Oleh: Fian Sofian, Mahasiswa Prodi Bahasa dan Sastra Arab Universita Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung
Filsafat merupakan bagian yang terintegrasi dengan aspek kehidupan
manusia. Ada hubungan kausalitas antara filsafat dan kehidupan manusia;
interaksi sebab akibat ini saling menentukan satu sama lain. Singkat kata
filsafat menentukan kehidupan manusia; dan lingkungan kehidupan manusia
menentukan corak filsafatnya.[1]
Perdebatan mengenai boleh tidaknya filsafat bagi seorang muslim, sampai pada
relevansi filsafat bagi kehidupan seorang muslim dalam meraih kemajuan peradabannya
bisa dibilang merupakan perdebatan klasik yang sampai pada hari ini masih
berlanjut dan tidak akan dibahas dengan porsi yang besar dalam artikel ini.
Beberapa penulis filsafat menyamakan antara filsafat dan agama
dalam kehidupan manusia, yang menurut fungsinya dianggap sebagai dua kekuatan
yang mewarnai dunia dan saling berebut dominasi. Namun secara spesifik ada perbedaan
mendasar dalam mendefinisikan antara filsafat dan agama, dan hal ini diakui
oleh penulis tersebut. Dalam mendefinisikan agama, ia berpendapat bahwa agama
merupakan peraturan tentang cara hidup di dunia. Sedangkan filsafat sebagai the
attempt to answer ultimate question critically (suatu usaha untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan berbobot tinggi secara kritis), atau a collective name
for question which have not been answered to the satisfaction of all that have
asked them (nama kolektif untuk pertanyaan yang belum terjawab demi
kepuasan semua yang bertanya).[2]
Dalam mendefinisikan filsafat, banyak sekali tokoh-tokoh yang
berbeda satu sama lain dikarenakan perbedaan konotasi dan keyakinan hidup yang
mereka anut. Perbedaan dalam memberikan definisi yang tepat juga semakin kabur
dan tak memiliki pengertian baku, hal ini dikarenakan perkembangan filsafat itu
sendiri. Namun kiranya cukup dua kutipan di paragraf atas untuk kita kembangkan
dalam artikel ini, yang berikutnya akan kita perinci dengan tiga sub judul
sebagai berikut: Peran Filsafat dalam Membangun Kritisisme Berpikir; Peran
Filsafat dalam Memajukan Ilmu Pengetahuan; dan Filsafat Sebagai Cara atau
Metode Berpikir dalam Menemukan Kebenaran.
Artikel ini saya dedikasikan untuk sahabat saya yang saat ini
tengah menempuh pendidikan di Universitas lain, yang meminta saya untuk
menuliskan artikel terkait dengan tema yang telah ditentukan oleh dosennya
tersebut. Semoga tulisan ini menjadi upaya terbaik–terkhusus bagi penulis dan
umumnya para pembaca–dalam memeriahkan semarak literasi bagi kalangan pelajar.
A.
Peran Filsafat dalam Membangun Kritisisme Berpikir
“What is the nature of the world stuff?” (apa bahan baku alam semesta ini),[3]
tanya Thales yang hidup pada tahun 624-546 SM. Beberapa gambaran mengenai
definisi filsafat sudah dijelaskan sebelumnya, yang sudah tentu pertanyaan
Thales menjadi sebuah dasar terciptanya beberapa definisi filsafat yang telah
disebutkan. Thales–yang dianggap oleh beberapa penulis sebagai bapaknya
filsafat–memiliki anggapan bahwa segala sesuatu terbuat dari air. Dan baginya,
air memiliki arti penting bagi kehidupan dan merupakan substansi dasar yang
membentuk segala sesuatu. Tentu hipotesis ini bukan suatu pernyataan yang bodoh,
karena dalam ilmu sains modern ada pandangan bahwa segala sesuatu terbuat dari hidrogen–yang
dua pertiganya adalah air.[4]
Kita boleh berdebat dan meneliti kembali hipotesis yang diajukan Thales, namun
tujuan pokok dari artikel ini memberikan penegasan bahwasanya filsafat memang
memantik sikap kritis seseorang. Dari pertanyaan dan jawaban Thales kita juga
bisa melihat bahwa pertanyaan tersebut ternyata lebih berbobot ketimbang
jawabannya. Karena jawaban dari pertanyaan tersebut bahkan sampai hari ini
masih menjadi perdebatan sengit para ilmuwan dan masih terus diteliti.
Terkait pertanyaan dan jawaban Thales, dalam al-Qur’an disebutkan
secara eksplisit tentang manfaat dan kegunaan air beserta proses turunnya air
hujan ke bumi yang darinya tumbuh beberapa pepohonan dan buah-buahan yang
dimanfaatkan oleh manusia, binatang, dan makhluk bumi lainnya. Hal ini terdapat
dalam al-Qur’an surat al-An’am ayat ke 99 dan surat ‘Abasa ayat ke 25-29. Dalam
ilmu filsafat, pembicaraan seperti ini disebut sebagai kausalitas atau teori
sebab akibat. Yang membedakan antara filsafat Barat dengan filsafat Islam
adalah peran Tuhan dalam teori kausalitas, karena menurut Islam proses
kausalitas di alam raya ini dirancang sedemikian teratur dan seimbang oleh
Tuhan. Sebab akibat yang terjadi di alam ini memiliki kedudukan yang lebih
tinggi dimana seluruh proses kausalitas alam berasal dari Tuhan, yang disebut
kausalitas Ilahi. Sebab akibat dalam alam semesta ini menjadi bukti dan tanda
atas eksistensi Tuhan. Dalam hal ini, ada kutipan dari seorang intelektual
bernama Fazlur Rahman bahwa alam ini otonom, namun tidak otokratis (dapat
mengatur diri sendiri) dikarenakan alam ini tidak mengandung sesuatu yang
final.[5]
Dalam melihat fenomena kausalitas tersebut, filsuf Barat sekedar
beranggapan bahwa alam semesta ini merupakan objek fisik yang bergerak dan
diam; sementara para filsuf muslim atau yang biasa disebut sebagai mutakallimun
beranggapan bahwa adanya alam semesta ini menunjukkan adanya Pencipta[6]
dalam alam metafisik dan supranatural yang hanya dapat dipahami dengan kemampuan
hati dan iman.[7]
Dalam merinci perbedaan antara filsafat Barat dan filsafat Islam–yang selama
ini dikenal dengan ilmu kalam–kita perlu menelusuri lebih jauh keterkaitan
antara hati dan akal. Dalam Islam, antara hati dan akal tidak sekalipun
dinegasikan meski memang pada realitanya ada dikotomi antara hati dan akal,
yang menurut penuturan Ahmad Tafsir dalam bukunya Filsafat Umum saling
berebut dominasi dalam mengendalikan kehidupan manusia. Baginya akal itu adalah
logika yang bertempat di kepala yang kelak melahirkan filsafat, sementara hati
bertempat di dalam dada yang menghasilkan pengetahuan supralogis dimana iman
merupakan bentuk konkritnya.[8] Bagi
masyarakat Barat, filsafat adalah induk dari segala disiplin ilmu pengetahuan
yang bermula dari penalaran murni (pure reason). Sementara bagi umat Islam
sumber ilmu pengetahuan adalah keimanan akan Tuhan melalui wahyu al-Qur’an (revelation),
yang di dalamnya terdapat ayat-ayat yang berkaitan tentang Tuhan, alam semesta
dan segala makhluk di dalamnya, fisika, metafisika, etika, estetika, logika,
sastra, sejarah, politik, ekonomi, pendidikan, hukum, dan lain sebagainya.[9]
Kalau kita mau membandingkan dengan agama selain Islam, tarulah
dalam hal ini agama yang mendominasi di Barat yaitu Kristen, maka hubungan
antara hati dan akal tidaklah sehangat hubungan keduanya dalam agama Islam,
yang mengakomodir akal dan hati secara berimbang dan proporsional. Salah satu
tokoh filsuf Barat di abad pertengahan (banyak yang menyebut abad pertengahan medieval
ages ini dengan istilah abat kegelapan dark ages) yang juga berperan
sebagai tokoh gereja bernama St. Anselmus terkenal dengan sebuah ucapannya
yaitu credo ut intelligam (Latin) atau I believe in order to
understand (Inggris), yang berarti “Saya percaya agar saya mengerti”.[10]
Ucapan tersebut menjadi indikasi kuatnya dogma-dogma gereja yang mempersulit
untuk siapapun bebas berpikir secara kritis. Karenanya, Ahmad Tafsir
menyebutkan bahwa periode inilah akal logika dikalahkan oleh hati atau keimanan
Kristen. Sampai tiba saatnya Renaissance (re-birth atau kelahiran
kembali) yang mengangkat bangsa Barat mencapai kedudukan logis dan melesat lebih
jauh mencapai kemajuan dan kemodernan. Ada beberapa pertanyaan terkait mengapa
bangsa Barat maju padahal mereka pernah hidup dalam kegelapan, sementara di
sisi lain–yaitu saat ini–umat Islam mengalami kemunduran? Dari beberapa
penjelasan singkat di atas tentunya dapat kita simpulkan bahwa Barat maju
dikarenakan meninggalkan agama Kristen, sementara kemunduran umat Islam
disebabkan mereka meninggalkan agama mereka.[11]
B.
Peran Filsafat dalam Memajukan Ilmu Pengetahuan
Ada sebuah pertanyaan tentang faktor apa yang mendorong timbulnya
filsafat? Hal ini tentu sangat mudah untuk dijawab dikarenakan filsafat
merupakan bagian integral dari kehidupan manusia, maka jawaban atas faktor yang
mendorong timbulnya filsafat adalah ada dalam diri manusia itu sendiri.
Mohammad Hatta, salah seorang founding father kita dalam sebuah bukunya
berjudul Alam Pikiran Yunani mengatakan tentang faktor-faktor penyebab
munculnya sikap kritis dan keinginan untuk mencapai suatu kebenaran yang pasti.
Ia menggambarkan tentang kehidupan orang-orang Greek (Yunani) yang penuh dengan
mitos, sehingga terlahirlah manusia-manusia kritis yang menolak mitos yang
sudah mengakar di negerinya tersebut. Lalu yang kedua tatkala seseorang dihadapkan
pada alam semesta yang indah dan luas ini, timbul dari perasaan terdalam mereka
untuk mengetahui rahasia alam semesta ini sehingga pertanyaan-pertanyaan tentang
dari mana datangnya alam ini, bagaimana kejadian penciptaannya, bagaimana perkembangan
dan kemana muaranya, memantik rasa keingintahuan yang mendalam sehingga
beberapa pertanyaan yang ditimbulkan tersebut menjadi serius dan penyelidikannya
menjadi sistematis. Dan inilah hakikat dari filsafat, yang sampai dengan saat
ini memiliki peranan penting dalam memajukan ilmu pengetahuan dan sains modern.[12]
Baru satu contoh yang sudah penulis paparkan terkait pertanyaan apa
bahan baku alam semesta ini. Tentunya pertanyaan-pertanyaan yang dimaksud di
atas tidak dapat disamakan dengan pertanyaan yang ringan dan remeh temeh.
Pertanyaan-pertanyaan yang terkait realitas kehidupan manusia sehari-hari seperti
bagaimana rasanya api jika mengenai kulit kita, bagaimana salju, apa yang akan
terjadi jika kulit kita teriris benda tajam dan tertusuk benda runcing. Tentu
pertanyaan-pertanyaan seperti ini tidak dapat dikategorikan sebagai
pertanyaan-pertanyaan filosofis. Karena pengetahuan akan rasa-rasa yang
ditimbulkan tersebut akan langsung terjawab jika kita sudah merasakannya. Kalau
boleh disimpulkan, maka salah satu kegiatan filsafat adalah seni dalam bertanya.
Namun ada hal yang membedakan antara faktor yang mendorong timbulnya filsafat
di zaman Yunani kuno dengan filsafat modern. Kalau di zaman kuno tentu
diakibatkan oleh sikap kritis akan banyaknya fenomena mitos dan juga sikap takjub
terhadap alam semesta.[13]
Maka dalam zaman modern filsafat muncul dari sikap skeptis (keragu-raguan atau
sangsi) sehingga pertanyaan-pertanyaan yang muncul kemudian adalah
mempertanyakan hakikat kebenaran yang hendak ditujunya. Pertanyaan-pertanyaan
tersebut pastinya membuat seorang filosof gelisah dan terganggu alam
pikirannya. Rasa keingintahuan atas relitas kebenaran itulah yang disebut
sebagai ruh, jiwa, dan substansi dari filsafat.
Di bab sebelumnya sudah kita bahas mengenai sumber ilmu pengetahuan
antara Barat dan Islam. Adapun Islam menjadikan firman-firman Tuhan dalam
al-Qur’an sebagai sumber rujukan ilmu pengetahuan, karena isi al-Qur’an bukan
sekedar penjelasan-penjelasan teologis belaka, melainkan hampir mencakup
seluruh aspek kehidupan dan kebutuhan manusia yang dalam hal ini adalah ilmu
pengetahuan yang dapat dikembangkan menjadi ilmu pengetahuan dan sains modern.
Sebagai contoh dalam surat al-Ghasyiyyah Allah mengajukan beberapa pertanyaan
terkait realitas kehidupan manusia dan alam semesta ini. Allah ta’ala
berfirman,
“Maka tidakkah
mereka memperhatikan unta, bagaimana diciptakan? Dan langit, bagaimana
ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ditegakkan? Dan bumi bagaimana
dihamparkan? Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya engkau (Muhammad)
hanyalah pemberi peringatan.”[14]
Dalam menafsirkan tentang ayat-ayat ini, para ilmuwan Islam tentu
tidak melepaskan keterkaitan sebab akibat atau kausalitas Ilahi dengan
makhluk-makhluk hasil ciptaan-Nya. Tentu hal ini berbanding secara diametris
dengan Barat, yang menganggap alam semesta ini adalah hasil emanasi dari Tuhan.
Kita tidak akan mendalami tentang teori penciptaan ala Plotinus tersebut, namun
dari ayat-ayat al-Qur’an tersebut kita akan mengambil beberapa pelajaran dari
kausalitas Ilahi dan menetapkan Keesaan bagi Allah semata. Kita akan mengutip
penjelasan atas ayat-ayat di atas dari salah seorang ahli tafsir al-Qur’an,
“Allah ta’ala
menghimbau orang-orang yang tidak membenarkan risalah kenabian Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wasallam dan siapapun itu dari kalangan manusia, agar
mereka semua memikirkan tentang seluruh hasil ciptaan Allah yang menjadi bukti
akan Keesaan-Nya. ‘Maka tidakkah mereka memperhatikan unta, bagaimana
diciptakan?’, yaitu apakah mereka tidak memperhatikan hasil ciptaan-Nya yang
begitu mengagumkan? Dan juga bagaimana Allah telah menundukkan hewan-hewan ternak
tersebut untuk para manusia? Dan juga Allah telah menguasai segala makhluk lain
untuk keuntungan yang banyak bagi manusia? ‘Dan gunung-gunung bagaimana
ditegakkan?’, yaitu dengan keadaan yang mempesona sehingga menghasilkan
stabilitas dan kekokohan bagi bumi dari keguncangan. Dan Allah menciptakan ini
semua untuk keuntungan yang sangat baik bagi makhuk-Nya. ‘Dan bumi bagaimana
dihamparkan?’, yaitu Allah telah menghamparkan bumi ini seluas-luasnya,
mempermudahnya bagi manusia, agar mereka dapat hidup di atas bumi ini dan
memungkinkan mereka untuk bercocok tanam di ladangnya, dan membangun tempat
tinggal di atas bumi ini, serta menjelajahinya.”[15]
Pertanyaan-pertanyaan yang Allah ajukan tersebut bukan pertanyaan yang
ringan dan remeh temeh. Namun pertanyaan yang memiliki bobot sangat tinggi dan
memantik akal pikiran kita sebagai umat Islam sehingga memungkinkan bagi kita
untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dengan bersumber pada al-Qur’an. Tujuan
dari pertanyaan tersebut tidak sekedar berhenti pada perkembangan akal logika
dan penelitian-penelitian ilmiah semata, sehingga menimbulkan kesimpulan-kesimpulan
yang cenderung teoritis belaka. Namun Allah juga mengarahkan agar kita semakin
meningkatkan keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya Muhammad.
Pertanyaan-pertanyaan di atas beserta tafsirnya amat erat kaitannya dengan tema
kausalitas dalam Islam. Karena bagi umat Islam sudah sangat jelas bahwa
Allah-lah Sebab utama dari segala sebab-sebab lain. Adalah al-Ghazali–yang
disebut sebagai filsuf muslim–dengan gelar Hujjat al-Islam yang
menyatakan bahwa setiap makhluk memiliki sebab awal dan utama, yang menunjukkan
akan wujud dan eksistensi Tuhan. Ia mengatakan,
كُلُّ حَدِيْثٍ فَلِحُدُوْثِهِ سَبَبٌ، وَالْعَالَمُ حَدِيْثٌ
فَيَلْزَمْ مِنْهُ أَنَّ لَهُ سَبَبًا
“Setiap makhluk ciptaan
itu memiliki sebuah sebab pada awalnya. Dan dunia ini adalah makhluk ciptaan
yang mengharuskannya memiliki sebab yang menciptakannya”.[16]
Adalah al-Ghazali juga yang merubah istilah sebab (kausalitas)
dalam pengertian filsafat Barat dan para pengikutnya menjadi istilah pelaku
atau perantara. Ucapannya,
“Setiap
perbuatan yang dirancang dengan baik berasal dari pelaku yang kuat. Dunia
adalah perbuatan yang dirancang dan tertata dengan baik, oleh karena itu dunia
berasal dari pelaku yang kuat”.[17]
Dapat kita
simpulkan bahwa peranan filsafat dalam memajukan ilmu pengetahuan tidak
bertentangan dengan ajaran Islam, bahkan antara filsafat–yang bersandarkan pada
akal logika atau penalaran murni (pure reason)–dengan keimanan–yang
terletak dalam hati–bisa saling bersinergi dan mempengaruhi. Iman menjaga akal
kita agar tak terlepas bebas ke alam liar sehingga menjerumuskan kita pada
sikap-sikap ateis yang menafikan eksistensi Tuhan. Hal ini berbeda secara
diametral dengan dogma-dogma gereja yang santer pada abad kegelapan (medieval
ages) yang berbunyi extra eclessiam nulla salus (Latin) atau outside
the church there is no salvation (Inggris) yang memiliki arti “di luar
dogma-dogma gereja tidak ada keselamatan”.
C.
Filsafat Sebagai Cara atau Metode Berpikir dalam Menemukan
Kebenaran
“Orang yang
beriman tidak butuh penjelasan. Orang yang tidak beriman tidak mungkin menerima
penjelasan”.
Kalimat tersebut diucapkan oleh Thomas Aquinas, tokoh filsafat abad
pertengahan. Kalau kita tanyakan kepada orang-orang yang meyakini akan adanya tiga
tuhan, maka tentu tidak akan ada penjelasan logis dan ilmiah yang dapat
memuaskan dahaga kita. Aquinas, sebagaimana filosof-filosof Barat abad
pertengahan lainnya memang memiliki keyakinan bahwa manusia tidak akan selamat
tanpa perantaraan gereja.[18]
Kebenaran bagi para filosof abad pertengahan berdasarkan dogma-dogma gereja.
Dalam sebuah
tulisannya, Mohammad Natsir–yang dijuluki sebagai bapak NKRI (penggagas mosi
integral NKRI)–dalam sebuah artikel berjudul Orang Barat Kehilangan Agama
dan diterbitkan dalam majalah Pembela Islam menyebutkan beberapa
pendirian orang Barat terhadap agama. Setidaknya ada tiga kategori golongan
menurutnya, namun yang menarik ada di poin tiga–dikarenakan ada sedikit korelasinya
dengan sub judul di atas. Kategori ketiga tersebut menyebutkan bahwa mereka
sudah tidak percaya lagi terhadap apa yang tertulis dalam Injil, namun di sisi
lain tidak berani membuang agama sama sekali. Orang yang masuk kategori ini
kebanyakan para pemikir. Bagi Natsir, semakin bertambah ilmu pengetahuan
mereka, maka semakin tinggi kebutuhan mereka terhadap agama. Karena ilmu
pengetahuan yang selama ini mereka peroleh belum mampu memuaskan kesentosaan
ruh dan jiwa mereka. Namun, dogma-dogma yang diajarkan dalam Kristen tidak
dapat diterima oleh akal logika mereka. Sehingga pada akhirnya mereka banyak
membuang isi-isi Injil yang tidak sesuai dan menambah-nambah yang sesuai bagi
mereka agar dapat mengikuti perkembangan zaman. Ada beberapa catatan atas
ajaran dalam Bible yang tidak sesuai dengan akal logika mereka. Yaitu, mereka
memungkiri bahwa Yesus itu anak Tuhan; Bible itu tidak suci dan sekedar cerita
dongeng yang tak masuk akal manusia; menolak bahwa manusia terlahir dalam dosa;
dan menganggap bahwa tata cara beribadah dalam Kristen bersumber dari agama
Zoroaster.[19]
Dalam menemukan
kebenaran, Islam menjelaskan bahwa kebenaran yang hakiki itu berasal dari
Tuhan. Dalam hal ini Allah Ta’ala berfirman,
“Kebenaran itu
adalah dari Tuhanmu, maka janganlah sekali-kali engkau (Muhammad) termasuk
orang-orang yang ragu.”[20]
Al-Sa’adi dalam memberikan tafsir atas ayat tersebut menyebutkan
bahwa kebenaran dari Allah ini adalah
hakikat kebenaran yang sesungguhnya, dan al-Qur’an yang merupakan firman Allah
merupakan pendidik bagi akal dan jiwa-jiwa manusia. Dan bagi al-Ghazali
kepastian tentang ilmu-ilmu rasional itu tidak memiliki kontradiksi antara ilmu
alam dan ilmu agama (Islam).
Dari beberapa
kesimpulan di atas, sangat jelas bahwa kebenaran itu akan ditemukan melalui
wahyu dari Allah dan akal logika yang sehat atau penalaran yang murni. Kalau mau
mengikuti ucapan Hamid Fahmy Zarkasyi bahwa,
“Ilmu dalam
Islam bermula dari pemahaman terhadap wahyu yang dibantu oleh penalaran, atau
kombinasi dari wahyu dan akal (revelation and reason). Maka dapat
dikatakan bahwa di Barat ilmu lahir dari keraguan, sedangkan dalam Islam ilmu
muncul dan berkembang dari keyakinan. Jadi, bermula dari keyakinan terhadap
firman Allah, al-Qur’an difahami, dijelaskan, dibuktikan dan diamalkan sehingga
menghasilkan ilmu.”[21]
Sedikit Tambahan
Dalam bukunya berjudul Logical Fallacy,
Muhammad Nuruddin mengajukan empat teori yang
menjadi tolak ukur untuk menentukan kebenaran dan kesalahan. Pertama, kejelasan. Kedua, kegunaan. Yang benar adalah yang menghasilkan
manfaat. Ketiga, korespondensi. Benar atau salahnya suatu pandangan
bergantung pada sesuai tidaknya dia dengan kenyataan yang ada. Keempat, konsistensi. Benar atau salahnya suatu pandangan ditentukan
pada konsistensinya dengan pandangan-pandangan lain yang telah disepakati
kebenarannya.[22]
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim.
2014. Bandung, Syaamil Quran Sygma.
Al-Sa’adi,
Abdurrahman bin Nashir. 2016. Taisir al-Karim al-Rahman. Kairo, Darul ‘Alamiyah
al-Azhar.
Natsir, Mohammad. 1969. Islam dan Kristen di Indonesia. Bandung, Bulan Sabit.
Russell, Betrand. 2023. Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta,
Pustaka Pelajar.
Salahuddin, Henri. 2019. Mawaqif Beriman dengan Akal Budi.
Jakarta, INSISTS.
Zarkasyi, Hamid Fahmy. 2020. Minhaj Berislam dari Ritual hingga
Intelektual. Jakarta, INSISTS.
Zarkasyi, Hamid Fahmy. 2018. Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan.
Ponorogo, Unida Gontor Press.
Tafsir, Ahmad. 2021. Filsafat Umum. Bandung, Rosda.
http://www.historislam.com/
[1]
Betrand Russell,
Sejarah Filsafat Barat, Pustaka Pelajar [Yogyakarta, 2023], hal.
vii&xv.
[2]
Ahmad Tafsir, Filsafat
Umum, Rosda [Bandung, 2021], hal. 11.
[3]
Ibid., hal. 48.
[4]
Betrand Russell,
Sejarah Filsafat Barat, Pustaka Pelajar [Yogyakarta, 2023], hal. 33.
[5]
Hamid Fahmy
Zarkasyi, Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan, Unida Gontor Press
[Ponorogo, 2018], hal. 38-40.
[6]
Amal Fathullah
Zarkasyi, Pengantar Mawaqif Beriman dengan Akal Budi, INSISTS [Jakarta,
2019], hal. xxi.
[7]
Op.cit., hal. 41.
[8]
Ahmad Tafsir, Filsafat
Umum, Rosda [Bandung, 2021], hal. 47.
[9] Hamid Fahmy
Zarkasyi, Pengantar Mawaqif Beriman dengan Akal Budi, INSISTS [Jakarta,
2019], hal. xxv.
[10]
Op.cit., hal. 95.
[11]
Hamid Fahmy Zarkasyi, Minhaj Berislam dari Ritual hingga Intelektual, INSISTS [Jakarta, 2020], hal. xxiv-xxv.
[12]
Ahmad Tafsir, Filsafat
Umum, Rosda [Bandung, 2021], hal. 13-15.
[13]
Lihat http://www.historislam.com/2023/01/filsafat-barat-vs-Islam-filsafat-timur.html
D iakses pada tanggal 4
November 2023 pukul 05.43 wib.
[14]
Surat
al-Ghasyiyyah ayat 17-21. Syaamil Quran, Sygma [Bandung, 2014].
[15]
Abdurrahman bin
Nashir al-Sa’adi, Taisir al-Karim al-Rahman, Darul ‘Alamiyah al-Azhar [Kairo,
2016], hal. 985.
[16] Hamid Fahmy
Zarkasyi, Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan, Unida Gontor Press
[Ponorogo, 2018], hal. 127.
[17]
Ibid., hal. 129.
[18]
Ahmad Tafsir, Filsafat
Umum, Rosda [Bandung, 2021], hal. 111.
[19]
Mohammad
Natsir, Islam dan Kristen di Indonesia, Bulan Sabit [Bandung, 1969],
hal. 11-12.
[20] Surat
al-Baqarah ayat 137. Syaamil Quran, Sygma [Bandung, 2014].
[21]
Hamid Fahmy
Zarkasyi, Pengantar Mawaqif Beriman dengan Akal Budi, INSISTS [Jakarta,
2019], hal. xxvi.
[22]
Lihat http://www.historislam.com/2023/01/resensi-buku-logical-fallacy-muhammad.html
D iakses pada tanggal 4 November 2023
pukul 11.49 wib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar