HERMENEUTIKA: UPAYA DESAKRALISASI AL-QUR'AN DAN DEKONSTRUKSI KEMAPANAN WAHYU DAN KENABIAN

Al-Qur’an merupakan wahyu dari Allah, dan merupakan kalaamullah (perkataan Allah), bukan makhluk. Sifat kalaam merupakan salah satu dari sekian sifat-sifat Allah. Oleh karenya sifat Allah itu bukan makhluk, karena logikanya sifat adalah hal yang melekat pada diri pemiliknya. Dalil yang menunjukkan bahwa Al-Qur’an merupakan kalaamullah ada dalam Al-Qur’an surat At-Taubah ayat ke 6,

وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلَامَ اللهِ

“Dan jika seseorang di antara orang-orang musyrik itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar kalam (perkataan) Allah.”

Allah menurunkan wahyu-Nya kepada para Nabi, dan wahyu yang Allah turunkan bukanlah hasil interpretasi dari para Nabi tersebut, sebagaimana yang dituduhkan oleh kaum orientalis dan kaum liberal. Allah berfirman dalam surat An-Nisa ayat ke 163,

إِنَّاۤ أَوۡحَیۡنَاۤ إِلَیۡكَ كَمَاۤ أَوۡحَیۡنَاۤ إِلَىٰ نُوح وَٱلنَّبِیِّـۧنَ مِنۢ بَعۡدِهِۦۚ وَأَوۡحَیۡنَاۤ إِلَىٰۤ إِبۡرهِیمَ وَإِسۡمَـٰعِیلَ وَإِسۡحَـٰقَ وَیَعۡقُوبَ وَٱلۡأَسۡبَاطِ وَعِیسَىٰ وَأَیُّوبَ وَیُونُسَ وَهَـٰرُونَ وَسُلَیۡمَـٰنَۚ وَءَاتَیۡنَا دَاوُۥدَ زَبُورا

“Sesungguhnya Kami mewahyukan kepadamu (Muhammad) sebagaimana Kami telah mewahyukan kepada Nuh, dan nabi-nabi setelahnya, dan Kami telah mewahyukan (pula) kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub, dan anak cucunya; Isa, Ayub, Yunus, Harun dan Sulaiman. Dan Kami telah memberikan Kitab Zabur kepada Dawud.”

Menurut kalangan orientalis Barat, wahyu itu bukan firman Tuhan yang utuh, melainkan telah diinterpretasikan ulang oleh para Nabi, manusia. Lantas wahyu tersebut juga diinterpretasikan oleh murid-murid mereka.

Sebelum lebih jauh membahas tentang hal tersebut, ada baiknya kita harus mengetahui tentang definisi hermeneutika. Hermeneutika menurut rangkuman yang saya dapatkan dari Dr. Nashruddin Syarief M.Pd.I adalah, “Ilmu interpretasi atau teori pemahaman. Yakni ilmu yang menjelaskan tentang tata cara penerimaan wahyu sejak dari tingkat perkataan sampai ke tingkat dunia.” Singkatnya, hermeneutika adalah sebuah ilmu yang mempelajari proses transformasi wahyu dari pikiran dan kalaam Tuhan sampai kepada kehidupan manusia.

Kata hermeneutika ini pada asalnya diambil dari nama dewa Hermes dalam mitologi Yunani, yang dipercayai sebagai pembawa pesan para dewa kepada manusia. Maka hermeneutika dijadikan alat untuk menafsirkan mitologi yang berkembang di Yunani, dan pada akhirnya dijadikan alat untuk menafsirkan dan menjelaskan tentang Al-Kitab dalam agama Kristen. Serangan terhadap Kristen ini membuat mereka menyerah dan harus menyesuaikan dengan pandangan baru masyarakat Barat yang sekuler.

Tatkala hermeneutika dijadikan sebagai alat untuk menginterpretasikan Al-Qur’an, maka mereka memulai dengan cara atau pendekatan-pendekatan bahwa Al-Qur’an harus difahami bukan dari teksnya saja, melainkan konteksnya, baik konteks dari ayat-ayat yang termaktub dalam Al-Qur’an, konteks masalah, dan lain-lain. Inilah yang disebut kontekstualisasi Al-Qur’an. Seiring dengan perkembangan pemikiran hermeneutika di Barat, teori hermeneutika Al-Qur’an pun mengalami perkembangan sehingga bukan hanya membahas tentang kontekstualisasi ayat-ayat Al-Qur’an saja, bahkan sampai kepada kesimpulan-kesimpulan yang ekstrim yang sampai menggugat kemapanan Al-Qur’an dengan menganggap bahwa Al-Qur’an merupakan produk budaya manusia atau muntaaj ats-tsaqofiy. Seorang penulis, Edi Mulyono berkata dalam bukunya Belajar Hermeneutika, “Saat ini diperlukan paradigm baru yang tidak bisa melepaskan Al-Qur’an sebagai produk budaya manusia dalam menangkap keberadaan Tuhan. Inilah yang disebut Al-Qur’an komunikatif, di mana manusia diberi ruang kebebasan dalam menafasirkannya, terlepas dari adi prasangka Al-Qur’an yang terlanjur sudah dianggap Mahasuci, bahkan anti-kritik.”

Pandangan ekstrim di atas merupakan paraphrase atau bahkan plagiasi dari para pemikir-pemikir liberal yang diusung oleh tokoh hermeneutika asal Mesir bernama Nasr Hamid Abu Zaid. Ia menyatakan, “Teks pada hakikat dan substansinya adalah produk budaya dan bahwa itu merupakan satu aksioma yang tidak memerlukan pembuktian.” Pendapat-pendapat Abu Zaid ini dipungut sedemikian rupa oleh kalangan intelektual dan sivitas akademika di beberapa kampus Islam di Indonesia tanpa sedikit pun sikap kritis. Pernyataan Abu Zaid yang lain dan tak kalah kontroversialnya adalah sebagai berikut, “Al-Qur’an adalah bahasa manusia. Perubahan teks ilahi menjadi teks manusiawi.” Dan “Kalau menganggap Al-Qur’an adalah wahyu, maka kita terjebak pada alam dogmatis.”

Di samping Nasr Hamid Abu Zaid, ada juga tokoh liberal dari Al-Jazair yang memberikan pernyataan senada dan tak kalah ekstrim dengan pernyataan Abu Zaid, yaitu Mohammed Arkoun, “Al-Qur’an adalah produk sejarah. Ia hanyalah hasil sosial dan budaya yang dijadikan tak terpikirkan disebabkan semata-mata pemaksaan penguasa resmi.” Arkoun juga menyatakan bahwa wahyu hanya dapat diketahui oleh manusia melalui edisi dunia yang telah mengalami modifikasi. Hal-hal kontroversial di atas sejatinya hanya akan mendekonstruksi kemapanan Al-Qur’an, dan menyebabkan desakralisasi Al-Qur’an.

Pada tahun 2004, IAIN Yogyakarta (sekarang UIN Sunan Kalijaga) meluluskan sebuah tesis master yang kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan. Dikatakan, “Dengan kata lain, mushhaf itu tidak sakral dan absolut, melainkan profane dan fleksibel. Yang sakral dan absolut hanyalah pesan Tuhan yang terdapat di dalamnya, yang masih dalam proses pencarian. Karena itu, kini kita diperkenankan bermain-main dengan mushhaf tersebut, tanpa ada beban sedikit pun, beban sakralitas yang melingkupi perasaan dan pikiran kita.”

Akibat pemahaman yang keliru terhadap Al-Qur’an ini, terjadi berkali-kali polemik dan kontroversi yang dilakukan oleh sivitas akademika IAIN. Sebutlah kala itu di IAIN Surabaya (sekarang UIN Sunan Ampel), seorang dosen yang mengajar mata kuliah Sejarah Peradaban Islam bernama Sulhawi Ruba mendemontrasikan perkuliahan saat itu di hadapan mahasiswa Fakultas Dakwah dengan cara menginjak lafazh Allah di secarik kertas yang ia tuliskan sendiri. Hal ini ia lakukan untuk membuktikan bahwa Al-Qur’an itu bukanlah sesuatu yang sakral. Ia menjelaskan bahwa status dan posisi Al-Qur’an hanyalah hasil budaya dan karya tulis manusia. Ia mengatakan dengan sadar, “Sebgai budaya, posisi Al-Qur’an tidak berbeda dengan rumput.” Ia juga menambahkan, “Al-Qur’an dipandang sakral secara substansi, tapi tulisannya tidak sakral,” katanya setengah berteriak dan mata melotot. Masih menurutnya pula, bahwa Al-Qur’an sebagai kalaamullah adalah makhluk, sedangkan mushhafnya adalah hasil budaya, karena bahasa Arab, huruf-huruf hijaiyyah, dan kertasnya merupakan hasil karya cipta manusia. “Sebagai budaya, Al-Qur’an tidak sakral. Yang sakral adalah kalaamullah secara substantif.”

Dari hasil pemikirannya tersebut, maka tak terhitung banyaknya hasil “ijtihaad” yang dihasilkan oleh Nasr Hamid Abu Zaid. Sebut saja mengenai pandangannya tentang perilaku homoseksualitas. Ia mengatakan, “I became more aware of homosexuality as a natural phenomenon.” (Saya menjadi sadar bahwa homoseksualitas adalah fenomena yang alami). Kemudian dengan pemahamannya tersebut, ia mempertanyakan tentang Al-Qur’an, “Will Islam ever accept homosexuality as anything other than aberrant? Not until we have real revolution –a change in the way we think about the Qur’an in conjunction with our lives.” (Apakah Islam selalu menerima homoseksual selain sebagai perilaku yang menyimpang? Tidak [pernah berubah pandangan semacam ini], kecuali kita melakukan revolusi yang nyata –suatu perubahan cara berpikir kita tentang Al-Qur’an dalam hubungannya dengan kehidupan kita). Bahkan saking terkagumnya dengan pelaku homoseksual, ia pun menuliskan, “I liked many of them and even grew to admire some of them. I never was able to write about this experience in Egypt.” (Saya menyukai kebanyakan dari mereka, dan bahkan mulai mengagumi mereka. Saya tidak akan pernah bisa menuliskan tentang pengalaman ini di Mesir). Ya, karena di negara asalnya dia sudah diajukan “murtad” ke Mahkamah Syariah atas segala pernyataan-pernyataannya. Selain tentang homoseksualitas, banyak sekali pandangan Abu Zaid yang kontroversial seperti tentang feminisme.

Fenomena kegenitan intelektual sudah menjadi sebuah tren di kalangan kaum intelektual Islam di Indonesia. Berawal dari sebuah penyakit mental bernama inferiority complex atau rasa minder dan rendah diri terhadap identitas agamanya, ditambah tatkala mereka silau melihat peradaban Barat dan apapun yang didapatkan dari Barat. Mungkin mereka lupa, bahwa Barat pernah mengalami masa-masa kegelapan tatkala dogma-dogma gereja mendominasi kehidupan mereka, dan fungsi akal dikekang oleh otoritas gereja. Hal ini sangat berbanding terbalik dengan Islam, yang sangat menghargai fungsi akal. Maka menawarkan ideologi-ideologi lain atau bahkan teori-teori lain dalam melakukan interpretasi terhadap sumber-sumber Islam tersebut, sama saja dengan mereka sedang membuang ludah ke atas mukanya.

“Agama datang membangunkan akal dan membangkitkan akal itu serta menggemarkan agar manusia memakai akalnya dengan sebaik-baiknya sebagai suatu nikmat Ilahi yang Maha Indah. Agama datang mengalirkan akal menurut aliran yang benar, jangan melantur kesana kemari, merompak pagar dan pematang. Islam datang bukan melepaskan akal sebagai kita melepaskan kuda di tengah padang, untuk merajalela di semua lapangan. Dalam beberapa hal Islam bertindak sebagai supplement dari akal, menyambung kekuatan akal di mana si akal tak dapat mencapai lebih tinggi lagi. Seseorang yang mendakwakan bahwa akal itu bisa mencapai semua kebenaran, pada hakikatnya, bukanlah sebenar-benarnya orang yang telah mempergunakan akalnya dan bukanlah seseorang yang akalnya merdeka dari hawa-nafsu congkak dan takabur, tetapi yang terikat oleh salah satu macam taklidisme modern yang bernama..., rasionalisme! (Mohammad Natsir, Islam dan Akal Merdeka)



DAFTAR PUSTAKA

Bachtiar, Tiar Anwar. (2017). Pertarungan Pemikiran Islam di Indonesia. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Shalahuddin, Henri. (2007). Al-Qur’an Dihujat. Jakarta: Al-Qalam Gema Insani Press.

Natsir, Mohammad. (2018). Islam dan Akal Merdeka. Bandung: Sega Arsy.

Hasil rangkuman dari perkuliahan SPI Bandung yang diisi oleh Dr. Nashruddin Syarief M.Pd.I

Share:

1 komentar:

Definition List

Definition list
Consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua.
Lorem ipsum dolor sit amet
Consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua.

Theme Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.
Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

Ordered List

  1. Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.
  2. Aliquam tincidunt mauris eu risus.
  3. Vestibulum auctor dapibus neque.

Recent Posts

Unordered List

  • Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.
  • Aliquam tincidunt mauris eu risus.
  • Vestibulum auctor dapibus neque.

Sample Text

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua.

Pages

Theme Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.