PIALA DUNIA QATAR DAN PERADABAN ISLAM : KEBIJAKAN LUAR NEGERI QATAR, BARAT YANG HIPOKRIT, DAN SELEBRASI TIM MAROKO

ABSTRAK

Meskipun pada akhirnya Maroko kalah dalam laga seperempat final melawan Prancis, namun tidak menutup kemungkinan mereka akan meraih peringkat juara tiga dalam laga gelaran FIFA World Cup Qatar 2022. Setidaknya Maroko telah mewakili benua Afrika bagian Utara dalam ajang FIFA World Cup Qatar 2022 tersebut. Dan terlebih, Maroko yang merupakan negara dengan mayoritas pemeluk agamanya adalah Islam, bukan hanya mewakili rasa bangga dari masyarakat Afrika khususnya, melainkan masyarakat Arab atau Timur Tengah dan juga masyarakat muslim pada umumnya. Begitu pula dengan Negara yang penduduk muslimnya terbesar di dunia, yang jaraknya ribuan kilometer dari gelaran ajang FIFA World Cup Qatar 2022. Sebuah negara kepulauan yang menurut survei masuk dalam empat besar negara pengguna media sosial terbanyak.

Di balik gegap gempitanya fans sepak bola di Indonesia, ternyata masyarakat kita disuguhi oleh pemandangan-pemandangan yang luar biasa dari gelaran tersebut. Sebutlah pada satu laga Arab Saudi melawan Argentina, Arab Saudi dapat mengalahkan Argentina dengan skor 2-1, yang mana tim kesebelasan Argentina diisi oleh pemain terbaik kelas dunia bernama Lionel Messi. Semua orang dibuat kagum dan sedikit tidak percaya dengan penampilan tim kesebelasan Arab Saudi pada laga itu. Lalu ada pula tim kesebelasan Jepang yang berhasil mengalahkan tim Panser Jerman dan Spanyol, yang pada akhirnya membuat tim Panser Jerman -yang menuai kontroversi saat melakukan protes tutup mulut karena dilarang menggunakan ban kapten "One Love"- harus segera angkat kaki dari Qatar. Tentu saja kemenangan yang diraih Arab Saudi dan Jepang mewakili rasa bangga penggemar sepak bola di negaranya masing-masing, dan umumnya juga mewakili rasa bangga penduduk Asia, yang mungkin sudah jenuh dengan dominasi Eropa dan negara-negara di semenanjung Amerika Latin dalam menguasai sepak bola.

Artikel yang saya buat ini akan membahas mengenai tiga pembahasan yang selama ini jadi sorotan masyarakat dan keterkaitanya dengan peradaban Islam. Semoga dapat menjadi nilai tambah bagi Ujian Akhir Semester saya.

 BAGIAN I : PENDAHULUAN

Peradaban Islam jelas dimulai di tengah-tengah gurun tandus yang masyarakatnya dikenal sebagai masyarakat jahiliyyah, masyarakat yang hidup dalam kebodohan. Kebodohan mereka dikarenakan kehidupan mereka yang dipenuhi dengan nuansa paganisme, penyembahan terhadap berhala, dan perilaku amoral sebagian besar masyarakatnya. Fajar Islam datang, dibawa oleh seorang keturunan Quraisy, yang nasab atau silsilahnya tersambung dengan Nabi Ismail dan Ibrahim. Nabi Muhammad namanya, Nabi yang dikenal ummi (tak bisa membaca dan menulis), namun masyarakat sekitar mengenal baik dirinya sebagai seorang yang memiliki perangai santun, jujur, dan amanah.

Ajaran yang dibawanya meluas dan diterima oleh berbagai kalangan. Sahabat-sahabat beliau melakukan ekspansi dan perluasan kekuasaan ke negara-negara sekitar, dan menjadikan masyarakat yang dihampiri oleh fajar Islam menjadi masyarakat yang beradab dan bermoral. Bukan hanya Mekkah dan Madinah yang menjadi pusat kekuasaan, kekuatan, dan peradaban Islam, bahkan negara-negara yang berada di semenanjung Arab dan bahkan sampai utara Afrika telah dikuasai oleh Islam. Indonesia yang merupakan negara kepulauan dan penghasil rempah-rempah pun menjadi tempat untuk memperluas ajaran Islam. Nusantara yang saat itu dikuasai oleh ajaran Hindu-Budha, pada akhirnya menerima Islam sebagai ajaran yang dianut oleh mayoritas masyarakat Nusantara. Hingga sampai saat ini, Indonesia merupakan penganut agama Islam terbesar di dunia. 

 BAGIAN II : KEBIJAKAN LUAR NEGERI QATAR

Peradaban Islam yang sampai saat ini memegang kendali di negara-negara yang telah kami sebutkan di atas, tetap teguh dipegang dan dijalankan dalam berbagai hal. Salah satu yang kami bahas di sini adalah mengenai ajang FIFA World Cup Qatar 2022, dimana Qatar yang selaku penyelenggara dan tuan rumah membuat kebijakan yang melarang simbol-simbol LGBTQ, alkohol, narkoba, seks bebas, dan berpakaian terbuka.

Yang akan dibahas lebih mendalam dalam pemaparan ini adalah mengenai larangan menggunakan kapten ban berlogo LGBTQ, yang dilarang dalam ajang FIFA World Cup Qatar 2022. Pemerintah dan masyarakat Qatar yang menjunjung tinggi nilai-nilai ajaran Islam tegas melarang praktek bahkan simbol-simbol LGBTQ. Bahkan hal tersebut didukung oleh FIFA President Gianni Infantino yang bahkan menyebutkan bahwa Barat -yang menganggap otoritas Qatar melanggar HAM dan kebebasan individu- sebagai hipokrit. 

BAGIAN III : BARAT YANG HIPOKRIT

Aksi para pemain Jerman jelang laga melawan Jepang menuai kontroversi. Mereka menutup mulut tanda protes kepada peraturan FIFA yang melarang mereka menggunakan ban kapten "One Love". Dalam laman media sosial mereka di instagram, mereka membuat pernyataan resmi terkait aksi para pemain mereka tersebut. Berikut kutipannya, "Kami menginginkan untuk menggunakan ban kapten kami untuk mempertahankan nilai-nilai yang kami pegang  di tim nasional Jerman: yaitu keberagaman dan sikap saling menghormati. Bersama dengan bangsa lain, kami juga ingin suara kami didengar. Ini bukan tentang membuat pernyataan politik, karena nilai-nilai hak asasi manusia (HAM) tidak dapat dinegosiasikan. Itu harus diterima begitu saja, tetapi tetap saja tidak demikian. Itulah mengapa pesan ini sangat penting bagi kami. Melarang kami dalam menggunakan ban kapten sama dengan menolak kami bersuara. Kami berdiri dengan posisi kami."

Postingan tersebut sudah dikomentari sebanyak 27.000 lebih netizen, yang mayoritasnya justru memperolok aksi Jerman tersebut, dikarenakan pada akhirnya mereka kalah dari Jepang. Ada pula netizen yang mengaitkan kejadian tersebut dengan kasus terusirnya Ozil, karena membela hak asasi manusia di Uighur. Oleh karenanya, banyak yang menganggap Jerman hipokrit terkait permasalahan hak asasi manusia. Disamping memperolok Jerman yang hipokrit dan akhirnya kalah dari Jepang dan harus pulang ke negaranya, netizen juga mengaitkan aksi Jerman tersebut yang ingin dihormati, namun tidak mau menghormati kebijakan tuan rumah Qatar.

Tak mau kalah dari para pemain Jerman, Menteri Olahraga Prancis Amelie Oudea Castera mendesak tim sepak bola nasionalnya untuk melakukan hal yang sama dengan tim sepak bola Jerman dan membuat diri mereka didengar oleh otoritas FIFA atas hukuman penggunaan ban kapten. Hal ini dimaksudkan agar Prancis juga dianggap sama oleh dunia bahwa mereka membela hak asasi manusia. Namun presiden federasi sepak bola Prancis (FFF) Noel Le Graet mengatakan akan tetap mengikuti aturan FIFA.

Senada dengan Noel, gelandang Prancis Matteo Guendouzi menolak niat menteri olahraga Prancis Amelia Oudea Castera. Dia berkata, "Dia adalah seorang politisi yang mengatakan apa yang dia inginkan, dan kami akan menjelaskan posisi kami tentang keadaan ini (sebelum Piala Dunia). Tetapi kami hadir di sini (Qatar) untuk bermain sepak bola dan menikmati posisi kami sendiri di lapangan."

BAGIAN IV : SELEBRASI TIM MAROKO

Meski pada akhirnya Maroko kalah dalam pertandingan perempat final melawan Prancis, namun sebenarnya mereka menang di hati siapa saja yang mencintai dan menginginkan suatu peradaban yang baik bagi seluruh umat manusia. Selebrasi kemenangan mereka di lapangan menunjukkan kepada kita semua tentang bagaimana kita menghormati orang tua dan keluarga kita. Kemesraan yang mereka tunjukkan di hadapan kita tentu membuat siapapun yang melihatnya iri. Ini bukan sekedar pertandingan sepak bola, melainkan sebuah pertunjukkan peradaban Islam yang telah lama dibangun dan masih dipraktikkan oleh para pemain sepak bola Maroko.

Media massa juga memberitakan sikap para pemain dan tim ofisial yang menunjukkan keakraban dengan keluarganya. Ada momen mengharukan yang diperlihatkan Achraf Hakimi yang mencium kening ibunya. Ada saat Sofiane Boufal menari dengan ibunya di lapangan untuk merayakan kemenangan bersejarah mereka setelah melawan Portugal di Piala Dunia FIFA 2022 Qatar. Ada pula pelatih tim sepak bola Maroko Walid Reragui yang mencium ibunya. Dan ada juga penyerang tim sepak bola Maroko Youssef En-Nesyri yang menghampiri dan memeluk sang ayah. Dan tak lupa kiper tim sepak bola Maroko Yassine Bounou yang membawa anaknya saat sesi wawancara. Jika yang kami tulis adalah hubungan antara pemain sepak bola Maroko dengan orang tua dan anak-anaknya, maka ada yang membawa saudaranya saat sesi wawancara, yaitu ketika Sofyan Ambrabat dicium keningnya oleh kakaknya.

Apa yang diperlihatkan para pemain tim sepak bola Maroko mengundang komentator Jerman berbicara tentang apa yang telah dilihatnya. Dia berkata, "Kami tidak lagi melihat ikatan keluarga yang intim di masyarakat Barat. Konsep keluarga memudar, dan kita hanya bisa melihat para pemain berciuman dengan model dan pacar mereka sementara orang tua mereka ditinggal di panti jompo. Dukungan moral dari keluarga memainkan peran besar dalam kemenangan Maroko, sementara kami datang untuk mendukung homoseksualitas dan menutup mulut. Kami mengajari mereka (maksudnya orang Maroko) cara bermain sepak bola, jadi mereka unggul dan melebihi kami, dan kami harus belajar etika dan nilai-nilai keluarga dari mereka, berharap suatu hari kami melihat para pemain kami mencium kening ibu dan ayah mereka juga."

SUMBER DAN REFERENSI

Youtube Channel Cordova Media.

Social Media Account Instagram Cordova Media.

https://www.reuters.com/lifestyle/sports/french-sports-minister-urges-national-team-speak-up-armband-row-2022-11-24/

 

 


Share:

HERMENEUTIKA: UPAYA DESAKRALISASI AL-QUR'AN DAN DEKONSTRUKSI KEMAPANAN WAHYU DAN KENABIAN

Al-Qur’an merupakan wahyu dari Allah, dan merupakan kalaamullah (perkataan Allah), bukan makhluk. Sifat kalaam merupakan salah satu dari sekian sifat-sifat Allah. Oleh karenya sifat Allah itu bukan makhluk, karena logikanya sifat adalah hal yang melekat pada diri pemiliknya. Dalil yang menunjukkan bahwa Al-Qur’an merupakan kalaamullah ada dalam Al-Qur’an surat At-Taubah ayat ke 6,

وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلَامَ اللهِ

“Dan jika seseorang di antara orang-orang musyrik itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar kalam (perkataan) Allah.”

Allah menurunkan wahyu-Nya kepada para Nabi, dan wahyu yang Allah turunkan bukanlah hasil interpretasi dari para Nabi tersebut, sebagaimana yang dituduhkan oleh kaum orientalis dan kaum liberal. Allah berfirman dalam surat An-Nisa ayat ke 163,

إِنَّاۤ أَوۡحَیۡنَاۤ إِلَیۡكَ كَمَاۤ أَوۡحَیۡنَاۤ إِلَىٰ نُوح وَٱلنَّبِیِّـۧنَ مِنۢ بَعۡدِهِۦۚ وَأَوۡحَیۡنَاۤ إِلَىٰۤ إِبۡرهِیمَ وَإِسۡمَـٰعِیلَ وَإِسۡحَـٰقَ وَیَعۡقُوبَ وَٱلۡأَسۡبَاطِ وَعِیسَىٰ وَأَیُّوبَ وَیُونُسَ وَهَـٰرُونَ وَسُلَیۡمَـٰنَۚ وَءَاتَیۡنَا دَاوُۥدَ زَبُورا

“Sesungguhnya Kami mewahyukan kepadamu (Muhammad) sebagaimana Kami telah mewahyukan kepada Nuh, dan nabi-nabi setelahnya, dan Kami telah mewahyukan (pula) kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub, dan anak cucunya; Isa, Ayub, Yunus, Harun dan Sulaiman. Dan Kami telah memberikan Kitab Zabur kepada Dawud.”

Menurut kalangan orientalis Barat, wahyu itu bukan firman Tuhan yang utuh, melainkan telah diinterpretasikan ulang oleh para Nabi, manusia. Lantas wahyu tersebut juga diinterpretasikan oleh murid-murid mereka.

Sebelum lebih jauh membahas tentang hal tersebut, ada baiknya kita harus mengetahui tentang definisi hermeneutika. Hermeneutika menurut rangkuman yang saya dapatkan dari Dr. Nashruddin Syarief M.Pd.I adalah, “Ilmu interpretasi atau teori pemahaman. Yakni ilmu yang menjelaskan tentang tata cara penerimaan wahyu sejak dari tingkat perkataan sampai ke tingkat dunia.” Singkatnya, hermeneutika adalah sebuah ilmu yang mempelajari proses transformasi wahyu dari pikiran dan kalaam Tuhan sampai kepada kehidupan manusia.

Kata hermeneutika ini pada asalnya diambil dari nama dewa Hermes dalam mitologi Yunani, yang dipercayai sebagai pembawa pesan para dewa kepada manusia. Maka hermeneutika dijadikan alat untuk menafsirkan mitologi yang berkembang di Yunani, dan pada akhirnya dijadikan alat untuk menafsirkan dan menjelaskan tentang Al-Kitab dalam agama Kristen. Serangan terhadap Kristen ini membuat mereka menyerah dan harus menyesuaikan dengan pandangan baru masyarakat Barat yang sekuler.

Tatkala hermeneutika dijadikan sebagai alat untuk menginterpretasikan Al-Qur’an, maka mereka memulai dengan cara atau pendekatan-pendekatan bahwa Al-Qur’an harus difahami bukan dari teksnya saja, melainkan konteksnya, baik konteks dari ayat-ayat yang termaktub dalam Al-Qur’an, konteks masalah, dan lain-lain. Inilah yang disebut kontekstualisasi Al-Qur’an. Seiring dengan perkembangan pemikiran hermeneutika di Barat, teori hermeneutika Al-Qur’an pun mengalami perkembangan sehingga bukan hanya membahas tentang kontekstualisasi ayat-ayat Al-Qur’an saja, bahkan sampai kepada kesimpulan-kesimpulan yang ekstrim yang sampai menggugat kemapanan Al-Qur’an dengan menganggap bahwa Al-Qur’an merupakan produk budaya manusia atau muntaaj ats-tsaqofiy. Seorang penulis, Edi Mulyono berkata dalam bukunya Belajar Hermeneutika, “Saat ini diperlukan paradigm baru yang tidak bisa melepaskan Al-Qur’an sebagai produk budaya manusia dalam menangkap keberadaan Tuhan. Inilah yang disebut Al-Qur’an komunikatif, di mana manusia diberi ruang kebebasan dalam menafasirkannya, terlepas dari adi prasangka Al-Qur’an yang terlanjur sudah dianggap Mahasuci, bahkan anti-kritik.”

Pandangan ekstrim di atas merupakan paraphrase atau bahkan plagiasi dari para pemikir-pemikir liberal yang diusung oleh tokoh hermeneutika asal Mesir bernama Nasr Hamid Abu Zaid. Ia menyatakan, “Teks pada hakikat dan substansinya adalah produk budaya dan bahwa itu merupakan satu aksioma yang tidak memerlukan pembuktian.” Pendapat-pendapat Abu Zaid ini dipungut sedemikian rupa oleh kalangan intelektual dan sivitas akademika di beberapa kampus Islam di Indonesia tanpa sedikit pun sikap kritis. Pernyataan Abu Zaid yang lain dan tak kalah kontroversialnya adalah sebagai berikut, “Al-Qur’an adalah bahasa manusia. Perubahan teks ilahi menjadi teks manusiawi.” Dan “Kalau menganggap Al-Qur’an adalah wahyu, maka kita terjebak pada alam dogmatis.”

Di samping Nasr Hamid Abu Zaid, ada juga tokoh liberal dari Al-Jazair yang memberikan pernyataan senada dan tak kalah ekstrim dengan pernyataan Abu Zaid, yaitu Mohammed Arkoun, “Al-Qur’an adalah produk sejarah. Ia hanyalah hasil sosial dan budaya yang dijadikan tak terpikirkan disebabkan semata-mata pemaksaan penguasa resmi.” Arkoun juga menyatakan bahwa wahyu hanya dapat diketahui oleh manusia melalui edisi dunia yang telah mengalami modifikasi. Hal-hal kontroversial di atas sejatinya hanya akan mendekonstruksi kemapanan Al-Qur’an, dan menyebabkan desakralisasi Al-Qur’an.

Pada tahun 2004, IAIN Yogyakarta (sekarang UIN Sunan Kalijaga) meluluskan sebuah tesis master yang kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan. Dikatakan, “Dengan kata lain, mushhaf itu tidak sakral dan absolut, melainkan profane dan fleksibel. Yang sakral dan absolut hanyalah pesan Tuhan yang terdapat di dalamnya, yang masih dalam proses pencarian. Karena itu, kini kita diperkenankan bermain-main dengan mushhaf tersebut, tanpa ada beban sedikit pun, beban sakralitas yang melingkupi perasaan dan pikiran kita.”

Akibat pemahaman yang keliru terhadap Al-Qur’an ini, terjadi berkali-kali polemik dan kontroversi yang dilakukan oleh sivitas akademika IAIN. Sebutlah kala itu di IAIN Surabaya (sekarang UIN Sunan Ampel), seorang dosen yang mengajar mata kuliah Sejarah Peradaban Islam bernama Sulhawi Ruba mendemontrasikan perkuliahan saat itu di hadapan mahasiswa Fakultas Dakwah dengan cara menginjak lafazh Allah di secarik kertas yang ia tuliskan sendiri. Hal ini ia lakukan untuk membuktikan bahwa Al-Qur’an itu bukanlah sesuatu yang sakral. Ia menjelaskan bahwa status dan posisi Al-Qur’an hanyalah hasil budaya dan karya tulis manusia. Ia mengatakan dengan sadar, “Sebgai budaya, posisi Al-Qur’an tidak berbeda dengan rumput.” Ia juga menambahkan, “Al-Qur’an dipandang sakral secara substansi, tapi tulisannya tidak sakral,” katanya setengah berteriak dan mata melotot. Masih menurutnya pula, bahwa Al-Qur’an sebagai kalaamullah adalah makhluk, sedangkan mushhafnya adalah hasil budaya, karena bahasa Arab, huruf-huruf hijaiyyah, dan kertasnya merupakan hasil karya cipta manusia. “Sebagai budaya, Al-Qur’an tidak sakral. Yang sakral adalah kalaamullah secara substantif.”

Dari hasil pemikirannya tersebut, maka tak terhitung banyaknya hasil “ijtihaad” yang dihasilkan oleh Nasr Hamid Abu Zaid. Sebut saja mengenai pandangannya tentang perilaku homoseksualitas. Ia mengatakan, “I became more aware of homosexuality as a natural phenomenon.” (Saya menjadi sadar bahwa homoseksualitas adalah fenomena yang alami). Kemudian dengan pemahamannya tersebut, ia mempertanyakan tentang Al-Qur’an, “Will Islam ever accept homosexuality as anything other than aberrant? Not until we have real revolution –a change in the way we think about the Qur’an in conjunction with our lives.” (Apakah Islam selalu menerima homoseksual selain sebagai perilaku yang menyimpang? Tidak [pernah berubah pandangan semacam ini], kecuali kita melakukan revolusi yang nyata –suatu perubahan cara berpikir kita tentang Al-Qur’an dalam hubungannya dengan kehidupan kita). Bahkan saking terkagumnya dengan pelaku homoseksual, ia pun menuliskan, “I liked many of them and even grew to admire some of them. I never was able to write about this experience in Egypt.” (Saya menyukai kebanyakan dari mereka, dan bahkan mulai mengagumi mereka. Saya tidak akan pernah bisa menuliskan tentang pengalaman ini di Mesir). Ya, karena di negara asalnya dia sudah diajukan “murtad” ke Mahkamah Syariah atas segala pernyataan-pernyataannya. Selain tentang homoseksualitas, banyak sekali pandangan Abu Zaid yang kontroversial seperti tentang feminisme.

Fenomena kegenitan intelektual sudah menjadi sebuah tren di kalangan kaum intelektual Islam di Indonesia. Berawal dari sebuah penyakit mental bernama inferiority complex atau rasa minder dan rendah diri terhadap identitas agamanya, ditambah tatkala mereka silau melihat peradaban Barat dan apapun yang didapatkan dari Barat. Mungkin mereka lupa, bahwa Barat pernah mengalami masa-masa kegelapan tatkala dogma-dogma gereja mendominasi kehidupan mereka, dan fungsi akal dikekang oleh otoritas gereja. Hal ini sangat berbanding terbalik dengan Islam, yang sangat menghargai fungsi akal. Maka menawarkan ideologi-ideologi lain atau bahkan teori-teori lain dalam melakukan interpretasi terhadap sumber-sumber Islam tersebut, sama saja dengan mereka sedang membuang ludah ke atas mukanya.

“Agama datang membangunkan akal dan membangkitkan akal itu serta menggemarkan agar manusia memakai akalnya dengan sebaik-baiknya sebagai suatu nikmat Ilahi yang Maha Indah. Agama datang mengalirkan akal menurut aliran yang benar, jangan melantur kesana kemari, merompak pagar dan pematang. Islam datang bukan melepaskan akal sebagai kita melepaskan kuda di tengah padang, untuk merajalela di semua lapangan. Dalam beberapa hal Islam bertindak sebagai supplement dari akal, menyambung kekuatan akal di mana si akal tak dapat mencapai lebih tinggi lagi. Seseorang yang mendakwakan bahwa akal itu bisa mencapai semua kebenaran, pada hakikatnya, bukanlah sebenar-benarnya orang yang telah mempergunakan akalnya dan bukanlah seseorang yang akalnya merdeka dari hawa-nafsu congkak dan takabur, tetapi yang terikat oleh salah satu macam taklidisme modern yang bernama..., rasionalisme! (Mohammad Natsir, Islam dan Akal Merdeka)



DAFTAR PUSTAKA

Bachtiar, Tiar Anwar. (2017). Pertarungan Pemikiran Islam di Indonesia. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Shalahuddin, Henri. (2007). Al-Qur’an Dihujat. Jakarta: Al-Qalam Gema Insani Press.

Natsir, Mohammad. (2018). Islam dan Akal Merdeka. Bandung: Sega Arsy.

Hasil rangkuman dari perkuliahan SPI Bandung yang diisi oleh Dr. Nashruddin Syarief M.Pd.I

Share:

KONSEP AGAMA DAN KETUHANAN DALAM PANDANGAN BARAT DAN ISLAM

Ciri khas filsafat pada fase abad pertengahan terletak pada sebuah rumusan terkenal yang dikemukakan oleh Saint Anselmus (1033-1109) yaitu credo ut intelligam, believe in order to understand. Atau kalau kita terjemahkan, "Percayalah dahulu nanti juga akan mengerti."

Dalam membuktikan adanya Tuhan, Anselmus sering kali mengatakan bahwa ia tidak perlu tahu tentang Tuhan, ia telah beriman kepada Tuhan, "I believe, that unless I believe, I should not understand."

Konsekuensi dari pernyataan di atas akan berimplikasi pada cara pandang seseorang dalam merumuskan tentang konsep ketuhanan dan menjalankan aturan agamanya. Sebut saja salah satunya dalam meyakini tentang konsep trinitas, yang merupakan pusat doktrin dalam agama Kristen.

Trinitas atau tritunggal yaitu doktrin iman Kristen yang mengakui adanya satu Allah yang Esa namun hadir dalam tiga pribadi: Allah Bapa, Allah Putera, dan Allah Roh Kudus. Di mana menurut mereka ketiga pribadi tersebut memiliki kesamaan esensi, kesamaan kedudukan, kesamaan kuasa, dan kesamaan kemuliaannya. Istilah trinitas mengandung guna tiga pribadi dalam satu kesatuan esensi Allah. Istilah "pribadi" dalam bahasa bahasa Yunani yaitu hupostasis, diterjemahkan ke dalam bahasa Latin menjadi persona, dan dalam bahasa Inggris personSejak awal abad ke 3 Masehi doktrin trinitas telah dinyatakan sebagai "Satu keberadaan (Yunani: ousia, Inggris: beeing) Allah di dalam tiga pribadi dan satu substansi: Bapa, Putera, dan Roh Kudus."

"Formula ini tampaknya bukan berasal dari pengaruh filsafat Yunani, karena terbentuknya formula ini (tiga dalam satu) lebih dulu terbentuk dibandingkan dengan kontak gereja dan filsafat Yunani. Formula ini memang diambil dari ayat-ayat kitab suci Kristen." (Ahmad Tafsir).

Plotinus (204-270 M) adalah seorang filsuf yang mengawali filsafat di abad pertengahan. Dan pada saat itu pengaruh agama Kristen nampaknya mulai meluas, sehingga warna filsafat pada zaman itu lebih condong kepada arah spiritual. Atau bisa dikatakan filsafat pada zaman tersebut didominasi oleh keyakinan dan kepercayaan semata. Sehingga akal dan nilai-nilai rasionalitas kalah total dari hegemoni hati dan nilai-nilai keyakinan..

Filsafat pada abad pertengahan juga dipenuhi oleh lembaran hitam berupa pemusnahan orang-orang yang berfikir out of the box, karena pemikirannya berlawanan atau berbeda dengan pemikiran dan doktrin tokoh-tokoh gereja. Sebut saja Copernicus (1473-1543 M) dan Galileo (1564-1642 M) yang meyakini teori heliosentris atau matahari sebagai pusat tata surya (bumi mengelilingi matahari), pada akhirnya meregang nyawa oleh otoritas setempat, karena pada saat itu tokoh-tokoh gereja meyakini teori geosentris atau bumi sebagai pusat tata surya.

Filsafat Plotinus ditandai dengan konsep transendens dan teori tentang tiga realitas: The One, The Mind, dan The Soul. Terkait dengan kesamaannya dengan konsep trinitas yang ditawarkan oleh Kristen, maka perlu diteliti lebih dalam mana yang mempengaruhi dan mana yang dipengaruhi. Yang jelas ajaran Plotinus yang disebut juga sebagai neo-Platonisme, dijadikan sumber dalam pengembangan filsafat Kristen.

Istilah trinitas ini mula-mula digunakan oleh Theophilus dari Antakya pada tahun 180 Masehi. Namun kemudian pernyataan resmi tentang istilah ini dikeluarkan dalam pertemuan Konstantinopel pada tahun 382 Masehi.

Orang Kristen menganggap Esa dalam tiga pribadi itu bukanlah suatu konsep yang berlawanan dengan akal logika, melainkan suatu konsep yang tidak dapat dipahami dengan akal logika. Tidak dapat dipahami, bukan berlawanan.

Doktrin tentang keesaan Allah menurut agama Kristen sama sekali tidak bertentangan dengan konsep trinitas atau tiga pribadi. Untuk memahami ini semua mereka menganjurkan untuk menjadikan hati lebih terbuka dalam memahaminya, dan mewajibkan siapapun yang akan mengkajinya untuk melepaskan "kacamata kuda"nya. Pemahaman akan konsep dan doktrin trinitas tersebut merupakan misteri dan rahasia yang berada di atas pemahaman logika manusia.

Berbagai teori yang ditawarkan mengenai konsep trinitas tersebut diejawantahkan dengan sebuah analogi matahari yang memiliki unsur matahari itu sendiri, sinar, dan panasnya. Atau dengan sebuah simbol visual segitiga scutum fidei, perisai tritunggal, di mana Allah Bapa, Allah Putera, dan Allah Roh Kudus menempati masing-masing sudutnya namun tetap dalam satu segitiga.

Namun, "makin maju wetenschap mereka, makin rajin mereka memeriksa sejarah bibel mereka, makin bergoncanglah iman mereka kepada kitab suci itu." (Mohammad Natsir).

"Apabila orang Barat menghendaki agama yang dapat memberi perasaan kuat dalam mencari kemajuan dan kesadaran kepada harga diri sendiri, tinggalkanlah agama yang mengajarkan bahwa manusia itu lahir ke dunia dengan membawa dosa, dan dia harus meminta pengampunan dengan perantaraan wakil-wakil Tuhan di atas dunia ini. Agama yang memaksa otak manusia membenarkan 1=3 dan 3=1. Ambillah agama Islam yang dengan sempurna mengesakan Tuhan." (Mohammad Natsir).

Kristen Telah Mati!

Teriakan Friedrich Nietzsche (1844-1900 M) "Tuhan telah mati" masih berdengung di dunia Barat, dan sekarang terbaur dengan kidung sedih "Kristen telah mati." Beberapa teolog Kristen berpengaruh -khususnya dari kalangan Protestan yang nampaknya menerima nasib Kristen tradisional yang seperti itu dan cenderung untuk ikut berubah dengan waktu- bahkan telah memulai persiapan-persiapan untuk meletakkan landasan teologis baru di atas puing reruntuhan yang di dalamnya terkubur tubuh hancur Kristen tradisional, dan yang dari dalamnya akan dihidupkan kembali suatu Kristen baru yang telah disekulerkan.

Seorang filsuf Denmark, Soren Kierkegaard (1813-1855 M) membuat sebuah pengakuan yang juga diamini oleh kalangan Barat, "Kita selalu menjadi orang-orang Kristen." 

Dalam usahanya untuk menyesuaikan agama Kristen dengan krisis sekularisasi, mereka menganjurkan konseptualisasi kembali ajaran-ajaran Kristen, pendefinisian kembali konsep mereka tentang Tuhan, dan dehellenisasi dogma Kristen. 

Bagi mereka, rumusan Kristen dalam bentuk-bentuk hellenik pada abad-abad awal perkembangannyalah yang bertanggung jawab atas banyak masalah-masalah sulit dan membingungkan. Di antaranya adalah mengenai penggambaran Tuhan sebagai pribadi suprarasional, mengenai doktrin trinitas yang ruwet dan tak mudah teruraikan itu.

Agama Kristen telah mati, semenjak awal persentuhannya dengan dengan filsafat Yunani. Namun jauh sebelum bersentuhan dengan filsafat, ajaran yang dibawa oleh Yesus tersebut sudah mengalami distorsi yang dilakukan oleh kaum Yahudi, Bani Israel.

"Mereka suka mengubah firman (Allah) dari tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian pesan yang telah diperingatkan keoada mereka." (QS. Al-Ma`idah: 13).
Share:

Agama: Kebingungan Hidup Orang Barat dan Fitrah Bagi Orang Yang Berakal

SPI Bandung kembali menggelar perkuliahan di Kamis malam, bertepatan dengan tanggal 6 Oktober 2022 yang berlokasi di ruang tafsir Masjid Istiqomah. 

Perkuliahan malam tersebut diampu oleh Dr. Wendi Zarman, yang juga merupakan direktur PIMPIN Bandung.

Beliau mengawali perkuliahan tersebut dengan melemparkan sebuah pertanyaan kepada para peserta, "Apa yang tebesit dalam diri kita ketika mendengar kata agama?" Para peserta mengacungkan tangan sembari memberikan jawaban, "Tuhan". Adapula yang berpendapat, "Hukum", "Keyakinan", dan bahkan ada yang menjawab, "Radikal!". Senyum tersungging dari wajah Dr. Wendi diiringi tawa para peserta lain. Beliau menimpalkan, "Tidak ada yang salah juga, karena akhir-akhir ini ada yang membuat anggapan seperti itu terhadap agama."

Sebelum menampilkan beberapa perkataan para pemikir Barat di layar, beliau juga mengatakan, "Agama di kalangan Barat merupakan sesuatu yang membingungkan." 

E.B Taylor mengatakan, "Agama adalah keyakinan terhadap sesuatu yang spiritual." 

Sementara seorang psikolog Barat bernama Sigmund Freud mengatakan, "Agama adalah ilusi (mimpi) yang diharapkan menjadi kenyataan."

Dan seorang sosiolog bernama Emile Durkheim mengatakan, "Agama adalah ekspresi sosial masyarakat."

Dr. Wendi juga kembali menegaskan, bahwa bagi orang Barat, agama atau dalam bahasa mereka adalah religion, adalah merupakan organization. Dan gereja bagian dari organisasi yang dimaksud.

Beliau juga mengungkit terkait permasalahan pluralisme agama, yang dalam istilahnya disebut Transcendent Unity of Religion, yang awal gagasannya berawal dari relativisme.

Maka dari beberapa pandangan tersebut, menurut Dr. Wendi ada tiga pandangan umum tentang agama: pertama adalah tahayul atau ilusi, kedua merupakan alat untuk kepentingan manusia, ketiga ajaran Tuhan yang haq.

Maka menurut beliau, ada banyak perbedaan mencolok antara konsep agama yang dianut Barat, dengan konsep agama yang dianut oleh Islam. Adapun pengertian agama dalam Islam adalah, "Dien, ajaran dari Allah yang haq yang disampaikan melalui utusan-Nya yang wajib diamalkan manusia sebagai pengabdian kepada-Nya."

Syed Muhammad Naquib Al-Attas juga mengatakan, "Islam, the concept of religion and the foundation of ethics and morality."

Diakhir sesi perkuliahan, beliau mengutip ayat dari surat Adz-Dzariyat ayat 56 dan Al-A'raf ayat 172, yang menurut anggapannya merupakan fitrah bagi manusia.

Share:

The World View of Islam, Bagaimana Cara Seorang Muslim Melihat Realitas Dunia

The Worldview of Islam رؤية الإسلام للوجود, menjadi tema menarik di pertemuan pekan ketiga Sekolah Pemikiran Islam (SPI Bandung), pada malam Jum'at tanggal 15 September 2022, di ruang tafsir masjid Istiqomah kota Bandung. Dr. Wendi Zarman yang menjadi pemateri di malam tersebut memberikan penjelasan historis mengenai asal-usul istilah tersebut. Pencetus istilah The Worldview adalah Syed Muhammad Naquib Al-Attas, yang merupakan 'ulama sekaligus pemikir yang lahir di Buitenzorg (Bogor saat ini), dan menetap di Malaysia. Secara esensi, Worldview adalah 'Aqidah, yang kalau diterjemahkan secara letterlijk adalah Pandangan Hidup Islam. Ada pula yang menyebut Islamic Worldview, pandangan hidup yang Islami. Akan tetapi belum tentu pelakunya adalah orang Islam. Sebagai contoh di Barat, dalam beberapa hal mereka menerapkan tata cara Islami, seperti menjaga kebersihan dan ketertiban, menerapkan disiplin waktu, dll. Akan tetapi mereka bukan golongan Islam. Maka yang menjadi titik tekan di sini adalah The Worldview of Islam.

Dr. Wendi Zarman kemudian memberikan beberapa analogi sederhana dalam kehidupan kita sehari-hari. Contoh saja ketika kita ingin makan, pastinya ada beberapa faktor pendorong dan asumsi-asumsi yang membuat kita ingin makan. Tindakan atau perbuatan makan tersebut dilandasi oleh sebuah keyakinan. Ketika kita makan pastinya kita sudah yakin bahwa kita lapar, kita yakin bahwa makanan tersebut dapat mengenyangkan kita, kita yakin makanan tersebut higienis dan aman untuk kita. Atau tatkala kita ingin pergi ke luar kota, sebelum kita menaiki kendaraan umum, pastinya kita akan meyakinkan diri kita terlebih dahulu, dan sebelum menaiki kendaraan yang mengantarkan kita ke tempat tujuan, maka kita akan bertanya pada petugas yang ada di tempat saat itu. Setelah kita yakin dengan arahan petugas tersebut, kita pun dengan tenang duduk dalam kendaraan tersebut, dan pastinya yakin bahwa kendaraan tersebut akan mengantarkan kita ke kota tujuan. "Tindakan-tindakan tersebut dilatar belakangi oleh sebuah keyakinan", tegasnya.

Beliau mengambil contoh lagi tentang sebuah budaya kolot di Jepang, Harakiri. Penyebab dan dorongan perbuatan tersebut adalah karena rasa malu. Bagi orang-orang Jepang, lebih baik mati terhormat dengan cara bunuh diri daripada hidup menanggung malu. Tindakan bunuh diri tersebut juga berdasarkan pada sebuah keyakinan. Ada faktor-faktor pendorong dan asumsi-asumsi yang menyebabkan Harakiri tersebut. Akan tetapi, bagi orang lain -terutama umat Islam- mungkin hal tersebut adalah hal yang aneh dan tragis. 

Di Barat, feminisme timbul dan didorong oleh beberapa keyakinan bahwa mereka memang merasa ditindas oleh kaum laki-laki. Budaya patriarki dan pengekangan terhadap kebebasan perempuan dirasakan oleh perempuan-perempuan Barat, yang pada akhirnya melahirkan gelombang feminisme. Berbeda dengan Islam, yang menjadikan keadilan sebagai asas utama dalam mengarungi kehidupan sosial, baik laki-laki maupun perempuan. "Dalam tiap tindakan sadar manusia ada pikiran atau kepercayaan yang tersembunyi yang melandasinya, itulah WORLDVIEW", tutur beliau. 

Dalam uraian berikutnya, beliau mencoba menjelaskan secara etimologis arti kata Worldview. Worldview -atau Weltanschauung dalam bahasa Jerman-, merupakan unsur dari kata world, yang artinya dunia atau kehidupan duniawi. Dan view, yang artinya adalah pandangan akal pikiran, bukan pandangan mata. Jadi Worldview adalah pandangan terhadap dunia. "Sedangkan asumsi, yang menjadi landasan kita dalam berkata dan bertindak, adalah sesuatu yang kita percaya begitu saja", tambah beliau.

Dalam beberapa uraian berikutnya, beliau menjelaskan definisi Worldview dari sudut pandang orang Barat. Hal ini dilakukan dalam rangka mengkomparasikan antara pandangan-pandangan Barat dengan pandangan Islam. Uraian beliau sampai pada taraf membuat kategorisasi antara mereka yang percaya pada nilai-nilai ketuhanan, dan mereka yang tidak percaya. Dan membuat beberapa tingkatan dari hasil Worldview yang kelak akan muncul tiga golongan, baik itu dari golongan Agama, Sosial-Politik, dan Sains. Maka sebagai penganut sebuah agama, kita pun memiliki pandangan hidup yang kesemuanya sudah diatur dalam agama kita, yang sumbernya berdasarkan dari wahyu Allah, yakni Al-Qur'an dan As-Sunnah, dan kemudian bermuara pada sebuah keyakinan tentang ke-Esa-an Allah berupa Tauhid, yang memang menjadi asas utama dalam The Worldview of Islam, Pandangan Hidup Islam. 

Di akhiri dengan sesi tanya-jawab, para peserta yang hadir sangat antusias untuk bertanya dan membahas terkait tema yang ditawarkan. Sebut saja Sadam, salah satu peserta Sekolah Pemikiran Islam (SPI Bandung), bertanya mengenai ikhtilaf fiqhiyyah atau ikhtilaf tanawwu' yang memang lumrah terjadi di tengah umat Islam, "Apakah hal tersebut karena perbedaan mengenai pandangan hidup mereka masing'masing?". Dr. Wendi memberi jawaban singkat bahwa yang dimaksud dengan worldview dalam pembahasan ini adalah yang bersifat global, mujmal, bukan perkara cabang yang jatuhnya dalam bab fiqih. Kalau di antara umat Islam sudah meyakini bahwa Allah adalah Tuhannya, Muhammad adalah Rasul dan Teladannya, Al-Qur'an kitab suci dan pedomannya, percaya dengan kehidupan setelah mati, maka mereka memiliki Worldview yang sama.

FIAN SOFIAN. 

Share:

Perang Pemikiran, dan Kewajiban Menuntut Ilmu Bagi Seluruh Umat Islam

Kamis malam, bertepatan dengan tanggal 8 September 2022, Sekolah Pemikiran Islam (SPI Bandung) kembali menggelar pertemuan keduanya yang bertempat di Ruang Tafsir masjid Istiqomah Citarum. Tema yang diangkat kali ini adalah Ghozwul Fikr, yang mana kalau kita terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia secara letterlijk berarti Perang Pemikiran. Ustadz Akmal Sjafril, yang merupakan Kandidat Doktor Ilmu Sejarah UI kembali menjadi pemateri di malam tersebut.

Materi diawali dengan penjelasan secara etimologis, yang mana di dalamnya terdiri dua unsur kata yakni ghozwah (perang), dan al-fikroh (pemikiran). Sebelum menginjak pada pemaparan secara terminologis, sejenak beliau ingin meluruskan tentang apa dan bagaimana itu bentuk ghozwul fikr, yang menurut pengalaman beliau ketika SMP, hanya berkutat pada 3F, Fun (hiburan), Food (makanan dan minuman yang membawa pada perilaku konsumtif), and Fashion (pakaian). Sifat dan bentuk perang yang dilancarkan oleh musuh-musuh Islam sudah mulai berubah haluan, maka bentuk pencegahan dan perlawanan pun sudah mestinya dirubah oleh umat Islam. Beliau menyebutkan, bahwa orang-orang yang di zaman ini menjadi gembong pemantik perang terhadap umat Islam, tidak terkategorisasi dalam 3 hal tersebut di atas. Kalau di awal-awal abad ke-21 ada JIL, dan seluruh umat Islam bersatu-padu melawan pemikiran mereka, maka pada hari ini dedengkot JIL sudah masuk dalam pemerintahan.

Ayat ke 120 dari surat Al-Baqoroh menjadi pembuka untuk lanjut ke tahapan materi yang lebih terperinci. Kata demi kata, kalimat demi kalimat beliau jelaskan, dan kemudian dikomparasikan dengan realitas yang tengah terjadi di tengah-tengah umat Islam. Beliau melemparkan sebuah pertanyaan kepada para peserta, "Mengapa hanya disebutkan Yahudi dan Nasrani saja di dalam ayat ini? Kenapa tidak ada agama-agama lain?". Sejenak para peserta pun terdiam sembari mengernyitkan dahinya pertanda sedang berfikir keras. Tak lama beliau pun menjawab, "Karena Yahudi dan Nasrani adalah yang terdekat dengan umat Islam, karena sama-sama ahli kitab. Kalau yang dekat saja sudah tidak rela dengan umat Islam, bagaimana dengan yang jauh?".

Masih terkait dengan ayat ke 120 dari surat Al-Baqoroh tersebut, yang berbunyi, ولئن اتبعت أهواءهم بعد الذي جاءك من العلم مالك من الله من ولي ولا نصير, ayat tersebut cukup menjelaskan bahwa pemikiran, ideologi, dan isme-isme yang ditawarkan oleh mereka bukanlah sejatinya ilmu yang membawa umat manusia menuju ke peradaban yang lebih baik, melainkan hanya sekedar hawa nafsu saja. Sedangkan Allah-lah yang memberikan kita ilmu. Isme-isme yang mereka tawarkan sejatinya hanyalah kamuflase, kebohongan, dan absurd. Sejarah terus berulang, dan berulang pulalah kegagalan-kegagalan ideologi yang dianut musuh-musuh Islam tersebut. Kita tentu tahu ideologi marxisme, komunisme, dan leninisme, yang diawal abad ke 20 menjadi lawan dari ideologi kapitalisme? Dan buku-buku yang berkaitan dengan ideologi tersebut seolah-olah dijadikan sebagai kitab suci dan pegangan bagi kalangan muda-mudi yang mengaku intelektual. Ideologi tersebut gagal, dan tak bisa menjawab tantangan zaman. Omong kosong yang ditawarkan oleh tokoh mereka mengenai kesetaraan dan kesamaan dalam hal ekonomi dan penghidupan, hanya menjadi lip service belaka. Pada realitasnya, kehidupan para tokoh-tokoh mereka amat kontradiktif dengan keadaan masyarakat yang menjadi penganut ajaran mereka. 

Ayat tersebut sejatinya menjadi hujjah untuk kita, jikalau kita mengikuti hawa nafsu mereka, maka Allah memberi peringatan bahwa kita tidak akan memiliki pelindung dan penolong lagi. Lantas, apakah Barat yang selama ini menjadi "trendsetter" bagi sebagian kalangan, akan menjadi pelindung bagi umat Islam? Barat, yang memang sudah sejak lama menjadi poros permusuhan terhadap Islam, saat ini sudah nampak tanda-tanda kehancuran sosialnya.Ideologi yang mereka tawarkan sudah gagal memperbaiki kehidupan sosial di sana. Lantas, masihkah kita "membebek" kepada mereka?

Ghozwah.

  • Bermakna konfrontasi yang terencana untuk satu tujuan penaklukkan.
  • Konfrontasi mengharuskan kita siap untuk memberikan perlawanan.
  • Aspek perencanaan membedakan antara perang dan tawuran atau hal lainnya. Maka semakin tinggi level perang yang dilakukan musuh Islam, maka harus semakin tinggilah perencanaan.
  • Karena tujuannya penaklukkan, maka ada urgensi yang harus disadari.
Fikroh.

  • Fikroh menjadi penting karena manusia adalah makhluk yang dikendalikan oleh akalnya, demikian juga segala potensi dirinya hanya bisa dimanfaatkan sesuai kondisi akalnya.
  • Aspek pemikiran ini menunjukkan bahwa perang ini hanya bisa dimenangkan dengan ilmu. Artinya, yang lebih berilmu-lah yang akan menjadi pemenang.

Pemikiran dan Bahasa.

Serangan pemikiran yang paling sederhana diawali dengan bahasa yang terdiri dari kata-kata. Sebab, setiap kita mewakili sebuah konsep, dan setiap konsep mewakili sebuah pemikiran. 

Selanjutnya, beliau membawakan kalimat-kalimat absurd dari kalangan musuh-musuh Islam, yang sebenarnya jauh sekali dari sikap kritis dan ilmiah, justru malah terkesan ceroboh dan tidak logis.

Modus-modus yang sering mereka lakukan dari tiga aspek; media, pendidikan, dan hiburan.

Share:

Pengertian dan Sejarah Singkat Bahasa Indonesia

Manusia sebagai makhluk sosial tidak akan terlepas dari interaksi dan komunikasi di antara sesamanya. Seseorang dapat menyampaikan keinginan, perasaan, ide, dan gagasannya kepada orang lain melalui bahasa, baik secara lisan maupun tulisan. Pada awal perkembangannya, hanya dua hal itu saja yang menjadi alat interaksi dan komunikasi bagi manusia. Namun belakangan, saudara-saudara kita yang difabel pun sudah mulai menggunakan standar bahasa khusus dalam kehidupan mereka, entah itu bahasa tubuh maupun bahasa isyarat.

Pun dengan masyarakat Indonesia -yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasionalnya-, di zaman pasca kemerdekaan dijadikan sebagai alat untuk saling berinteraksi dan berkomunikasi. Di dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan bangsa, (2) lambang identitas nasional, (3) alat perhubungan antarwarga, antardaerah, dan antarbudaya, (4) dan alat menyatukan berbagai elemen bangsa. 

Kondisi Geografis Masyarakat Nusantara Pra Kemerdekaan.

Sebagai negara maritim, kondisi geografis Indonesia (baca: Nusantara) yang merupakan jalur perdagangan internasional, mengharuskan terkoneksinya antara satu pulau dengan pulau lainnya. Selain faktor hubungan ekonomi dengan dunia internasional, faktor pendidikan atau koneksi intelektual di antara orang-orang Nusantara dengan Hijaz pun turut andil dalam mempertemukan orang-orang dari Nusantara di sana, dimana lingua franca yang mereka gunakan adalah bahasa Melayu. Bahasa ini mulanya adalah bahasa orang-orang di Selat Malaka dan Pantai Timur Sumatera. Bahasa ini kemudian menyebar melalui interaksi laut, terutama interaksi antar orang-orang yang berada dalam gugus Laut Jawa. Karakteristik linguistiknya yang egaliter dan mudah dipelajari, membuat bahasa Melayu menjadi cepat menyebar di pesisir-pesisir pantai utara Jawa, pantai barat dan selatan Kalimantan (Borneo), pantai barat Sulawesi (Celebes), dan daerah-daerah lain dalam gugus Laut Jawa. Bahkan bahasa ini cepat menyebar ke sistem-sistem gugus laut lain di sebelah timur kepulauan Nusantara melalui interaksi lanjutan Laut Jawa dengan laut-laut lain. Lihat Jas Mewah Hal. 62.

Proses akulturasi Islam dan kebudayaan Melayu memengaruhi perubahan nilai-nilai yang terkandung dalam bahasa Melayu. Sebelum bersentuhan dengan Islam, bahasa Melayu kuno adalah bahasa seni atau bahasa estetis. Konsepsi bahasa Melayu modern memudahkan masyarakat Nusantara untuk lebih memahami agama Islam. Islam menjadi ruh dan kehidupan bagi masyarakat Nusantara, sehingga laju dan perputaran ekonomi saat itu sangat baik seiring dengan baiknya interaksi dan komunikasi masyarakat Nusantara dengan dunia internasional. Selama masa ini, naskah-naskah ilmiah berbahasa Melayu-Islam dengan tulisan Arab Pegon mewarnai ruang kebudayaan masyarakat Nusantara, yang isinya bukan lagi puji-pujian terhadap penguasa, melainkan nilai-nilai ilmiah yang dibutuhkan untuk kemajuan peradaban.

Ada sebuah pertanyaan dari seorang peneliti berkebangsaan Prancis bernama Dr. Denys Lombard, kenapa Belanda "relatif mudah" menguasai wilayah yang sekarang menjadi Indonesia? Berdasarkan bukti-bukti yang berhasil dikumpulkannya, ia menemukan jawaban bahwa Belanda menjadi mudah menguasai wilayah ini dan menyatukannya di bawah payung Hindia Belanda karena sebab sebelumnya wilayah-wilayah ini telah disatukan oleh jaringan para pedagang Muslim yang akhirnya membentuk kekuasaan Islam di berbagai wilayah. Antara satu penguasa dengan penguasa lain telah saling berhubungan secara intensif. Sebagai bukti nyata adalah terciptanya "bahasa Melayu baru" sebagai lingua franca di antara mereka. Bahasa Melayu baru ini adalah bahasa Melayu yang telah diislamisasi secara intensif peristilahan-peristilahannya yang menunjukkan pengaruh Islam yang sangat kuat. Lihat Jas Mewah Hal. 274.

Bahasa dan Pengaruhnya Terhadap Kemerdekaan.

Ada tiga faktor kesamaan antara penduduk di sebuah embrio negara baru bernama Indonesia, yang kelak akan menjadi pemicu kebangkitan nasional. Yang pertama, memiliki kesamaan nasib dalam hal ekonomi dan sosial, yakni sama-sama menjadi rakyat jajahan. Yang kedua, memiliki kesamaan lingua franca yang digunakan dalam melakukan hubungan ekonomi dan sosial. Yang ketiga, memiliki kesamaan agama. Bahkan agama Islam pada paruh pertama abad ke-20 mencapai angka 95%.

 

 

Diresmikannya Bahasa Indonesia

Kelahiran bahasa Indonesia tidak terpisahkan dari kebangkitan nasional. Semenjak dini tokoh- tokoh semacam Ki Hadjar Dewantara, serta para perintis kemerdekaan lain telah memiliki gagasan bagaimana bangsa ini bisa mempunyai bahasa yang bukan hanya berperan selaku perlengkapan pemersatu komunikasi dalam bermasyarakat, namun juga sebagai bahasa kebudayaan yang mencerminkan kedewasaan pemakainya dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa.

Setelah itu, pada saat mempersiapkan Kongres Pemuda pada tahun 1926, panitia setuju tentang garis besar rumusan Sumpah Pemuda. M. Tabrani menganjurkan bahasa persatuan itu disebut bahasa Indonesia, yang mana usulan tersebut disetujui bersama pada 2 mei 1926, termasuk Muh. Yamin meski dengan berat hati. Proses itulah yang menyebabkan tercipatanya keputusan Kongres Pemuda awal 30 April hingga 2 Mei 1926 kemudian dikukuhkan dalam Kongres Pemuda kedua, 27-28 Oktober 1928 berbentuk Sumpah Pemuda, jelas bagi kita kalau bahasa persatuan itu bahasa Melayu yang setelah itu diberi nama, bahasa Indonesia.

 

Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Nasional

Sejak Kongres Pemuda itulah kita mengenal dua bahasa, bahasa Melayu dan bahasa Indonesia. Dengan menyebut bahwa bahasa persatuan adalah bahasa Indonesia. Tidaklah berarti bahwa bahasa Melayu telah punah, bahasa tersebut masihlah eksis dan dipergunakan sebagai bahasa daerah seperti di wilayah Riau, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, dan daerah lainnya. Juga dipergunakan di pelosok Asia Tenggara, seperti Malaysia, Brunei, Singapura, serta sebagai bahasa daerah di Thailand Selatan, dan Filipina Selatan.

Bahasa Indonesia mempunyai kedudukan sebagai bahasa nasional seperti pada ikrar ketiga Sumpah Pemuda 1928 yang berbunyi "Kami putera dan puteri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia". Dan seperti yang tertera di dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal khusus (bab XV, pasal 36) mengenai kedudukan bahasa Indonesia, menyatakan bahwa bahasa negara ialah bahasa Indonesia.

Bahasa Melayu yang telah menjelma menjadi bahasa Indonesia, telah berada di Nusantara sejak 680 M, membuatnya menjadi lebih kokoh dengan perkembangan zaman. Diawali dengan bahasa pemersatu yang menyatukan setiap suku kemudian menjadi bahasa negara yang eksis hingga saaat ini. Dan kini di era modern bahasa Indonesia mulai dikenal di belahan bumi lain, nahasnya masyarakat indonesia mulai kehilangan kebanggannya terhadap bahasa ibunya tersebut.

 

Studi Kasus.

Di era digitalisasi seperti saat ini, acap kali terjadi pencampuran bahasa, terutama dalam percakapan sehari-hari. Sebut saja bahasa Jaksel,  yang merupakan hasil kombinasi dari bahasa Inggris tidak baku dengan bahasa Indonesia. Dan hal tersebut, dikhawatirkan akan menghilangkan eksistensi bahasa Indonesia. Lantas, upaya prefentif apa yang dapat kita lakukan agar bahasa Indonesia tetap dapat diaplikasikan dalam percakapan sehari-hari? Baik dalam lingkungan formal maupun non formal?


Turut Berkontribusi: Euis Siti, Fitri Az-Zahra, Habibullah Anshari, dan Fian Sofian

UIN SGD Bandung, Fakultas Adab&Humoniora Prodi Bahasa&Sastra Arab

Share:

Fenomena Sekularisme, dan Wajah Baru Kaum Modernis


Sekolah Pemikiran Islam (SPI) Bandung angkatan 8 telah resmi dibuka pada hari Kamis, 1 September 2022. Bertempat di Ruang Tafsir masjid Istiqomah Citarum, pertemuan pertama di malam tersebut didahului oleh pemaparan dari Akmal Sjafril, yang merupakan pendiri sekaligus kepala pusat SPI yang saat ini juga merupakan peneliti di INSISTS.

Sesuai dengan visi yang diusung, yaitu menjadi lembaga pendidikan yang berkontribusi membangkitkan kembali tradisi ilmu untuk mengembalikan kejayaan peradaban Islam, maka Akmal menjelaskan bahwasanya agama Islam dibangun atas dasar ilmu pengetahuan, bukan keajaiban-keajaiban yang bersifat metafisik dan irasional. Akmal kemudian memberikan sebuah contoh mengenai fenomena orang murtad, yang menurut anggapannya tidak berlandaskan pada nilai-nilai intelektualitas. Tidak ada sejarahnya orang yang murtad menganggap bahwa konsep trinitas lebih logis ketimbang konsep tauhid yang ditawarkan oleh Islam. Motif murtad mereka tidak lebih dari sekedar perkara remeh-temeh dan timbangan duniawi belaka. 

Akmal juga kembali menegaskan, bahwa level umat Islam jauh di atas umat-umat lain. Dalam berbagai lini, seharusnya umat Islam lebih jauh mengungguli mereka. Sebagai contoh dalam perkara kehidupan sosial, mereka penganut agama-agama lain pun menolak tentang LGBT dan freesex, akan tetapi kembali hanya Islam saja yang habis-habisan menentang hal-hal tersebut. Penganut agama lain sudah angkat tangan menghadapi hal-hal tersebut, maka imbasnya adalah kerusakan moral dan hilangnya peradaban dari masyarakat mereka. Itulah tujuan sekularisme dan liberalisme, menjauhkan manusia dari peradaban dan moralitas. Karena bagi penganut sekularisme, agama dan nilai-nilai ketuhanan harus dijauhkan dari ruang lingkup publik apapun itu namanya. Cukup dijadikan konsumsi pribadi saja.

Maka kiranya tepat, jika saat ini SPI menjadi wadah yang mengakomodir seluruh kalangan muda-mudi muslim dengan latar belakang pendidikan yang berbeda, untuk mengkaji fenomena-fenomena yang tengah terjadi saat ini -terutama di lingkungan kampus atau tempat tinggal mereka-. Salah satunya adalah Trianka Utama, salah seorang peserta SPI Bandung yang memiliki latar belakang pendidikan di jurusan komunikasi dan pengembangan masyarakat IPB, tatkala ditanyakan mengenai fenomena sekularisme,

"Proyek sekularisasi bangsa Indonesia itu sangat terasa hasilnya di masa sekarang. Orang-orang benar-benar jauh dari agama, apalagi generasi-generasi akhir sekarang ini. Mereka ini di setiap sendi kehidupannya dicekoki pemikiran ala-ala sekuler liberal. Jauh dari agama ditambah dengan pemahaman sekuler liberal, jadilah generasi yang rusak aqidah, rusah ibadah, rusak akhlak, dan rusak pemikirannya".

Mengenai harapannya tatkala mengikuti program SPI, "Itulah salah satu peran SPI, sebagai pondasi untuk membangun generasi umat Islam bukan hanya sekedar aqidah, ibadah, atau akhlaq, tapi pemikiran dan intelektualitasnya juga di islamisasi", imbuhnya.

Maka kita berharap, dengan agenda yang ditawarkan oleh SPI ini menjadi tempat yang akan melahirkan kaum-kaum intelektual di kalangan umat Islam -yang sebelum zaman kemerdekaan disebut sebagai kaum modernis-, yang berpedoman kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah, dan menolak segala bentuk kejumudan berfikir.

Share:

Mengenal HOS. Tjokroaminoto; Sosok Priyayi dan Da'i

Yang terbesit dalam benak kita ketika disebutkan nama HOS Tjokroaminoto adalah, bahwa beliau merupakan tokoh pergerakan nasional. Dan kemudian dijadikan sebagai salah satu dari sekian banyak pahlawan nasional, yang namanya digoreskan dengan tinta emas dan termaktub dalam buku-buku sejarah nasional. Bahkan nama beliau terpampang di plakat jalan-jalan terpenting di banyak kota besar di Indonesia. Para sejarawan sepakat, bahwasanya beliau merupakan guru dan mentor daripada tokoh-tokoh pergerakan bangsa ini. Hal ini tak heran, karena beliau memang terlahir dari para pemimpin kalangan ningrat, dan mengenyam pendidikan tinggi saat itu. 

Kepiawaiannya dalam menulis, menghantarkannya menjadi pegawai negeri dan berkerja sebagai  juru tulis patih di Ngawi. Menjadi pegawai negeri di zaman pendudukan kolonial merupakan pekerjaan yang diidam-idamkan oleh para pemuda di kalangan priyayi . Akan tetapi, beliau lebih memilih untuk meninggalkan pekerjaan tersebut, dan berkali-kali beralih dalam bidang pekerjaan lain. Prof. Anhar Gonggong mengatakan,

"Jika kita melihat cara hidup Cokroaminoto itu secara dangkal, maka tentu kita akan berpendapat bahwa dia adalah seorang yang tidak tetap pendirian, dan tidak memiliki kemampuan untuk mengerjakan sesuatu pekerjaan yang akan menjadi pegangan hidupnya. Perpindahannya dari pekerjaan yang satu ke pekerjaan lainnya, bukanlah pertanda ketidakmampuannya mengerjakan pekerjaan yang ditinggalkannya. Perpindahan itu lebih didorong oleh kehendaknya untuk mencari suasana-suasana yang lebih dapat membangun daya kreativitasnya". Lihat H.O.S. Tjokroaminoto Hal. 15.

Politik Etis dan Lahirnya Para Priyayi

Politik etis yang ditawarkan pemerintah kolonial, memberikan akses bagi para inlander untuk dapat mengenyam pendidikan lebih tinggi lagi. Sebagian peneliti sejarah berpendapat, kebijakan tersebut tidak memiliki konotasi positif dalam arti politik balas budi -seperti yang selama ini didoktrinkan-, bukan pula karena tanggung jawab moral kerajaan Belanda kepada rakyat jajahannya. Politik etis lebih cendrung mengarah kepada kebutuhan Belanda untuk menyerap pegawai dan tenaga kerja pribumi yang kelak akan mengisi pos-pos pemerintahan dan perusahan mereka di tanah jajahan.

Kebanyakan pribumi yang dapat merasakan pendidikan ala Belanda adalah anak-anak dari pegawai negeri kolonial atau anak-anak pejabat. Pun dengan Tjokroaminoto muda, beliau yang merupakan anak seorang wedana pernah menjalani pendidikan di OSVIA, sebuah pendidikan khusus kaum bumiputera yang kelak akan menjadi pamongpraja atau pegawai negeri di pemerintahan kolonial. Bagi kalangan rakyat biasa -terlebih bagi mereka yang bersikap tidak kooperatif dan memusuhi pemerintah kolonial-, akses terhadap pendidikan teramat sulit. Maka jalan satu-satunya untuk menempuh pendidikan adalah masuk ke pesantren, yang merupakan sistem pendidikan keagamaan khas nusantara semenjak ratusan tahun lalu dan mampu bertahan di tengah derasnya modernisasi pendidikan di seantero dunia. Lihat Jas Mewah Hal. 67.

HOS Tjokroaminoto terlahir dari keluarga ningrat. Ayah beliau merupakan seorang wedana di kawedanan Kleco. Sementara kakek beliau, pernah menjabat sebagai bupati Ponorogo. Hidup di tengah-tengah keluarga ningrat, membentuk karakter beliau yang berwibawa, disegani, memiliki kepercayaan diri, dan juga intelektualitas. Syarat-syarat menjadi seorang pemimpin besar yang utama sudah dimiliki oleh Tjokroaminoto muda. Karakter sebagai orang yang keras hati, tidak mau diatur, dan gemar berkelahi, merupakan ciri sifat keistimewaan Tjokroaminoto. Sebagai bentuk penentangan terhadap feodalisme, beliau pun menyematkan gelar "Hadji" di depan namanya, menggantikan gelar "Raden Mas". Buya Hamka memberikan gambaran mengenai sosok Tjokroaminoto,

"Badannya sedikit kurus, tetapi matanya bersinar. Kumisnya melentik ke atas. Badanya tegak dan sikapnya penuh keagungan, sehingga walaupun beliau telah tidak mempedulikan lagi titel "Raden Mas" yang tersunting di depan namanya, namun masuknya ke dalam majelis tetap membawa kebesaran dan kehormatan, sehingga segala wajah mesti tunduk kepadanya, tunduk penuh cinta". Lihat HOS. Tjokroaminoto Hal. 5. 

Da'i: Mengalir Darah Seorang 'Ulama

Da'i berasal dari bahasa Arab, yang secara etimologis berarti penyeru. Dalam kaidah bahasa Arab disebut sebagai fa'il atau subjek, berasal dari fi'il atau kata kerja دعى -يدعو, menyeru atau mengajak. Namun secara terminologis berarti,  

الذي يدعو الناس إلى دينه أو إلى مبدئه

"Orang yang menyeru manusia kepada AgamaNya atau kepada PenciptaNya". Lihat Mu'jam Ar-Ro`id.

كان داعيا لدين الحق: من يدعى الناس إلى دين الحق، التقي المصلح-إنه من الدعاة

"Seseorang yang mengajak kepada agama yang benar: siapa saja yang mengajak manusia kepada agama yang benar, yaitu orang yang bertakwa dan melakukan perbaikan-dialah yang dimaksud sebagai Da'i". Lihat Mu'jam Al-Ghoniy.

Allah تعالى berfirman, 

أدع إلى ربك بالحكمة والموعظة الحسنة و وجادلهم بالتي هي أحسن

"Serulah (manusia) ke jalan Robbmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan debatlah mereka dengan cara yang baik". (QS. An-Nahl: 125)

Asy-Syaikh 'Abdurrohman bin Nashir As-Sa'adi berkata,

أي: ليكن دعاؤك للخلق مسلمهم وكافرهم إلى سبيل ربك المستقيم المشتمل على العلم النافع والعمل الصالح

"Yaitu hendaklah seruanmu kepada para makhluk -baik yang muslim atau kafir- berisi ilmu yang bermanfaat dan perbuatan yang baik agar mereka mau berpaling ke jalan Robbmu yang lurus". Lihat Taisirul Karimir Rohman.

Al-Imam Ibnu Katsir berkata,

"Allah تعالى memerintahkan RasulNya Muhammad صلى الله عليه وسلم agar mengajak manusia kepada Allah". Lalu beliau mengutip ucapan Ibnu Jarir, "Perintah Allah tersebut sebagaimana yang telah tertuang dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah". Lihat Tafsir Al-Qur'an Al-'Azhim

Kyai Ageng Hasan Besari, atau Muhammad Hasan Bashari, merupakan sosok 'ulama yang masyhur kala itu. Ia memiliki sebuah pondok pesantren di desanya, desa Tegalsari, kabupaten Ponorogo Jawa Timur. Kemasyhuran nama beliau menembus dinding-dinding keraton Surakarta, sehingga beliau pun dinikahkan dengan seorang putri dari susuhunan Surakarta. Dari pernikahan tersebut ia mendapatkan karunia seorang anak bernama Raden Mas Adipati Tjokronegoro. Tjokronegoro tidak mengikuti jejak ayahnya sebagai seorang 'ulama, melainkan menerjuni bidang pekerjaan sebagai pamongpraja atau pegawai negeri, bahkan beliau pernah menjadi bupati Ponorogo. Dalam menjalani kehidupannya, akhirnya beliau memiliki anak bernama Raden Mas Tjokroamiseno. Amiseno mengikuti jejak ayahnya, dan ia pernah menjabat sebagai wedana di Kleco. Dan Tjokroamiseno inilah, ayah dari seorang pemimpin besar yang utama, Raden Mas Hadji Oemar Sa'id Tjokroaminoto. Lihat buku Prof. Anhar Gonggong.

Kehidupan Tjokroaminoto dan keluarga tak jauh dari ruh Islam yang melekat sejak zaman kakek buyutnya, meski mereka tinggal dalam lingkungan keluarga ningrat. Bahkan beliau pribadi pernah mondok di pesantren yang didirikan oleh Kyai Hasan Besari, kakek buyutnya. Maka tak heran, jika di kemudian hari beliau menjadikan Islam sebagai asas perjuangannya. Kita pasti sudah hafal dengan trilogi Syarikat Islam,

1. Sebersih-Bersih Tauhid.

2. Setinggi-Tinggi Ilmu Pengetahuan.

3. Sepandai-Pandai Siyasah.

Dan beliau menjadikan hukum yang tertinggi dalam Syarikat Islam adalah "Al-Qur'anul Karim dan Sunnah Rasul yang Nyata".

Tujuan Syarikat Islam yang beliau bangun, "Melaksanakan Ajaran Islam Seluas-Luasnya dan Sepenuh-Penuhnya". Beliau mengatakan, "Dimana maksudnya Partai kita, dikatakan dengan singkat, yaitu; akan menjalankan Islam dengan seluas-luas dan sepenuh-penuhnya, supaya kita bisa mendapat suatu Dunia Islam yang sejati dan bisa menuntut kehidupan Muslimin yang sesungguh-sungguhnya". Lihat Reglement Umum Bagi Ummat Islam Hal. 3.

Kalau kita mau lebih jujur membaca tulisan-tulisan beliau yang berserak, maka akan kita dapati bahwa beliau sering mengutipkan ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits-hadits Nabi صلى الله عليه وسلم, yang kemudian dijadikan sebagai pedoman yang wajib dijalankan oleh anggota Syarikat Islam maupun kaum muslimin yang setuju terhadapnya. Bahkan dalam bukunya Islam dan Sosialisme, beliau berkali-kali menyerukan tentang Pan Islamisme.

Hal ini tidak mungkin didapati dari seorang yang faham keislamannya tidak mendalam. Atau kalau kita mau mengikuti kategori sosiokultural yang ditawarkan Clifford Geertz, ada 3 jenis kategori masyarakat muslim kala itu; abangan, santri, dan priyayi. Maka jelas, Tjokroaminoto merupakan santri sekaligus kyai.


"Islam tidak dapat dikalahkan dengan apapun juga, begitu juga dengan orang Islam yang mempunyai zat Islam sejati. Islam itu adalah pesawat kemajuan yang terbesar dan terkenal oleh perikemanusiaan. Apabila orang Islam sampai dapat dikalahkan oleh materialisme, itu bukan salahnya Islam, tetapi salahnya mereka sendiri yang lalai akan keislamannya. Hanya Islam saja yang mencampurkan antara perkara lahir dengan perkara bathin. Islam memberi aturan  sebagai pedoman bagi kehidupan bathin dan juga pedoman bagi kehidupan sosial, bagi perkara-perkara politik, pemerintahan negeri, militer, kehakiman, dan perdagangan dunia". Lihat Islam dan Sosialisme


Sumber:

- Reglement Umum Bagi Ummat Islam.

- Islam dan Sosialisme.

- HOS. Tjokroaminoto, Anhar Gonggong.

- HOS. Tjokroaminoto, M. Marasabessy.

- Jas Mewah, Tiar Anwar Bachtiar.


Share:

NEGARA PASUNDAN vs RI: Kebijakan Politik dan Kepastian Hukum Terhadap Umat Islam

Oleh: Fian Sofian

Negara Pasundan resmi berdiri pada tanggal 24 April 1948 secara de facto dan de jure di Jawa Barat, dengan wali negara alias presidennya bernama Raden Adipati Aria Wiranatakusumah (kita sebut Wiranatakusumah V). Beliau merupakan menak (priyayi Sunda) sekaligus santri yang memiliki keluasan pandangan mengenai masalah-masalah keislaman. Di Jawa Barat khususnya di Bandung beliau dikenal denga panggilan "Kanjeng Dalem Haji", panggilan tersebut disematkan karena beliau pernah menjalankan ibadah haji saat itu. Sangat jarang priyayi dan pangreh praja melaksanakan haji saat itu.

Di masa kolonialisme Belanda, banyak sekali jabatan politik yang beliau emban. Salah satunya menjadi bupati Bandung sebanyak dua periode. Di masa pendudukan fasis Jepang pun beliau masih diberi kepercayaan untuk mengemban amanah sebagai pemimpin di kota Bandung. 

Hal yang menarik dari Wiranatakusumah adalah kedekatannya dengan tokoh-tokoh Islam di kota Bandung saat itu, terutama Persatuan Islam (Persis) yang digawangi oleh A. Hassan/Hassan Bandung. Hal yang mengindikasikan kedekatannya tersebut adalah dengan beredarnya rumor bahwa A. Hassan didaulat menjadi Menteri Agama dalam pemerintahan Negara Pasundan Jilid II. Bukan hanya A. Hassan yang diberi amanat menduduki jabatan strategis oleh Wiranatakusumah, jauh sebelum berdirinya Negara Pasundan, salah seorang kader Persis -murid A. Hassan- pernah diberi jabatan sebagai Biro Pendidikan Kota Bandung, beliau adalah Mohammad Natsir. Selain A. Hassan dan Moh. Natsir, salah satu tokoh senior Sarekat Islam (SI) bernama Sjafei Wirakusumah juga memiliki kedekatan khusus dengan Wiranatakusumah, dibuktikan dengan pengakuan beliau kepada Ridwan Saidi taatkala meminta konfirmasi. Bahkan Sjafei yang merekomendasikan nama A. Hassan untuk bergabung dalam kabinet Negara Pasundan tahun 1948.

Percaturan pemikiran dan pergerakan Islam di kota Bandung menghantarkan tokoh-tokoh seperti Sjafei Wirakusumah (SI), A. Hassan (Persis), dan Moh. Natsir (Persis) menjadi terkenal di tengah-tengah masyarakat kota Bandung. Maka lumrah, seorang pemimpin sekaliber Wiranatakusumah dengan julukan menak-santri mengenal baik mereka. Tak sampai di situ, tokoh pergerakan nasional seperti Soekarno pun mengenal baik A. Hassan sebagai seorang 'ulama pemikir di kota Bandung. Hal ini dibuktikan dengan surat menyurat antara keduanya tatkala Soekarno diasingkan ke Endeh tahun 1930-an.

Pro Negara Pasundan=Pro Belanda&Anti Kemerdekaan Republik???

Banyak kalangan yang menilai bahwa para pendukung Negara Pasundan adalah orang-orang yang anti kemerdekaan Republik Indonesia, dan menuduh mereka sebagai pro penjajah Belanda. Hal ini pula yang diutarakan oleh sejarawan senior dari Universitas Padjajaran (Unpad), Ahmad Mansur Suryanegara. Kesimpulan yang beliau utarakan dalam bukunya "Api Sejarah" dinilai terburu-buru dan gegabah oleh sejarawan muda, Tiar Anwar Bachtiar. Dalam bukunya "JAS MEWAH" beliau mengkritik kesimpulan dari AMS yang menyebutkan tentang tokoh besar Persis bernama A. Hassan sebagai sosok yang inkonsisten, pragmatis, dan pendukung penjajah Belanda. Benarkah demikian? Hampir 10 halaman dibahas Tiar untuk mengulas lebih dalam kekeliruan AMS.

Hal pertama yang dilakukan oleh Tiar adalah melakukan kroscek di beberapa arsip nasional mengenai keterkaitan A. Hassan dengan Negara Pasundan. Sama sekali tidak ditemukan nama A. Hassan dan Sjafei Wirakusumah dalam jajaran kabinet Negara Pasundan. Akan tetapi dari beberapa sumber sejarawan lain yang pernah melakukan korespondensi dengan Sjafei Wirakusumah, mereka berkesimpulan bahwa benar A. Hassan pernah terlibat langsung dengan Negara Pasundan. Hal ini pun "diamini" oleh Tiar. Hanya saja yang menjadi ganjalan Tiar, sikap dari AMS yang cendrung tergesa-gesa, gegabah, dan simplistis dalam membuat kesimpulan terhadap A. Hassan. 

Hal berikut yang dilakukan Tiar adalah dengan mendudukan status quo Republik Indonesia yang sesaat pasca proklamasi kemerdekaan belum memiliki batas teritorial yang jelas. Terlebih belum ada negara luar yang mengakui secara de facto kedaulatan Republik Indonesia pasca proklamasi. Justru perundingan-perundingan yang digelar semakin merugikan pihak Republik Indonesia, dan batas teritorial wilayah Republik hanya sebatas Sumatera, Jawa, dan Madura. Ditambah setelah perjanjian Renville, Jawa Barat bukan lagi bagian dari Republik Indonesia. 

Meski Palestina mengakui kemerdekaan Indonesia secara de facto, hal itu diungkapkan setahun sebelum proklamasi kemerdekaan. Dan pasca proklamasi 17 Agustus 1945, Mesir mengakui kemerdekaan RI pada Maret 1946 secara de facto, dan barulah pada Juni 1947 secara de jure. Pengakuan-pengakuan tersebut belum dapat menjadikan teritorial Republik Indonesia berdaulat penuh seperti sekarang, karena sebab perundingan-perundingan yang dilakukan pemerintah RI saat itu justru membuat wilayah Republik semakin mengecil.

Banyak hal lain yang diungkap oleh Tiar dalam kritiknya terhadap AMS. Tiar menyebut faktor kedekatan A. Hassan dengan SI dan Wiranatakusumah, yang menjadi sebab dukungan A. Hassan terhadap Negara Pasundan. A. Hassan merupakan anggota khusus SI cabang Bandung. A. Hassan sering ikut dalam rapat-rapat internal SI, yang mana S.M. Kartosuwiryo menjadi salah satu petingginya. Tatkala nama Wiranatakusumah dinobatkan sebagai wali atau presiden Negara Pasundan, maka PSII -yang merupakan partai politik besutan SI- mendukungnya, pun dengan A. Hassan.

Dan faktor primer yang menjadi penyebab dukungan A. Hassan terhadap Negara Pasundan, menurut Tiar dikarenakan kepastian dan jaminan yang diberikan Negara Pasundan terhadap umat Islam di Jawa Barat. Dalam Sidang Parlemen Sementara Negara Pasundan tanggal 22 April 1948 di Bandung, secara khusus disebutkan dalam pasal 76 UUD Negara Pasundan tentang hak khusus terhadap umat Islam. (Jas Mewah, 232). Hal ini justru berbanding terbalik dengan sikap RI yang menghapus isi sila pertama Pancasila dalam menjamin terpelihara dan terselenggaranya syariat Islam, pada tanggal 18 Agustus.

Menjadi realistis jika A. Hassan dan kelompok pergerakan Islam di Jawa Barat lebih menaruh hati dan harapannya kepada Negara Pasundan, dikarenakan kebijakannya dan aturannya dinilai lebih cocok dengan prinsip politik mereka.

"Negara Pasundan justru dipimpin oleh orang-orang Islam yang dikenal taat, bahkan nyantri seperti R.A.A. Wiranatakusumah, sementara RI dipimpin oleh orang-orang yang Islamnya tidak jelas seperti Soekarno. Apalagi RI saat itu pemerintahannya dipimpin oleh seorang perdana menteri Katolik-Komunis Amir Syarifudin. Justru kalau bukan Negara Pasundan yang menjadi pilihan A. Hassan, malah harus dipertanyakan konsistensinya". (Tiar Anwar Bachtiar).

Menyingkap Sejarah Awal Berdirinya Negara Pasundan Jilid I; Konflik Primordial Mang Karta dan Bau Politik Adu Domba Kaum Kolonial?

Sejarah berdirinya Negara Pasundan diproklamirkan pertama kali oleh Raden Adipati Aria Muhammad Musa Suria Kartalegawa (kita sebut Karta) pada tanggal 4 Mei 1947 di alun-alun Bandung. Karta lahir di Garut pada tanggal 26 Oktober 1897, dan pernah menjabat sebagai Bupati Garut pada periode 1928-1943. Konflik primordial yang digaungkan Karta -menurut sebagian kalangan-, merupakan salah satu latar belakang terbentuknya Negara Pasundan jilid I. Karena pada saat itu Soekarno mengangkat Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat yang bukan berasal dari kalangan Sunda. 

Melihat keadaan tanah jajahannya di Jawa Barat, Belanda pun menyokong dan menginisiasi berdirinya negara ini dengan cara mengerahkan armada truknya untuk mengangkut massa dari Bandung Timur dengan maksud agar mereka menghadiri deklarasi dan pidato Karta di alun-alun Bandung. Otak dibalik itu semua adalah Hubertus Johannes Van Mook (H.J. van Mook) yang merupakan seorang keturunan Belanda, dan lahir di Semarang Jawa Tengah pada tanggal 30 Mei 1884. Salah satu strategi yang dilakukannya dalam mencegah gelombang revolusi Indonesia adalah dengan membentuk negara federal, agar basis kekuatan rakyat Indonesia terpecah-belah. 

Ketidakcakapan Karta dalam menghimpun masa pendukung, membuahkan kegagalan bagi berdirinya Negara Pasundan jilid I ini. Pihak Belanda yang memang menginginkan tegaknya "negara boneka" ini tidak sepenuhnya menaruh harapan kepada Karta, karena melihat rekam jejaknya selaku teknokrat yang korup dan oportunis. Di kalangan para pemimpin dan tokoh di Jawa Barat pun Karta tidak mendapatkan dukungan. Bahkan rakyat kala itu pun tidak menaruh simpati dan memiliki pandangan negatif kepadanya. Mereka menjuluki Karta dengan sebutan Suria NICA-legawa, sebagai sindiran atas kedekatan intim dan ketundukan Karta terhadap pemerintahan Hindia-Belanda.

"Untuk mengatasi kebuntuan ini, diadakanlah Konferensi Jawa Barat I tanggal 12-19 Oktober 1947 yang melibatkan para pemimpin Jawa Barat dari berbagai elemen. Penulis menduga (masih perlu dicarikan buktinya), pemimpin-pemimpin Persis seperti A. Hassan mendapat undangan dalam pertemuan ini. Karena kongres ini belum menghasilkan keputusan apa-apa, kemudian diselenggarakan Konferensi Jawa Barat II tanggal 16-20 Desember 1947 dan Konferensi Jawa Barat III tanggal 23 Februari-5 Maret 1948 yang akhirnya menyetujui didirikannya Negara Pasundan (versi baru) dengan walinya Raden Adipati Aria Wiranatakusumah (R.A.A. Wiranatakusumah)". (Tiar Anwar Bachtiar).

Kekecewaan Pasca Perundingan Linggarjati dan Renville

Setelah kekalahan Jepang di Perang Pasifik (Perang Dunia II), pihak Belanda masih bernafsu ingin menguasai kembali Hindia-Belanda (Indonesia). Belanda membawa sekutu untuk melancarkan nafsunya tersebut.

Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 tidak otomatis menjadikan Indonesia sebagai negara yang berdaulat secara de facto dan de jure. Serangkaian perundingan di antara RI dan Belanda membahas lebih dalam mengenai status kemerdekaan Republik Indonesia. Pada akhirnya diadakanlah Perundingan Linggarjati pada tahun 1946. Beberapa isi perundingan tersebut mensahkan wilayah Republik Indonesia secara de facto berupa Sumatera, Jawa, dan Madura. Dan bentuk negara yang disetujui dalam perundingan tersebut adalah negara persemakmuran, bernama Republik Indonesia Serikat (RIS) -yang salah satu bagiannya adalah wilayah kedaulatan RI-. Kelak RIS yang terletak di wilayah Asia Tenggara ini membentuk Uni Indonesia-Belanda yang dipimpin oleh Ratu Belanda saat itu, Wilhelmina.

"Wilayah ini menjadi semakin sempit sejak digelar perundingan Renville 17-19 Januari 1948 (PM Indonesia Amir Syarifudin). RI hanya diberi wilayah Banten, Yogyakarta, dan delapan keresidenan di Jawa Tengah. Belanda mengeplot sisanya menjadi negara-negara bagian yang nantinya akan digabungkan dalam persemakmuran Belanda, termasuk RI. Salah satu negara bagian yang disiapkan adalah Negara Pasundan". (Tiar Anwar Bachtiar).

Kekecewaan banyak dirasakan para pendukung republik  tatkala sebagian besar wilayah RI jatuh ke tangan Belanda, termasuk wilayah Jawa Barat. Banyak diantara mereka yang tidak setuju atas berdirinya Negara Pasundan ini. Namun pada kenyataannya -setelah kesepakatan Renville-, Jawa Barat sudah bukan bagian dari Republik Indonesia lagi, dan sah sebagai sebuah negara dalam wilayah kedaulatan Belanda dengan ide politik negara federalnya.

Salah satu tokoh pejuang nasional yang dijuluki sebagai Bapak Republik, Ibrahim (Tan Malaka), menyiratkan kekecewaannya dalam pidato tertulis yang ditujukan kepada panitia Kongres Rakyat Indonesia pada bulan Desember 1948.

"Setelah perjanjian Renville tercapai 1 Januari 1948 dan setelah diplomasi Belanda berhasil mengosongkan kantong di Jawa Barat dan Jawa Timur dengan ujung lidah saja, maka dengan memakai siasat "Fait Accompli" (keadaan/ketentuan yang harus dihapadi/diterima) dalam militer, ekonomi dan politik sambil merobek-robek dan memutar-balikkan perjanjian yang dibikinnya sendiri, maka kita sampai kepada perundingan terakhir ini dan mudah diputuskan baru-baru ini.

Ringkasnya: dalam perundingan terakhir ini siasat lama terus dijalankan, ialah perundingan dilakukan buat diperhentikan.

Di samping itu tujuan lama tetap dijalankan ialah memasukkan Republik ke dalam jajahan Hindia-Belanda dalam corak dan nama baru".

Dalam tulisannya yang lain, Tan Malaka mengungkapkan kekecewaannya secara langsung kepada Soekarno:
"Presiden Soekarno (yang walaupun atas desakan para pemuda Jakarta) pada 17 Agustus 1945 telah memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dan di masa Jepang menciptakan (slogan, -pen) Amerika Kita Setrika, Inggris Kita Linggis serta dengan sandiwara membakar potret Van Der Plas (Roosevelt dan Churchill) -dengan Naskah Linggarjati dan Renville Principles- menerima kembali Mahkota Raja Belanda di samping mengakui modal asing baik yang langsung memusuhi, maupun yang tidak langsung memusuhi Republik".

"Tiadalah perlu presiden Soekarno di masa republik ini terus menerus menerima usul Inggris, yang sangat merugikan rakyat ialah menghentikan pertempuran di Surabaya dan Magelang serta usul dari pihak Belanda mengakui beberapa negara boneka dalam beberapa wilayah Republik Indonesia (NIT, Borneo, dll) dan sekarang menerima dan menjalankan usul Belanda mengosongkan kantong dan menarik 35.000 prajurit dari Jawa Barat dan Jawa Timur dan seterusnya menerima kembali mahkota Belanda, N.I.S dan Uni Nederland-Indonesia, jadinya membatalkan proklamasi 17 Agustus". 
Share:

Definition List

Definition list
Consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua.
Lorem ipsum dolor sit amet
Consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua.

Theme Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.
Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

Ordered List

  1. Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.
  2. Aliquam tincidunt mauris eu risus.
  3. Vestibulum auctor dapibus neque.

Recent Posts

Unordered List

  • Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.
  • Aliquam tincidunt mauris eu risus.
  • Vestibulum auctor dapibus neque.

Sample Text

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua.

Pages

Theme Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.