MEREFLEKSIKAN SEJARAH PENDIDIKAN DI INDONESIA

Fian Sofian – Mahasiswa Prodi Bahasa dan Sastra Arab UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Dalam suatu forum saya mengajukan sebuah pertanyaan, “Apa sistem pendidikan tertua di Indonesia?” Dari banyaknya peserta yang hadir di forum tersebut, ada satu orang yang menjawab, “Pesantren”. Tepat, inilah yang saya dapatkan ketika membaca buku Dr. Tiar Anwar Bachtiar berjudul Jas Mewah.

Dalam bukunya tersebut beliau mengutip pernyataan seorang antropolog orientalis Belanda bernama Martin van Bruinessen, yang menyebutkan bahwa pesantren merupakan tradisi besar asli Nusantara. Pun dengan Nurcholish Madjid alias Cak Nur, seorang tokoh intelektual penggagas sekularisme di era Orde Baru yang terkenal dengan jargon “Islam Yes Partai Islam No!”, menyebutkan bahwa pesantren mengandung makna keaslian Indonesia (indeginous).

Jauh sebelum pemerintah kolonial memberikan akses pendidikan bagi kaum bumiputera, sebenarnya rakyat Indonesia sudah mengenyam pendidikan di pesantren-pesantren. Maka sejatinya pendidikan merupakan langkah awal kebangkitan sebuah masyarakat dalam melawan penjajahan demi meraih cita-cita kemerdekaan. Hal ini dibuktikan dalam beberapa literatur sejarah, bahwa perlawanan terhadap penjajah selalu didominasi oleh umat Islam. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Soe Hok Gie seorang aktivis pergerakan mahasiswa 66, ia menyebutkan dalam bukunya berjudul Di Bawah Lentera Merah, “Islam selalu menjadi sumber kekuatan gerakan-gerakan rakyat untuk mengusir penjajahan selama abad ke-18 dan ke-19 di Indonesia, mulai dari Perang Diponegoro sampai pada Perang Aceh.”

Dalam bukunya tersebut, Soe Hok Gie juga membuat kategorisasi sosio-kultural terhadap kekuatan rakyat Jawa sejak abad ke-16 menjadi tiga entitas; priyayi, santri dan abangan. Ia menyebutkan mengenai perlawanan umat Islam yang menjadikan semangat perjuangannya adalah melawan kafir (Belanda). Pernyataan ini diperkuat dengan fakta sejarah bahwa perang yang dilancarkan oleh pasukan Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol dan para petani Banten dijuluki dengan istilah “Perang Sabil”. Dalam perjalanan selanjutnya kaum priyayi (aristokrat) dan abangan lebih memilih menjadi sekutu Belanda, yang pada akhirnya semakin memanaskan perseteruan mereka dengan kaum santri. Dan pada saatnya, kaum priyayi inilah yang mendapatkan akses pendidikan dari Belanda.

Gerakan perlawan umat Islam tersebut tak mungkin muncul dari sebuah masyarakat feodalistis dan tak berpendidikan. Hal ini tentu memiliki korelasi dengan sistem pendidikan yang telah saya sebutkan di atas, terlebih van Bruinessen memiliki dugaan bahwa lembaga pendidikan bernama pesantren tersebut baru ada setelah abad ke-18. Meski sebelum abad tersebut memang sudah diajarkan kitab-kitab kuning khas Pesantren.

Menjadi sebuah pertanyaan, apakah tatkala bangsa Eropa datang ke negeri ini tidak membangun lembaga pendidikan? Dalam beberapa sumber yang saya baca, pendidikan awal yang diberikan oleh bangsa Eropa yaitu tatkala kedatangan VOC di awal abad ke-17. Itupun dalam rangka mencetak para pekerja terampil yang kelak dibutuhkan oleh perusahaan dagang terbesar tersebut, baik dari kalangan warga Eropa maupun kaum bangsawan dan priyayi. Kurikulum yang mereka selenggarakan pun sarat dengan nilai-nilai Kristen yang dibawa oleh mereka. Tentunya kita mengenal slogan 3G; Gold, Glory dan Gospel. Di samping mencari kekayaan dan kekuasaan, mereka pun menyebarkan misi Kristen di negeri ini. Maka pada tahun 1643, peraturan sekolah yang mereka dirikan menganjurkan agar guru memiliki kewajiban untuk memupuk rasa takut terhadap Tuhan (Tuhan agama Kristen tentunya), mengajarkan dasar-dasar agama dan doa-doa Kristen bagi para peserta didik. Hal ini sesuai dengan instruksi badan tertinggi VOC di negeri Belanda pada tahun 1617. Bisa dilihat dalam buku tulisan Mikael Marasabessy, HOS Tjokroaminoto Dari Santri Menjadi Guru Tokoh Bangsa.

Pendidikan yang diselenggarakan oleh Belanda bukan dalam rangka mencerdaskan kehidupan kaum bumiputera, terlebih mencetak manusia-manusia bertakwa dan berbudi pekerti luhur sebagaimana yang tertuang dalam tujuan Pendidikan Nasional hari ini. Tujuan pendidikan yang diselenggarakan oleh penjajah tentunya pamrih, agar kaum bumiputera merasa “dekat” dengan bangsa Belanda dan kelak menjadi pekerja terampil yang bisa mengisi pos-pos perusahaan dan pemerintahan.

Termasuk dalam hal ini adalah etische politiek (politik etis) yang dimulai pada awal abad ke-20, yang menurut Ajip Rosidi dalam bukunya Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia sebagai “balas jasa” kaum penjajah dengan cara memperhatikan nasib kaum bumiputera. Dalam politik etis tentu kita mengetahui ada tiga kebijakan yang mereka jalankan; transmigrasi, irigasi dan edukasi. Hal ini terpaksa dilakukan karena inisiatif dari beberapa kelompok masyarakat di Belanda (koalisi partai Kristen) dalam menyikapi sikap tamak pemerintah mereka yang mengeksploitasi negeri jajahannya dengan kebijakan cultuurstelsel (sistem tanam paksa). Indikasi yang mengarah pada balas jasa dan pamrih pun cukup nyata pada praktik pendidikan saat itu, anak didik diajarkan mengenai tata cara kehidupan, ilmu, moral dan bahkan bahasa Belanda.

 

Bahasa dan Sastra Sebagai Medium Perjuangan

Bagi Ajip, bahasa Belanda merupakan bahasa dari sebuah bangsa kecil yang tak memiliki kontribusi dan pengaruh apapun dalam percaturan politik di Eropa. Maka diajarkanlah bahasa Belanda dalam kurikulum pendidikan di seluruh wilayah jajahan mereka, termasuk di Nusantara ini. Sebagai reaksi, tokoh muslim yang sekaligus juga tokoh pergerakan nasional saat itu–bernama HOS. Tjokroaminoto–, selalu menggunakan bahasa Melayu dalam lingkungan Sarekat Islam.

Bahasa Melayu yang merupakan lingua-franca (bahasa pergaulan) rakyat Nusantara telah berabad-abad digunakan sebagai bahasa sehari-hari mereka. Pada saat ancaman pemaksaan bahasa Belanda diresmikan dalam kurikulum pendidikan sekitar tahun 1920, barulah penggunaan bahasa Melayu lebih diintensifkan dalam forum-forum resmi oleh para tokoh pergerakan lainnya. Dan pada akhirnya bahasa Melayu tersebut diresmikan sebagai bahasa persatuan bagi bangsa Indonesia pada tahun 1928 dalam Sumpah Pemuda. Karena kepiawaian Soekarno dalam berpidato, maka ia yang menjadikan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia yang popular, hidup, lincah dan lentur di tengah masyarakat Nusantara. Bukan hanya digunakan oleh orang-orang Sumatera dan Kepulauan Riau saja. Sementara di semenanjung Malaya (Malaysia kini) bahasa Melayu menemui perkembangannya sendiri, termasuk dalam bidang sastra.

Tentunya kita menyadari bahwa pendidikan menjadi batu tapal perjuangan kemerdekaan Indonesia. Kesamaan nasib–karena di bawah penjajahan bangsa Eropa–, kesamaan bahasa, ditambah landasan perjuangan agama bagi umat Islam menambah gairah kaum bumiputera untuk sesegera mungkin melepaskan diri dari belenggu penjajahan bangsa lain.

Pemerintah kolonial Belanda menyadari, jika kaum bumiputera diberi akses pendidikan, maka besar kemungkinan akan memiliki potensi untuk berontak dari belenggu penjajahan. Dan sebagaimana yang telah maklum, etische politiek hanya menjadi kedok dalam melanggengkan penjajahan mereka di negeri ini. Sekali lagi, lembaga pendidikan yang didirikan oleh Belanda diperuntukkan hanya untuk mencetak para pekerja dengan upah murah (ketimbang harus membawa pekerja dari Eropa) dan mencetak para ambtenaar (pegawai negeri sipil Belanda) yang loyal dengan pemerintah Hindia-Belanda dan sang ratu (Wilhelmina). Tak perlu dipertanyakan lagi hak yang didapatkan dari keluarga bupati dan wedana, pastinya lebih tinggi dari para ambtenaar dan para pekerja tersebut.

 

Quo Vadis Intelektual Muda?

“Sekarang kebanyakan intelektual telah menjadi teknokrat alias sekrup-sekrup dalam roda pemerintahan. Kaum intelektual pada gilirannya dipergunakan lagi oleh pemerintah untuk membela beleid-nya atau sebagai solidarity maker. Ternyatalah, pemerintah memang berusaha memagar dirinya dengan argumentasi intelektual.” (Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam).

Membaca kembali tulisan-tulisan Ahmad Wahib yang memuji setinggi-tingginya para pemimpin gerakan mahasiswa pra kemerdekaan, dengan julukan pejuang sekaligus pemikir. Di sisi lain ia mengajak untuk membandingkan pemimpin-pemimpin mahasiswa di zamannya. Kalaupun kita ingin jujur membandingkan dengan pemimpin-pemimpin mahasiswa saat ini, maka akan didapati degradasi intelektual dan krisis identitas di kalangan mahasiswa. Para mahasiswa jauh dari jiwa merdeka sehingga membawa mereka–beserta organisasi tempat mereka bernaung–terbelit dalam jaringan partai politik dan kekuasaan. Atau bahkan hanya menjadi organisasi underbouw-nya partai politik dan ormas keagamaan tertentu?

Hal di atas tentunya akan mengundang implikasi negatif bagi pergerakan kaum intelektual ke depan. Mahasiswa sebagai lambang kelas masyarakat intelektual yang seharusnya menjadi agent of change dan penyambung lidah atau suara rakyat, malah berbicara atas nama ormas induk mereka dan terjebak dalam kegiatan politik teoritis maupun praktis. Praktik oportunisme, yang dibarengi dengan perebutan otoritas, dominasi dan supremasi dalam kampus merupakan miniatur kehidupan politik yang dicontohkan oleh senior mereka. Sementara independensi, kemandirian dan sikap kritis mahasiswa ibarat mencari jarum dalam tumpukan jerami. Dan kaderisasi menjadi wajah baru feodalisme di kalangan mahasiswa.

Membaca gagasan Ahmad Wahib dan Soe Hok Gie–yang dijuluki sebagai abortus intellectual oleh Dr. Kuntowijoyo–, tentunya kita akan menemukan berbagai macam negasi jika membandingkan dengan peranan para mahasiswa political force. Julukan political force diarahkan kepada mahasiswa yang terlibat langsung dalam kegiatan organisasi politik, sementara yang menolak untuk berpolitik praktis dijuluki sebagai moral force. Dalam menyikapi golongan pertama ini, Soe Hok Gie membuat sebuah pernyataan bahwasanya mereka bukan lagi mahasiswa yang berpolitik, tetapi politikus yang punya kartu mahasiswa. Hal itu diungkapkan tatkala ia mengkritik KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia).

 

Cowboy (Koboi) Bersorban

“Indonesia lahir di ruang-ruang kuliah dan kelas-kelas di beberapa kota.” (Soe Hok Gie, Zaman Peralihan).

Dalam membuat gambaran mengenai realitas perpolitikan di tahun 1966, Radio Ampera menjuluki kelompok mahasiswa moral force sebagai koboi. Koboi dalam gambaran mereka adalah sosok pahlawan berkuda, mengenakan sepatu bot, rompi kulit, topi lebar dan yang pasti memiliki pistol di pinggangnya. Inilah gambaran menurut mahasiswa elektro dari kota Bandung dan mahasiswa UI yang terhimpun dalam Radio Ampera, dibentuk sebagai reaksi atas sikap oportunisme politik awak media dan pers.

Bak seorang koboi yang datang ke sebuah kota dari horizon yang jauh, begitulah peran mahasiswa tatkala terjadi huru-hara yang disebabkan penguasa tiran. Koboi datang menantang para bandit berduel. Setelah para bandit mati, si koboi pun menghilang dari pandangan masyarakat kota yang ingin memberikan sanjungan, hadiah dan pangkat jabatan.

Pun dengan mahasiswa, tatkala terjadi penjajahan, penindasan, kesewenang-wenangan, kediktatoran, korupsi dan segala praktik despotisme penguasa, maka mereka pun mengerahkan segala potensi intelektualnya dalam menumbangkan penguasa tiran tersebut. Tatkala kaum penjajah hengkang dari negerinya, masyarakat suatu negeri terbebas dari penindasan menuju kemerdekaan, penguasa diktator turun jabatan dan si korup pun terhinakan, maka mereka kembali duduk manis di ruang-ruang kelasnya untuk menuntut ilmu dan menamatkan kuliah.

Sebagian gambaran di atas pernah dilakukan kalangan santri tatkala bangsa Eropa menjadikan negeri ini sebagai bangsa perahan. Mereka selalu mengobarkan api perlawanan  dan memposisikan dirinya sebagai oposisi para penguasa tiran.

Sebenarnya banyak pengamat yang mengkritik kategorisasi sosio-kultural yang disebutkan oleh Clifford Geertz–dan diikuti oleh Soe Hok Gie–tersebut, salah satunya sosiolog Universitas Indonesia bernama Harsya W. Bachtiar yang menganggap bahwa priyayi bukanlah kategori berdasarkan kriteria keagamaan, melainkan kriteria sosial berdasarkan garis keturunan. Namun perlu dipahami bahwa kategori tersebut tidaklah statis dan mutlak. Sebagai contoh sebut saja HOS. Tjokroaminoto yang terlahir dari keluarga ningrat dan sekaligus merupakan keturunan ulama besar Tegalsari, Kyai Ageng Hasan Besari. Pendidikan yang didapatkan Tjokro sebagaimana anak-anak priyayi lainnya, namun manifestasi perjuangannya saat itu dilandaskan oleh ruh keislaman yang kuat. Lihat Mengenal HOS. Tjokroaminoto; Sosok Priyayi dan Da'i

Abad ke-20 dan politik etis merubah tatanan masyarakat yang ada. Perkembangan konstelasi politik dunia melahirkan warna baru bagi sebuah tatanan masyarakat jajahan. Ideologi kiri komunis menjadi salah satu bagian yang turut mewarnai pertarungan gagasan kaum intelektual Indonesia. Pemerintah Hindia-Belanda kini memiliki oposisi lain di luar kelompok umat Islam (yang saat itu tergabung dalam Sarekat Islam). Sarekat Islam merupakan representasi kebangkitan nasional sebuah bangsa, yang di dalamnya mengakomodir seluruh lapisan masyarakat baik itu priyayi, santri bahkan abangan. Simbol-simbol feodalisme dan perbudakan ditiadakan. Sekat-sekat antara kaum borjuis dan proletar pun dihilangkan. Hal ini turut membantah stigma yang selama ini berkembang bahwa kaum komunislah yang lebih memperhatikan kaum proletar.

Selain pengaruh perkembangan konstelasi politik dunia–yang didominasi oleh fasisme, blok Barat dan blok Timur–, pan-Islamisme yang digaungkan di Mesir turut mewarnai gerakan kebangkitan umat Islam di Indonesia. Umat Islam Indonesia yang selama ini termarginalkan dan mendapatkan stigma kolot, konservatif dan tidak sesuai dengan modernisasi dari pihak kolonial Belanda beserta kaum intelektual binaannya, mulai menunjukkan dirinya sebagai gerakan tajdid (modernisasi atau pembaharuan Islam). Gerakan pan-Islamisme yang diinisiasi oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh menjadi stimulus dan energi baru bagi perjuangan umat Islam di Indonesia.

“Bahkan kepada kaum intelek mereka memberikan kesan, bahwa agama Islam itu adalah identik dengan agama kampungan, agama rakyat jelata, agamanya kuli, agamanya orang yang bodoh dan bukan agamanya orang terpelajar. Tentunya mereka tidak akan mau disamakan ataupun disejajarkan dengan orang-orang yang bodoh. Belanda mengajarkan kepada kaum intelek didikan mereka bahwa Islam itu agama yang reaksioner, yang tidak mempunyai daya vitalitas untuk menjawab tantangan-tantangan di abad modern. Apabila kaum intelek mengaku dirinya terpelajar, orang yang modern tidaklah patut menamakan dirinya orang Islam. Benih-benih yang berbisa yang berisikan kebencian terhadap agama Islam ini tiap hari dimasukkan ke dalam jiwa kaum intelegensia kita. Pendek kata kehidupan agama Islam di Indonesia penuh diliputi oleh alam dan suasana kebekuan, kekolotan, kekalahan, kesuraman dan kemunduran. Dalam keadaan masyarakat Islam yang demikian itulah dahulu Haji Agus Salim lahir, hidup dan berjuang.” (Solichin Salam, Haji Agus Salim Pahlawan Nasional).

Pendidikan yang diberikan Belanda terbilang cukup berhasil dalam memecah-belah kekuatan masyarakat jajahan. Politik devide et impera (belah bambu) terbilang cukup mulus dalam melemahkan kekuatan kaum bumiputera. Sikap inferiority complex yang ditanamkan di sebagian kaum abangan dan priyayi semakin membuat jauh jarak antara mereka dengan kaum santri. Di sisi lain, pengetahuan mereka mengenai ilmu modern, permasalahan birokrasi dan kenegaraan berada di atas kaum santri. Sehingga sebagian urusan perpolitikan dan kenegaraan dapat mereka kuasai dengan baik. Hal inilah yang menjadikan kaum santri semakin terisolir dari dunia politik dan kenegaraan. Status sebagai oposisi pemerintah pun masih terus disandang sampai datangnya pengaruh pan-Islamisme yang disambut antusias oleh kaum santri.

***

 

“Lelap terus, dan kau pun dipuji sebagai bangsa terlembut di dunia. Darahmu dihisap dan dagingmu dilahap sehingga hanya kulit tersisa. Siapa pula tak memuji sapi dan kerbau? Orang dapat menyuruhnya kerja, dan memakan dagingnya. Tapi kalau mereka tahu hak-haknya, orang pun akan menamakannya pongah, karena tidak mau ditindas. Bahasamu terpuji halus di seluruh dunia, dan sopan pula. Sebabnya kau menegur bangsa lain dalam bahasa kromo dan orang lain menegurmu dalam bahasa ngoko. Kalau kau balikkan, kau pun dianggap kurang ajar.” (Sajak Hadji Oemar Said Tjokroaminoto, Doenia Bergerak, 1914).

HOS. Tjokroaminoto yang merupakan guru para pendiri bangsa adalah sosok priyayi sekaligus santri. Dari tangannyalah gerakan Sarekat Islam menasional. Dari didikannya pula terlahir para tokoh bangsa dengan latarbelakang pemikiran yang berbeda. Kita kenal Musso, Alimin bahkan Semaoen yang menjadi pemimpin Sarekat Islam Semarang. Mereka representasi tokoh komunis yang pernah belajar dan menjadi bawahan Tjokro. Kita tahu pula Soekarno yang pernah indekos di rumahnya dan menjadi tokoh besar republik, presiden pertama Republik Indonesia. Kita tahu pula Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo yang kelak memimpin Negara Islam Indonesia (NII), merupakan sekretaris pribadinya. Kita tahu Mohammad Natsir yang mengajukan mosi integral NKRI, HAMKA dan para tokoh lain yang belajar dan menimba ilmu kepadanya. Pada hakikatnya, kontribusi tokoh-tokoh Islam bagi kemerdekaan Republik Indonesia amatlah besar.

Islam bukan pelitur, melainkan isi dan ruh negeri ini. Dalam perjalannya, cita-cita politik dan asipirasi umat Islam tidak diakomodir dengan baik oleh penguasa. Di era Orde Lama partai Islam (Masyumi) dibubarkan. Di era Orde Baru pun tak jauh berbeda dengan Orde Lama, satu-satunya partai Islam (yaitu PPP) berada di bawah intervensi penguasa. Sementara tokoh-tokoh kemerdekaan yang dahulu tergabung dalam Masyumi dilarang untuk aktif dalam politik. Sebagian dari mereka memilih jalan dakwah dan menekuni bidang keilmuan. Mungkin dengan keadaan seperti itulah, umat Islam akan terbebas dari oportunisme politik dan kepentingan pribadi, terbebas dari sikap hipokrit dan lebih dekat pada keikhlasan.

Pandangan stereotip terhadap umat Islam sejenak berubah tatkala sosok pahlawan berkuda itu mengenakan sorban putih terjuntai. Gamis putih menghantam wajah kecut musuh bak debur ombak putih menghantam karang. Deru derap kaki kuda menghamburkan debu di medan jihad. Pekik takbir diiringi ringkik kuda menggema menambah muram wajah si pengecut. Sebilah pedang terhunus menanti ayunan sang pahlawan. Dalam sekelebat mengiris batang hidung kaum-kaum durhaka penghisap darah rakyat jelata.

 

Sumber:

Gonggong, Anhar. H.O.S. Tjokroaminoto. 1985. Depdikbud, Jakarta.

Marasabessy, Mikael. H.O.S. Tjokroaminoto. 2020. Pustaka Al-Kautsar, Jakarta.

Bachtar, Tiar Anwar. Jas Mewah. 2018. Pro-U Media, Yogyakarta.

Gie, Soe Hok. Zaman Peralihan. 2016. MataBangsa, Yogyakarya.

Gie, Soe Hok. Di Bawah Lentera Merah. 2016. MataBangsa, Yogyakarta.

Gie, Soe Hok. Catatan Seorang Demonstran. 1993. LP3ES, Jakarta.

Wahib, Ahmad. Pergolakan Pemikiran Islam. 1981. LP3ES, Jakarta.

Rosidi, Ajip. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. 1991. Binacipta, Bandung.

Majalah Tempo Edisi 15-21 Agustus 2011.

Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Definition List

Definition list
Consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua.
Lorem ipsum dolor sit amet
Consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua.

Theme Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.
Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

Ordered List

  1. Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.
  2. Aliquam tincidunt mauris eu risus.
  3. Vestibulum auctor dapibus neque.

Recent Posts

Unordered List

  • Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.
  • Aliquam tincidunt mauris eu risus.
  • Vestibulum auctor dapibus neque.

Sample Text

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua.

Pages

Theme Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.