Manusia sebagai makhluk sosial tidak akan terlepas dari interaksi dan komunikasi di antara sesamanya. Seseorang dapat menyampaikan keinginan, perasaan, ide, dan gagasannya kepada orang lain melalui bahasa, baik secara lisan maupun tulisan. Pada awal perkembangannya, hanya dua hal itu saja yang menjadi alat interaksi dan komunikasi bagi manusia. Namun belakangan, saudara-saudara kita yang difabel pun sudah mulai menggunakan standar bahasa khusus dalam kehidupan mereka, entah itu bahasa tubuh maupun bahasa isyarat.
Pun dengan masyarakat Indonesia -yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasionalnya-, di zaman pasca kemerdekaan dijadikan sebagai alat untuk saling berinteraksi dan berkomunikasi. Di dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan bangsa, (2) lambang identitas nasional, (3) alat perhubungan antarwarga, antardaerah, dan antarbudaya, (4) dan alat menyatukan berbagai elemen bangsa.
Kondisi Geografis Masyarakat Nusantara Pra Kemerdekaan.
Sebagai negara maritim, kondisi geografis Indonesia (baca: Nusantara) yang merupakan jalur perdagangan internasional, mengharuskan terkoneksinya antara satu pulau dengan pulau lainnya. Selain faktor hubungan ekonomi dengan dunia internasional, faktor pendidikan atau koneksi intelektual di antara orang-orang Nusantara dengan Hijaz pun turut andil dalam mempertemukan orang-orang dari Nusantara di sana, dimana lingua franca yang mereka gunakan adalah bahasa Melayu. Bahasa ini mulanya adalah bahasa orang-orang di Selat Malaka dan Pantai Timur Sumatera. Bahasa ini kemudian menyebar melalui interaksi laut, terutama interaksi antar orang-orang yang berada dalam gugus Laut Jawa. Karakteristik linguistiknya yang egaliter dan mudah dipelajari, membuat bahasa Melayu menjadi cepat menyebar di pesisir-pesisir pantai utara Jawa, pantai barat dan selatan Kalimantan (Borneo), pantai barat Sulawesi (Celebes), dan daerah-daerah lain dalam gugus Laut Jawa. Bahkan bahasa ini cepat menyebar ke sistem-sistem gugus laut lain di sebelah timur kepulauan Nusantara melalui interaksi lanjutan Laut Jawa dengan laut-laut lain. Lihat Jas Mewah Hal. 62.
Proses akulturasi Islam dan kebudayaan Melayu memengaruhi perubahan nilai-nilai yang terkandung dalam bahasa Melayu. Sebelum bersentuhan dengan Islam, bahasa Melayu kuno adalah bahasa seni atau bahasa estetis. Konsepsi bahasa Melayu modern memudahkan masyarakat Nusantara untuk lebih memahami agama Islam. Islam menjadi ruh dan kehidupan bagi masyarakat Nusantara, sehingga laju dan perputaran ekonomi saat itu sangat baik seiring dengan baiknya interaksi dan komunikasi masyarakat Nusantara dengan dunia internasional. Selama masa ini, naskah-naskah ilmiah berbahasa Melayu-Islam dengan tulisan Arab Pegon mewarnai ruang kebudayaan masyarakat Nusantara, yang isinya bukan lagi puji-pujian terhadap penguasa, melainkan nilai-nilai ilmiah yang dibutuhkan untuk kemajuan peradaban.
Ada sebuah pertanyaan dari seorang peneliti berkebangsaan Prancis bernama Dr. Denys Lombard, kenapa Belanda "relatif mudah" menguasai wilayah yang sekarang menjadi Indonesia? Berdasarkan bukti-bukti yang berhasil dikumpulkannya, ia menemukan jawaban bahwa Belanda menjadi mudah menguasai wilayah ini dan menyatukannya di bawah payung Hindia Belanda karena sebab sebelumnya wilayah-wilayah ini telah disatukan oleh jaringan para pedagang Muslim yang akhirnya membentuk kekuasaan Islam di berbagai wilayah. Antara satu penguasa dengan penguasa lain telah saling berhubungan secara intensif. Sebagai bukti nyata adalah terciptanya "bahasa Melayu baru" sebagai lingua franca di antara mereka. Bahasa Melayu baru ini adalah bahasa Melayu yang telah diislamisasi secara intensif peristilahan-peristilahannya yang menunjukkan pengaruh Islam yang sangat kuat. Lihat Jas Mewah Hal. 274.
Bahasa dan Pengaruhnya Terhadap Kemerdekaan.
Ada tiga faktor kesamaan antara penduduk di sebuah embrio negara baru bernama Indonesia, yang kelak akan menjadi pemicu kebangkitan nasional. Yang pertama, memiliki kesamaan nasib dalam hal ekonomi dan sosial, yakni sama-sama menjadi rakyat jajahan. Yang kedua, memiliki kesamaan lingua franca yang digunakan dalam melakukan hubungan ekonomi dan sosial. Yang ketiga, memiliki kesamaan agama. Bahkan agama Islam pada paruh pertama abad ke-20 mencapai angka 95%.
Diresmikannya Bahasa
Indonesia
Kelahiran
bahasa Indonesia tidak terpisahkan dari kebangkitan nasional. Semenjak dini
tokoh- tokoh semacam Ki Hadjar Dewantara, serta para perintis kemerdekaan lain
telah memiliki gagasan bagaimana bangsa ini bisa mempunyai bahasa yang bukan
hanya berperan selaku perlengkapan pemersatu komunikasi dalam bermasyarakat,
namun juga
sebagai bahasa kebudayaan
yang mencerminkan kedewasaan pemakainya dalam seluruh aspek kehidupan
berbangsa.
Setelah
itu, pada saat mempersiapkan Kongres
Pemuda pada tahun 1926, panitia setuju tentang garis besar rumusan Sumpah Pemuda.
M. Tabrani menganjurkan bahasa persatuan itu disebut bahasa Indonesia, yang mana usulan
tersebut disetujui bersama pada
2 mei 1926, termasuk Muh. Yamin meski dengan berat hati. Proses itulah yang menyebabkan tercipatanya keputusan Kongres Pemuda awal 30 April hingga
2 Mei 1926 kemudian dikukuhkan
dalam Kongres Pemuda kedua,
27-28 Oktober 1928 berbentuk Sumpah Pemuda, jelas bagi kita kalau bahasa
persatuan itu bahasa Melayu yang setelah itu diberi nama, bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Nasional
Sejak
Kongres Pemuda itulah kita mengenal dua bahasa, bahasa Melayu dan bahasa Indonesia. Dengan menyebut bahwa
bahasa persatuan adalah
bahasa Indonesia. Tidaklah
berarti bahwa bahasa
Melayu telah punah,
bahasa tersebut masihlah eksis dan dipergunakan sebagai bahasa daerah seperti
di wilayah Riau,
Sumatera
Utara,
Kalimantan Barat, dan daerah lainnya. Juga dipergunakan di pelosok Asia
Tenggara, seperti Malaysia, Brunei, Singapura, serta sebagai bahasa daerah di Thailand
Selatan, dan Filipina
Selatan.
Bahasa
Indonesia mempunyai kedudukan sebagai bahasa nasional seperti pada ikrar ketiga
Sumpah Pemuda 1928 yang berbunyi "Kami putera dan puteri Indonesia menjunjung bahasa
persatuan, bahasa Indonesia". Dan seperti yang tertera di dalam Undang-Undang
Dasar 1945 pasal khusus (bab XV,
pasal 36) mengenai kedudukan bahasa Indonesia, menyatakan bahwa bahasa negara
ialah bahasa Indonesia.
Bahasa Melayu yang telah
menjelma menjadi bahasa Indonesia, telah berada di Nusantara sejak 680 M,
membuatnya menjadi lebih kokoh dengan perkembangan zaman. Diawali dengan bahasa
pemersatu yang menyatukan setiap suku kemudian menjadi bahasa negara yang eksis
hingga saaat ini. Dan kini di era modern bahasa Indonesia mulai dikenal di
belahan bumi lain, nahasnya masyarakat indonesia mulai kehilangan kebanggannya
terhadap bahasa ibunya tersebut.
Studi Kasus.
Di era digitalisasi seperti
saat ini, acap kali terjadi pencampuran bahasa, terutama dalam percakapan sehari-hari.
Sebut saja bahasa Jaksel, yang merupakan hasil kombinasi dari bahasa Inggris
tidak baku dengan bahasa Indonesia. Dan hal tersebut, dikhawatirkan akan
menghilangkan eksistensi bahasa Indonesia. Lantas, upaya prefentif apa yang
dapat kita lakukan agar bahasa Indonesia tetap dapat diaplikasikan dalam
percakapan sehari-hari? Baik dalam lingkungan formal maupun non formal?
Turut Berkontribusi: Euis Siti, Fitri Az-Zahra, Habibullah Anshari, dan Fian Sofian
UIN SGD Bandung, Fakultas Adab&Humoniora Prodi Bahasa&Sastra Arab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar