Penulis: Fian Sofian, Mahasiswa Bahasa&Sastra Arab UIN SDG Bandung
Di dua pertemuan yang lalu, kita sudah mempraktikkan terkait Metode Penelitian Bahasa dengan beberapa ayat dalam al-Qur'an. Ternyata ada ketidaksinkronan antara kaidah bahasa—atau yang selama ini kita kenal dengan kaidah nahwu—dengan beberapa ayat dalam al-Qur'an. Namun kita semua bersepakat bahwa bahasa al-Qur'an lebih tinggi dari pada kaidah nahwu. Atau dengan perkataan lain, kaidah nahwu harus tunduk pada bahasa al-Qur'an.
Dalam teori tentang tiga kemunculan masalah, hal ini dapat dikategorisasikan sebagai kesenjangan dalam pengetahuan. Artinya memang ada kesenjangan antara teori kaidah bahasa dengan teks yang kita temukan, dalam hal ini di al-Qur'an. Artikel ini merupakan ungkapan dari rasa ketertarikan penulis dalam meneliti tentang teks al-Qur'an[1] dengan konteks kekinian yang selama ini dijadikan bahasan oleh kelompok orientalis dan pengekor-pengekornya, yaitu upaya mengkritik teks al-Qur'an. Atau boleh jadi artikel ini merupakan hasil rangkuman penulis atas dua penelitian yang saling bertentangan, di mana ada beberapa peneliti yang ingin melakukan reinterpretasi al-Qur'an dengan metode yang diimpor dari Barat dengan peneliti yang mencukupkan interpretasi al-Qur'an dengan metode klasik yang sudah diajarkan oleh para ulama terdahulu.[2]
Dalam memberikan definisi tentang Penelitian Bahasa, Drs Dayudin M.Ag. menyebutkan bahwa hakikat dari penelitian bahasa adalah proses penguraian identitas objek penelitian dengan keterhubungannya atas seluruh konteks yang ada. Jika dalam praktik selama ini kita menjadikan teks-teks al-Qur'an sebagai objek dalam penelitian, maka secara tidak langsung kita ingin mengaitkan isi al-Qur'an dengan konteks kekinian. Atau dalam bahasa ilmiahnya adalah kontekstualisasi al-Qur'an.[3]
Kritis, analisis, kontradiksi, objek, masalah, penulis, teks, konteks, interpretasi, kitab suci, sejarah, budaya, dan sosial merupakan kata kunci dalam ilmu Metode Penelitian Bahasa yang ternyata memiliki kesamaan dengan hermeneutika. Lalu apa korelasinya Metode Penelitian Bahasa dengan metode tafsir hermeneutika dalam artikel ini? Perlu ditegaskan kembali bahwa artikel ini ditulis sebagai bentuk rasa ketertarikan penulis terhadap fenomena kritik atas al-Qur'an yang dilakukan oleh beberapa tokoh pengusung tafsir hermeneutik yang merupakan carbon copy para pemikir Barat orientalis dalam menginterpretasikan Bible.[4]
Ketika penulis membuka lembaran-lembaran al-Qur'an, ada beberapa kalimat di ayat ke 221 surat al-Baqarah yang berisi tentang relasi antara laki-laki dan perempuan dalam hubungan pernikahan. Dalam ayat tersebut tertulis larangan bagi laki-laki yang beriman untuk menikahi perempuan musyrik. Sementara di kalimat berikutnya larangan terhadap laki-laki yang beriman untuk menikahkan perempuan beriman—yang menjadi hak perwaliannya—dengan laki-laki musyrik. Berikut perbedaannya, “Walaa tankihuu al-musyrikaati hattaa yu’minn”, dan “Walaa tunkihuu al-musyrikiina hattaa yu’minuu”. Dua kata inilah yang menarik penulis untuk menelitinya lebih jauh. Keduanya memiliki akar morfem yang sama yaitu Nikaahun atau Nakaha, yang terdiri dari tiga buah konsonan n-k-h. Antara tankihuu dan tunkihuu merupakan dua bentuk alomorf hasil realisasi berlainan dari satu morfem, atau dengan kata lain keduanya adalah wujud konkret dari satu morfem dalam sebuah percakapan.[5] Bagi yang sudah memahami kaidah sharaf, tentunya tidak menjadi persoalan. Namun ketika ada yang tidak memahami kaidah sharaf dan ia salah dalam membacanya, maka makna dan artinya pun akan jauh berbeda.
Apakah persoalannya sampai di sana? Ternyata tidak. Bagi beberapa kalangan yang mendukung ideologi gender equality dan feminisme, ayat tersebut dikategorikan sebagai ayat-ayat yang mendukung budaya patriarki dan mensubordinasikan peran perempuan dalam pernikahan dan kebebasan memilih pasangan. Ayat ini dikritisi dan dipermasalahkan, kenapa hanya laki-laki saja yang boleh menikahi secara langsung tanpa melalui perwalian, sementara perempuan harus diwalikan atau dinikahkan?
Bahasan di atas masih masuk pada relasi sosial antara laki-laki dan perempuan. Sekarang kita persempit bahasan ini dalam perspektif kebahasaan dan korelasinya dengan ayat-ayat al-Qur'an yang menjadi objek kajiannya. Dalam disiplin keilmuan kelompok feminis, bahasa merupakan faktor dalam membangun perbedaan gender. Bahasa dianggap sebagai pemicu yang mendiskriminasi perempuan. Bagi kalangan feminis di Indonesia faktor bahasa lah yang menyebabkan terjadinya bias gender dalam studi Islam. Mereka menganggap bahwa wujud perbedaan ungkapan bahasa dalam ayat-ayat al-Qur'an sering membawa kerugian bagi wanita. Bahkan tidak tanggung-tanggung mereka pun mempersoalkan tentang kata ganti huwa (Dia) bagi Allah yang lebih menonjolkan tentang maskulinitas. Mereka membuat alasan bahwa al-Qur'an dan al-Hadits menjadikan bahasa Arab yang dipercayai mengandung bias gender disebabkan keadaan sosio-kultural di tanah Arab saat itu. Bahkan hal ini diucapkan oleh seorang professor yang juga menjadi imam besar Masjid Istiqlal dengan mengatakan,
“Bahasa Arab yang "dipinjam" Tuhan dalam menaympaikan ide-Nya sejak awal mengalami bias jender, baik dalam kosa kata (mufradat) maupun dalam strukturnya”.[6]
Dari sebab alasan inilah, maka banyak sekali tokoh yang mencoba menawarkan gagasan kontekstualisasi ayat-ayat al-Qur'an dengan metode tafsir hermeneutika. Dikarenakan al-Qur'an tidak turun di ruang hampa, maka ayat-ayat yang ada harus dicari tahu akar sosio-kulturalnya. Dan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya adalah respon atas tuntutan zaman saat itu yang mungkin saja sudah tidak relevan dengan zaman saat ini.[7] Dan bisa saja ayat yang melarang seorang laki-laki mukmin menikah dengan perempuan musyrik—atau sebaliknya—sudah tidak relevan di zaman ini karena tuntutan nilai-nilai kebebasan, hak asasi manusia, inklusifitas, dan moderasi dalam menjalankan agama. Inilah sedikit uraian mengenai korelasi antara metode penelitian bahasa dan metode tafsir hermeneutik dalam menjadikan ayat-ayat al-Qur'an sebagai objeknya.
______________________
[1]. Yaitu teks-teks yang berkaitan dengan relasi antara laki-laki dan perempuan.
[2]. Dayudin, ppt Metode Penelitian Bahasa slide 9. Mahsun, Metode Penelitian Bahasa.
[3]. Ibid. slide 3.
[4]. Syamsuddin Arif, Apa Itu Hermeneutika?, INSISTS [Jakarta, 2023], hal. 7.
[5]. Abdul Chaer, Linguistik Umum, Rineka Cipta [Jakarta, 2012], hal. 150-4.
[6]. Henri Shalahuddin, Ideologi Gender Dalam Studi Islam, INSISTS [Jakarta, 2022], hal. 223-6.
[7]. Zahrul Fata, Historisitas Teks al-Qur'an, INSISTS [Jakarta, 2023], hal. 54.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar