FILSAFAT DAN INTELEKTUALITAS

Oleh: Fian Sofian, Mahasiswa Prodi Bahasa dan Sastra Arab Universita Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung

Filsafat merupakan bagian yang terintegrasi dengan aspek kehidupan manusia. Ada hubungan kausalitas antara filsafat dan kehidupan manusia; interaksi sebab akibat ini saling menentukan satu sama lain. Singkat kata filsafat menentukan kehidupan manusia; dan lingkungan kehidupan manusia menentukan corak filsafatnya.[1] Perdebatan mengenai boleh tidaknya filsafat bagi seorang muslim, sampai pada relevansi filsafat bagi kehidupan seorang muslim dalam meraih kemajuan peradabannya bisa dibilang merupakan perdebatan klasik yang sampai pada hari ini masih berlanjut dan tidak akan dibahas dengan porsi yang besar dalam artikel ini.

Beberapa penulis filsafat menyamakan antara filsafat dan agama dalam kehidupan manusia, yang menurut fungsinya dianggap sebagai dua kekuatan yang mewarnai dunia dan saling berebut dominasi. Namun secara spesifik ada perbedaan mendasar dalam mendefinisikan antara filsafat dan agama, dan hal ini diakui oleh penulis tersebut. Dalam mendefinisikan agama, ia berpendapat bahwa agama merupakan peraturan tentang cara hidup di dunia. Sedangkan filsafat sebagai the attempt to answer ultimate question critically (suatu usaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berbobot tinggi secara kritis), atau a collective name for question which have not been answered to the satisfaction of all that have asked them (nama kolektif untuk pertanyaan yang belum terjawab demi kepuasan semua yang bertanya).[2]

Dalam mendefinisikan filsafat, banyak sekali tokoh-tokoh yang berbeda satu sama lain dikarenakan perbedaan konotasi dan keyakinan hidup yang mereka anut. Perbedaan dalam memberikan definisi yang tepat juga semakin kabur dan tak memiliki pengertian baku, hal ini dikarenakan perkembangan filsafat itu sendiri. Namun kiranya cukup dua kutipan di paragraf atas untuk kita kembangkan dalam artikel ini, yang berikutnya akan kita perinci dengan tiga sub judul sebagai berikut: Peran Filsafat dalam Membangun Kritisisme Berpikir; Peran Filsafat dalam Memajukan Ilmu Pengetahuan; dan Filsafat Sebagai Cara atau Metode Berpikir dalam Menemukan Kebenaran.

Artikel ini saya dedikasikan untuk sahabat saya yang saat ini tengah menempuh pendidikan di Universitas lain, yang meminta saya untuk menuliskan artikel terkait dengan tema yang telah ditentukan oleh dosennya tersebut. Semoga tulisan ini menjadi upaya terbaik–terkhusus bagi penulis dan umumnya para pembaca–dalam memeriahkan semarak literasi bagi kalangan pelajar.

A.    Peran Filsafat dalam Membangun Kritisisme Berpikir

“What is the nature of the world stuff?” (apa bahan baku alam semesta ini),[3] tanya Thales yang hidup pada tahun 624-546 SM. Beberapa gambaran mengenai definisi filsafat sudah dijelaskan sebelumnya, yang sudah tentu pertanyaan Thales menjadi sebuah dasar terciptanya beberapa definisi filsafat yang telah disebutkan. Thales–yang dianggap oleh beberapa penulis sebagai bapaknya filsafat–memiliki anggapan bahwa segala sesuatu terbuat dari air. Dan baginya, air memiliki arti penting bagi kehidupan dan merupakan substansi dasar yang membentuk segala sesuatu. Tentu hipotesis ini bukan suatu pernyataan yang bodoh, karena dalam ilmu sains modern ada pandangan bahwa segala sesuatu terbuat dari hidrogen–yang dua pertiganya adalah air.[4] Kita boleh berdebat dan meneliti kembali hipotesis yang diajukan Thales, namun tujuan pokok dari artikel ini memberikan penegasan bahwasanya filsafat memang memantik sikap kritis seseorang. Dari pertanyaan dan jawaban Thales kita juga bisa melihat bahwa pertanyaan tersebut ternyata lebih berbobot ketimbang jawabannya. Karena jawaban dari pertanyaan tersebut bahkan sampai hari ini masih menjadi perdebatan sengit para ilmuwan dan masih terus diteliti.

Terkait pertanyaan dan jawaban Thales, dalam al-Qur’an disebutkan secara eksplisit tentang manfaat dan kegunaan air beserta proses turunnya air hujan ke bumi yang darinya tumbuh beberapa pepohonan dan buah-buahan yang dimanfaatkan oleh manusia, binatang, dan makhluk bumi lainnya. Hal ini terdapat dalam al-Qur’an surat al-An’am ayat ke 99 dan surat ‘Abasa ayat ke 25-29. Dalam ilmu filsafat, pembicaraan seperti ini disebut sebagai kausalitas atau teori sebab akibat. Yang membedakan antara filsafat Barat dengan filsafat Islam adalah peran Tuhan dalam teori kausalitas, karena menurut Islam proses kausalitas di alam raya ini dirancang sedemikian teratur dan seimbang oleh Tuhan. Sebab akibat yang terjadi di alam ini memiliki kedudukan yang lebih tinggi dimana seluruh proses kausalitas alam berasal dari Tuhan, yang disebut kausalitas Ilahi. Sebab akibat dalam alam semesta ini menjadi bukti dan tanda atas eksistensi Tuhan. Dalam hal ini, ada kutipan dari seorang intelektual bernama Fazlur Rahman bahwa alam ini otonom, namun tidak otokratis (dapat mengatur diri sendiri) dikarenakan alam ini tidak mengandung sesuatu yang final.[5]

Dalam melihat fenomena kausalitas tersebut, filsuf Barat sekedar beranggapan bahwa alam semesta ini merupakan objek fisik yang bergerak dan diam; sementara para filsuf muslim atau yang biasa disebut sebagai mutakallimun beranggapan bahwa adanya alam semesta ini menunjukkan adanya Pencipta[6] dalam alam metafisik dan supranatural yang hanya dapat dipahami dengan kemampuan hati dan iman.[7] Dalam merinci perbedaan antara filsafat Barat dan filsafat Islam–yang selama ini dikenal dengan ilmu kalam–kita perlu menelusuri lebih jauh keterkaitan antara hati dan akal. Dalam Islam, antara hati dan akal tidak sekalipun dinegasikan meski memang pada realitanya ada dikotomi antara hati dan akal, yang menurut penuturan Ahmad Tafsir dalam bukunya Filsafat Umum saling berebut dominasi dalam mengendalikan kehidupan manusia. Baginya akal itu adalah logika yang bertempat di kepala yang kelak melahirkan filsafat, sementara hati bertempat di dalam dada yang menghasilkan pengetahuan supralogis dimana iman merupakan bentuk konkritnya.[8] Bagi masyarakat Barat, filsafat adalah induk dari segala disiplin ilmu pengetahuan yang bermula dari penalaran murni (pure reason). Sementara bagi umat Islam sumber ilmu pengetahuan adalah keimanan akan Tuhan melalui wahyu al-Qur’an (revelation), yang di dalamnya terdapat ayat-ayat yang berkaitan tentang Tuhan, alam semesta dan segala makhluk di dalamnya, fisika, metafisika, etika, estetika, logika, sastra, sejarah, politik, ekonomi, pendidikan, hukum, dan lain sebagainya.[9]

Kalau kita mau membandingkan dengan agama selain Islam, tarulah dalam hal ini agama yang mendominasi di Barat yaitu Kristen, maka hubungan antara hati dan akal tidaklah sehangat hubungan keduanya dalam agama Islam, yang mengakomodir akal dan hati secara berimbang dan proporsional. Salah satu tokoh filsuf Barat di abad pertengahan (banyak yang menyebut abad pertengahan medieval ages ini dengan istilah abat kegelapan dark ages) yang juga berperan sebagai tokoh gereja bernama St. Anselmus terkenal dengan sebuah ucapannya yaitu credo ut intelligam (Latin) atau I believe in order to understand (Inggris), yang berarti “Saya percaya agar saya mengerti”.[10] Ucapan tersebut menjadi indikasi kuatnya dogma-dogma gereja yang mempersulit untuk siapapun bebas berpikir secara kritis. Karenanya, Ahmad Tafsir menyebutkan bahwa periode inilah akal logika dikalahkan oleh hati atau keimanan Kristen. Sampai tiba saatnya Renaissance (re-birth atau kelahiran kembali) yang mengangkat bangsa Barat mencapai kedudukan logis dan melesat lebih jauh mencapai kemajuan dan kemodernan. Ada beberapa pertanyaan terkait mengapa bangsa Barat maju padahal mereka pernah hidup dalam kegelapan, sementara di sisi lain–yaitu saat ini–umat Islam mengalami kemunduran? Dari beberapa penjelasan singkat di atas tentunya dapat kita simpulkan bahwa Barat maju dikarenakan meninggalkan agama Kristen, sementara kemunduran umat Islam disebabkan mereka meninggalkan agama mereka.[11]

B.     Peran Filsafat dalam Memajukan Ilmu Pengetahuan

Ada sebuah pertanyaan tentang faktor apa yang mendorong timbulnya filsafat? Hal ini tentu sangat mudah untuk dijawab dikarenakan filsafat merupakan bagian integral dari kehidupan manusia, maka jawaban atas faktor yang mendorong timbulnya filsafat adalah ada dalam diri manusia itu sendiri. Mohammad Hatta, salah seorang founding father kita dalam sebuah bukunya berjudul Alam Pikiran Yunani mengatakan tentang faktor-faktor penyebab munculnya sikap kritis dan keinginan untuk mencapai suatu kebenaran yang pasti. Ia menggambarkan tentang kehidupan orang-orang Greek (Yunani) yang penuh dengan mitos, sehingga terlahirlah manusia-manusia kritis yang menolak mitos yang sudah mengakar di negerinya tersebut. Lalu yang kedua tatkala seseorang dihadapkan pada alam semesta yang indah dan luas ini, timbul dari perasaan terdalam mereka untuk mengetahui rahasia alam semesta ini sehingga pertanyaan-pertanyaan tentang dari mana datangnya alam ini, bagaimana kejadian penciptaannya, bagaimana perkembangan dan kemana muaranya, memantik rasa keingintahuan yang mendalam sehingga beberapa pertanyaan yang ditimbulkan tersebut menjadi serius dan penyelidikannya menjadi sistematis. Dan inilah hakikat dari filsafat, yang sampai dengan saat ini memiliki peranan penting dalam memajukan ilmu pengetahuan dan sains modern.[12]

Baru satu contoh yang sudah penulis paparkan terkait pertanyaan apa bahan baku alam semesta ini. Tentunya pertanyaan-pertanyaan yang dimaksud di atas tidak dapat disamakan dengan pertanyaan yang ringan dan remeh temeh. Pertanyaan-pertanyaan yang terkait realitas kehidupan manusia sehari-hari seperti bagaimana rasanya api jika mengenai kulit kita, bagaimana salju, apa yang akan terjadi jika kulit kita teriris benda tajam dan tertusuk benda runcing. Tentu pertanyaan-pertanyaan seperti ini tidak dapat dikategorikan sebagai pertanyaan-pertanyaan filosofis. Karena pengetahuan akan rasa-rasa yang ditimbulkan tersebut akan langsung terjawab jika kita sudah merasakannya. Kalau boleh disimpulkan, maka salah satu kegiatan filsafat adalah seni dalam bertanya. Namun ada hal yang membedakan antara faktor yang mendorong timbulnya filsafat di zaman Yunani kuno dengan filsafat modern. Kalau di zaman kuno tentu diakibatkan oleh sikap kritis akan banyaknya fenomena mitos dan juga sikap takjub terhadap alam semesta.[13] Maka dalam zaman modern filsafat muncul dari sikap skeptis (keragu-raguan atau sangsi) sehingga pertanyaan-pertanyaan yang muncul kemudian adalah mempertanyakan hakikat kebenaran yang hendak ditujunya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut pastinya membuat seorang filosof gelisah dan terganggu alam pikirannya. Rasa keingintahuan atas relitas kebenaran itulah yang disebut sebagai ruh, jiwa, dan substansi dari filsafat.

Di bab sebelumnya sudah kita bahas mengenai sumber ilmu pengetahuan antara Barat dan Islam. Adapun Islam menjadikan firman-firman Tuhan dalam al-Qur’an sebagai sumber rujukan ilmu pengetahuan, karena isi al-Qur’an bukan sekedar penjelasan-penjelasan teologis belaka, melainkan hampir mencakup seluruh aspek kehidupan dan kebutuhan manusia yang dalam hal ini adalah ilmu pengetahuan yang dapat dikembangkan menjadi ilmu pengetahuan dan sains modern. Sebagai contoh dalam surat al-Ghasyiyyah Allah mengajukan beberapa pertanyaan terkait realitas kehidupan manusia dan alam semesta ini. Allah ta’ala berfirman,

“Maka tidakkah mereka memperhatikan unta, bagaimana diciptakan? Dan langit, bagaimana ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ditegakkan? Dan bumi bagaimana dihamparkan? Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya engkau (Muhammad) hanyalah pemberi peringatan.”[14]

Dalam menafsirkan tentang ayat-ayat ini, para ilmuwan Islam tentu tidak melepaskan keterkaitan sebab akibat atau kausalitas Ilahi dengan makhluk-makhluk hasil ciptaan-Nya. Tentu hal ini berbanding secara diametris dengan Barat, yang menganggap alam semesta ini adalah hasil emanasi dari Tuhan. Kita tidak akan mendalami tentang teori penciptaan ala Plotinus tersebut, namun dari ayat-ayat al-Qur’an tersebut kita akan mengambil beberapa pelajaran dari kausalitas Ilahi dan menetapkan Keesaan bagi Allah semata. Kita akan mengutip penjelasan atas ayat-ayat di atas dari salah seorang ahli tafsir al-Qur’an,

“Allah ta’ala menghimbau orang-orang yang tidak membenarkan risalah kenabian Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam dan siapapun itu dari kalangan manusia, agar mereka semua memikirkan tentang seluruh hasil ciptaan Allah yang menjadi bukti akan Keesaan-Nya. ‘Maka tidakkah mereka memperhatikan unta, bagaimana diciptakan?’, yaitu apakah mereka tidak memperhatikan hasil ciptaan-Nya yang begitu mengagumkan? Dan juga bagaimana Allah telah menundukkan hewan-hewan ternak tersebut untuk para manusia? Dan juga Allah telah menguasai segala makhluk lain untuk keuntungan yang banyak bagi manusia? ‘Dan gunung-gunung bagaimana ditegakkan?’, yaitu dengan keadaan yang mempesona sehingga menghasilkan stabilitas dan kekokohan bagi bumi dari keguncangan. Dan Allah menciptakan ini semua untuk keuntungan yang sangat baik bagi makhuk-Nya. ‘Dan bumi bagaimana dihamparkan?’, yaitu Allah telah menghamparkan bumi ini seluas-luasnya, mempermudahnya bagi manusia, agar mereka dapat hidup di atas bumi ini dan memungkinkan mereka untuk bercocok tanam di ladangnya, dan membangun tempat tinggal di atas bumi ini, serta menjelajahinya.”[15]

Pertanyaan-pertanyaan yang Allah ajukan tersebut bukan pertanyaan yang ringan dan remeh temeh. Namun pertanyaan yang memiliki bobot sangat tinggi dan memantik akal pikiran kita sebagai umat Islam sehingga memungkinkan bagi kita untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dengan bersumber pada al-Qur’an. Tujuan dari pertanyaan tersebut tidak sekedar berhenti pada perkembangan akal logika dan penelitian-penelitian ilmiah semata, sehingga menimbulkan kesimpulan-kesimpulan yang cenderung teoritis belaka. Namun Allah juga mengarahkan agar kita semakin meningkatkan keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya Muhammad. Pertanyaan-pertanyaan di atas beserta tafsirnya amat erat kaitannya dengan tema kausalitas dalam Islam. Karena bagi umat Islam sudah sangat jelas bahwa Allah-lah Sebab utama dari segala sebab-sebab lain. Adalah al-Ghazali–yang disebut sebagai filsuf muslim–dengan gelar Hujjat al-Islam yang menyatakan bahwa setiap makhluk memiliki sebab awal dan utama, yang menunjukkan akan wujud dan eksistensi Tuhan. Ia mengatakan,

كُلُّ حَدِيْثٍ فَلِحُدُوْثِهِ سَبَبٌ، وَالْعَالَمُ حَدِيْثٌ فَيَلْزَمْ مِنْهُ أَنَّ لَهُ سَبَبًا

“Setiap makhluk ciptaan itu memiliki sebuah sebab pada awalnya. Dan dunia ini adalah makhluk ciptaan yang mengharuskannya memiliki sebab yang menciptakannya”.[16]

Adalah al-Ghazali juga yang merubah istilah sebab (kausalitas) dalam pengertian filsafat Barat dan para pengikutnya menjadi istilah pelaku atau perantara. Ucapannya,

“Setiap perbuatan yang dirancang dengan baik berasal dari pelaku yang kuat. Dunia adalah perbuatan yang dirancang dan tertata dengan baik, oleh karena itu dunia berasal dari pelaku yang kuat”.[17]

Dapat kita simpulkan bahwa peranan filsafat dalam memajukan ilmu pengetahuan tidak bertentangan dengan ajaran Islam, bahkan antara filsafat–yang bersandarkan pada akal logika atau penalaran murni (pure reason)–dengan keimanan–yang terletak dalam hati–bisa saling bersinergi dan mempengaruhi. Iman menjaga akal kita agar tak terlepas bebas ke alam liar sehingga menjerumuskan kita pada sikap-sikap ateis yang menafikan eksistensi Tuhan. Hal ini berbeda secara diametral dengan dogma-dogma gereja yang santer pada abad kegelapan (medieval ages) yang berbunyi extra eclessiam nulla salus (Latin) atau outside the church there is no salvation (Inggris) yang memiliki arti “di luar dogma-dogma gereja tidak ada keselamatan”.

C.    Filsafat Sebagai Cara atau Metode Berpikir dalam Menemukan Kebenaran

“Orang yang beriman tidak butuh penjelasan. Orang yang tidak beriman tidak mungkin menerima penjelasan”.

Kalimat tersebut diucapkan oleh Thomas Aquinas, tokoh filsafat abad pertengahan. Kalau kita tanyakan kepada orang-orang yang meyakini akan adanya tiga tuhan, maka tentu tidak akan ada penjelasan logis dan ilmiah yang dapat memuaskan dahaga kita. Aquinas, sebagaimana filosof-filosof Barat abad pertengahan lainnya memang memiliki keyakinan bahwa manusia tidak akan selamat tanpa perantaraan gereja.[18] Kebenaran bagi para filosof abad pertengahan berdasarkan dogma-dogma gereja.

Dalam sebuah tulisannya, Mohammad Natsir–yang dijuluki sebagai bapak NKRI (penggagas mosi integral NKRI)–dalam sebuah artikel berjudul Orang Barat Kehilangan Agama dan diterbitkan dalam majalah Pembela Islam menyebutkan beberapa pendirian orang Barat terhadap agama. Setidaknya ada tiga kategori golongan menurutnya, namun yang menarik ada di poin tiga–dikarenakan ada sedikit korelasinya dengan sub judul di atas. Kategori ketiga tersebut menyebutkan bahwa mereka sudah tidak percaya lagi terhadap apa yang tertulis dalam Injil, namun di sisi lain tidak berani membuang agama sama sekali. Orang yang masuk kategori ini kebanyakan para pemikir. Bagi Natsir, semakin bertambah ilmu pengetahuan mereka, maka semakin tinggi kebutuhan mereka terhadap agama. Karena ilmu pengetahuan yang selama ini mereka peroleh belum mampu memuaskan kesentosaan ruh dan jiwa mereka. Namun, dogma-dogma yang diajarkan dalam Kristen tidak dapat diterima oleh akal logika mereka. Sehingga pada akhirnya mereka banyak membuang isi-isi Injil yang tidak sesuai dan menambah-nambah yang sesuai bagi mereka agar dapat mengikuti perkembangan zaman. Ada beberapa catatan atas ajaran dalam Bible yang tidak sesuai dengan akal logika mereka. Yaitu, mereka memungkiri bahwa Yesus itu anak Tuhan; Bible itu tidak suci dan sekedar cerita dongeng yang tak masuk akal manusia; menolak bahwa manusia terlahir dalam dosa; dan menganggap bahwa tata cara beribadah dalam Kristen bersumber dari agama Zoroaster.[19]

Dalam menemukan kebenaran, Islam menjelaskan bahwa kebenaran yang hakiki itu berasal dari Tuhan. Dalam hal ini Allah Ta’ala berfirman,

“Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, maka janganlah sekali-kali engkau (Muhammad) termasuk orang-orang yang ragu.”[20]

Al-Sa’adi dalam memberikan tafsir atas ayat tersebut menyebutkan bahwa  kebenaran dari Allah ini adalah hakikat kebenaran yang sesungguhnya, dan al-Qur’an yang merupakan firman Allah merupakan pendidik bagi akal dan jiwa-jiwa manusia. Dan bagi al-Ghazali kepastian tentang ilmu-ilmu rasional itu tidak memiliki kontradiksi antara ilmu alam dan ilmu agama (Islam).

Dari beberapa kesimpulan di atas, sangat jelas bahwa kebenaran itu akan ditemukan melalui wahyu dari Allah dan akal logika yang sehat atau penalaran yang murni. Kalau mau mengikuti ucapan Hamid Fahmy Zarkasyi bahwa,

“Ilmu dalam Islam bermula dari pemahaman terhadap wahyu yang dibantu oleh penalaran, atau kombinasi dari wahyu dan akal (revelation and reason). Maka dapat dikatakan bahwa di Barat ilmu lahir dari keraguan, sedangkan dalam Islam ilmu muncul dan berkembang dari keyakinan. Jadi, bermula dari keyakinan terhadap firman Allah, al-Qur’an difahami, dijelaskan, dibuktikan dan diamalkan sehingga menghasilkan ilmu.”[21]

Sedikit Tambahan

Dalam bukunya berjudul Logical Fallacy, Muhammad Nuruddin mengajukan empat teori yang menjadi tolak ukur untuk menentukan kebenaran dan kesalahan. Pertama, kejelasan. Kedua, kegunaan. Yang benar adalah yang menghasilkan manfaat. Ketiga, korespondensi. Benar atau salahnya suatu pandangan bergantung pada sesuai tidaknya dia dengan kenyataan yang ada. Keempat, konsistensi. Benar atau salahnya suatu pandangan ditentukan pada konsistensinya dengan pandangan-pandangan lain yang telah disepakati kebenarannya.[22]

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Al-Qur’an al-Karim. 2014. Bandung, Syaamil Quran Sygma.

 

Al-Sa’adi, Abdurrahman bin Nashir. 2016. Taisir al-Karim al-Rahman. Kairo, Darul ‘Alamiyah al-Azhar.

 

Natsir, Mohammad. 1969. Islam dan Kristen di Indonesia. Bandung, Bulan Sabit.

 

Russell, Betrand. 2023. Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta, Pustaka Pelajar.

 

Salahuddin, Henri. 2019. Mawaqif Beriman dengan Akal Budi. Jakarta, INSISTS.

 

Zarkasyi, Hamid Fahmy. 2020. Minhaj Berislam dari Ritual hingga Intelektual. Jakarta, INSISTS.

 

Zarkasyi, Hamid Fahmy. 2018. Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan. Ponorogo, Unida Gontor Press.

 

Tafsir, Ahmad. 2021. Filsafat Umum. Bandung, Rosda.

 

http://www.historislam.com/

 



[1] Betrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, Pustaka Pelajar [Yogyakarta, 2023], hal. vii&xv.

[2] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Rosda [Bandung, 2021], hal. 11.

[3] Ibid., hal. 48.

[4] Betrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, Pustaka Pelajar [Yogyakarta, 2023], hal. 33.

[5] Hamid Fahmy Zarkasyi, Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan, Unida Gontor Press [Ponorogo, 2018], hal. 38-40.

[6] Amal Fathullah Zarkasyi, Pengantar Mawaqif Beriman dengan Akal Budi, INSISTS [Jakarta, 2019], hal. xxi.

[7] Op.cit., hal. 41.

[8] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Rosda [Bandung, 2021], hal. 47.

[9] Hamid Fahmy Zarkasyi, Pengantar Mawaqif Beriman dengan Akal Budi, INSISTS [Jakarta, 2019], hal. xxv.

[10] Op.cit., hal. 95.

[11] Hamid Fahmy Zarkasyi, Minhaj Berislam dari Ritual hingga Intelektual, INSISTS [Jakarta, 2020], hal. xxiv-xxv.

[12] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Rosda [Bandung, 2021], hal. 13-15.

[13] Lihat http://www.historislam.com/2023/01/filsafat-barat-vs-Islam-filsafat-timur.html D              iakses pada tanggal 4 November 2023 pukul 05.43 wib.

[14] Surat al-Ghasyiyyah ayat 17-21. Syaamil Quran, Sygma [Bandung, 2014].

[15] Abdurrahman bin Nashir al-Sa’adi, Taisir al-Karim al-Rahman, Darul ‘Alamiyah al-Azhar [Kairo, 2016], hal. 985.

[16] Hamid Fahmy Zarkasyi, Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan, Unida Gontor Press [Ponorogo, 2018], hal. 127.

[17] Ibid., hal. 129.

[18] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Rosda [Bandung, 2021], hal. 111.

[19] Mohammad Natsir, Islam dan Kristen di Indonesia, Bulan Sabit [Bandung, 1969], hal. 11-12.

[20] Surat al-Baqarah ayat 137. Syaamil Quran, Sygma [Bandung, 2014].

[21] Hamid Fahmy Zarkasyi, Pengantar Mawaqif Beriman dengan Akal Budi, INSISTS [Jakarta, 2019], hal. xxvi.

[22] Lihat http://www.historislam.com/2023/01/resensi-buku-logical-fallacy-muhammad.html D       iakses pada tanggal 4 November 2023 pukul 11.49 wib.

Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Definition List

Definition list
Consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua.
Lorem ipsum dolor sit amet
Consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua.

Theme Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.
Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

Ordered List

  1. Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.
  2. Aliquam tincidunt mauris eu risus.
  3. Vestibulum auctor dapibus neque.

Recent Posts

Unordered List

  • Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.
  • Aliquam tincidunt mauris eu risus.
  • Vestibulum auctor dapibus neque.

Sample Text

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua.

Pages

Theme Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.