ABSTRAK
Filsafat selalu lahir dan hadir ke tengah-tengah
masyarakat karena suatu krisis dan gejolak. Krisis ini pernah melanda Eropa,
khususnya Yunani. Peradaban Yunani kuno merupakan peradaban kelam dalam sejarah
kehidupan umat manusia. Suatu peradaban di mana mitologi menjadi pegangan hidup
dan diyakini oleh masyarakat tersebut.
Dalam beberapa literatur, Yunani selalu dikisahkan
sebagai suatu negeri tempat bersemayamnya para dewa dan dewi. Anda tentu
mengenal, atau barangkali pernah mendengar nama Zeus? Ya, Zeus yang hidup dalam
mitologi Yunani disebut sebagai rajanya para dewa. Theogonia yang
merupakan buku karangan penyair kenamaan Yunani bernama Hesiodos, menceritakan
perihal asal-muasal dan lika-liku kehidupan para dewa-dewi tersebut, termasuk
menceritakan tentang konflik dan skandal-skandal di antara mereka. Zeus yang
digambarkan sebagai dewa terkuat dalam mitologi Yunani pernah mengalahkan
kekuasaan ayahnya bernama Kronos. Sementara Kronos pernah mengalahkan kekuasaan
kakeknya Zeus bernama Oranos. Zeus mengalami paranoia terhadap anaknya,
yang kelak akan melawan dan mengambil kekuasaannya. Oleh karenanya, ia pun
memakan isterinya bernama Metis yang saat itu tengah mengandung anak Zeus, yang
bernama Athena. Anda pasti bingung, bagaimana anak tersebut bisa hadir
sementara ia dan ibunya telah dimakan oleh Zeus? Diceritakan pula, bahwa suatu
saat Zeus mengalami sakit kepala yang sangat hebat, sehingga para dewa lain
membantu untuk mengobati sakitnya dengan cara membelah kepalanya. Dari
kepalanya terlahir Athena, yang sudah lengkap mengenakan pakaian kebesarannya.
Sementara nyawa si ibu tak terselamatkan.
Tak hanya konflik kekuasaan yang terjadi dalam
keluarga tersebut, Zeus pun melakukan hubungan badan dan memperkosa saudari
kandungnya (incest), bernama Hera dan Demeter. Zeus pun dikabarkan
pernah memperkosa anak hasil hubungannya dengen Demeter, bernama Persephone.
Tak cukup sampai di situ, Zeus diceritakan pernah menyamar sebagai burung elang
demi bisa menculik seorang remaja laki-laki dari bumi bernama Ganymede, lalu dia
membawanya ke singgasananya di Olimpus. Remaja laki-laki tersebut dijadikan
kekasihnya dan ditugaskan untuk melayani para dewa di Olimpus.
Anda boleh percaya, dan boleh pula menyangkalnya.
Namun pada realitanya, sosok Zeus dan para dewa-dewi dalam mitologi Yunani
pernah menjadi sosok yang dituhankan oleh masyarakat Yunani kala itu, mereka
membangun kuil peribadahan untuk para dewa tersebut.
Akal dan hati manusia manapun pasti akan merasakan bahwa hal di atas sangat jauh dari nilai-nilai rasionalitas dan nilai-nilai kemanusiaan. Sama sekali tidak masuk akal. Namun, seperti itulah mitologi yang berkembang di Yunani dan sebagian besar Eropa kala itu. Hidup dalam budaya paganisme, menjadi pertanda bagi fase kemunduran peradaban suatu umat manusia.
Kami sadar, bahwa bahan-bahan yang kami miliki untuk masuk ke dalam tema
tersebut amat sangat kurang. Karena pembahasan tersebut terkait dengan faktor
penulisan sejarah atau bersifat kronologis semata. Maka untuk lebih
mendalaminya, kami ingin melakukan sebuah komparasi atau studi banding antara
realita di dunia Barat kala itu dengan realita yang terjadi di dunia Timur,
terutama dunia Islam. Karena suatu pembahasan atau pemahaman akan lebih nampak
esensi dan definisinya tatkala iya dihadapkan dengan lawannya. Sebagaimana sya’ir
Arab menyebutkan,
فَالضِّدُّ يُظْهِرُ حُسْنَهُ الضِّدُّ وَبِضِدِّهَا تَتَبَيَّنُ الْأَشْيَاءُ
“Maka dengan adanya lawan, maka akan nampaklah kebaikan lawan tersebut. Dan dengan adanya lawan, segala sesuatu akan nampak jelas.”
Untuk itu hal pertama yang akan kami jelaskan adalah mengenai;
- Kedudukan mitos yang berkembang di suatu negeri dan kaitannya dengan penulisan sejarah.
- Kondisi sosio-kultural masyarakat Yunani yang menyebabkan lahirnya filsafat.
- Ciri khas filsafat abad pertengahan dan korelasinya dengan agama Kristen.
- Tokoh-tokoh filsafat abad pertengahan.
PEMBAHASAN
A. Mitologi
Yunani Pra-Filsafat
Sikap masyarakat terhadap sesuatu terkadang dapat
ditunjukkan dengan mitos yang berkembang, hidup, dan dipercayai oleh masyarakat
tersebut. Mitos tak melulu tentang dongeng dan khayalan semata, melainkan suatu
kisah yang dipercayai pernah hidup di tengah-tengah pendahulu mereka. Mitos
tidak dapat dibuktikan secara empiris, oleh karenanya seringkali sebuah mitos
menegasikan ilmu pengetahuan atau science. Meskipun antara mitos,
legenda, dan cerita fiksi tidak memiliki akar historis yang kuat, namun di
antara hal-hal tersebut terdapat beberapa perbedaan yang signifikan. Dongeng,
legenda, atau cerita fiksi sudah sejak awal disadari sebagai sesuatu yang tak
berdasar, dan bahkan kita dapat menemukannya dalam cerita-cerita anak pengantar
tidur, atau setidaknya dapat dijadikan sumber latihan bacaan bagi anak-anak
sekolah dasar (SD). Sementara mitos, secara tidak sadar dipercayai oleh
sebagian besar masyarakat sebagai suatu realitas yang pernah terjadi di masa
lalu dan berpengaruh pada kehidupan masyarakat saat itu ataupun setelahnya.
Dalam catatan kaki dari buku karya Dr. Tiar
Anwar Bachtiar berjudul Jas Mewah, ada sebuah kutipan yang mendukung
argumentasi beliau di atas. Analisis Freudian terhadap fenomena mitos
ini melihat bahwasanya mitos, meskipun tidak memiliki sandaran yang faktual
dalam ceritanya, namun ia memiliki fungsi penting sebagai suatu pegangan dalam
kehidupan di suatu nasyarakat yang memercayainya, antara lain sebagai suatu
cara untuk memproyeksikan apa kenyataan fisik yang tengah dihadapinya. Melalui
mitos tersebut, masyarakat tersebut membuat suatu definisi
untuk menghadapi apa yang tengah mereka hadapi. Mitos juga diantaranya
dapat dipercaya sebagai perwujudan dari alam bawah sadar manusia. Mitos juga
berfungsi sebagai suatu sistem pertahanan sosial bagi masyarakat tersebut, dan
juga berfungsi sebagai metafora atau perumpamaan.
Dalam mendudukan tentang mitos, kita harus
melihat objektivitas mitos dari sisi “sikap mental” masyarakat tersebut, bukan
pada isi dan alur dari “kisah”nya. Mitos yang berkembang pada suatu masyarakat
dapat digunakan sebagai sistem analisis untuk melihat bagaimana sikap dan
mental masyarakat terhadap sesuatu yang menjadi fokus dari mitos tersebut.
Sebagai contoh kita ambil mengenai mitos tentang Raden Kian Santang, yang
menjadi dasar bagi urang Sunda aseli (USA) dalam memahami dan
memaknai agama yang mereka anut, yaitu Islam. Proses islamisasi tatar Sunda
berlangsung secara damai. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya peninggalan
sejarah berupa artefak, candi, atau bangunan yang dahulu pernah dijadikan
tempat peribadahan masyarakat setempat atau bangunan istana para rajanya. Yang
ada hanya sedikit prasasti, babad, dan kidung. Hal ini tentunya menjadi
indikasi bahwa Islam yang datang saat itu dan termaktub dalam mitologi urang
Sunda memang telah menanamkan perannya di tengah-tengah masyarakat Sunda secara
damai dan tanpa pertumpahan darah. Oleh karenanya, Prabu Siliwangi yang
dikisahkan dalam sebuah tembang Sunda digambarkan hilang atau tenggelam dalam
sebuah hutan, atau disebut juga ngahiyang tatkala dikejar oleh puteranya
yang bernama Prabu Kian Santang. “Bade diislamkeun anjeuna alim. Diudag
puterana Prabu Kian Santang.”
Mitos tetaplah mitos, dalam perspektif
sejarah ia tak bisa dianggap sebagai sebuah fakta dan pegangan argumentasi.
Namun dari mitos tersebut kita dapat menunjukkan tentang gambaran atau realitas
suatu masyarakat terhadap ajaran yang mereka yakini tersebut. Sebagaimana
contoh pemahaman urang Sunda terhadap ajaran Islam, sehingga muncul
sebuah istilah “Islam teh Sunda, Sunda teh Islam” (Islam itu Sunda,
Sunda itu Islam). Dan saat ini terbukti, bahwa mayoritas urang Sunda
adalah pemeluk agama Islam. Pun kiranya dengan masyarakat Yunani, yang
menjadikan para dewa tersebut sebagai sesembahan mereka, dan hal ini dibuktikan
secara empiris kuil-kuil peninggalan Yunani kuno.
Seorang antropolog Indonesia bernama Prof.
Dr. Koentjaraningrat (1923-1999) mengatakan, “Kalau mau menilai kebudayaan
suatu masyarakat, maka lihatlah agamanya.” Maka bisa kita tarik kesimpulan dari
suatu premis, bahwa agama yang tersebar di suatu masyarakat itu merupakan hasil
dari kebudayaan masyarakat tersebut. Atau kalau dalam istilah syari’at, mafhum
mukhalafah (faham kebalikannya). Artinya ada korelasi antara kedua hal
tersebut. Untuk memahami ucapan Prof. Dr. Koentjaraningrat, kira-kira seperti
ini rumus premisnya:
Premis 1: P=>Q
Premis 2: Q
Kesimpulan: P
Maka sah-sah saja jika kita membuat suatu hipotesis mengenai keadaan yang terjadi di masyarakat Yunani atau masyarakat yang menganut agama paganisme, bahwa agama yang mereka anut merupakan hasil dari kebudayaan atau peradaban yang rendah dan jauh dari nilai-nilai moral kemanusian dan rasionalitas.
Plato mendefinisikan filsafat sebagai pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran asli. Dan bagi Aristoteles filsafat adalah segala usaha dalam mencari kebenaran. Kemunculan filsafat di Yunani setidaknya berdasarkan dua hal. Pertama dari suatu mitos yang berkembang di masyarakat sehingga muncul suatu sikap kritis. Kedua dari sebuah ketakjuban terhadap alam semesta sehingga mendorong pertanyaan-pertanyaan yang bersifat ulitimate question (berat bobotnya). Rasa keingintahuan yang tinggi tersebut merupakan dasar yang mendorong timbulnya filsafat. Mitos yang berkembang di Yunani menjadi penyebab munculnya sikap kritis di kalangan masyarakat mereka. Dan ketakjuban terhadap alam semesta, membuat sang bapak filsafat Thales mengajukan sebuah pertanyaan “What is the nature of the world stuff?” Pertanyaan ini lebih berbobot daripada jawaban-jawaban yang muncul setelahnya. Inilah dampak dari sebuah ketakjuban.
C. Relasi Filsafat
dan Agama Kristen di Abad Pertengahan
Filsafat pada periode ini dipengaruhi oleh
agama Kristen. Selama periode tersebut, yakni dimulai pada abad ke 3 Masehi,
filsafatnya berwatak teologis. Ciri khas filsafat abad tersebut adalah adanya
istilah credo ut intelligam, believe in order to understand,
percayalah dahulu supaya mengerti. Artinya kita wajib mempercayainya terlebih
dahulu, setelah itu akan muncul pemahaman dengan sendirinya. Kalimat tersebut
diucapkan oleh Saint Anselmus, yang merupakan seorang filsuf abad pertengahan
sekaligus uskup agung dari Canterbury.
Sebelum agama Kristen melakukan kontak dengan filsafat, mereka telah memiliki suatu dogma yang merupakan pusat doktrin dalam agama mereka, yaitu trinitas: Tuhan Bapak, Tuhan Anak, dan Tuhan Roh Kudus. Istilah trinitas ini dipopulerkan oleh Theopilus dari Antakya (Antioch). Lalu diresmikan pada pertemuan Konstantinopel pada tahun 382 M. Konsep tentang tiga realitas ini kemudian diikuti oleh Plotinus dalam mengembangkan konsep filsafatnya, yaitu: The One, The Mind, dan The Soul. Pada zaman Plotinus, konsep trinitas Kristen masih dalam proses pembentukannya, karena mereka para teolog Kristen mengambil sumbernya dari kitab suci mereka yang jelas-jelas tidak menyebutkan secara eksplisit tentang trinitas.
D. Tokoh-Tokoh
Filsafat Abad Pertengahan dan Gagasannya
Berikut akan kami kutipkan tokoh-tokoh filsafat abad
pertengahan beserta sedikit dari gagasan-gagasan mereka.
1. Plotinus (204-270
M)
Plotinus lahir di Mesir, oleh karenanya ketika
membahas tentang Filsafat Barat Abad Pertengahan namanya tidak masuk
dalam tokoh kunci filsafat periode tersebut. Namun, nama dan ajarannya cukup
dikenal di kalangan filsuf Barat, bahkan ia pun meninggal di Italia.
Salah satu konsep ajaran Plotinus yang terkenal adalah
tentang tiga realitas: The One, The Mind, dan The Soul. The
One artinya adalah Tuhan menurut pandangannya, suatu realitas yang tidak
mungkin dapat dipahami melalui metode sains dan logika. Ia bersifat transendens,
atau dalam bahasa Arabnya غير محدود,
tak terbatas. Manusia tak mungkin mengetahui esensinya, dan Tuhan tak dapat
didefinisikan. The Mind adalah pikiran yang tinggi, yang mana untuk mencapai
dan menghayatinya harus melewati permenungan. The Soul adalah realitas
ketiga dari konsep filsafat Plotinus, yang di dalamnya terkandung nilai
intelektual dan irasional.
Teori tentang tiga realitas yang diajukan oleh Plotinus sulit untuk dipahami dengan akal logis, terlebih lagi tentang tiga realitas dalam konsep teologi Kristen yang menggambarkan tentang Tuhan 1=3 dan 3=1. “Apabila orang Barat menghendaki agama yang dapat memberi perasaan kuat dalam mencari kemajuan dan kesadaran kepada harga diri sendiri, tinggalkanlah agama yang mengajarkan bahwa manusia itu lahir ke dunia dengan membawa dosa, dan dia harus meminta pengampunan dengan perantaraan wakil-wakil Tuhan di atas dunia ini. Agama yang memaksa otak manusia membenarkan 1=3 dan 3=1. Ambillah agama Islam yang dengan sempurna mengesakan Tuhan.” (Mohammad Natsir).
2.
Augustinus
(354-430M)
Augustinus lahir di Numidia (sekarang Aljazair). Ia memegang jabatan sebagai pembantu uskup di daerah Hippo (salah satu daerah di Aljazair). Menurut Augustinus, Tuhan itu ditemukan dengan rasa atau intuisi, bukan dengan proses pemikiran atau logika. Tuhan baginya adalah suatu kebenaran yang abadi. Tuhan bagi Augustinus diposisikan sebagai guru tatkala manusia ingin mencari kebenaran. Jadi teori pengetahuan pada Augustinus adalah teori pengetahuan yang membutuhkan pencerahan ilahiah. Pemikiran itu bukanlah pencapaian tertinggi seorang manusia, yang tertinggi adalah pencerahan ilahiah. Dalam memandang tentang ilmu astronomi, ia memiliki anggapan yang sama dengan umumnya kaum gerejawan, yaitu beranggapan bahwa bumi merupakan pusat tata surya atau geosentris. Pengetahuan alam yang ia miliki bercorak supranatural.
3.
Boethius
(480-524 M)
Memiliki nama lengkap Anicius Manlius Severinus Boethius, lahir di kota Roma Italia pada tahun 480 Masehi. Ada riwayat yang menyebutkan ia lahir di tahun 470 atau 475 Masehi. Ayahnya adalah seorang konsul pada tahun 487. Konsul adalah jabatan politik tertinggi pada masa Romawi. Dan kakeknya adalah penjaga Praetorian, mungkin semacam aparat keamanan tertinggi di zaman Romawi. Ia dihukum mati atas perintah Valentinian III karena dianggap sebagai pengkhianat bagi kekaisaran Romawi. Filsafat yang ditawarkan oleh Boethius bersifat teologis. Baginya, filsafat adalah cinta dan pengejaran tentang kearifan. Dan kearifan atau kebijaksanaan itu ia bawa kepada suatu pencarian tentang Tuhan. Menurut dia hal itulah yang akan membawa seseorang ke dalam kekuatan dan kemurnian sifat sejati mereka.
4.
Johannes Scotus Eriugena (815-877 M)
Ia lahir di Irlandia. Dan lebih dikenal sebagai seorang teolog ketimbang
filsuf. Namun dalam buku yang kami miliki berjudul Medieval Philosophy, ia
masuk dalam daftar filsuf abad pertengahan. Namun hal ini amat penting kami
sampaikan, untuk mendukung anggapan kami bahwa corak filsafat abad ini memang
bersifat teologis.
Johannes merupakan seorang sarjana Yunani, dan ia terpengaruh dengan
ajaran Plato dan Aristoteles. Filsafat yang dibawakan oleh Johannes terjalin
dengan teologinya, sehingga semua pembahasannya mengenai manusia dan alam
memiliki dasar ketuhanan dalam setiap pembahasannya. Berikut sedikit kutipan
yang menjadi gambaran bagi filsafatnya, “Saya melakukan perkerjaan saya
terlebih dahulu untuk Tuhan, yang berfirman: Mintalah, dan Dia akan memberimu,
carilah, dan kamu akan menemukan-Nya, dan di samping kamu ada saudara dalam
Kristus. Biarkan setiap orang menggunakan akal yang dia miliki sampai cahaya
itu datang dan mengusir kegelapan dari orang-orang yang berfilsafat dengan cara
yang salah dan tidak layak.”
5.
Anselmus
(1033-1109 M)
Anselmus lahir di Aosta, Italia. Seluruh kehidupannya dipenuhi oleh
kepatuhan kepada Gereja. Pada tahun 1093 ia menjadi uskup agung Canterbury dan
ikut ambil bagian dalam perselisihan antara golongan pendeta dan orang-orang
sekular.
Anselmus mengeluarkan pernyataan credo ut intelligam.
Ungkapan itu mempunyai arti, percaya agar mengerti (believe in order to
understand) atau lebih sederhananya, percayalah lebih dulu supaya mengerti.
Dari ungkapan tersebut, Anselmus mengatakan bahwa wahyu harus diterima lebih
dulu sebelum mulai berpikir. Pernyataan Anselmus ini dapat dianggap ciri utama
filsafat abad pertengahan.
Dalam membuktikan adanya
Tuhan, Anselmus menjelaskan bahwa semua konsep adalah
relatif. Menurut pendapatnya, makhluk terbatas ini tidaklah
menciptakan dirinya sendiri, mereka memerlukan pencipta, dan itu
adalah Tuhan. Selain itu, Anselmus sering kali menyatakan bahwa ia
tidak perlu tahu tentang Tuhan. Ia telah beriman kepada Tuhan. I believe, that unless I believe, I should not understand.
Singkatnya, kata
Anselmus, bila kita berpikir tentang Yang Mahabesar, kita berpikir
tentang Tuhan. Mengenai sifat Tuhan, Anselmus menyebutkan Tuhan
bersifat esa, kekal, baik, dan sempurna. Tuhan tidak berada
di dalam ruang dan waktu, tetapi segala sesuatu berada di dalam
Tuhan. Teori pengetahuan Anselmus menyatakan bahwa pengetahuan dimulai
dari penginderaan, lalu terbentuklah pengetahuan akliah, terakhir
adalah menangkap kebesaran Tuhan melalui jalur mistik.
Kebaikan tertinggi bagi manusia ialah perenungan tentang kebesaran Tuhan. Selanjutnya ia mengatakan bahwa kita selalu dalam kurungan selama kita masih dibimbing oleh nafsu duniawi dan selama kita masih terikat pada keinginan-keinginan jasmani.
6.
Thomas Aquinas (1225-1274 M)
Thomas Aquinas lahir di Roccaseca, Italia, pada tahun 1225. Aquinas
memancarkan seluruh babakan pemikiran abad pertengahan. Melalui gurunya, Albertus
Magnus, Aquinas belajar tentang alam, dan dapat disaksikan dalam filsafatnya
lebih empiris daripada pandangan orang-orang yang diikutinya.
Pandangannya tentang pengetahuan dipengaruhi oleh keyakinannya
bahwa Tuhan adalah awal dan akhir segala kebijakan. Kita, katanya, tidak dapat
menjelaskan masalah penciptaan berdasarkan hukum kausalitas. Akan tetapi, dalam
argumennya ia menggunakan prinsip kausalitas itu. Di sini kausalitas dianggap
sebagai hukum yang berasal dari Yang Mahatinggi. Secara singkat alam semesta
ini dalam pandangan Aquinas dibagi ke dalam lima kelas: realitas anorganis,
realitas animal, realitas manusia, realitas malaikat, dan realitas Tuhan.
Semua realitas itu dibimbing oleh Tuhan. Tanpa bimbingan Tuhan,
manusia tidak mengetahui apa-apa. Salah satu usahanya yang dilakukan dengan
penuh ketekunan ialah memberantas kekafiran. Dalam hal ini ia banyak
menggunakan pendapat orang Arab, tetapi ia tidak dapat menerima pemikiran orang
Arab itu.
Menurut Aquinas, eksistensi Tuhan dapat diketahui dengan akal. Untuk membuktikan pendapatnya ini ia mengajukan lima dalil (argumen) seperti yang diringkaskan berikut ini:
- Argumen pertama, diangkat dari sifat alam yang selalu bergerak.
- Argumen kedua, disebut sebab yang mencukupi (efficient cause).
- Argumen ketiga, argument kemungkinan dan keharusan (possibility and necessity).
- Argumen keempat, memperhatikan tingkatan yang terdapat pada alam ini.
- Argumen kelima, berdasarkan keteraturan alam.
Argumen-argumen ini sangat terkenal pada abad pertengahan. Namun, kelima
argumen ini tidak ada yang dapat meyakinkan kita tentang adanya Tuhan. Aquinas
berpendapat bahwa Tuhan menciptakan alam semesta dari tiada, sekaligus, jadi
berlawanan dengan teori Darwin. Dalam mencipta itu Tuhan tidak dipengaruhi oleh
apa pun, karena itu ia tidak memerlukan penciptaan secara evolusi.
Menurut Aquinas, tujuan diciptakannya alam semesta ini adalah untuk
memperlihatkan kebaikan Tuhan. Melalui penciptaan itu Tuhan bermaksud memperlihatkan
kesempurnaan-Nya, kemahakuasaan-Nya.
Salah satu kutipan ucapan Thomas Aquinas yang mencirikan filsafatnya lebih dominan kepada hati daripada akal adalah seperti berikut ini, “Orang yang beriman tidak butuh penjelasan. Orang yang tidak beriman tidak mungkin menerima penjelasan.”
PENUTUP
Periode
abad pertengahan dimulai ketika wilayah bekas kekuasaan kerajaan Romawi Barat
mulai bersatu pada abad ke-5 M. Zaman kegelapan atau dark age muncul
setelah kawasan Eropa mengalami stagnasi atau bahkan kemunduran akibat dari
kuatnya posisi gereja di segala bidang kehidupan masyarakat Eropa saat itu.
Tidak ada satupun masyarakat yang diperbolehkan menyebarkan pengaruhnya
melebihi pengaruh gereja. Oleh karenanya pada masa ini tidak banyak
menghasilkan tokoh-tokoh berpengaruh, terutama untuk perkembangan ilmu
pengetahuan modern. Abad Pertengahan juga sering diartikan sebagai periode
kekuasaan agama. Segala hal yang tidak berhubungan dengan agama dianggap
melanggar hukum. Hal itu semakin menghambat perkembangan ilmu pengetahuan
empiris dan teori-teori baru. Masyarakat hanya mengandalkan teori lama yang
diperbolehkan oleh gereja.
Hal ini tentu berbanding 180 derajat dengan kondisi di belahan bumi
bagian Timur, tepatnya di wilayah Islam. Fungsi akal sangat dihargai oleh
Islam, namun tidak sampai mendominasi jalan hidup mereka sehingga agama
ditinggalkan dan mereka mengambil materialisme dan atheisme. Para filsuf muslim
tidak meninggalkan keimanan mereka terhadap Allah, karena memang dasar dari
kitab suci mereka yaitu Al-Qur’an -dalam beberapa kesempatan- sangat menghargai
fungsi akal, tidak seperti kitab suci Kristen yang memang tidak memberi tempat
bagi akal. Hal tersebut terulang-ulang dalam Al-Qur’an sebagaimana contoh
berikut: Tentang kewajiban mempotensikan akal ada di surat Al-Baqarah:
44&76 dan surat Alu Imran: 65. Tentang perintah berfikir, ada di surat
Al-A’raf: 176, surat Yunus: 24, surat Ar-Ra’du: 3, dan surat An-Nahl: 11.
Kalaulah selama ini Eropa mengalami masa-masa kelam pada abad pertengahan, hal ini berbanding terbalik dengan satu wilayah kecil di Eropa bernama Andalusia (sekarang Spanyol). Di bawah kekuasaan Islam, peradaban mereka sangat maju kala itu. Orang-orang Eropa menjuluki mereka sebagai Saracen (orang Arab yang tinggal di tanah Eropa). Cordoba atau dalam bahasa Arabnya Al-Qurthubah, merupakan pusat pendidikan dan peradaban Islam di tanah Eropa.
Mengenai ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad, Frederick Denison Maurice memujinya setinggi langit dengan mengatakan, “Ucapan dan perbuatannya membawa moral dari sejarah sebelumnya. Muhammad memproklamirkan Tuhan yang sebenarnya kepada manusia yang sebelumnya berdebat mengenai eksistensi Tuhan. Muhammad memberi penegasan bahwa manusia harus tunduk kepada aturan Tuhan. Itu adalah pernyataan yang luar biasa. Filsafat menyusut dan mengerut di hadapannya. Semua spekulasi etis disimpulkan oleh satu dalil, bahwa perintah Tuhan harus dipatuhi, semua spekulasi metafisik dibungkam oleh teriakan tersebut. Manusia diutus untuk menegakkan kekuasaan-Nya di bumi. Ketuhanan Kristen tampak terhuyung oleh pesan tersebut.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar