HAKIKAT SASTRA (Pendidikan Moral Etik dalam Keindahaan)

HAKIKAT SASTRA

(Pendidikan Moral Etik dalam Keindahaan)

Oleh: Fian Sofian (1225020055), Mahasiswa Prodi Bahasa dan Sastra Arab UIN Sunan Gunung Djati Kota Bandung

Sastra secara etimologis berasal dari bahasa Sanskerta, di mana sas memiliki arti mengajarkan ataupun mengarahkan, dan tra menunjukkan pada kegunaan sebuah alat maupun sarana. Namun pengertiannya secara terminologis memiliki perkembangan mengikuti perjalanan hidup manusia dari zaman ke zaman. Akan tetapi kita juga dapat merujuk pada etimologi menurut perspektif bahasa Sanskerta, yang bisa disimpulkan bahwa sastra adalah alat berupa buku yang memberikan petunjuk, di mana di dalamnya termaktub sebuah teks yang memuat ajaran kebaikan yang dapat dijadikan pedoman bagi suatu masyarakat tertentu.[1] Karena istilah tersebut masih cenderung terlihat umum, maka setiap alat—dalam hal ini buku—yang memberikan pedoman atau petunjuk bagi masyarakat, entah itu buku-buku yang memuat pelajaran geografi, arsitektur, ilmu kedokteran, dan sebagainya, bisa dikategorikan sebagai sastra. Karenanya, para ahli sastra menambahkan kata su di depannya, sehingga memiliki pengertian tulisan yang indah.[2]

Lain pula halnya dengan sastra yang berkembang di Eropa. Sastra dalam bahasa Eropa dikenal dengan istilah literature (bahasa Latin), yaitu tulisan yang tidak hanya berisi kata-kata yang memuat pedoman dan petunjuk saja, namun memiliki nilai estetika di dalamnya. Sastra menurut perspektif Barat merupakan bentuk karya seni melalui sebuah media bahasa, yang mengejawantahkan ide, perasaan, dan maksud tujuan si pengarangnya. Sastra juga timbul dari pengalaman manusia yang tatkjub tatkala berhadapan dengan segala fenomena alam semesta.[3] Ada yang perlu digarisbawahi dari kalimat di atas, yaitu “fenomena alam semesta”. Perbedaan mendasar antara seorang filsuf dan sastrawan[4] dalam menyikapi fenomena alam semesta adalah “apa langkah selanjutnya?”. Pertama seorang filsuf akan menyelidiki rahasia alam semesta tersebut, sehingga mereka mengajukan beberapa pertanyaan-pertanyaan yang rumit dan terus memantik rasa penasaran yang tinggi, di mana dari pertanyaan-pertanyaan tersebut muncullah beragam ilmu pengetahuan. Konon, orang Yunani yang mula-mula berfilsafat—sehingga membuat pertanyaan besar—adalah Thales,[5] dengan pertanyaan “What is the nature of the world stuff (Apa bahan baku alam semesta ini)?”. Pertanyaan tersebut sampai saat ini masih terus digali dan dicari jawaban-jawabannya. Ketika jawaban tersebut muncul, maka akan disangsikan kebenarannya sehingga muncul kembali pertanyaan-pertanyaan lain yang lebih rumit, serius, dan sistematis. Maka dari hal inilah mereka menjadi seorang filsuf.[6]

Kedua, tatkala seorang sastrawan menghadapi fenomena alam semesta. Maka ia akan membuat interpretasi-interpretasi tiruan yang berdasarkan pengalaman psikologisnya tatkala berhadapan dengan fenomena alam semesta, sehingga terciptalah bait-bait sastra yang indah dan estetis. Dari unsur ekstrinsik yang didapatkan oleh seorang sastrawan inilah sastra memiliki sifat mimesis. Meskipun sastra merupakan karya fiksi, namun ia sebagai bentuk afirmasi sastrawan atas realitas yang tengah dihadapinya.[7]

Sekarang kita beralih kepada pengertian sastra menurut perspektif bahasa Arab. Pengertian sastra menurut bahasa Arab sangat berbeda dengan pengertian yang telah diuraikan sebelumnya. Sastra dalam bahasa Arab adalah adab (اَلْأَدَبُ), secara etimologis atau pengertian lughawi berasal dari kata ma‘dubah (اَلْمَأْدُبَةُ), yaitu jamuan atau hidangan. Hal ini berdasarkan kepada tradisi mulia orang-orang Arab dalam menjamu tamu. Kebiasaan dalam menjamu tamu tersebut berangkat dari anggapan yang secara historis meniru kebiasaan Nabi Ibrahim As., yang merupakan nenek moyang bangsa Arab. Sehingga dalam hal ini adab—yang dapat kita terjemahkan sebagai sastra menurut bahasa Indonesia—adalah dasar dalam membentuk karakteristik akhlak yang mulia. Sehingga dahulu seorang adîb[8] merupakan guru yang menyebarkan kebaikan dan menjadi rujukan untuk dimintai nasihat ataupun petuahnya. Sebuah pengertian terminologis yang cukup jauh dan metaforis, jika dihubungkan dengan pengertiannya secara etimologis dan historis.[9]

Dari penjelasan di atas, kita dapat membuat kesimpulan bahwa adab[10] memiliki beberapa pengertian. Pertama, pengertian secara umum bermakna “Al-tamattu’ bi al-akhlâq al-karîmah ka al-shidqi wa al-amânah (Bersenang-senang dengan akhlak yang mulia, seperti jujur dan amanah)”. Oleh karenanya dikatakan dalam sebuah ungkapan—yang oleh banyak orang dianggap sebagai hadits dari Nabi Muhammad Saw.—disebutkan, “Addabanî Rabbî fa ahsana ta‘dîbî (Tuhanku mendidik aku dengan etika, sehingga menjadi baiklah etikaku)”.[11] Rabb berasal dari kata kerja rabba-yurabbi (رَبَّ-يُرَبِّ), yang menjadi dasar dari kata tarbiyyah (اَلتَّرْبِيَّةُ), yang memiliki arti pengatur, pendidik, dan mengajarkan etika dan sopan santun, dan lain sebagainya.[12] Artinya ada korelasi antara Rabb yang merupakan salah satu dari Nama-Nama Allah Swt., dengan pendidikan akhlak yang mulia. Artinya pengertian ini menjadi hal yang patut dilaksanakan oleh seorang sastrawan mengingat statusnya adalah seorang pendidik yang mengajarkan nilai-nilai kebaikan dan etika bagi masyarakat. Seorang sastrawan seharusnya menjadi panutan dalam bertutur kata dan bertingkah laku.

Kedua, pengertian secara khusus yang berarti “al-Kalâm al-jamîl al-balîgh al-mu‘assir fî al-nafsi (Sebuah ungkapan yang indah dan jelas, yang memiliki dampak bagi jiwa)”. Para ahli memberikan beberapa syarat yang menjadi ciri khas dari sastra Arab. Pertama, “an takûna alfadzuhu sahlatun wa jamîlatun (Hendaklah susunan katanya mudah dan indah)”. Kedua, “an takûna ma’ânîhi jayyidatun (Hendaklah makna-maknanya baik)”. Dan ketiga, “an yakûna lahu ta‘tsîrun fi al-nafsi (Hendaklah ia berbekas bagi jiwa)”. [13]

Dalam konteks keindonesiaan, sastra memiliki peran yang cukup penting karena berkaitan dengan kebudayaan lokal yang dipengaruhi oleh nilai-nilai agama Islam. Dalam hal ini, bahasa Melayu merupakan induk dari bahasa Indonesia yang selama ini kita kenal dan gunakan. Bahasa Melayu menjadi lingua franca[14] bagi masyarakat Nusantara, dan merupakan bahasa yang digunakan tatkala mereka berada di luar negeri untuk keperluan perdagangan dan melaksanakan ibadah haji.[15] Sastra Melayu tak jauh berbeda dengan sastra Arab dari segi ketokohan para sastrawannya dan sebagian isinya. Yaitu didominasi oleh para tokoh agama yang berada dalam lingkungan penguasa, dan di antara isinya pun berkisar tentang kehidupan para raja dan para puteri raja.[16] Memang dalam perjalanan sejarahnya, para sastrawan tidak hanya diminati dan dijadikan role model bagi masyarakat setempat, melainak para penguasa dan mereka yang saling berebut pengaruh dalam sebuah tatanan masyarakat. Para calon penguasa memerlukan seorang sastrawan untuk memberikan puji-pujian yang digunakan untuk menambah legitimasi baginya, di samping memberikan celaan bagi lawan politiknya. Dalam arti lain, para sastrawan tersebut menjadi juru bicara para penguasa dan pemegang otoritas setempat.[17]

Terjadi pergeseran tujuan sastra, terkhusus sastra Arab. Dari yang merupakan salah satu cara untuk menanamkan etika yang baik, menjadi alat untuk kepentingan politik. Dalam kasus di Indonesia, perjalanan sastra lebih jauh lagi. Bukan hanya berkisah tentang kehidupan para raja, kini menjadi alat untuk mempropagandakan ideologi yang terkadang terdapat unsur-unsur yang terkesan cabul dan tak beretika.

Di zaman ini, bagaimana para sastrawan mengaplikasikan fungsi sastra dalam kehidupan sehari-hari?



[1] Iftitah, Teori Kesusastraan  Arab, Cantrik Pustaka [Yogyakarta, 2022], hal. 11-2.

[2] Ibid., hal. 12.

[3] Ibid., hal. 13.

[4] Orang yang bergelut dan menekuni bidang kesusastraan. Selanjutnya akan disebut sebagai sastrawan.

[5] Hidup sekitar tahun 624-546 SM.

[6] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Rosda [Bandung, 2021], hal. 1&14-5.

[7] Iftitah, Teori Kesusastraan  Arab, Cantrik Pustaka [Yogyakarta, 2022], hal. 13.

[8] Bentuk subjek dari kata adab. Bentuk pluralnya adalah udabâ‘u (اَلْأُدَبَاءُ). Selanjutnya disebut sastrawan Arab.

[9] Op.Cit., hal. 13-4.

[10] Selanjutnya disebut dengan sastra Arab.

[11] Penyusun, Silsilah Ta’lîm al-Lughah al-‘Arabiyyah, Jâmi’ah al-Imâm Muhammad bin Su’ûd al-Islâmiyyah [Riyadh, 1994], hal. 15.

[12] Kamus al-Maany Arab-Indonesia.

[13] Op.Cit., hal. 15-6.

[14] Bahasa pergaulan.

[15] Ajip Rosidi, Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia, Binacipta [Bandung 1991], hal. 3. Lihat https://www.historislam.com/2022/09/pengertian-dan-sejarah-singkat-bahasa.html Diakses pada tanggal 09/03/2024 Pukul 15.57 WIB.

[16] Ibid., hal. 5.

[17] Iftitah, Teori Kesusastraan  Arab, Cantrik Pustaka [Yogyakarta, 2022], hal. 15.

 

Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Definition List

Definition list
Consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua.
Lorem ipsum dolor sit amet
Consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua.

Theme Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.
Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

Ordered List

  1. Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.
  2. Aliquam tincidunt mauris eu risus.
  3. Vestibulum auctor dapibus neque.

Recent Posts

Unordered List

  • Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.
  • Aliquam tincidunt mauris eu risus.
  • Vestibulum auctor dapibus neque.

Sample Text

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua.

Pages

Theme Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.