilais. Mereka selalu membenturkan agama dengan nasionalisme.
Soekarno yang kita akui sebagai The Founding Father negeri ini sudah
jauh-jauh hari memperingatkan agar nasionalisme itu bukan berasal dari kesombongan
sikap kebangsaan belaka, bukan nasionalisme yang bersifat chauvinisme, serta
menganjurkan agar menjauhkan diri dari sikap sempit budi. Ia juga mengajukan
pertanyaan, apa sebab banyaknya kaum nasionalis membenci orang-orang yang
berkeyakinan Islamistis? Apa sebabnya kaum nasionalis berkeberatan untuk
bekerja sama dengan kaum Islam? Dan di sisi lain, beliau pun mengakui bahwa
Islam itu melebihi sikap kebangsaan, melampaui batas negeri dan bersifat
super-nasional dan super-teritorial. Soekarno mengutip ucapan seorang
nasionalis India bernama Prof. T.L. Vaswani, “Djikalau Islam menderita sakit,
maka Roch kemerdekaan Timur tentulah sakit djuga; sebab makin sangatnja
negeri-negeri Muslim kehilangan kemerdekaannja, makin lebih sangat imperialisme
Eropah mentjekek Roch Asia. Tetapi, saja pertjaja pada Asia-sediakala; saja
pertjaja bahwa Rochnja masih akan menang. Islam adalah internasional, dan djikalau
Islam merdeka, maka nasionalisme kita itu adalah diperkuat oleh segenap
kekuatannja iktikad internasional itu.” (Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi).
Seruan Kepada Pendukung Pancasila
Oleh: Mohammad Natsir
Saya ingin menyampaikan seruan yang sungguh-sungguh kepada
saudara-saudara yang mendukung Pancasila.
Sila yang saudara maksud ada terdapat dalam Islam. Bukan sebagai pureconcepts
yang steril, tetapi sebagai nilai hidup yang mempunyai substansi yang riel dan
terang. Dengan menerima Islam sebagai falsafah negara, saudara-saudara
pendukung Pancasila sedikitpun tidak dirugikan apa-apa. Baik sebagai pendukung
Pancasila maupun sebagai orang yang beragama. Malah akan memperoleh state-philosophy
yang hidup berjiwa, berisi tegas, dan menghandung kekuatan.
Tidak satu pun dari lima sila yang terumus dalam Pancasila itu,
yang akan luput atau gugur, apabila saudara menerima Islam sebagai dasar
negara.
Dalam Islam terdapat kaedah-kaedah yang pasti, dimana pureconcepts
dari sila yang lima itu mendapat substansi yang riel, mendapat jiwa dan roh
penggerak.
Referensi:
Husaini, Adian. Pancasila Bukan untuk Menindas Hak
Konstitusional Umat Islam. 2009. Gema Insani Press, Jakarta.
Soekarno. Dibawah Bendera Revolusi. 1964. Panitia Penerbit
Dibawah Bendera Revolusi, Djakarta.
Anshari, Muhammad Isa. Mujahid Da’wah. 1964. CV. Diponegoro,
Bandung.
Natsir, Mohammad. Islam sebagai Dasar Negara. 2019. Sega
Arsy, Bandung.
Muhammad Isa Anshari, Kasman Singodimedjo, Abdul Kahar Muzakkir. Menuju
Republik Indonesia Berdasarkan Islam. 2019. Sega Arsy, Bandung.
Baca juga:
https://attaubah-institute.com/pancasila-lahir-22-juni-1945/
https://attaubah-institute.com/soekarnoisasi-pancasila-semakin-nyata/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar