BINCANG FILSAFAT RELATIVISME DAN AGAMA

 Fian Sofian – Mahasiswa Prodi Bahasa dan Sastra Arab UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Berikut Definisi Relativisme dari Orang yang Berdiskusi dengan Saya

“Lalu, ada lagi yang membuat kebenaran itu menjadi relatif. Jika kita tidak memiliki informasi sebelumnya, maka jawabannya pun akan cenderung relatif (karena nebak)”.

“Jawaban yang akan muncul jika menanyakan pada yang bukan pelaku utamanya akan menimbulkan pendapat relatif. Pendapat relatif disebabkan karena kita tidak bisa meraih informasi asli dari sang pelaku utama, atau kita tidak mengantongi informasi dari yang melakukan langsung. Sama kasusnya dengan pertanyaan “Asal Muasal Bumi”, maka jawabannya akan relatif”. Ini sudah terjawab, namun tetap saya kutipkan di sini.

“Celakanya, hukum relatif ini sering menyerang hal-hal abstrak dalam agama, terutama bagian ketuhanan dan kebenaran agama”.

 

Juga Definisinya Tentang Wujud Ketuhanan dan Perkara Metafisik

“Tentu yang abstrak juga, siapa... Yakni Tuhan. Tuhan dari agama yang mana? Agama yang benar, seperti apa agama yang benar itu? Agama yang mampu memuaskan akal dan hati manusia”.

“Ruang bisa diukur, seberapa lebar. Waktu bisa diukur, seberapa panjang. Bau kentut bisa diukur, seberapa harum, seberapa kuat ledakannya, dan seberapa cepat penyebaran racunnya. Angin pun bisa diukur, seberapa cepat berhembus dalam skala breeze. Kausalitas, bisa diukur seberapa besar dampak dan resikonya. Kenapa dikatakan bisa diukur? Karena ada bagian yang ditangkap oleh indra, ada variabel yang tersedia untuk diteliti”.

 

Berikut Jawaban dan Tanggapan Saya

Bentuk ontologis ruang, waktu dan kentut itu seperti apa? Kan saya bertanya tentang wujudnya, serta menuntut harus bisa dibuktikan seluruh indera manusia? Kenapa contoh-contoh di atas saya tanyakan? Hal itu dalam rangka menyikapi pernyataan bahwa “hukum relatif sering menyerang hal-hal abstrak dalam agama, terutama bagian ketuhanan dan kebenaran agama”. Sejak kapan bagian ketuhanan dalam agama dianggap abstrak? Definisi abstrak itu apa? Salah satunya menurut KBBI itu tidak berwujud. Lho, kok bisa-bisanya seorang yang mengaku muslim menganggap ketuhanan sebagai suatu yang abstrak (tidak berwujud)? Lalu apa artinya ucapan Imam al-Sanusi al-Hasani yang merupakan tokoh terkenal penganut madzhab teologi Syafi’iyyah yang sampai saat ini dijadikan dasar pegangan tentang sifat-sifat ketuhanan yang 20 oleh sebagian masyarakat Indonesia yang bermadzhab Syafi’iyyah Asy’ariyyah? Yaitu Wujud. Bahkan tak hanya itu, Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari pun–setelah meninggalkan madzhab teologi Mu’tazilah–menetapkan sifat ketuhanan yang 7; al-Hayah, al-Ilmu, al-Iradah, al-Qudrah, al-Sama’, al-Bashar dan al-Kalam. Apakah sifat-sifat tersebut tidak cukup merepresentasikan tentang wujud Tuhan? Padahal Imam Abu al-Hasan merupakan mantan penganut Mu’tazilah selama berpuluh-puluh tahun. Masih sehat kah akal dan pikiran kita jika menganggap bagian ketuhanan itu abstrak?

Kembali lagi, saya memberikan antithesis dengan beberapa hal metafisik seperti di atas, yang pasti tidak memiliki bentuk ontologis. Contohnya waktu, ruang, bahkan kentut dll. Semua hal ini kita percayai ada dalam kehidupan kita sehari-hari, namun siapa dari kita yang bisa menentukan bentuk ontologis dari hal-hal tersebut? Pun dengan keimanan kepada Tuhan (Allah Swt), apakah harus ada wujudnya dulu baru kita beriman? Sehatkah jiwa dan pikiran kita jika menuntut wujud Allah terlebih dahulu, baru setelah itu kita beriman kepada-Nya? Sementara terhadap waktu, ruang dll kita sudah meyakini keberadaannya. Lho, ini keimanan kepada Tuhan seolah-olah lebih rendah ketimbang hal-hal tersebut.  Menyandingkan ketuhanan dengan sesuatu di bawahnya saja sudah tidak etis, apalagi menganggap rendah ketuhanan dibanding hal-hal tsb? Ada sebuah syair berbahasa Arab,


أَلَمْ تَرَ أَنَّ السَّيْفَ يَنْقُصُ قَدْرُهُ إِذَا قِيْلَ إِنَّ السَّيْفَ أَمْضَى مِنَ الْعَصَا

“Tahukah bahwasanya sebilah pedang itu akan turun derajatnya, kalau dikatakan bahwa pedang itu lebih tajam dari pada tongkat”.

Diskusi pun semakin melebar, sampai kepada bahasan tentang definisi filsafat dan cirinya. Saya mengutip ucapan Thales, “What is the nature of the world stuff?”. Hal tersebut saya ajukan, karena saya merasa pembahasan kita tentang definisi filsafat dan segala cabangnya sudah menyimpang jauh. Maka sebelum diskusi semakin jauh menyimpang, saya ingin mengajak dan mengingatkan yang bersangkutan tentang tema-tema awal pembahasan filsafat. Namun yang bersangkutan turut menanggapi kembali, “Apa asal-usul dari benda-benda yang ada di dunia?”, begini bunyi terjemahannya (InsyaAllah relevan terjemahannya)”.

Sejujurnya, substansi dari kutipan saya tersebut tidak mau masuk ke ranah semantik, saya hanya sekedar mengingatkan tentang ciri utama dari filsafat, berupa pertanyaan yang berbobot seperti yang diajukan Thales tersebut. Maka untuk menanggapinya, saya bawakan terjemahan dari buku Filsafat Umum karya Ahmad Tafsir, “Apa sebenarnya bahan alam semesta ini? Indra tidak dapat menjawabnya, sains juga terdiam. Filosof menjawabnya. Thales menjawabnya, air. Jawaban itu (air itu) sungguh belum memuaskan, tetapi ia mendasari jawabannya dengan dasar yang lumayan. Katanya water is the basic principle of the universe. Prinsip dasar alam semesta adalah air karena air dapat berubah menjadi berbagai ujud”.

Pertanyaan Thales sangat wajar, bahkan memiliki nilai bobot yang tinggi. Karena pada hakikatnya filsafat itu muncul dari dua keadaan; penolakan terhadap mitologi (terutama mitologi Yunani), dan muncul karena rasa takjub sehingga memantik pertanyaan.

Adapun mengenai pertanyaan “Apa rasa gula?”, dapat dijawab oleh lidah. Dan pertanyaan lain yang senada pun akan terjawab oleh riset dan pengamatan. “Pertanyaan yang dalam, yang ultimate, yang bobotnya berat, itulah yang akan menimbulkan filsafat bila jawabannya diberikan secara serius”, ujar Ahmad Tafsir.

Maka pertanyaan-pertanyaan yang remeh-temeh dan tidak berbobot seperti contoh berikut,
“Kenapa kita disuruh berpuasa di Bulan Ramadhan”. Atau, “Mengapa saya terlahir sebagai orang Indonesia?”. Ya, meskipun pertanyaan ini bukan imajiner menurut pengakuannya, namun contoh-contoh pertanyaan tak berbobot seperti ini tak layak dihidangkan dalam diskusi filsafat yang berkualitas. Ajukan saja pertanyaan tersebut kepada orangtua anda, mengapa ketika dia melahirkan anda tidak sedang vacation ke Swiss atau umrah ke Mekkah? “Kalau mau dijawab kadang bisa menimbulkan pendapat relatif”, tutupnya. Lagi-lagi, hal ini dihubungkan dengan definisi relativisme.

Rasanya kita berada di zaman degradasi intelektual, contoh-contoh kasus dan pertanyaan yang tidak berbobot dijadikan pembahasan dalam filsafat. Seharusnya ada filterisasi mengenai mana pertanyaan yang berbobot dan mana pertanyaan yang remeh-temeh. Agar ketika diskusi berlangsung, tidak lantas menjadi debat kusir dan terjadi penumpukkan argumen-argumen yang kualitasnya rendah. Saya menyarankan agar membaca tulisan Mohammad Natsir, berjudul Rasionalisme dalam Islam dan Reaksi Atasnya. Dalam karyanya tersebut, Nastir memberikan apresiasi terhadap golongan Mu’tazilah dan menjulukinya–dengan mengutip para sejarawan Barat–sebagai “Rasionalisme” dalam Islam. Beliau sengaja memberikan tanda kutip dua, karena beranggapan bahwa rasionalisme yang dikenal di Barat berbeda hakikat dengan keyakinan kaum Mu’tazilah. Hal ini terkonfirmasi ketika saya membaca buku berjudul Mawaqif, Beriman dengan Akal Budi karya Henri Salahuddin, Ph.D. Henri menjelaskan bahwa pandangan Mu’tazilah tentang sifat ketuhanan, takdir dan status al-Qur’an dalam rangka al-tanzih (mensucikan Tuhan) dari hal-hal yang tidak layak dan menjauhkan dari perkara-perkara yang berpotensi akan melemahkan ke-Maha Esaan Tuhan. Dan mereka mengklaim ajaran mereka sebagai bentuk kepedulian intelektual–berdasarkan nilai-nilai filosofis dan rasional–demi mengokohkan makna Tauhid.

Masalah-masalah yang penting–begitu ungkap Natsir–menjadi pusat perbincangan kaum Mu’tazilah seperti sifat-sifat Tuhan, qadha dan qadar dan status Al-Qur’an apakah dia makhluk atau bukan. Tulisan yang diketahui terbit di majalah Al-Manar pada tahun 1939 ini diketahui sebagai antithesis bagi tulisan-tulisan Soekarno yang saat itu tengah gandrung dengan iklim politik dan budaya Turki Muda dan memiliki keinginan kuat untuk mengimpornya ke negeri ini. Semangat tersebut ia tuangkan dalam tulisannya yang kontroversial, sebagaimana terkonfirmasi dalam judulnya Islam Sontoloyo.

Dari paparan di atas terlihat, bahwa masalah-masalah yang diributkan pada saat tersebut merupakan masalah yang memang menjadi konsumsi sehari-hari masyarakat muslim Nusantara. Terkait dengan masalah ibadah dan praktek sebagian besar kaum muslimin yang dia juluki kepala batu dan sontoloyo. Namun sikap sinis dan tendensius lebih dominan ditampilkan oleh Bung Besar. Maka dengan jeniusnya, Natsir membuat bantahan-bantahan ilmiah yang kaya akan referensi ilmiah, termasuk menggunakan ilmu-ilmu filsafat Barat dan cabangnya, beserta pemaparan sejarah dalam khazanah peradaban Islam.

Maka saya yakin telah terjadi degradasi intelektual, karena pada zaman ini kaum mudanya tidak mampu memberikan argumentasi dengan dalil-dalil dari ucapan para filsuf dan tokoh-tokohnya dari Barat. Sedangkan bidang bahasan dan kajian mereka adalah filsafat Barat. Namun argumentasinya kosong, hanya sekedar pendapat mereka yang tak bersandar pada ucapan tokoh manapun, juga tidak mengutip buku apapun.

Karena diskusi awal adalah tentang relativisme, maka apa yang dijabarkan sama sekali tidak memiliki definisi yang selama ini umum diketahui oleh para ilmuwan dari Barat maupun dari Timur, dalam hal ini para intelektual muslim. Bahkan untuk sekedar membuat pernyataan “Penyebab sesuatu menjadi relative, “ketiadaan informasi langsung  yang menjabarkan secara lugas dan pasti”, inipun tidak memiliki dasar sama sekali. Hanya asumsi dan pemahaman pribadi yang bersumber dari buku-buku kesehatan, jurnal psikologi dll yang sama sekali tidak ada korelasinya dengan salah satu madzhab dalam filsafat yang sedang dibahas.

Lalu berikutnya, ia mulai menghubungkan relativisme dengan agama. Padahal para orientalis Barat yang selama ini mengkaji masalah agama (Islam), mereka berpegang teguh pada madzhab relativisme dalam menjalankan misi mereka. Dan lagi-lagi, ucapan para ilmuan Barat sama sekali tidak seperti yang ia ucapkan seperti di bawah ini,

“Nah, orang yang menganggap agama itu relatif juga bersandar dari temuannya bahwa ternyata setiap agama itu mengajarkan kebaikan, gak ada agama yang mengajarkan untuk nyolong uang di Bank kan. Makanya mereka berbendapat kebenaran agama itu relatif, karena ada beberapa opsi yang berterima dan masuk akal. Meski mereka juga masih bingung mana yang bener, karena masing-masing punya klaim kebenaran sendiri. Akhirnya, kebenaran agama menjadi relatif dan benar bagi para penganutnya”.

Yang saya inginkan, kalau hendak membuat sebuah pernyataan harus diperjelas kembali apakah pernyataan tersebut sekedar asumsi dan pemahaman pribadi, atau sekedar hasil merangkai kata-kata yang disandarkan pada bacaan-bacaan selama ini–yang mana kemungkinan kesalahan interpretasi dari bacaan tersebut sangat tinggi, terlebih lagi membaca buku dan jurnal yang bidang pembahasannya tidak memiliki korelasi sama sekali dengan bahasan–, ataukah mengutip dari para tokoh yang memang concern di bidang tersebut? Kalau yang saya pahami bahwa dalam menjelaskan dan menjalankan agama itu bersikap tauqifiyyah, berhenti pada batasan-batasan syari’at yang ada dan harus ada dalil yang mendukung, maka kiranya begitupun ketika kita memasuki sebuah bidang ilmu tertentu, meskipun tak ada batasan aturan yang baku, setidaknya seseorang itu bisa membawakan “dalil” argumentasi dari tokoh terkemuka yang diakui. Bukan sekedar asumsi pribadi.

 

Berikut Kutipan Beberapa Tokoh Mengenai Definisi Relativisme

“No view is true, or that all views are equally true”. (Lihat, Oxford Dictionary of Philosophy).

“Memang dalam doktrin postmodernisme yang amat relativistik dan nihilistik sebagai ciri khasnya, menghapus otoritas, juga maksud asli dari suatu teks (maqashid al-nash) dihilangkan; tidak perlu diutamakan. Untuk itu, semua makna harus dibongkar dan dimaknai ulang.” (Hamid Fahmy Zarkasyi).

Dalam bukunya, An Interpretation of Religion, John Hick menyatakan bahwa kebenaran itu relatif, yang absolut hanya Tuhan. Oleh sebab itu, manusia tidak akan pernah mampu memahami Tuhan. Apa yang dipahami manusia mengenai Tuhan hanyalah bersifat relatif.

Mengenai relativisme dalam tafsir al-Qur’an, Ahmad Syafii Maarif dan Nasr Hamd Abu Zaid mengatakan bahwa penafasiran al-Qur’an itu nisbi ketika ia berinteraksi dengan akal manusia, sementara kemutlakannya tatkala ia menjadi teks keagamaan dari sisi lafazhnya, hanya ada di alam metafisika (lauh al-mahfuz). Bisa kita lihat, agama memang menjadi objek seksi relativisme. Dan ucapan kedua tokoh muslim ini senada dengan tokoh besar pluralisme agama dengan teori global theology-nya.

“Sebab definisi ilmu dalam Islam adalah sifat yang dapat menyingkap suatu objek, sehingga tidak menyisakan ruang keraguan; dan berakhir pada keyakinan. Sementara relativisme selalu bermuara pada kebingungan”. (Henri Salahuddin)

“Gagasan negara yang netral agama, dengan berbasis kepada relativisme tafsir dan relativisme kebenaran, pada hakikatnya juga sebuah ide yang sangat naif dan tidak realistis”. (Adian Husaini)

Lihat pula ucapan Arnold Toynbee, seorang sejarawan Inggris yang menghubungkan pemahaman tentang agama dengan relativisme. Maka kesimpulannya, relativisme itu membawa pada pluralisme agama, mendekonstruksi agama dan membawa manusia pada kebingungan. Lihat, BINCANG MASALAH PLURALISME DAN STUDI PERBANDINGAN AGAMA

Ernest Gellner mengatakan mengenai ciri-ciri posmodernisme, “Segala sesuatu adalah teks, materi  dasar teks, termasuk masyarakat atau apapun juga adalah arti, dan arti-arti itu harus didekonstruksikan, pernyataan tentang realitas objektif harus diragukan”.

Arti dekonstruksi yang dimaksud Derrida adalah bahwa dalam mendekati suatu teks, kita harus skeptis dan maksud penulis teks tidak perlu diutamakan, yang ada tidak lebih dari kesempatan untuk menafsirkan atau mengomentari teks secara bebas.

Pada dasarnya, posmodernisme selalu menjadikan fundamentalisme sebagai musuh utamanya. Dan di zaman posmodern lahirlah relativisme, nihilisme, yang akan berwujud menjadi monster pluralisme agama.

 

 

Referensi:
Thoha, Anis Malik. Tren Pluralisme Agama. 2021. INSISTS, Jakarta.

Kumpulan Esai. Rasional Tanpa Menjadi Liberal. 2021. INSISTS, Jakarta.

Natsir, Mohammad. Islam dan Akal Merdeka. 2018. Sega Arsy, Bandung.

Tim Ulin Nuha Ma’had Aly An-Nur. Dirasatul Firaq. 2010. Pustaka Arafah, Solo.

Salahuddin, Henri. Mawaqif Beriman dengan Akal Budi. 2019. INSISTS, Jakarta.

Nuruddin, Muhammad. Logical Fallacy. 2022. Keira Publishing, Depok.

Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum. 2021. Rosda, Bandung.

Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Definition List

Definition list
Consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua.
Lorem ipsum dolor sit amet
Consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua.

Theme Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.
Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

Ordered List

  1. Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.
  2. Aliquam tincidunt mauris eu risus.
  3. Vestibulum auctor dapibus neque.

Recent Posts

Unordered List

  • Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.
  • Aliquam tincidunt mauris eu risus.
  • Vestibulum auctor dapibus neque.

Sample Text

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua.

Pages

Theme Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.