Fian Sofian – Mahasiswa Prodi Bahasa dan Sastra Arab UIN Sunan Gunung Djati Bandung
“The human being is
the measure of all things [Manusia adalah ukuran dari segala sesuatu]”. (Protagoras).
Dalam sebuah forum diskusi daring, saya mengajukan beberapa
pertanyaan mengenai perbedaan Ahli Agama-Agama–yang jamak kita kenal dengan
Teolog–dengan Ahli Perbandingan Agama, religionswissenschaft atau
comparative study of religion. Dari beberapa jawaban, ada yang
menyamakan kedua istilah tersebut dengan mengutip pendapat The Father of
Comparative Study of Religion, Friedrich Maxximilian Muller. Bahwa kedua
hal tersebut berangkat dari metodologi yang sama yaitu ilmu sosial.
Namun lebih dalam lagi saya menanyakan apakah konotasi dari kedua
istilah tersebut bisa bermakna positif dan negatif? Sebagai contoh saya
paparkan ketika kita hidup dalam kondisi masyarakat yang majemuk dan
heterogen–dalam menganut agama–, apakah boleh kita melakukan studi perbandingan
agama? Jangankan dalam ruang lingkup sosial masyarakat di sebuah negara, dalam
ruang lingkup terkecil sebuah masyarakat–yakni keluarga–saja seorang anak tidak
akan mau dibandingkan dengan anak yang lain.
Terlepas dari konotasi yang terkandung dalam kedua istilah atau
julukan tersebut, pada realitanya para sarjana Perbandingan Agama lebih senang
jika dijuluki sebagai Ahli Agama-Agama. Perebutan istilah ini sebenarnya sudah
dimaklumi kalau kita membaca sejarah awal tentang perkembangan studi ilmiah
agama-agama di Barat. Kajian-kajian tersebut pada akhirnya membawa premis dan
kesimpulan bahwasanya “agama-agama yang ada merupakan manifestasi yang beragam
dari hakikat metafisik yang absolut dan tunggal, dan manusia menjadikannya
wadah dalam merespon hakikat ketuhanan yang absolut tersebut”. Corak dan warna
pluralisme sudah terasa di awal pengenalan kita tentang studi agama-agama ini.
Sebenarnya perbedaan istilah ini santer terasa di awal-awal
kemunculan Studi Perbandingan Agama. Adalah Wilfred Cantwell Smith, seorang tokoh
Perbandingan Agama, yang melakukan kajiannya tersebut dengan berangkat dari dua
metode yang berbeda, historis dan teologis. Oleh karenanya banyak yang
beranggapan bahwa dia seorang teolog dan ahli perbandingan agama. Berbeda
dengan kebanyakan para ahli agama-agama atau teolog pada umumnya, yang
berangkat dari nilai teologis dari masing-masing agama yang ada–dan cendrung normatif,
dogmatis dan tekstual. Maka seorang ahli perbandingan agama harus berangkat
dari sebuah nilai yang deskriptif (tidak boleh menghakimi), value free
dan kontekstual.
Dalam kesempatan diskusi tersebut saya menyatakan sebuah keyakinan
bahwa meskipun kedua hal tersebut memiliki landasan metodologi yang berbeda di
awal perkembangannya, namun kini kedua hal tersebut memiliki tujuan dan
implikasi yang sama, yaitu pluralisme agama. Pernyataan ini terkonfirmasi dalam
buku Tren Pluralisme Agama yang ditulis oleh Anis Malik Thoha, Ph.D
bahwasanya faktor eksternal kemunculan pluralisme agama adalah adanya gerakan
kajian ilmiah terhadap agama-agama.
Pluralisme Agama
“He who knows one,
knows none [Orang yang cuma tahu satu (kebenaran agama saja), (maka
sebenarnya dia) ga tau apa-apa”.
(Friedrich Maxximilian Muller).
Pluralisme agama lahir dari doktrin pluralisme. Akar dari pluralisme
adalah nihilisme dan relativisme. Dalam pengertiannya, pluralisme mimiliki dua
definisi. Pertama adalah pengakuan akan kemajemukan dan toleran
terhadapnya. Definisi ini positif karena membawa masyarakat yang majemuk pada
sebuah sikap toleran dan saling menghargai satu sama lain. Kedua adalah
sebuah doktrin bahwa tidak ada kebenaran yang mutlak, absolut dan tunggal; dan
bahwasanya semua pendapat itu sama benarnya.
Kalau di kalangan masyarakat umum kita sering mendengar orbrolan
ringan, “Semua agama sama saja, sama-sama mengajarkan kebenaran”. Kita tentu mafhum
dan memaklumi jika yang mengatakan tersebut adalah orang awam dan tidak
memiliki latarbelakang pendidikan yang tinggi. Namun berbeda dengan kalangan
intelektual yang justru menebarkan propaganda pluralisme seperti ini, cara
menyikapinya adalah dengan bersikap kritis dan menjauhi sikap ignorant.
Ada dua “madzhab” besar dalam pluralisme agama ini; yang pertama
digagas oleh John Hick dan Wilfred Cantwell Smith dengan teori global
theology atau world theology (agama dunia), dan yang kedua digagas
oleh Fritjhof Schuon dengan teori transcendent unity of religions (kesatuan
transenden agama-agama).
Dalam menjelaskan tentang teorinya, John Hick mengadopsi teori
heliosentris yang digagas oleh Nicholas Copernicus, sehingga teori tersebut
dinamakan sebagai Copernican Revolution. Dia membuat analogi bahwa Tuhan
sebagai gambaran matahari yang menjadi pusat tata surya, di mana planet-planet–yang
dalam hal ini menjadi gambaran agama-agama–mengelilinginya, termasuk bumi. Hal
ini tentu berbeda dengan teori geosentris yang selama berabad-abad dianut oleh
otoritas gereja. Yang kalau kita analogikan dengan teori John Hick, maka
Tuhan-lah yang menaungi dan memberikan cahaya pada satu agama. Dari analogi ini
saja sudah tergambar jelas sikap tendensiusnya terhadap dogma-dogma gereja yang
dari zaman medieval philosophy (filsafat abad pertengahan) sudah
menganut teori geosentris.
Sementara Fritjhof Schuon membagi agama menjadi dua; tingkat
eksoterik (lahiriyyah/dzahiriyyah) dan esoterik (bathiniyyah).
Pada tingkatan eksoterik masing-masing agama memiliki kepercayaan dan Tuhan
masing-masing, sementara pada tingkatan esoterik semua agama menuju pada
kepercayaan dan Tuhan yang sama dan bersifat vertikal. Itulah gambaran
agama-agama menurut Schuon, yang meskipun memiliki ritual dan tampilan yang
berbeda, namun pada hakikat dan esensinya sama-sama menuju kepada Tuhan yang
sama.
“The lamps are
different, but the Light is the same [(Meskipun) lampu-lampunya
berbeda, namun Cahayanya tetap sama]”.
(John Hick)
Humanisme, Relativisme dan Nihilisme adalah Akar Pluralisme Agama
“No view is true, or that
all views are equally true [Tidak ada pendapat yang benar, atau semua
pendapat sama benarnya]”.
Ketika saya searching di google, saya dibawa ke laman Stanford(dot)edu
dengan judul makalah Relativism. Lantas dalam makalah tersebut terdapat
kutipan seorang tokoh Sophist sebagaimana yang saya kutip di atas. Untuk
menghilangkan sekat-sekat dan dogma-dogma agama, maka mereka berusaha membawa
kemajemukan sebuah masyarakat pada paham pluralisme agama dengan menggunakan
relativisme dan nihilisme, bahwa tidak ada kebenaran absolut dan tunggal dari
masing-masing agama. Sementara yang menjadi ukuran bagi segala sesuatu adalah
manusia, bukan konsep wahyu yang diajarkan dalam agama.
Arnold Toynbee, salah seorang sejarawan Inggris mengatakan, “We
can believe in our own religion without having to feel that is the soul
repository of truth. We can love without having to feel that is the sole means
of salvation [Kita dapat mengimani agama kita tanpa harus merasa bahwa
agama kita adalah tempat asal kebenaran. Kita dapat mencintai agama kita tanpa
harus merasa bahwa agama kita adalah satu-satunya jalan keselamatan]”.
Orientalisme
Segala cara dilakukan oleh mereka dengan bahasa-bahasa yang seolah
ilmiah dan simpatik, namun pada hakikatnya apa yang mereka lakukan adalah dalam
rangka mendekonstruksi bangunan agama yang telah mapan. Kalau lah agama Kristen
sudah jatuh tersungkur di hadapan zaman postmodern–setelah sebelumnya dihantam
pada zaman renaissans, maka hari ini tentu kita masih melihat upaya kaum
orientalis yang bertungkus lumus dalam menaklukkan agama Islam. Segala upaya
dikerahkan untuk menjatuhkan agama Islam, termasuk mencetak para orientalis
yang kelak akan menjadi penasehat dalam menentukan kebijakan politik mereka.
Tentu kita telah mengalaminya di zaman kolonialisme Belanda, seorang tokoh
orientalis bernama Christian Snouck Hurgronje yang menyamar sebagai seorang
muslim dan mengganti namanya menjadi Abdul Gaffar, bahkan ia pun sempat pergi
ke Mekkah untuk mempelajari Islam. Setelah segala informasi dia dapatkan, maka
ia pun menjadi penasihat pemerintah kolonial Hindia Belanda yang saat itu masih
sulit untuk menaklukkan Aceh.
“In our skeptical times
there is very little that is above criticism, and one day or other we may
expect to hear that Muhammad never existed [Pada zaman skeptis kita ini,
sangat sedikit sekali yang lepas dari kritik, dan suatu hari nanti kita mungkin
mengharapkan untuk mendengar bahwa MuḼammad tidak pernah ada]”. (Snouck
Hurgronje)
“The time has surely come to subject the text the Qur’an to the
same criticism as that to which we subject the Hebrew and Aramaic of the Jewish
Bible, and Geek of Christian scriptures [Waktunya telah tiba untuk membuat
teks Al-Qur’an dikritik sama seperti yang telah kita tujukan pada alkitab
Ibrani dan Aram dari alkitab Yahudi, dan Geek dari kitab Kristen]”. (Alphonse
Mingana).
Referensi:
Thoha, Anis Malik. Tren Pluralisme Agama. 2021. INSISTS,
Jakarta.
Kumpulan Esai. Rasional Tanpa Menjadi Liberal. 2021.
INSISTS, Jakarta.
https://insists.id/studi-agama-agama-dalam-studi-islam-dan-barat/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar