FILSAFAT BARAT ABAD PERTENGAHAN DITINJAU DARI PERSPEKTIF KETIMURAN

ABSTRAK

Filsafat selalu lahir dan hadir ke tengah-tengah masyarakat karena suatu krisis dan gejolak. Krisis ini pernah melanda Eropa, khususnya Yunani. Peradaban Yunani kuno merupakan peradaban kelam dalam sejarah kehidupan umat manusia. Suatu peradaban di mana mitologi menjadi pegangan hidup dan diyakini oleh masyarakat tersebut.

Dalam beberapa literatur, Yunani selalu dikisahkan sebagai suatu negeri tempat bersemayamnya para dewa dan dewi. Anda tentu mengenal, atau barangkali pernah mendengar nama Zeus? Ya, Zeus yang hidup dalam mitologi Yunani disebut sebagai rajanya para dewa. Theogonia yang merupakan buku karangan penyair kenamaan Yunani bernama Hesiodos, menceritakan perihal asal-muasal dan lika-liku kehidupan para dewa-dewi tersebut, termasuk menceritakan tentang konflik dan skandal-skandal di antara mereka. Zeus yang digambarkan sebagai dewa terkuat dalam mitologi Yunani pernah mengalahkan kekuasaan ayahnya bernama Kronos. Sementara Kronos pernah mengalahkan kekuasaan kakeknya Zeus bernama Oranos. Zeus mengalami paranoia terhadap anaknya, yang kelak akan melawan dan mengambil kekuasaannya. Oleh karenanya, ia pun memakan isterinya bernama Metis yang saat itu tengah mengandung anak Zeus, yang bernama Athena. Anda pasti bingung, bagaimana anak tersebut bisa hadir sementara ia dan ibunya telah dimakan oleh Zeus? Diceritakan pula, bahwa suatu saat Zeus mengalami sakit kepala yang sangat hebat, sehingga para dewa lain membantu untuk mengobati sakitnya dengan cara membelah kepalanya. Dari kepalanya terlahir Athena, yang sudah lengkap mengenakan pakaian kebesarannya. Sementara nyawa si ibu tak terselamatkan.

Tak hanya konflik kekuasaan yang terjadi dalam keluarga tersebut, Zeus pun melakukan hubungan badan dan memperkosa saudari kandungnya (incest), bernama Hera dan Demeter. Zeus pun dikabarkan pernah memperkosa anak hasil hubungannya dengen Demeter, bernama Persephone. Tak cukup sampai di situ, Zeus diceritakan pernah menyamar sebagai burung elang demi bisa menculik seorang remaja laki-laki dari bumi bernama Ganymede, lalu dia membawanya ke singgasananya di Olimpus. Remaja laki-laki tersebut dijadikan kekasihnya dan ditugaskan untuk melayani para dewa di Olimpus.

Anda boleh percaya, dan boleh pula menyangkalnya. Namun pada realitanya, sosok Zeus dan para dewa-dewi dalam mitologi Yunani pernah menjadi sosok yang dituhankan oleh masyarakat Yunani kala itu, mereka membangun kuil peribadahan untuk para dewa tersebut.

Akal dan hati manusia manapun pasti akan merasakan bahwa hal di atas sangat jauh dari nilai-nilai rasionalitas dan nilai-nilai kemanusiaan. Sama sekali tidak masuk akal. Namun, seperti itulah mitologi yang berkembang di Yunani dan sebagian besar Eropa kala itu. Hidup dalam budaya paganisme, menjadi pertanda bagi fase kemunduran peradaban suatu umat manusia.

Kami sadar, bahwa bahan-bahan yang kami miliki untuk masuk ke dalam tema tersebut amat sangat kurang. Karena pembahasan tersebut terkait dengan faktor penulisan sejarah atau bersifat kronologis semata. Maka untuk lebih mendalaminya, kami ingin melakukan sebuah komparasi atau studi banding antara realita di dunia Barat kala itu dengan realita yang terjadi di dunia Timur, terutama dunia Islam. Karena suatu pembahasan atau pemahaman akan lebih nampak esensi dan definisinya tatkala iya dihadapkan dengan lawannya. Sebagaimana sya’ir Arab menyebutkan,

فَالضِّدُّ يُظْهِرُ حُسْنَهُ الضِّدُّ وَبِضِدِّهَا تَتَبَيَّنُ الْأَشْيَاءُ

“Maka dengan adanya lawan, maka akan nampaklah kebaikan lawan tersebut. Dan dengan adanya lawan, segala sesuatu akan nampak jelas.”

Untuk itu hal pertama yang akan kami jelaskan adalah mengenai;

  1. Kedudukan mitos yang berkembang di suatu negeri dan kaitannya dengan penulisan sejarah.
  2. Kondisi sosio-kultural masyarakat Yunani yang menyebabkan lahirnya filsafat.
  3. Ciri khas filsafat abad pertengahan dan korelasinya dengan agama Kristen.
  4. Tokoh-tokoh filsafat abad pertengahan.

PEMBAHASAN

A.    Mitologi Yunani Pra-Filsafat

Sikap masyarakat terhadap sesuatu terkadang dapat ditunjukkan dengan mitos yang berkembang, hidup, dan dipercayai oleh masyarakat tersebut. Mitos tak melulu tentang dongeng dan khayalan semata, melainkan suatu kisah yang dipercayai pernah hidup di tengah-tengah pendahulu mereka. Mitos tidak dapat dibuktikan secara empiris, oleh karenanya seringkali sebuah mitos menegasikan ilmu pengetahuan atau science. Meskipun antara mitos, legenda, dan cerita fiksi tidak memiliki akar historis yang kuat, namun di antara hal-hal tersebut terdapat beberapa perbedaan yang signifikan. Dongeng, legenda, atau cerita fiksi sudah sejak awal disadari sebagai sesuatu yang tak berdasar, dan bahkan kita dapat menemukannya dalam cerita-cerita anak pengantar tidur, atau setidaknya dapat dijadikan sumber latihan bacaan bagi anak-anak sekolah dasar (SD). Sementara mitos, secara tidak sadar dipercayai oleh sebagian besar masyarakat sebagai suatu realitas yang pernah terjadi di masa lalu dan berpengaruh pada kehidupan masyarakat saat itu ataupun setelahnya.

Dalam catatan kaki dari buku karya Dr. Tiar Anwar Bachtiar berjudul Jas Mewah, ada sebuah kutipan yang mendukung argumentasi beliau di atas. Analisis Freudian terhadap fenomena mitos ini melihat bahwasanya mitos, meskipun tidak memiliki sandaran yang faktual dalam ceritanya, namun ia memiliki fungsi penting sebagai suatu pegangan dalam kehidupan di suatu nasyarakat yang memercayainya, antara lain sebagai suatu cara untuk memproyeksikan apa kenyataan fisik yang tengah dihadapinya. Melalui mitos tersebut, masyarakat tersebut membuat suatu  definisi  untuk menghadapi apa yang tengah mereka hadapi. Mitos juga diantaranya dapat dipercaya sebagai perwujudan dari alam bawah sadar manusia. Mitos juga berfungsi sebagai suatu sistem pertahanan sosial bagi masyarakat tersebut, dan juga berfungsi sebagai metafora atau perumpamaan.

Dalam mendudukan tentang mitos, kita harus melihat objektivitas mitos dari sisi “sikap mental” masyarakat tersebut, bukan pada isi dan alur dari “kisah”nya. Mitos yang berkembang pada suatu masyarakat dapat digunakan sebagai sistem analisis untuk melihat bagaimana sikap dan mental masyarakat terhadap sesuatu yang menjadi fokus dari mitos tersebut. Sebagai contoh kita ambil mengenai mitos tentang Raden Kian Santang, yang menjadi dasar bagi urang Sunda aseli (USA) dalam memahami dan memaknai agama yang mereka anut, yaitu Islam. Proses islamisasi tatar Sunda berlangsung secara damai. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya peninggalan sejarah berupa artefak, candi, atau bangunan yang dahulu pernah dijadikan tempat peribadahan masyarakat setempat atau bangunan istana para rajanya. Yang ada hanya sedikit prasasti, babad, dan kidung. Hal ini tentunya menjadi indikasi bahwa Islam yang datang saat itu dan termaktub dalam mitologi urang Sunda memang telah menanamkan perannya di tengah-tengah masyarakat Sunda secara damai dan tanpa pertumpahan darah. Oleh karenanya, Prabu Siliwangi yang dikisahkan dalam sebuah tembang Sunda digambarkan hilang atau tenggelam dalam sebuah hutan, atau disebut juga ngahiyang tatkala dikejar oleh puteranya yang bernama Prabu Kian Santang. “Bade diislamkeun anjeuna alim. Diudag puterana Prabu Kian Santang.”

Mitos tetaplah mitos, dalam perspektif sejarah ia tak bisa dianggap sebagai sebuah fakta dan pegangan argumentasi. Namun dari mitos tersebut kita dapat menunjukkan tentang gambaran atau realitas suatu masyarakat terhadap ajaran yang mereka yakini tersebut. Sebagaimana contoh pemahaman urang Sunda terhadap ajaran Islam, sehingga muncul sebuah istilah “Islam teh Sunda, Sunda teh Islam” (Islam itu Sunda, Sunda itu Islam). Dan saat ini terbukti, bahwa mayoritas urang Sunda adalah pemeluk agama Islam. Pun kiranya dengan masyarakat Yunani, yang menjadikan para dewa tersebut sebagai sesembahan mereka, dan hal ini dibuktikan secara empiris kuil-kuil peninggalan Yunani kuno.

Seorang antropolog Indonesia bernama Prof. Dr. Koentjaraningrat (1923-1999) mengatakan, “Kalau mau menilai kebudayaan suatu masyarakat, maka lihatlah agamanya.” Maka bisa kita tarik kesimpulan dari suatu premis, bahwa agama yang tersebar di suatu masyarakat itu merupakan hasil dari kebudayaan masyarakat tersebut. Atau kalau dalam istilah syari’at, mafhum mukhalafah (faham kebalikannya). Artinya ada korelasi antara kedua hal tersebut. Untuk memahami ucapan Prof. Dr. Koentjaraningrat, kira-kira seperti ini rumus premisnya:

Premis 1: P=>Q

Premis 2: Q

Kesimpulan: P

Maka sah-sah saja jika kita membuat suatu hipotesis mengenai keadaan yang terjadi di masyarakat Yunani atau masyarakat yang menganut agama paganisme, bahwa agama yang mereka anut merupakan hasil dari kebudayaan atau peradaban yang rendah dan jauh dari nilai-nilai moral kemanusian dan rasionalitas.

B.     Penyebab Lahirnya Filsafat

Plato mendefinisikan filsafat sebagai pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran asli. Dan bagi Aristoteles filsafat adalah segala usaha dalam mencari kebenaran. Kemunculan filsafat di Yunani setidaknya berdasarkan dua hal. Pertama dari suatu mitos yang berkembang di masyarakat sehingga muncul suatu sikap kritis. Kedua dari sebuah ketakjuban terhadap alam semesta sehingga mendorong pertanyaan-pertanyaan yang bersifat ulitimate question (berat bobotnya). Rasa keingintahuan yang tinggi tersebut merupakan dasar yang mendorong timbulnya filsafat. Mitos yang berkembang di Yunani menjadi penyebab munculnya sikap kritis di kalangan masyarakat mereka. Dan ketakjuban terhadap alam semesta, membuat sang bapak filsafat Thales mengajukan sebuah pertanyaan “What is the nature of the world stuff?” Pertanyaan ini lebih berbobot daripada jawaban-jawaban yang muncul setelahnya. Inilah dampak dari sebuah ketakjuban.

C.    Relasi Filsafat dan Agama Kristen di Abad Pertengahan

Filsafat pada periode ini dipengaruhi oleh agama Kristen. Selama periode tersebut, yakni dimulai pada abad ke 3 Masehi, filsafatnya berwatak teologis. Ciri khas filsafat abad tersebut adalah adanya istilah credo ut intelligam, believe in order to understand, percayalah dahulu supaya mengerti. Artinya kita wajib mempercayainya terlebih dahulu, setelah itu akan muncul pemahaman dengan sendirinya. Kalimat tersebut diucapkan oleh Saint Anselmus, yang merupakan seorang filsuf abad pertengahan sekaligus uskup agung dari Canterbury.

Sebelum agama Kristen melakukan kontak dengan filsafat, mereka telah memiliki suatu dogma yang merupakan pusat doktrin dalam agama mereka, yaitu trinitas: Tuhan Bapak, Tuhan Anak, dan Tuhan Roh Kudus. Istilah trinitas ini dipopulerkan oleh Theopilus dari Antakya (Antioch). Lalu diresmikan pada pertemuan Konstantinopel pada tahun 382 M. Konsep tentang tiga realitas ini kemudian diikuti oleh Plotinus dalam mengembangkan konsep filsafatnya, yaitu: The One, The Mind, dan The Soul. Pada zaman Plotinus, konsep trinitas Kristen masih dalam proses pembentukannya, karena mereka para teolog Kristen mengambil sumbernya dari kitab suci mereka yang jelas-jelas tidak menyebutkan secara eksplisit tentang trinitas.

D.    Tokoh-Tokoh Filsafat Abad Pertengahan dan Gagasannya

Berikut akan kami kutipkan tokoh-tokoh filsafat abad pertengahan beserta sedikit dari gagasan-gagasan mereka.

1.      Plotinus (204-270 M)

Plotinus lahir di Mesir, oleh karenanya ketika membahas tentang Filsafat Barat Abad Pertengahan namanya tidak masuk dalam tokoh kunci filsafat periode tersebut. Namun, nama dan ajarannya cukup dikenal di kalangan filsuf Barat, bahkan ia pun meninggal di Italia.

Salah satu konsep ajaran Plotinus yang terkenal adalah tentang tiga realitas: The One, The Mind, dan The Soul. The One artinya adalah Tuhan menurut pandangannya, suatu realitas yang tidak mungkin dapat dipahami melalui metode sains dan logika. Ia bersifat transendens, atau dalam bahasa Arabnya غير محدود, tak terbatas. Manusia tak mungkin mengetahui esensinya, dan Tuhan tak dapat didefinisikan. The Mind adalah pikiran yang tinggi, yang mana untuk mencapai dan menghayatinya harus melewati permenungan. The Soul adalah realitas ketiga dari konsep filsafat Plotinus, yang di dalamnya terkandung nilai intelektual dan irasional.

Teori tentang tiga realitas yang diajukan oleh Plotinus sulit untuk dipahami dengan akal logis, terlebih lagi tentang tiga realitas dalam konsep teologi Kristen yang menggambarkan tentang Tuhan 1=3 dan 3=1. “Apabila orang Barat menghendaki agama yang dapat memberi perasaan kuat dalam mencari kemajuan dan kesadaran kepada harga diri sendiri, tinggalkanlah agama yang mengajarkan bahwa manusia itu lahir ke dunia dengan membawa dosa, dan dia harus meminta pengampunan dengan perantaraan wakil-wakil Tuhan di atas dunia ini. Agama yang memaksa otak manusia membenarkan 1=3 dan 3=1. Ambillah agama Islam yang dengan sempurna mengesakan Tuhan.” (Mohammad Natsir).

2.      Augustinus (354-430M)

Augustinus lahir di Numidia (sekarang Aljazair). Ia memegang jabatan sebagai pembantu uskup di daerah Hippo (salah satu daerah di Aljazair). Menurut Augustinus, Tuhan itu ditemukan dengan rasa atau intuisi, bukan dengan proses pemikiran atau logika. Tuhan baginya adalah suatu kebenaran yang abadi. Tuhan bagi Augustinus diposisikan sebagai guru tatkala manusia ingin mencari kebenaran. Jadi teori pengetahuan pada Augustinus adalah teori pengetahuan yang membutuhkan pencerahan ilahiah. Pemikiran itu bukanlah pencapaian tertinggi seorang manusia, yang tertinggi adalah pencerahan ilahiah. Dalam memandang tentang ilmu astronomi, ia memiliki anggapan yang sama dengan umumnya kaum gerejawan, yaitu beranggapan bahwa bumi merupakan pusat tata surya atau geosentris. Pengetahuan alam yang ia miliki bercorak supranatural.

3.      Boethius (480-524 M)

Memiliki nama lengkap Anicius Manlius Severinus Boethius, lahir di kota Roma Italia pada tahun 480 Masehi. Ada riwayat yang menyebutkan ia lahir di tahun 470 atau 475 Masehi. Ayahnya adalah seorang konsul pada tahun 487. Konsul adalah jabatan politik tertinggi pada masa Romawi. Dan kakeknya adalah penjaga Praetorian, mungkin semacam aparat keamanan tertinggi di zaman Romawi. Ia dihukum mati atas perintah Valentinian III karena dianggap sebagai pengkhianat bagi kekaisaran Romawi. Filsafat yang ditawarkan oleh Boethius bersifat teologis. Baginya, filsafat adalah cinta dan pengejaran tentang kearifan. Dan kearifan atau kebijaksanaan itu ia bawa kepada suatu pencarian tentang Tuhan. Menurut dia hal itulah yang akan membawa seseorang ke dalam kekuatan dan kemurnian sifat sejati mereka.

4.      Johannes Scotus Eriugena (815-877 M)

Ia lahir di Irlandia. Dan lebih dikenal sebagai seorang teolog ketimbang filsuf. Namun dalam buku yang kami miliki berjudul Medieval Philosophy, ia masuk dalam daftar filsuf abad pertengahan. Namun hal ini amat penting kami sampaikan, untuk mendukung anggapan kami bahwa corak filsafat abad ini memang bersifat teologis.

Johannes merupakan seorang sarjana Yunani, dan ia terpengaruh dengan ajaran Plato dan Aristoteles. Filsafat yang dibawakan oleh Johannes terjalin dengan teologinya, sehingga semua pembahasannya mengenai manusia dan alam memiliki dasar ketuhanan dalam setiap pembahasannya. Berikut sedikit kutipan yang menjadi gambaran bagi filsafatnya, “Saya melakukan perkerjaan saya terlebih dahulu untuk Tuhan, yang berfirman: Mintalah, dan Dia akan memberimu, carilah, dan kamu akan menemukan-Nya, dan di samping kamu ada saudara dalam Kristus. Biarkan setiap orang menggunakan akal yang dia miliki sampai cahaya itu datang dan mengusir kegelapan dari orang-orang yang berfilsafat dengan cara yang salah dan tidak layak.” 

5.      Anselmus (1033-1109 M)

Anselmus lahir di Aosta, Italia. Seluruh kehidupannya dipenuhi oleh kepatuhan kepada Gereja. Pada tahun 1093 ia menjadi uskup agung Canterbury dan ikut ambil bagian dalam perselisihan antara golongan pendeta dan orang-orang sekular.

Anselmus mengeluarkan pernyataan credo ut intelligam. Ungkapan itu mempunyai arti, percaya agar mengerti (believe in order to understand) atau lebih sederhananya, percayalah lebih dulu supaya mengerti. Dari ungkapan tersebut, Anselmus mengatakan bahwa wahyu harus diterima lebih dulu sebelum mulai berpikir. Pernyataan Anselmus ini dapat dianggap ciri utama filsafat abad pertengahan.

Dalam membuktikan adanya Tuhan, Anselmus menjelaskan bahwa semua konsep adalah relatif. Menurut pendapatnya, makhluk terbatas ini tidaklah menciptakan dirinya sendiri, mereka memerlukan pencipta, dan itu adalah Tuhan. Selain itu, Anselmus sering kali menyatakan bahwa ia tidak perlu tahu tentang Tuhan. Ia telah beriman kepada Tuhan. I believe, that unless I believe, I should not understand.

Singkatnya, kata Anselmus, bila kita berpikir tentang Yang Mahabesar, kita berpikir tentang Tuhan. Mengenai sifat Tuhan, Anselmus menyebutkan Tuhan bersifat esa, kekal, baik, dan sempurna. Tuhan tidak berada di dalam ruang dan waktu, tetapi segala sesuatu berada di dalam Tuhan. Teori pengetahuan Anselmus menyatakan bahwa pengetahuan dimulai dari penginderaan, lalu terbentuklah pengetahuan akliah, terakhir adalah menangkap kebesaran Tuhan melalui jalur mistik.

 Kebaikan tertinggi bagi manusia ialah perenungan tentang kebesaran Tuhan. Selanjutnya ia mengatakan bahwa kita selalu dalam kurungan selama kita masih dibimbing oleh nafsu duniawi dan selama kita masih terikat pada keinginan-keinginan jasmani.

6.      Thomas Aquinas (1225-1274 M)

Thomas Aquinas lahir di Roccaseca, Italia, pada tahun 1225. Aquinas memancarkan seluruh babakan pemikiran abad pertengahan. Melalui gurunya, Albertus Magnus, Aquinas belajar tentang alam, dan dapat disaksikan dalam filsafatnya lebih empiris daripada pandangan orang-orang yang diikutinya.

Pandangannya tentang pengetahuan dipengaruhi oleh keyakinannya bahwa Tuhan adalah awal dan akhir segala kebijakan. Kita, katanya, tidak dapat menjelaskan masalah penciptaan berdasarkan hukum kausalitas. Akan tetapi, dalam argumennya ia menggunakan prinsip kausalitas itu. Di sini kausalitas dianggap sebagai hukum yang berasal dari Yang Mahatinggi. Secara singkat alam semesta ini dalam pandangan Aquinas dibagi ke dalam lima kelas: realitas anorganis, realitas animal, realitas manusia, realitas malaikat, dan realitas Tuhan.

Semua realitas itu dibimbing oleh Tuhan. Tanpa bimbingan Tuhan, manusia tidak mengetahui apa-apa. Salah satu usahanya yang dilakukan dengan penuh ketekunan ialah memberantas kekafiran. Dalam hal ini ia banyak menggunakan pendapat orang Arab, tetapi ia tidak dapat menerima pemikiran orang Arab itu.

Menurut Aquinas, eksistensi Tuhan dapat diketahui dengan akal. Untuk membuktikan pendapatnya ini ia mengajukan lima dalil (argumen) seperti yang diringkaskan berikut ini:

  1. Argumen pertama, diangkat dari sifat alam yang selalu bergerak.
  2. Argumen kedua, disebut sebab yang mencukupi (efficient cause).
  3. Argumen ketiga, argument kemungkinan dan keharusan (possibility and necessity).
  4. Argumen keempat, memperhatikan tingkatan yang terdapat pada alam ini.
  5. Argumen kelima, berdasarkan keteraturan alam.

Argumen-argumen ini sangat terkenal pada abad pertengahan. Namun, kelima argumen ini tidak ada yang dapat meyakinkan kita tentang adanya Tuhan. Aquinas berpendapat bahwa Tuhan menciptakan alam semesta dari tiada, sekaligus, jadi berlawanan dengan teori Darwin. Dalam mencipta itu Tuhan tidak dipengaruhi oleh apa pun, karena itu ia tidak memerlukan penciptaan secara evolusi.

Menurut Aquinas, tujuan diciptakannya alam semesta ini adalah untuk memperlihatkan kebaikan Tuhan. Melalui penciptaan itu Tuhan bermaksud memperlihatkan kesempurnaan-Nya, kemahakuasaan-Nya.

Salah satu kutipan ucapan Thomas Aquinas yang mencirikan filsafatnya lebih dominan kepada hati daripada akal adalah seperti berikut ini, “Orang yang beriman tidak butuh penjelasan. Orang yang tidak beriman tidak mungkin menerima penjelasan.”

 

PENUTUP

Periode abad pertengahan dimulai ketika wilayah bekas kekuasaan kerajaan Romawi Barat mulai bersatu pada abad ke-5 M. Zaman kegelapan atau dark age muncul setelah kawasan Eropa mengalami stagnasi atau bahkan kemunduran akibat dari kuatnya posisi gereja di segala bidang kehidupan masyarakat Eropa saat itu. Tidak ada satupun masyarakat yang diperbolehkan menyebarkan pengaruhnya melebihi pengaruh gereja. Oleh karenanya pada masa ini tidak banyak menghasilkan tokoh-tokoh berpengaruh, terutama untuk perkembangan ilmu pengetahuan modern. Abad Pertengahan juga sering diartikan sebagai periode kekuasaan agama. Segala hal yang tidak berhubungan dengan agama dianggap melanggar hukum. Hal itu semakin menghambat perkembangan ilmu pengetahuan empiris dan teori-teori baru. Masyarakat hanya mengandalkan teori lama yang diperbolehkan oleh gereja.

Hal ini tentu berbanding 180 derajat dengan kondisi di belahan bumi bagian Timur, tepatnya di wilayah Islam. Fungsi akal sangat dihargai oleh Islam, namun tidak sampai mendominasi jalan hidup mereka sehingga agama ditinggalkan dan mereka mengambil materialisme dan atheisme. Para filsuf muslim tidak meninggalkan keimanan mereka terhadap Allah, karena memang dasar dari kitab suci mereka yaitu Al-Qur’an -dalam beberapa kesempatan- sangat menghargai fungsi akal, tidak seperti kitab suci Kristen yang memang tidak memberi tempat bagi akal. Hal tersebut terulang-ulang dalam Al-Qur’an sebagaimana contoh berikut: Tentang kewajiban mempotensikan akal ada di surat Al-Baqarah: 44&76 dan surat Alu Imran: 65. Tentang perintah berfikir, ada di surat Al-A’raf: 176, surat Yunus: 24, surat Ar-Ra’du: 3, dan surat An-Nahl: 11.

Kalaulah selama ini Eropa mengalami masa-masa kelam pada abad pertengahan, hal ini berbanding terbalik dengan satu wilayah kecil di Eropa bernama Andalusia (sekarang Spanyol). Di bawah kekuasaan Islam, peradaban mereka sangat maju kala itu. Orang-orang Eropa menjuluki mereka sebagai Saracen (orang Arab yang tinggal di tanah Eropa). Cordoba atau dalam bahasa Arabnya Al-Qurthubah, merupakan pusat pendidikan dan peradaban Islam di tanah Eropa.

Mengenai ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad, Frederick Denison Maurice memujinya setinggi langit dengan mengatakan, “Ucapan dan perbuatannya membawa moral dari sejarah sebelumnya. Muhammad memproklamirkan Tuhan yang sebenarnya kepada manusia yang sebelumnya berdebat mengenai eksistensi Tuhan. Muhammad memberi penegasan bahwa manusia harus tunduk kepada aturan Tuhan. Itu adalah pernyataan yang luar biasa. Filsafat menyusut dan mengerut di hadapannya. Semua spekulasi etis disimpulkan oleh satu dalil, bahwa perintah Tuhan harus dipatuhi, semua spekulasi metafisik dibungkam oleh teriakan tersebut. Manusia diutus untuk menegakkan kekuasaan-Nya di bumi. Ketuhanan Kristen tampak terhuyung oleh pesan tersebut.” 

Share:

PIALA DUNIA QATAR DAN PERADABAN ISLAM : KEBIJAKAN LUAR NEGERI QATAR, BARAT YANG HIPOKRIT, DAN SELEBRASI TIM MAROKO

ABSTRAK

Meskipun pada akhirnya Maroko kalah dalam laga seperempat final melawan Prancis, namun tidak menutup kemungkinan mereka akan meraih peringkat juara tiga dalam laga gelaran FIFA World Cup Qatar 2022. Setidaknya Maroko telah mewakili benua Afrika bagian Utara dalam ajang FIFA World Cup Qatar 2022 tersebut. Dan terlebih, Maroko yang merupakan negara dengan mayoritas pemeluk agamanya adalah Islam, bukan hanya mewakili rasa bangga dari masyarakat Afrika khususnya, melainkan masyarakat Arab atau Timur Tengah dan juga masyarakat muslim pada umumnya. Begitu pula dengan Negara yang penduduk muslimnya terbesar di dunia, yang jaraknya ribuan kilometer dari gelaran ajang FIFA World Cup Qatar 2022. Sebuah negara kepulauan yang menurut survei masuk dalam empat besar negara pengguna media sosial terbanyak.

Di balik gegap gempitanya fans sepak bola di Indonesia, ternyata masyarakat kita disuguhi oleh pemandangan-pemandangan yang luar biasa dari gelaran tersebut. Sebutlah pada satu laga Arab Saudi melawan Argentina, Arab Saudi dapat mengalahkan Argentina dengan skor 2-1, yang mana tim kesebelasan Argentina diisi oleh pemain terbaik kelas dunia bernama Lionel Messi. Semua orang dibuat kagum dan sedikit tidak percaya dengan penampilan tim kesebelasan Arab Saudi pada laga itu. Lalu ada pula tim kesebelasan Jepang yang berhasil mengalahkan tim Panser Jerman dan Spanyol, yang pada akhirnya membuat tim Panser Jerman -yang menuai kontroversi saat melakukan protes tutup mulut karena dilarang menggunakan ban kapten "One Love"- harus segera angkat kaki dari Qatar. Tentu saja kemenangan yang diraih Arab Saudi dan Jepang mewakili rasa bangga penggemar sepak bola di negaranya masing-masing, dan umumnya juga mewakili rasa bangga penduduk Asia, yang mungkin sudah jenuh dengan dominasi Eropa dan negara-negara di semenanjung Amerika Latin dalam menguasai sepak bola.

Artikel yang saya buat ini akan membahas mengenai tiga pembahasan yang selama ini jadi sorotan masyarakat dan keterkaitanya dengan peradaban Islam. Semoga dapat menjadi nilai tambah bagi Ujian Akhir Semester saya.

 BAGIAN I : PENDAHULUAN

Peradaban Islam jelas dimulai di tengah-tengah gurun tandus yang masyarakatnya dikenal sebagai masyarakat jahiliyyah, masyarakat yang hidup dalam kebodohan. Kebodohan mereka dikarenakan kehidupan mereka yang dipenuhi dengan nuansa paganisme, penyembahan terhadap berhala, dan perilaku amoral sebagian besar masyarakatnya. Fajar Islam datang, dibawa oleh seorang keturunan Quraisy, yang nasab atau silsilahnya tersambung dengan Nabi Ismail dan Ibrahim. Nabi Muhammad namanya, Nabi yang dikenal ummi (tak bisa membaca dan menulis), namun masyarakat sekitar mengenal baik dirinya sebagai seorang yang memiliki perangai santun, jujur, dan amanah.

Ajaran yang dibawanya meluas dan diterima oleh berbagai kalangan. Sahabat-sahabat beliau melakukan ekspansi dan perluasan kekuasaan ke negara-negara sekitar, dan menjadikan masyarakat yang dihampiri oleh fajar Islam menjadi masyarakat yang beradab dan bermoral. Bukan hanya Mekkah dan Madinah yang menjadi pusat kekuasaan, kekuatan, dan peradaban Islam, bahkan negara-negara yang berada di semenanjung Arab dan bahkan sampai utara Afrika telah dikuasai oleh Islam. Indonesia yang merupakan negara kepulauan dan penghasil rempah-rempah pun menjadi tempat untuk memperluas ajaran Islam. Nusantara yang saat itu dikuasai oleh ajaran Hindu-Budha, pada akhirnya menerima Islam sebagai ajaran yang dianut oleh mayoritas masyarakat Nusantara. Hingga sampai saat ini, Indonesia merupakan penganut agama Islam terbesar di dunia. 

 BAGIAN II : KEBIJAKAN LUAR NEGERI QATAR

Peradaban Islam yang sampai saat ini memegang kendali di negara-negara yang telah kami sebutkan di atas, tetap teguh dipegang dan dijalankan dalam berbagai hal. Salah satu yang kami bahas di sini adalah mengenai ajang FIFA World Cup Qatar 2022, dimana Qatar yang selaku penyelenggara dan tuan rumah membuat kebijakan yang melarang simbol-simbol LGBTQ, alkohol, narkoba, seks bebas, dan berpakaian terbuka.

Yang akan dibahas lebih mendalam dalam pemaparan ini adalah mengenai larangan menggunakan kapten ban berlogo LGBTQ, yang dilarang dalam ajang FIFA World Cup Qatar 2022. Pemerintah dan masyarakat Qatar yang menjunjung tinggi nilai-nilai ajaran Islam tegas melarang praktek bahkan simbol-simbol LGBTQ. Bahkan hal tersebut didukung oleh FIFA President Gianni Infantino yang bahkan menyebutkan bahwa Barat -yang menganggap otoritas Qatar melanggar HAM dan kebebasan individu- sebagai hipokrit. 

BAGIAN III : BARAT YANG HIPOKRIT

Aksi para pemain Jerman jelang laga melawan Jepang menuai kontroversi. Mereka menutup mulut tanda protes kepada peraturan FIFA yang melarang mereka menggunakan ban kapten "One Love". Dalam laman media sosial mereka di instagram, mereka membuat pernyataan resmi terkait aksi para pemain mereka tersebut. Berikut kutipannya, "Kami menginginkan untuk menggunakan ban kapten kami untuk mempertahankan nilai-nilai yang kami pegang  di tim nasional Jerman: yaitu keberagaman dan sikap saling menghormati. Bersama dengan bangsa lain, kami juga ingin suara kami didengar. Ini bukan tentang membuat pernyataan politik, karena nilai-nilai hak asasi manusia (HAM) tidak dapat dinegosiasikan. Itu harus diterima begitu saja, tetapi tetap saja tidak demikian. Itulah mengapa pesan ini sangat penting bagi kami. Melarang kami dalam menggunakan ban kapten sama dengan menolak kami bersuara. Kami berdiri dengan posisi kami."

Postingan tersebut sudah dikomentari sebanyak 27.000 lebih netizen, yang mayoritasnya justru memperolok aksi Jerman tersebut, dikarenakan pada akhirnya mereka kalah dari Jepang. Ada pula netizen yang mengaitkan kejadian tersebut dengan kasus terusirnya Ozil, karena membela hak asasi manusia di Uighur. Oleh karenanya, banyak yang menganggap Jerman hipokrit terkait permasalahan hak asasi manusia. Disamping memperolok Jerman yang hipokrit dan akhirnya kalah dari Jepang dan harus pulang ke negaranya, netizen juga mengaitkan aksi Jerman tersebut yang ingin dihormati, namun tidak mau menghormati kebijakan tuan rumah Qatar.

Tak mau kalah dari para pemain Jerman, Menteri Olahraga Prancis Amelie Oudea Castera mendesak tim sepak bola nasionalnya untuk melakukan hal yang sama dengan tim sepak bola Jerman dan membuat diri mereka didengar oleh otoritas FIFA atas hukuman penggunaan ban kapten. Hal ini dimaksudkan agar Prancis juga dianggap sama oleh dunia bahwa mereka membela hak asasi manusia. Namun presiden federasi sepak bola Prancis (FFF) Noel Le Graet mengatakan akan tetap mengikuti aturan FIFA.

Senada dengan Noel, gelandang Prancis Matteo Guendouzi menolak niat menteri olahraga Prancis Amelia Oudea Castera. Dia berkata, "Dia adalah seorang politisi yang mengatakan apa yang dia inginkan, dan kami akan menjelaskan posisi kami tentang keadaan ini (sebelum Piala Dunia). Tetapi kami hadir di sini (Qatar) untuk bermain sepak bola dan menikmati posisi kami sendiri di lapangan."

BAGIAN IV : SELEBRASI TIM MAROKO

Meski pada akhirnya Maroko kalah dalam pertandingan perempat final melawan Prancis, namun sebenarnya mereka menang di hati siapa saja yang mencintai dan menginginkan suatu peradaban yang baik bagi seluruh umat manusia. Selebrasi kemenangan mereka di lapangan menunjukkan kepada kita semua tentang bagaimana kita menghormati orang tua dan keluarga kita. Kemesraan yang mereka tunjukkan di hadapan kita tentu membuat siapapun yang melihatnya iri. Ini bukan sekedar pertandingan sepak bola, melainkan sebuah pertunjukkan peradaban Islam yang telah lama dibangun dan masih dipraktikkan oleh para pemain sepak bola Maroko.

Media massa juga memberitakan sikap para pemain dan tim ofisial yang menunjukkan keakraban dengan keluarganya. Ada momen mengharukan yang diperlihatkan Achraf Hakimi yang mencium kening ibunya. Ada saat Sofiane Boufal menari dengan ibunya di lapangan untuk merayakan kemenangan bersejarah mereka setelah melawan Portugal di Piala Dunia FIFA 2022 Qatar. Ada pula pelatih tim sepak bola Maroko Walid Reragui yang mencium ibunya. Dan ada juga penyerang tim sepak bola Maroko Youssef En-Nesyri yang menghampiri dan memeluk sang ayah. Dan tak lupa kiper tim sepak bola Maroko Yassine Bounou yang membawa anaknya saat sesi wawancara. Jika yang kami tulis adalah hubungan antara pemain sepak bola Maroko dengan orang tua dan anak-anaknya, maka ada yang membawa saudaranya saat sesi wawancara, yaitu ketika Sofyan Ambrabat dicium keningnya oleh kakaknya.

Apa yang diperlihatkan para pemain tim sepak bola Maroko mengundang komentator Jerman berbicara tentang apa yang telah dilihatnya. Dia berkata, "Kami tidak lagi melihat ikatan keluarga yang intim di masyarakat Barat. Konsep keluarga memudar, dan kita hanya bisa melihat para pemain berciuman dengan model dan pacar mereka sementara orang tua mereka ditinggal di panti jompo. Dukungan moral dari keluarga memainkan peran besar dalam kemenangan Maroko, sementara kami datang untuk mendukung homoseksualitas dan menutup mulut. Kami mengajari mereka (maksudnya orang Maroko) cara bermain sepak bola, jadi mereka unggul dan melebihi kami, dan kami harus belajar etika dan nilai-nilai keluarga dari mereka, berharap suatu hari kami melihat para pemain kami mencium kening ibu dan ayah mereka juga."

SUMBER DAN REFERENSI

Youtube Channel Cordova Media.

Social Media Account Instagram Cordova Media.

https://www.reuters.com/lifestyle/sports/french-sports-minister-urges-national-team-speak-up-armband-row-2022-11-24/

 

 


Share:

HERMENEUTIKA: UPAYA DESAKRALISASI AL-QUR'AN DAN DEKONSTRUKSI KEMAPANAN WAHYU DAN KENABIAN

Al-Qur’an merupakan wahyu dari Allah, dan merupakan kalaamullah (perkataan Allah), bukan makhluk. Sifat kalaam merupakan salah satu dari sekian sifat-sifat Allah. Oleh karenya sifat Allah itu bukan makhluk, karena logikanya sifat adalah hal yang melekat pada diri pemiliknya. Dalil yang menunjukkan bahwa Al-Qur’an merupakan kalaamullah ada dalam Al-Qur’an surat At-Taubah ayat ke 6,

وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلَامَ اللهِ

“Dan jika seseorang di antara orang-orang musyrik itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar kalam (perkataan) Allah.”

Allah menurunkan wahyu-Nya kepada para Nabi, dan wahyu yang Allah turunkan bukanlah hasil interpretasi dari para Nabi tersebut, sebagaimana yang dituduhkan oleh kaum orientalis dan kaum liberal. Allah berfirman dalam surat An-Nisa ayat ke 163,

إِنَّاۤ أَوۡحَیۡنَاۤ إِلَیۡكَ كَمَاۤ أَوۡحَیۡنَاۤ إِلَىٰ نُوح وَٱلنَّبِیِّـۧنَ مِنۢ بَعۡدِهِۦۚ وَأَوۡحَیۡنَاۤ إِلَىٰۤ إِبۡرهِیمَ وَإِسۡمَـٰعِیلَ وَإِسۡحَـٰقَ وَیَعۡقُوبَ وَٱلۡأَسۡبَاطِ وَعِیسَىٰ وَأَیُّوبَ وَیُونُسَ وَهَـٰرُونَ وَسُلَیۡمَـٰنَۚ وَءَاتَیۡنَا دَاوُۥدَ زَبُورا

“Sesungguhnya Kami mewahyukan kepadamu (Muhammad) sebagaimana Kami telah mewahyukan kepada Nuh, dan nabi-nabi setelahnya, dan Kami telah mewahyukan (pula) kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub, dan anak cucunya; Isa, Ayub, Yunus, Harun dan Sulaiman. Dan Kami telah memberikan Kitab Zabur kepada Dawud.”

Menurut kalangan orientalis Barat, wahyu itu bukan firman Tuhan yang utuh, melainkan telah diinterpretasikan ulang oleh para Nabi, manusia. Lantas wahyu tersebut juga diinterpretasikan oleh murid-murid mereka.

Sebelum lebih jauh membahas tentang hal tersebut, ada baiknya kita harus mengetahui tentang definisi hermeneutika. Hermeneutika menurut rangkuman yang saya dapatkan dari Dr. Nashruddin Syarief M.Pd.I adalah, “Ilmu interpretasi atau teori pemahaman. Yakni ilmu yang menjelaskan tentang tata cara penerimaan wahyu sejak dari tingkat perkataan sampai ke tingkat dunia.” Singkatnya, hermeneutika adalah sebuah ilmu yang mempelajari proses transformasi wahyu dari pikiran dan kalaam Tuhan sampai kepada kehidupan manusia.

Kata hermeneutika ini pada asalnya diambil dari nama dewa Hermes dalam mitologi Yunani, yang dipercayai sebagai pembawa pesan para dewa kepada manusia. Maka hermeneutika dijadikan alat untuk menafsirkan mitologi yang berkembang di Yunani, dan pada akhirnya dijadikan alat untuk menafsirkan dan menjelaskan tentang Al-Kitab dalam agama Kristen. Serangan terhadap Kristen ini membuat mereka menyerah dan harus menyesuaikan dengan pandangan baru masyarakat Barat yang sekuler.

Tatkala hermeneutika dijadikan sebagai alat untuk menginterpretasikan Al-Qur’an, maka mereka memulai dengan cara atau pendekatan-pendekatan bahwa Al-Qur’an harus difahami bukan dari teksnya saja, melainkan konteksnya, baik konteks dari ayat-ayat yang termaktub dalam Al-Qur’an, konteks masalah, dan lain-lain. Inilah yang disebut kontekstualisasi Al-Qur’an. Seiring dengan perkembangan pemikiran hermeneutika di Barat, teori hermeneutika Al-Qur’an pun mengalami perkembangan sehingga bukan hanya membahas tentang kontekstualisasi ayat-ayat Al-Qur’an saja, bahkan sampai kepada kesimpulan-kesimpulan yang ekstrim yang sampai menggugat kemapanan Al-Qur’an dengan menganggap bahwa Al-Qur’an merupakan produk budaya manusia atau muntaaj ats-tsaqofiy. Seorang penulis, Edi Mulyono berkata dalam bukunya Belajar Hermeneutika, “Saat ini diperlukan paradigm baru yang tidak bisa melepaskan Al-Qur’an sebagai produk budaya manusia dalam menangkap keberadaan Tuhan. Inilah yang disebut Al-Qur’an komunikatif, di mana manusia diberi ruang kebebasan dalam menafasirkannya, terlepas dari adi prasangka Al-Qur’an yang terlanjur sudah dianggap Mahasuci, bahkan anti-kritik.”

Pandangan ekstrim di atas merupakan paraphrase atau bahkan plagiasi dari para pemikir-pemikir liberal yang diusung oleh tokoh hermeneutika asal Mesir bernama Nasr Hamid Abu Zaid. Ia menyatakan, “Teks pada hakikat dan substansinya adalah produk budaya dan bahwa itu merupakan satu aksioma yang tidak memerlukan pembuktian.” Pendapat-pendapat Abu Zaid ini dipungut sedemikian rupa oleh kalangan intelektual dan sivitas akademika di beberapa kampus Islam di Indonesia tanpa sedikit pun sikap kritis. Pernyataan Abu Zaid yang lain dan tak kalah kontroversialnya adalah sebagai berikut, “Al-Qur’an adalah bahasa manusia. Perubahan teks ilahi menjadi teks manusiawi.” Dan “Kalau menganggap Al-Qur’an adalah wahyu, maka kita terjebak pada alam dogmatis.”

Di samping Nasr Hamid Abu Zaid, ada juga tokoh liberal dari Al-Jazair yang memberikan pernyataan senada dan tak kalah ekstrim dengan pernyataan Abu Zaid, yaitu Mohammed Arkoun, “Al-Qur’an adalah produk sejarah. Ia hanyalah hasil sosial dan budaya yang dijadikan tak terpikirkan disebabkan semata-mata pemaksaan penguasa resmi.” Arkoun juga menyatakan bahwa wahyu hanya dapat diketahui oleh manusia melalui edisi dunia yang telah mengalami modifikasi. Hal-hal kontroversial di atas sejatinya hanya akan mendekonstruksi kemapanan Al-Qur’an, dan menyebabkan desakralisasi Al-Qur’an.

Pada tahun 2004, IAIN Yogyakarta (sekarang UIN Sunan Kalijaga) meluluskan sebuah tesis master yang kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan. Dikatakan, “Dengan kata lain, mushhaf itu tidak sakral dan absolut, melainkan profane dan fleksibel. Yang sakral dan absolut hanyalah pesan Tuhan yang terdapat di dalamnya, yang masih dalam proses pencarian. Karena itu, kini kita diperkenankan bermain-main dengan mushhaf tersebut, tanpa ada beban sedikit pun, beban sakralitas yang melingkupi perasaan dan pikiran kita.”

Akibat pemahaman yang keliru terhadap Al-Qur’an ini, terjadi berkali-kali polemik dan kontroversi yang dilakukan oleh sivitas akademika IAIN. Sebutlah kala itu di IAIN Surabaya (sekarang UIN Sunan Ampel), seorang dosen yang mengajar mata kuliah Sejarah Peradaban Islam bernama Sulhawi Ruba mendemontrasikan perkuliahan saat itu di hadapan mahasiswa Fakultas Dakwah dengan cara menginjak lafazh Allah di secarik kertas yang ia tuliskan sendiri. Hal ini ia lakukan untuk membuktikan bahwa Al-Qur’an itu bukanlah sesuatu yang sakral. Ia menjelaskan bahwa status dan posisi Al-Qur’an hanyalah hasil budaya dan karya tulis manusia. Ia mengatakan dengan sadar, “Sebgai budaya, posisi Al-Qur’an tidak berbeda dengan rumput.” Ia juga menambahkan, “Al-Qur’an dipandang sakral secara substansi, tapi tulisannya tidak sakral,” katanya setengah berteriak dan mata melotot. Masih menurutnya pula, bahwa Al-Qur’an sebagai kalaamullah adalah makhluk, sedangkan mushhafnya adalah hasil budaya, karena bahasa Arab, huruf-huruf hijaiyyah, dan kertasnya merupakan hasil karya cipta manusia. “Sebagai budaya, Al-Qur’an tidak sakral. Yang sakral adalah kalaamullah secara substantif.”

Dari hasil pemikirannya tersebut, maka tak terhitung banyaknya hasil “ijtihaad” yang dihasilkan oleh Nasr Hamid Abu Zaid. Sebut saja mengenai pandangannya tentang perilaku homoseksualitas. Ia mengatakan, “I became more aware of homosexuality as a natural phenomenon.” (Saya menjadi sadar bahwa homoseksualitas adalah fenomena yang alami). Kemudian dengan pemahamannya tersebut, ia mempertanyakan tentang Al-Qur’an, “Will Islam ever accept homosexuality as anything other than aberrant? Not until we have real revolution –a change in the way we think about the Qur’an in conjunction with our lives.” (Apakah Islam selalu menerima homoseksual selain sebagai perilaku yang menyimpang? Tidak [pernah berubah pandangan semacam ini], kecuali kita melakukan revolusi yang nyata –suatu perubahan cara berpikir kita tentang Al-Qur’an dalam hubungannya dengan kehidupan kita). Bahkan saking terkagumnya dengan pelaku homoseksual, ia pun menuliskan, “I liked many of them and even grew to admire some of them. I never was able to write about this experience in Egypt.” (Saya menyukai kebanyakan dari mereka, dan bahkan mulai mengagumi mereka. Saya tidak akan pernah bisa menuliskan tentang pengalaman ini di Mesir). Ya, karena di negara asalnya dia sudah diajukan “murtad” ke Mahkamah Syariah atas segala pernyataan-pernyataannya. Selain tentang homoseksualitas, banyak sekali pandangan Abu Zaid yang kontroversial seperti tentang feminisme.

Fenomena kegenitan intelektual sudah menjadi sebuah tren di kalangan kaum intelektual Islam di Indonesia. Berawal dari sebuah penyakit mental bernama inferiority complex atau rasa minder dan rendah diri terhadap identitas agamanya, ditambah tatkala mereka silau melihat peradaban Barat dan apapun yang didapatkan dari Barat. Mungkin mereka lupa, bahwa Barat pernah mengalami masa-masa kegelapan tatkala dogma-dogma gereja mendominasi kehidupan mereka, dan fungsi akal dikekang oleh otoritas gereja. Hal ini sangat berbanding terbalik dengan Islam, yang sangat menghargai fungsi akal. Maka menawarkan ideologi-ideologi lain atau bahkan teori-teori lain dalam melakukan interpretasi terhadap sumber-sumber Islam tersebut, sama saja dengan mereka sedang membuang ludah ke atas mukanya.

“Agama datang membangunkan akal dan membangkitkan akal itu serta menggemarkan agar manusia memakai akalnya dengan sebaik-baiknya sebagai suatu nikmat Ilahi yang Maha Indah. Agama datang mengalirkan akal menurut aliran yang benar, jangan melantur kesana kemari, merompak pagar dan pematang. Islam datang bukan melepaskan akal sebagai kita melepaskan kuda di tengah padang, untuk merajalela di semua lapangan. Dalam beberapa hal Islam bertindak sebagai supplement dari akal, menyambung kekuatan akal di mana si akal tak dapat mencapai lebih tinggi lagi. Seseorang yang mendakwakan bahwa akal itu bisa mencapai semua kebenaran, pada hakikatnya, bukanlah sebenar-benarnya orang yang telah mempergunakan akalnya dan bukanlah seseorang yang akalnya merdeka dari hawa-nafsu congkak dan takabur, tetapi yang terikat oleh salah satu macam taklidisme modern yang bernama..., rasionalisme! (Mohammad Natsir, Islam dan Akal Merdeka)



DAFTAR PUSTAKA

Bachtiar, Tiar Anwar. (2017). Pertarungan Pemikiran Islam di Indonesia. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Shalahuddin, Henri. (2007). Al-Qur’an Dihujat. Jakarta: Al-Qalam Gema Insani Press.

Natsir, Mohammad. (2018). Islam dan Akal Merdeka. Bandung: Sega Arsy.

Hasil rangkuman dari perkuliahan SPI Bandung yang diisi oleh Dr. Nashruddin Syarief M.Pd.I

Share:

KONSEP AGAMA DAN KETUHANAN DALAM PANDANGAN BARAT DAN ISLAM

Ciri khas filsafat pada fase abad pertengahan terletak pada sebuah rumusan terkenal yang dikemukakan oleh Saint Anselmus (1033-1109) yaitu credo ut intelligam, believe in order to understand. Atau kalau kita terjemahkan, "Percayalah dahulu nanti juga akan mengerti."

Dalam membuktikan adanya Tuhan, Anselmus sering kali mengatakan bahwa ia tidak perlu tahu tentang Tuhan, ia telah beriman kepada Tuhan, "I believe, that unless I believe, I should not understand."

Konsekuensi dari pernyataan di atas akan berimplikasi pada cara pandang seseorang dalam merumuskan tentang konsep ketuhanan dan menjalankan aturan agamanya. Sebut saja salah satunya dalam meyakini tentang konsep trinitas, yang merupakan pusat doktrin dalam agama Kristen.

Trinitas atau tritunggal yaitu doktrin iman Kristen yang mengakui adanya satu Allah yang Esa namun hadir dalam tiga pribadi: Allah Bapa, Allah Putera, dan Allah Roh Kudus. Di mana menurut mereka ketiga pribadi tersebut memiliki kesamaan esensi, kesamaan kedudukan, kesamaan kuasa, dan kesamaan kemuliaannya. Istilah trinitas mengandung guna tiga pribadi dalam satu kesatuan esensi Allah. Istilah "pribadi" dalam bahasa bahasa Yunani yaitu hupostasis, diterjemahkan ke dalam bahasa Latin menjadi persona, dan dalam bahasa Inggris personSejak awal abad ke 3 Masehi doktrin trinitas telah dinyatakan sebagai "Satu keberadaan (Yunani: ousia, Inggris: beeing) Allah di dalam tiga pribadi dan satu substansi: Bapa, Putera, dan Roh Kudus."

"Formula ini tampaknya bukan berasal dari pengaruh filsafat Yunani, karena terbentuknya formula ini (tiga dalam satu) lebih dulu terbentuk dibandingkan dengan kontak gereja dan filsafat Yunani. Formula ini memang diambil dari ayat-ayat kitab suci Kristen." (Ahmad Tafsir).

Plotinus (204-270 M) adalah seorang filsuf yang mengawali filsafat di abad pertengahan. Dan pada saat itu pengaruh agama Kristen nampaknya mulai meluas, sehingga warna filsafat pada zaman itu lebih condong kepada arah spiritual. Atau bisa dikatakan filsafat pada zaman tersebut didominasi oleh keyakinan dan kepercayaan semata. Sehingga akal dan nilai-nilai rasionalitas kalah total dari hegemoni hati dan nilai-nilai keyakinan..

Filsafat pada abad pertengahan juga dipenuhi oleh lembaran hitam berupa pemusnahan orang-orang yang berfikir out of the box, karena pemikirannya berlawanan atau berbeda dengan pemikiran dan doktrin tokoh-tokoh gereja. Sebut saja Copernicus (1473-1543 M) dan Galileo (1564-1642 M) yang meyakini teori heliosentris atau matahari sebagai pusat tata surya (bumi mengelilingi matahari), pada akhirnya meregang nyawa oleh otoritas setempat, karena pada saat itu tokoh-tokoh gereja meyakini teori geosentris atau bumi sebagai pusat tata surya.

Filsafat Plotinus ditandai dengan konsep transendens dan teori tentang tiga realitas: The One, The Mind, dan The Soul. Terkait dengan kesamaannya dengan konsep trinitas yang ditawarkan oleh Kristen, maka perlu diteliti lebih dalam mana yang mempengaruhi dan mana yang dipengaruhi. Yang jelas ajaran Plotinus yang disebut juga sebagai neo-Platonisme, dijadikan sumber dalam pengembangan filsafat Kristen.

Istilah trinitas ini mula-mula digunakan oleh Theophilus dari Antakya pada tahun 180 Masehi. Namun kemudian pernyataan resmi tentang istilah ini dikeluarkan dalam pertemuan Konstantinopel pada tahun 382 Masehi.

Orang Kristen menganggap Esa dalam tiga pribadi itu bukanlah suatu konsep yang berlawanan dengan akal logika, melainkan suatu konsep yang tidak dapat dipahami dengan akal logika. Tidak dapat dipahami, bukan berlawanan.

Doktrin tentang keesaan Allah menurut agama Kristen sama sekali tidak bertentangan dengan konsep trinitas atau tiga pribadi. Untuk memahami ini semua mereka menganjurkan untuk menjadikan hati lebih terbuka dalam memahaminya, dan mewajibkan siapapun yang akan mengkajinya untuk melepaskan "kacamata kuda"nya. Pemahaman akan konsep dan doktrin trinitas tersebut merupakan misteri dan rahasia yang berada di atas pemahaman logika manusia.

Berbagai teori yang ditawarkan mengenai konsep trinitas tersebut diejawantahkan dengan sebuah analogi matahari yang memiliki unsur matahari itu sendiri, sinar, dan panasnya. Atau dengan sebuah simbol visual segitiga scutum fidei, perisai tritunggal, di mana Allah Bapa, Allah Putera, dan Allah Roh Kudus menempati masing-masing sudutnya namun tetap dalam satu segitiga.

Namun, "makin maju wetenschap mereka, makin rajin mereka memeriksa sejarah bibel mereka, makin bergoncanglah iman mereka kepada kitab suci itu." (Mohammad Natsir).

"Apabila orang Barat menghendaki agama yang dapat memberi perasaan kuat dalam mencari kemajuan dan kesadaran kepada harga diri sendiri, tinggalkanlah agama yang mengajarkan bahwa manusia itu lahir ke dunia dengan membawa dosa, dan dia harus meminta pengampunan dengan perantaraan wakil-wakil Tuhan di atas dunia ini. Agama yang memaksa otak manusia membenarkan 1=3 dan 3=1. Ambillah agama Islam yang dengan sempurna mengesakan Tuhan." (Mohammad Natsir).

Kristen Telah Mati!

Teriakan Friedrich Nietzsche (1844-1900 M) "Tuhan telah mati" masih berdengung di dunia Barat, dan sekarang terbaur dengan kidung sedih "Kristen telah mati." Beberapa teolog Kristen berpengaruh -khususnya dari kalangan Protestan yang nampaknya menerima nasib Kristen tradisional yang seperti itu dan cenderung untuk ikut berubah dengan waktu- bahkan telah memulai persiapan-persiapan untuk meletakkan landasan teologis baru di atas puing reruntuhan yang di dalamnya terkubur tubuh hancur Kristen tradisional, dan yang dari dalamnya akan dihidupkan kembali suatu Kristen baru yang telah disekulerkan.

Seorang filsuf Denmark, Soren Kierkegaard (1813-1855 M) membuat sebuah pengakuan yang juga diamini oleh kalangan Barat, "Kita selalu menjadi orang-orang Kristen." 

Dalam usahanya untuk menyesuaikan agama Kristen dengan krisis sekularisasi, mereka menganjurkan konseptualisasi kembali ajaran-ajaran Kristen, pendefinisian kembali konsep mereka tentang Tuhan, dan dehellenisasi dogma Kristen. 

Bagi mereka, rumusan Kristen dalam bentuk-bentuk hellenik pada abad-abad awal perkembangannyalah yang bertanggung jawab atas banyak masalah-masalah sulit dan membingungkan. Di antaranya adalah mengenai penggambaran Tuhan sebagai pribadi suprarasional, mengenai doktrin trinitas yang ruwet dan tak mudah teruraikan itu.

Agama Kristen telah mati, semenjak awal persentuhannya dengan dengan filsafat Yunani. Namun jauh sebelum bersentuhan dengan filsafat, ajaran yang dibawa oleh Yesus tersebut sudah mengalami distorsi yang dilakukan oleh kaum Yahudi, Bani Israel.

"Mereka suka mengubah firman (Allah) dari tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian pesan yang telah diperingatkan keoada mereka." (QS. Al-Ma`idah: 13).
Share:

Agama: Kebingungan Hidup Orang Barat dan Fitrah Bagi Orang Yang Berakal

SPI Bandung kembali menggelar perkuliahan di Kamis malam, bertepatan dengan tanggal 6 Oktober 2022 yang berlokasi di ruang tafsir Masjid Istiqomah. 

Perkuliahan malam tersebut diampu oleh Dr. Wendi Zarman, yang juga merupakan direktur PIMPIN Bandung.

Beliau mengawali perkuliahan tersebut dengan melemparkan sebuah pertanyaan kepada para peserta, "Apa yang tebesit dalam diri kita ketika mendengar kata agama?" Para peserta mengacungkan tangan sembari memberikan jawaban, "Tuhan". Adapula yang berpendapat, "Hukum", "Keyakinan", dan bahkan ada yang menjawab, "Radikal!". Senyum tersungging dari wajah Dr. Wendi diiringi tawa para peserta lain. Beliau menimpalkan, "Tidak ada yang salah juga, karena akhir-akhir ini ada yang membuat anggapan seperti itu terhadap agama."

Sebelum menampilkan beberapa perkataan para pemikir Barat di layar, beliau juga mengatakan, "Agama di kalangan Barat merupakan sesuatu yang membingungkan." 

E.B Taylor mengatakan, "Agama adalah keyakinan terhadap sesuatu yang spiritual." 

Sementara seorang psikolog Barat bernama Sigmund Freud mengatakan, "Agama adalah ilusi (mimpi) yang diharapkan menjadi kenyataan."

Dan seorang sosiolog bernama Emile Durkheim mengatakan, "Agama adalah ekspresi sosial masyarakat."

Dr. Wendi juga kembali menegaskan, bahwa bagi orang Barat, agama atau dalam bahasa mereka adalah religion, adalah merupakan organization. Dan gereja bagian dari organisasi yang dimaksud.

Beliau juga mengungkit terkait permasalahan pluralisme agama, yang dalam istilahnya disebut Transcendent Unity of Religion, yang awal gagasannya berawal dari relativisme.

Maka dari beberapa pandangan tersebut, menurut Dr. Wendi ada tiga pandangan umum tentang agama: pertama adalah tahayul atau ilusi, kedua merupakan alat untuk kepentingan manusia, ketiga ajaran Tuhan yang haq.

Maka menurut beliau, ada banyak perbedaan mencolok antara konsep agama yang dianut Barat, dengan konsep agama yang dianut oleh Islam. Adapun pengertian agama dalam Islam adalah, "Dien, ajaran dari Allah yang haq yang disampaikan melalui utusan-Nya yang wajib diamalkan manusia sebagai pengabdian kepada-Nya."

Syed Muhammad Naquib Al-Attas juga mengatakan, "Islam, the concept of religion and the foundation of ethics and morality."

Diakhir sesi perkuliahan, beliau mengutip ayat dari surat Adz-Dzariyat ayat 56 dan Al-A'raf ayat 172, yang menurut anggapannya merupakan fitrah bagi manusia.

Share:

The World View of Islam, Bagaimana Cara Seorang Muslim Melihat Realitas Dunia

The Worldview of Islam رؤية الإسلام للوجود, menjadi tema menarik di pertemuan pekan ketiga Sekolah Pemikiran Islam (SPI Bandung), pada malam Jum'at tanggal 15 September 2022, di ruang tafsir masjid Istiqomah kota Bandung. Dr. Wendi Zarman yang menjadi pemateri di malam tersebut memberikan penjelasan historis mengenai asal-usul istilah tersebut. Pencetus istilah The Worldview adalah Syed Muhammad Naquib Al-Attas, yang merupakan 'ulama sekaligus pemikir yang lahir di Buitenzorg (Bogor saat ini), dan menetap di Malaysia. Secara esensi, Worldview adalah 'Aqidah, yang kalau diterjemahkan secara letterlijk adalah Pandangan Hidup Islam. Ada pula yang menyebut Islamic Worldview, pandangan hidup yang Islami. Akan tetapi belum tentu pelakunya adalah orang Islam. Sebagai contoh di Barat, dalam beberapa hal mereka menerapkan tata cara Islami, seperti menjaga kebersihan dan ketertiban, menerapkan disiplin waktu, dll. Akan tetapi mereka bukan golongan Islam. Maka yang menjadi titik tekan di sini adalah The Worldview of Islam.

Dr. Wendi Zarman kemudian memberikan beberapa analogi sederhana dalam kehidupan kita sehari-hari. Contoh saja ketika kita ingin makan, pastinya ada beberapa faktor pendorong dan asumsi-asumsi yang membuat kita ingin makan. Tindakan atau perbuatan makan tersebut dilandasi oleh sebuah keyakinan. Ketika kita makan pastinya kita sudah yakin bahwa kita lapar, kita yakin bahwa makanan tersebut dapat mengenyangkan kita, kita yakin makanan tersebut higienis dan aman untuk kita. Atau tatkala kita ingin pergi ke luar kota, sebelum kita menaiki kendaraan umum, pastinya kita akan meyakinkan diri kita terlebih dahulu, dan sebelum menaiki kendaraan yang mengantarkan kita ke tempat tujuan, maka kita akan bertanya pada petugas yang ada di tempat saat itu. Setelah kita yakin dengan arahan petugas tersebut, kita pun dengan tenang duduk dalam kendaraan tersebut, dan pastinya yakin bahwa kendaraan tersebut akan mengantarkan kita ke kota tujuan. "Tindakan-tindakan tersebut dilatar belakangi oleh sebuah keyakinan", tegasnya.

Beliau mengambil contoh lagi tentang sebuah budaya kolot di Jepang, Harakiri. Penyebab dan dorongan perbuatan tersebut adalah karena rasa malu. Bagi orang-orang Jepang, lebih baik mati terhormat dengan cara bunuh diri daripada hidup menanggung malu. Tindakan bunuh diri tersebut juga berdasarkan pada sebuah keyakinan. Ada faktor-faktor pendorong dan asumsi-asumsi yang menyebabkan Harakiri tersebut. Akan tetapi, bagi orang lain -terutama umat Islam- mungkin hal tersebut adalah hal yang aneh dan tragis. 

Di Barat, feminisme timbul dan didorong oleh beberapa keyakinan bahwa mereka memang merasa ditindas oleh kaum laki-laki. Budaya patriarki dan pengekangan terhadap kebebasan perempuan dirasakan oleh perempuan-perempuan Barat, yang pada akhirnya melahirkan gelombang feminisme. Berbeda dengan Islam, yang menjadikan keadilan sebagai asas utama dalam mengarungi kehidupan sosial, baik laki-laki maupun perempuan. "Dalam tiap tindakan sadar manusia ada pikiran atau kepercayaan yang tersembunyi yang melandasinya, itulah WORLDVIEW", tutur beliau. 

Dalam uraian berikutnya, beliau mencoba menjelaskan secara etimologis arti kata Worldview. Worldview -atau Weltanschauung dalam bahasa Jerman-, merupakan unsur dari kata world, yang artinya dunia atau kehidupan duniawi. Dan view, yang artinya adalah pandangan akal pikiran, bukan pandangan mata. Jadi Worldview adalah pandangan terhadap dunia. "Sedangkan asumsi, yang menjadi landasan kita dalam berkata dan bertindak, adalah sesuatu yang kita percaya begitu saja", tambah beliau.

Dalam beberapa uraian berikutnya, beliau menjelaskan definisi Worldview dari sudut pandang orang Barat. Hal ini dilakukan dalam rangka mengkomparasikan antara pandangan-pandangan Barat dengan pandangan Islam. Uraian beliau sampai pada taraf membuat kategorisasi antara mereka yang percaya pada nilai-nilai ketuhanan, dan mereka yang tidak percaya. Dan membuat beberapa tingkatan dari hasil Worldview yang kelak akan muncul tiga golongan, baik itu dari golongan Agama, Sosial-Politik, dan Sains. Maka sebagai penganut sebuah agama, kita pun memiliki pandangan hidup yang kesemuanya sudah diatur dalam agama kita, yang sumbernya berdasarkan dari wahyu Allah, yakni Al-Qur'an dan As-Sunnah, dan kemudian bermuara pada sebuah keyakinan tentang ke-Esa-an Allah berupa Tauhid, yang memang menjadi asas utama dalam The Worldview of Islam, Pandangan Hidup Islam. 

Di akhiri dengan sesi tanya-jawab, para peserta yang hadir sangat antusias untuk bertanya dan membahas terkait tema yang ditawarkan. Sebut saja Sadam, salah satu peserta Sekolah Pemikiran Islam (SPI Bandung), bertanya mengenai ikhtilaf fiqhiyyah atau ikhtilaf tanawwu' yang memang lumrah terjadi di tengah umat Islam, "Apakah hal tersebut karena perbedaan mengenai pandangan hidup mereka masing'masing?". Dr. Wendi memberi jawaban singkat bahwa yang dimaksud dengan worldview dalam pembahasan ini adalah yang bersifat global, mujmal, bukan perkara cabang yang jatuhnya dalam bab fiqih. Kalau di antara umat Islam sudah meyakini bahwa Allah adalah Tuhannya, Muhammad adalah Rasul dan Teladannya, Al-Qur'an kitab suci dan pedomannya, percaya dengan kehidupan setelah mati, maka mereka memiliki Worldview yang sama.

FIAN SOFIAN. 

Share:

Perang Pemikiran, dan Kewajiban Menuntut Ilmu Bagi Seluruh Umat Islam

Kamis malam, bertepatan dengan tanggal 8 September 2022, Sekolah Pemikiran Islam (SPI Bandung) kembali menggelar pertemuan keduanya yang bertempat di Ruang Tafsir masjid Istiqomah Citarum. Tema yang diangkat kali ini adalah Ghozwul Fikr, yang mana kalau kita terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia secara letterlijk berarti Perang Pemikiran. Ustadz Akmal Sjafril, yang merupakan Kandidat Doktor Ilmu Sejarah UI kembali menjadi pemateri di malam tersebut.

Materi diawali dengan penjelasan secara etimologis, yang mana di dalamnya terdiri dua unsur kata yakni ghozwah (perang), dan al-fikroh (pemikiran). Sebelum menginjak pada pemaparan secara terminologis, sejenak beliau ingin meluruskan tentang apa dan bagaimana itu bentuk ghozwul fikr, yang menurut pengalaman beliau ketika SMP, hanya berkutat pada 3F, Fun (hiburan), Food (makanan dan minuman yang membawa pada perilaku konsumtif), and Fashion (pakaian). Sifat dan bentuk perang yang dilancarkan oleh musuh-musuh Islam sudah mulai berubah haluan, maka bentuk pencegahan dan perlawanan pun sudah mestinya dirubah oleh umat Islam. Beliau menyebutkan, bahwa orang-orang yang di zaman ini menjadi gembong pemantik perang terhadap umat Islam, tidak terkategorisasi dalam 3 hal tersebut di atas. Kalau di awal-awal abad ke-21 ada JIL, dan seluruh umat Islam bersatu-padu melawan pemikiran mereka, maka pada hari ini dedengkot JIL sudah masuk dalam pemerintahan.

Ayat ke 120 dari surat Al-Baqoroh menjadi pembuka untuk lanjut ke tahapan materi yang lebih terperinci. Kata demi kata, kalimat demi kalimat beliau jelaskan, dan kemudian dikomparasikan dengan realitas yang tengah terjadi di tengah-tengah umat Islam. Beliau melemparkan sebuah pertanyaan kepada para peserta, "Mengapa hanya disebutkan Yahudi dan Nasrani saja di dalam ayat ini? Kenapa tidak ada agama-agama lain?". Sejenak para peserta pun terdiam sembari mengernyitkan dahinya pertanda sedang berfikir keras. Tak lama beliau pun menjawab, "Karena Yahudi dan Nasrani adalah yang terdekat dengan umat Islam, karena sama-sama ahli kitab. Kalau yang dekat saja sudah tidak rela dengan umat Islam, bagaimana dengan yang jauh?".

Masih terkait dengan ayat ke 120 dari surat Al-Baqoroh tersebut, yang berbunyi, ولئن اتبعت أهواءهم بعد الذي جاءك من العلم مالك من الله من ولي ولا نصير, ayat tersebut cukup menjelaskan bahwa pemikiran, ideologi, dan isme-isme yang ditawarkan oleh mereka bukanlah sejatinya ilmu yang membawa umat manusia menuju ke peradaban yang lebih baik, melainkan hanya sekedar hawa nafsu saja. Sedangkan Allah-lah yang memberikan kita ilmu. Isme-isme yang mereka tawarkan sejatinya hanyalah kamuflase, kebohongan, dan absurd. Sejarah terus berulang, dan berulang pulalah kegagalan-kegagalan ideologi yang dianut musuh-musuh Islam tersebut. Kita tentu tahu ideologi marxisme, komunisme, dan leninisme, yang diawal abad ke 20 menjadi lawan dari ideologi kapitalisme? Dan buku-buku yang berkaitan dengan ideologi tersebut seolah-olah dijadikan sebagai kitab suci dan pegangan bagi kalangan muda-mudi yang mengaku intelektual. Ideologi tersebut gagal, dan tak bisa menjawab tantangan zaman. Omong kosong yang ditawarkan oleh tokoh mereka mengenai kesetaraan dan kesamaan dalam hal ekonomi dan penghidupan, hanya menjadi lip service belaka. Pada realitasnya, kehidupan para tokoh-tokoh mereka amat kontradiktif dengan keadaan masyarakat yang menjadi penganut ajaran mereka. 

Ayat tersebut sejatinya menjadi hujjah untuk kita, jikalau kita mengikuti hawa nafsu mereka, maka Allah memberi peringatan bahwa kita tidak akan memiliki pelindung dan penolong lagi. Lantas, apakah Barat yang selama ini menjadi "trendsetter" bagi sebagian kalangan, akan menjadi pelindung bagi umat Islam? Barat, yang memang sudah sejak lama menjadi poros permusuhan terhadap Islam, saat ini sudah nampak tanda-tanda kehancuran sosialnya.Ideologi yang mereka tawarkan sudah gagal memperbaiki kehidupan sosial di sana. Lantas, masihkah kita "membebek" kepada mereka?

Ghozwah.

  • Bermakna konfrontasi yang terencana untuk satu tujuan penaklukkan.
  • Konfrontasi mengharuskan kita siap untuk memberikan perlawanan.
  • Aspek perencanaan membedakan antara perang dan tawuran atau hal lainnya. Maka semakin tinggi level perang yang dilakukan musuh Islam, maka harus semakin tinggilah perencanaan.
  • Karena tujuannya penaklukkan, maka ada urgensi yang harus disadari.
Fikroh.

  • Fikroh menjadi penting karena manusia adalah makhluk yang dikendalikan oleh akalnya, demikian juga segala potensi dirinya hanya bisa dimanfaatkan sesuai kondisi akalnya.
  • Aspek pemikiran ini menunjukkan bahwa perang ini hanya bisa dimenangkan dengan ilmu. Artinya, yang lebih berilmu-lah yang akan menjadi pemenang.

Pemikiran dan Bahasa.

Serangan pemikiran yang paling sederhana diawali dengan bahasa yang terdiri dari kata-kata. Sebab, setiap kita mewakili sebuah konsep, dan setiap konsep mewakili sebuah pemikiran. 

Selanjutnya, beliau membawakan kalimat-kalimat absurd dari kalangan musuh-musuh Islam, yang sebenarnya jauh sekali dari sikap kritis dan ilmiah, justru malah terkesan ceroboh dan tidak logis.

Modus-modus yang sering mereka lakukan dari tiga aspek; media, pendidikan, dan hiburan.

Share:

Pengertian dan Sejarah Singkat Bahasa Indonesia

Manusia sebagai makhluk sosial tidak akan terlepas dari interaksi dan komunikasi di antara sesamanya. Seseorang dapat menyampaikan keinginan, perasaan, ide, dan gagasannya kepada orang lain melalui bahasa, baik secara lisan maupun tulisan. Pada awal perkembangannya, hanya dua hal itu saja yang menjadi alat interaksi dan komunikasi bagi manusia. Namun belakangan, saudara-saudara kita yang difabel pun sudah mulai menggunakan standar bahasa khusus dalam kehidupan mereka, entah itu bahasa tubuh maupun bahasa isyarat.

Pun dengan masyarakat Indonesia -yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasionalnya-, di zaman pasca kemerdekaan dijadikan sebagai alat untuk saling berinteraksi dan berkomunikasi. Di dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan bangsa, (2) lambang identitas nasional, (3) alat perhubungan antarwarga, antardaerah, dan antarbudaya, (4) dan alat menyatukan berbagai elemen bangsa. 

Kondisi Geografis Masyarakat Nusantara Pra Kemerdekaan.

Sebagai negara maritim, kondisi geografis Indonesia (baca: Nusantara) yang merupakan jalur perdagangan internasional, mengharuskan terkoneksinya antara satu pulau dengan pulau lainnya. Selain faktor hubungan ekonomi dengan dunia internasional, faktor pendidikan atau koneksi intelektual di antara orang-orang Nusantara dengan Hijaz pun turut andil dalam mempertemukan orang-orang dari Nusantara di sana, dimana lingua franca yang mereka gunakan adalah bahasa Melayu. Bahasa ini mulanya adalah bahasa orang-orang di Selat Malaka dan Pantai Timur Sumatera. Bahasa ini kemudian menyebar melalui interaksi laut, terutama interaksi antar orang-orang yang berada dalam gugus Laut Jawa. Karakteristik linguistiknya yang egaliter dan mudah dipelajari, membuat bahasa Melayu menjadi cepat menyebar di pesisir-pesisir pantai utara Jawa, pantai barat dan selatan Kalimantan (Borneo), pantai barat Sulawesi (Celebes), dan daerah-daerah lain dalam gugus Laut Jawa. Bahkan bahasa ini cepat menyebar ke sistem-sistem gugus laut lain di sebelah timur kepulauan Nusantara melalui interaksi lanjutan Laut Jawa dengan laut-laut lain. Lihat Jas Mewah Hal. 62.

Proses akulturasi Islam dan kebudayaan Melayu memengaruhi perubahan nilai-nilai yang terkandung dalam bahasa Melayu. Sebelum bersentuhan dengan Islam, bahasa Melayu kuno adalah bahasa seni atau bahasa estetis. Konsepsi bahasa Melayu modern memudahkan masyarakat Nusantara untuk lebih memahami agama Islam. Islam menjadi ruh dan kehidupan bagi masyarakat Nusantara, sehingga laju dan perputaran ekonomi saat itu sangat baik seiring dengan baiknya interaksi dan komunikasi masyarakat Nusantara dengan dunia internasional. Selama masa ini, naskah-naskah ilmiah berbahasa Melayu-Islam dengan tulisan Arab Pegon mewarnai ruang kebudayaan masyarakat Nusantara, yang isinya bukan lagi puji-pujian terhadap penguasa, melainkan nilai-nilai ilmiah yang dibutuhkan untuk kemajuan peradaban.

Ada sebuah pertanyaan dari seorang peneliti berkebangsaan Prancis bernama Dr. Denys Lombard, kenapa Belanda "relatif mudah" menguasai wilayah yang sekarang menjadi Indonesia? Berdasarkan bukti-bukti yang berhasil dikumpulkannya, ia menemukan jawaban bahwa Belanda menjadi mudah menguasai wilayah ini dan menyatukannya di bawah payung Hindia Belanda karena sebab sebelumnya wilayah-wilayah ini telah disatukan oleh jaringan para pedagang Muslim yang akhirnya membentuk kekuasaan Islam di berbagai wilayah. Antara satu penguasa dengan penguasa lain telah saling berhubungan secara intensif. Sebagai bukti nyata adalah terciptanya "bahasa Melayu baru" sebagai lingua franca di antara mereka. Bahasa Melayu baru ini adalah bahasa Melayu yang telah diislamisasi secara intensif peristilahan-peristilahannya yang menunjukkan pengaruh Islam yang sangat kuat. Lihat Jas Mewah Hal. 274.

Bahasa dan Pengaruhnya Terhadap Kemerdekaan.

Ada tiga faktor kesamaan antara penduduk di sebuah embrio negara baru bernama Indonesia, yang kelak akan menjadi pemicu kebangkitan nasional. Yang pertama, memiliki kesamaan nasib dalam hal ekonomi dan sosial, yakni sama-sama menjadi rakyat jajahan. Yang kedua, memiliki kesamaan lingua franca yang digunakan dalam melakukan hubungan ekonomi dan sosial. Yang ketiga, memiliki kesamaan agama. Bahkan agama Islam pada paruh pertama abad ke-20 mencapai angka 95%.

 

 

Diresmikannya Bahasa Indonesia

Kelahiran bahasa Indonesia tidak terpisahkan dari kebangkitan nasional. Semenjak dini tokoh- tokoh semacam Ki Hadjar Dewantara, serta para perintis kemerdekaan lain telah memiliki gagasan bagaimana bangsa ini bisa mempunyai bahasa yang bukan hanya berperan selaku perlengkapan pemersatu komunikasi dalam bermasyarakat, namun juga sebagai bahasa kebudayaan yang mencerminkan kedewasaan pemakainya dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa.

Setelah itu, pada saat mempersiapkan Kongres Pemuda pada tahun 1926, panitia setuju tentang garis besar rumusan Sumpah Pemuda. M. Tabrani menganjurkan bahasa persatuan itu disebut bahasa Indonesia, yang mana usulan tersebut disetujui bersama pada 2 mei 1926, termasuk Muh. Yamin meski dengan berat hati. Proses itulah yang menyebabkan tercipatanya keputusan Kongres Pemuda awal 30 April hingga 2 Mei 1926 kemudian dikukuhkan dalam Kongres Pemuda kedua, 27-28 Oktober 1928 berbentuk Sumpah Pemuda, jelas bagi kita kalau bahasa persatuan itu bahasa Melayu yang setelah itu diberi nama, bahasa Indonesia.

 

Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Nasional

Sejak Kongres Pemuda itulah kita mengenal dua bahasa, bahasa Melayu dan bahasa Indonesia. Dengan menyebut bahwa bahasa persatuan adalah bahasa Indonesia. Tidaklah berarti bahwa bahasa Melayu telah punah, bahasa tersebut masihlah eksis dan dipergunakan sebagai bahasa daerah seperti di wilayah Riau, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, dan daerah lainnya. Juga dipergunakan di pelosok Asia Tenggara, seperti Malaysia, Brunei, Singapura, serta sebagai bahasa daerah di Thailand Selatan, dan Filipina Selatan.

Bahasa Indonesia mempunyai kedudukan sebagai bahasa nasional seperti pada ikrar ketiga Sumpah Pemuda 1928 yang berbunyi "Kami putera dan puteri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia". Dan seperti yang tertera di dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal khusus (bab XV, pasal 36) mengenai kedudukan bahasa Indonesia, menyatakan bahwa bahasa negara ialah bahasa Indonesia.

Bahasa Melayu yang telah menjelma menjadi bahasa Indonesia, telah berada di Nusantara sejak 680 M, membuatnya menjadi lebih kokoh dengan perkembangan zaman. Diawali dengan bahasa pemersatu yang menyatukan setiap suku kemudian menjadi bahasa negara yang eksis hingga saaat ini. Dan kini di era modern bahasa Indonesia mulai dikenal di belahan bumi lain, nahasnya masyarakat indonesia mulai kehilangan kebanggannya terhadap bahasa ibunya tersebut.

 

Studi Kasus.

Di era digitalisasi seperti saat ini, acap kali terjadi pencampuran bahasa, terutama dalam percakapan sehari-hari. Sebut saja bahasa Jaksel,  yang merupakan hasil kombinasi dari bahasa Inggris tidak baku dengan bahasa Indonesia. Dan hal tersebut, dikhawatirkan akan menghilangkan eksistensi bahasa Indonesia. Lantas, upaya prefentif apa yang dapat kita lakukan agar bahasa Indonesia tetap dapat diaplikasikan dalam percakapan sehari-hari? Baik dalam lingkungan formal maupun non formal?


Turut Berkontribusi: Euis Siti, Fitri Az-Zahra, Habibullah Anshari, dan Fian Sofian

UIN SGD Bandung, Fakultas Adab&Humoniora Prodi Bahasa&Sastra Arab

Share:

Fenomena Sekularisme, dan Wajah Baru Kaum Modernis


Sekolah Pemikiran Islam (SPI) Bandung angkatan 8 telah resmi dibuka pada hari Kamis, 1 September 2022. Bertempat di Ruang Tafsir masjid Istiqomah Citarum, pertemuan pertama di malam tersebut didahului oleh pemaparan dari Akmal Sjafril, yang merupakan pendiri sekaligus kepala pusat SPI yang saat ini juga merupakan peneliti di INSISTS.

Sesuai dengan visi yang diusung, yaitu menjadi lembaga pendidikan yang berkontribusi membangkitkan kembali tradisi ilmu untuk mengembalikan kejayaan peradaban Islam, maka Akmal menjelaskan bahwasanya agama Islam dibangun atas dasar ilmu pengetahuan, bukan keajaiban-keajaiban yang bersifat metafisik dan irasional. Akmal kemudian memberikan sebuah contoh mengenai fenomena orang murtad, yang menurut anggapannya tidak berlandaskan pada nilai-nilai intelektualitas. Tidak ada sejarahnya orang yang murtad menganggap bahwa konsep trinitas lebih logis ketimbang konsep tauhid yang ditawarkan oleh Islam. Motif murtad mereka tidak lebih dari sekedar perkara remeh-temeh dan timbangan duniawi belaka. 

Akmal juga kembali menegaskan, bahwa level umat Islam jauh di atas umat-umat lain. Dalam berbagai lini, seharusnya umat Islam lebih jauh mengungguli mereka. Sebagai contoh dalam perkara kehidupan sosial, mereka penganut agama-agama lain pun menolak tentang LGBT dan freesex, akan tetapi kembali hanya Islam saja yang habis-habisan menentang hal-hal tersebut. Penganut agama lain sudah angkat tangan menghadapi hal-hal tersebut, maka imbasnya adalah kerusakan moral dan hilangnya peradaban dari masyarakat mereka. Itulah tujuan sekularisme dan liberalisme, menjauhkan manusia dari peradaban dan moralitas. Karena bagi penganut sekularisme, agama dan nilai-nilai ketuhanan harus dijauhkan dari ruang lingkup publik apapun itu namanya. Cukup dijadikan konsumsi pribadi saja.

Maka kiranya tepat, jika saat ini SPI menjadi wadah yang mengakomodir seluruh kalangan muda-mudi muslim dengan latar belakang pendidikan yang berbeda, untuk mengkaji fenomena-fenomena yang tengah terjadi saat ini -terutama di lingkungan kampus atau tempat tinggal mereka-. Salah satunya adalah Trianka Utama, salah seorang peserta SPI Bandung yang memiliki latar belakang pendidikan di jurusan komunikasi dan pengembangan masyarakat IPB, tatkala ditanyakan mengenai fenomena sekularisme,

"Proyek sekularisasi bangsa Indonesia itu sangat terasa hasilnya di masa sekarang. Orang-orang benar-benar jauh dari agama, apalagi generasi-generasi akhir sekarang ini. Mereka ini di setiap sendi kehidupannya dicekoki pemikiran ala-ala sekuler liberal. Jauh dari agama ditambah dengan pemahaman sekuler liberal, jadilah generasi yang rusak aqidah, rusah ibadah, rusak akhlak, dan rusak pemikirannya".

Mengenai harapannya tatkala mengikuti program SPI, "Itulah salah satu peran SPI, sebagai pondasi untuk membangun generasi umat Islam bukan hanya sekedar aqidah, ibadah, atau akhlaq, tapi pemikiran dan intelektualitasnya juga di islamisasi", imbuhnya.

Maka kita berharap, dengan agenda yang ditawarkan oleh SPI ini menjadi tempat yang akan melahirkan kaum-kaum intelektual di kalangan umat Islam -yang sebelum zaman kemerdekaan disebut sebagai kaum modernis-, yang berpedoman kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah, dan menolak segala bentuk kejumudan berfikir.

Share:

Definition List

Definition list
Consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua.
Lorem ipsum dolor sit amet
Consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua.

Theme Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.
Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

Ordered List

  1. Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.
  2. Aliquam tincidunt mauris eu risus.
  3. Vestibulum auctor dapibus neque.

Recent Posts

Unordered List

  • Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.
  • Aliquam tincidunt mauris eu risus.
  • Vestibulum auctor dapibus neque.

Sample Text

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua.

Pages

Theme Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.