Tulisan ini adalah subjudul dari tulisan sebelumnya. Lihat MEREFLEKSIKAN SEJARAH PENDIDIKAN DI INDONESIA
Quo
Vadis Intelektual Muda?
“Sekarang kebanyakan intelektual
telah menjadi teknokrat alias sekrup-sekrup dalam roda pemerintahan. Kaum
intelektual pada gilirannya dipergunakan lagi oleh pemerintah untuk membela beleid-nya
atau sebagai solidarity maker. Ternyatalah, pemerintah memang berusaha
memagar dirinya dengan argumentasi intelektual.” (Ahmad Wahib, Pergolakan
Pemikiran Islam).
Membaca
kembali tulisan-tulisan Ahmad Wahib yang memuji setinggi-tingginya para
pemimpin gerakan mahasiswa pra kemerdekaan, dengan julukan pejuang sekaligus
pemikir. Di sisi lain ia mengajak untuk membandingkan pemimpin-pemimpin mahasiswa
di zamannya. Kalaupun kita ingin jujur membandingkan dengan pemimpin-pemimpin mahasiswa
saat ini, maka akan didapati degradasi intelektual dan krisis identitas di
kalangan mahasiswa. Para mahasiswa jauh dari jiwa merdeka sehingga membawa
mereka–beserta organisasi tempat mereka bernaung–terbelit dalam jaringan partai
politik dan kekuasaan. Atau bahkan hanya menjadi organisasi underbouw-nya
partai politik dan ormas keagamaan tertentu?
Hal
di atas tentunya akan mengundang implikasi negatif bagi pergerakan kaum
intelektual ke depan. Mahasiswa sebagai lambang kelas masyarakat intelektual
yang seharusnya menjadi agent of change dan penyambung lidah atau suara rakyat,
malah berbicara atas nama ormas induk mereka dan terjebak dalam kegiatan
politik teoritis maupun praktis. Praktik oportunisme, yang dibarengi dengan
perebutan otoritas, dominasi dan supremasi dalam kampus merupakan miniatur
kehidupan politik yang dicontohkan oleh senior mereka. Sementara independensi,
kemandirian dan sikap kritis mahasiswa ibarat mencari jarum dalam tumpukan
jerami. Dan kaderisasi menjadi wajah baru feodalisme di kalangan mahasiswa.
Membaca
gagasan Ahmad Wahib dan Soe Hok Gie–yang dijuluki sebagai abortus
intellectual oleh Dr. Kuntowijoyo–, tentunya kita akan menemukan berbagai
macam negasi jika membandingkan dengan peranan para mahasiswa political
force. Julukan political force diarahkan kepada mahasiswa yang
terlibat langsung dalam kegiatan organisasi politik, sementara yang menolak
untuk berpolitik praktis dijuluki sebagai moral force. Dalam menyikapi
golongan pertama ini, Soe Hok Gie membuat sebuah pernyataan bahwasanya mereka
bukan lagi mahasiswa yang berpolitik, tetapi politikus yang punya kartu
mahasiswa. Hal itu diungkapkan tatkala ia mengkritik KAMI (Kesatuan Aksi
Mahasiswa Indonesia).
Cowboy
(Koboi) Bersorban
“Indonesia lahir di ruang-ruang
kuliah dan kelas-kelas di beberapa kota.” (Soe Hok Gie, Zaman
Peralihan).
Dalam
membuat gambaran mengenai realitas perpolitikan di tahun 1966, Radio Ampera
menjuluki kelompok mahasiswa moral force sebagai koboi. Koboi dalam
gambaran mereka adalah sosok pahlawan berkuda, mengenakan sepatu bot, rompi
kulit, topi lebar dan yang pasti memiliki pistol di pinggangnya. Inilah
gambaran menurut mahasiswa elektro dari kota Bandung dan mahasiswa UI yang
terhimpun dalam Radio Ampera, dibentuk sebagai reaksi atas sikap oportunisme
politik awak media dan pers.
Bak
seorang koboi yang datang ke sebuah kota dari horizon yang jauh, begitulah
peran mahasiswa tatkala terjadi huru-hara yang disebabkan penguasa tiran. Koboi
datang menantang para bandit berduel. Setelah para bandit mati, si koboi pun
menghilang dari pandangan masyarakat kota yang ingin memberikan sanjungan, hadiah
dan pangkat jabatan.
Pun
dengan mahasiswa, tatkala terjadi penjajahan, penindasan, kesewenang-wenangan,
kediktatoran, korupsi dan segala praktik despotisme penguasa, maka mereka pun
mengerahkan segala potensi intelektualnya dalam menumbangkan penguasa tiran
tersebut. Tatkala kaum penjajah hengkang dari negerinya, masyarakat suatu
negeri terbebas dari penindasan menuju kemerdekaan, penguasa diktator turun
jabatan dan si korup pun terhinakan, maka mereka kembali duduk manis di
ruang-ruang kelasnya untuk menuntut ilmu dan menamatkan kuliah.
Sebagian
gambaran di atas pernah dilakukan kalangan santri tatkala bangsa Eropa
menjadikan negeri ini sebagai bangsa perahan. Mereka selalu mengobarkan api perlawanan dan memposisikan dirinya sebagai oposisi para
penguasa tiran.
Sebenarnya
banyak pengamat yang mengkritik kategorisasi sosio-kultural yang disebutkan
oleh Clifford Geertz–dan diikuti oleh Soe Hok Gie–tersebut, salah satunya sosiolog
Universitas Indonesia bernama Harsya W. Bachtiar yang menganggap bahwa priyayi
bukanlah kategori berdasarkan kriteria keagamaan, melainkan kriteria sosial
berdasarkan garis keturunan. Namun perlu dipahami bahwa kategori tersebut
tidaklah statis dan mutlak. Sebagai contoh sebut saja HOS. Tjokroaminoto yang
terlahir dari keluarga ningrat dan sekaligus merupakan keturunan ulama besar
Tegalsari, Kyai Ageng Hasan Besari. Pendidikan yang didapatkan Tjokro
sebagaimana anak-anak priyayi lainnya, namun manifestasi perjuangannya saat itu
dilandaskan oleh ruh keislaman yang kuat. Lihat Mengenal HOS. Tjokroaminoto; Sosok Priyayi dan Da'i
Abad
ke-20 dan politik etis merubah tatanan masyarakat yang ada. Perkembangan
konstelasi politik dunia melahirkan warna baru bagi sebuah tatanan masyarakat
jajahan. Ideologi kiri komunis menjadi salah satu bagian yang turut mewarnai
pertarungan gagasan kaum intelektual Indonesia. Pemerintah Hindia-Belanda kini
memiliki oposisi lain di luar kelompok umat Islam (yang saat itu tergabung
dalam Sarekat Islam). Sarekat Islam merupakan representasi kebangkitan nasional
sebuah bangsa, yang di dalamnya mengakomodir seluruh lapisan masyarakat baik
itu priyayi, santri bahkan abangan. Simbol-simbol feodalisme dan perbudakan
ditiadakan. Sekat-sekat antara kaum borjuis dan proletar pun dihilangkan. Hal
ini turut membantah stigma yang selama ini berkembang bahwa kaum komunislah
yang lebih memperhatikan kaum proletar.
Selain
pengaruh perkembangan konstelasi politik dunia–yang didominasi oleh fasisme,
blok Barat dan blok Timur–, pan-Islamisme yang digaungkan di Mesir turut
mewarnai gerakan kebangkitan umat Islam di Indonesia. Umat Islam Indonesia yang
selama ini termarginalkan dan mendapatkan stigma kolot, konservatif dan tidak
sesuai dengan modernisasi dari pihak kolonial Belanda beserta kaum intelektual
binaannya, mulai menunjukkan dirinya sebagai gerakan tajdid (modernisasi
atau pembaharuan Islam). Gerakan pan-Islamisme yang diinisiasi oleh Jamaluddin
al-Afghani dan Muhammad Abduh menjadi stimulus dan energi baru bagi perjuangan
umat Islam di Indonesia.
“Bahkan kepada kaum intelek
mereka memberikan kesan, bahwa agama Islam itu adalah identik dengan agama
kampungan, agama rakyat jelata, agamanya kuli, agamanya orang yang bodoh dan
bukan agamanya orang terpelajar. Tentunya mereka tidak akan mau disamakan
ataupun disejajarkan dengan orang-orang yang bodoh. Belanda mengajarkan kepada
kaum intelek didikan mereka bahwa Islam itu agama yang reaksioner, yang tidak
mempunyai daya vitalitas untuk menjawab tantangan-tantangan di abad modern.
Apabila kaum intelek mengaku dirinya terpelajar, orang yang modern tidaklah
patut menamakan dirinya orang Islam. Benih-benih yang berbisa yang berisikan kebencian
terhadap agama Islam ini tiap hari dimasukkan ke dalam jiwa kaum intelegensia
kita. Pendek kata kehidupan agama Islam di Indonesia penuh diliputi oleh alam
dan suasana kebekuan, kekolotan, kekalahan, kesuraman dan kemunduran. Dalam
keadaan masyarakat Islam yang demikian itulah dahulu Haji Agus Salim lahir,
hidup dan berjuang.” (Solichin Salam, Haji Agus Salim
Pahlawan Nasional).
Pendidikan
yang diberikan Belanda terbilang cukup berhasil dalam memecah-belah kekuatan
masyarakat jajahan. Politik devide et impera (belah bambu) terbilang
cukup mulus dalam melemahkan kekuatan kaum bumiputera. Sikap inferiority
complex yang ditanamkan di sebagian kaum abangan dan priyayi semakin
membuat jauh jarak antara mereka dengan kaum santri. Di sisi lain, pengetahuan
mereka mengenai ilmu modern, permasalahan birokrasi dan kenegaraan berada di
atas kaum santri. Sehingga sebagian urusan perpolitikan dan kenegaraan dapat
mereka kuasai dengan baik. Hal inilah yang menjadikan kaum santri semakin
terisolir dari dunia politik dan kenegaraan. Status sebagai oposisi pemerintah
pun masih terus disandang sampai datangnya pengaruh pan-Islamisme yang disambut
antusias oleh kaum santri.
***
“Lelap terus, dan kau pun dipuji sebagai bangsa terlembut di
dunia. Darahmu dihisap dan dagingmu dilahap sehingga hanya kulit tersisa. Siapa
pula tak memuji sapi dan kerbau? Orang dapat menyuruhnya kerja, dan memakan
dagingnya. Tapi kalau mereka tahu hak-haknya, orang pun akan menamakannya
pongah, karena tidak mau ditindas. Bahasamu terpuji halus di seluruh dunia, dan
sopan pula. Sebabnya kau menegur bangsa lain dalam bahasa kromo dan orang lain
menegurmu dalam bahasa ngoko. Kalau kau balikkan, kau pun dianggap kurang
ajar.”
(Sajak Hadji Oemar Said Tjokroaminoto, Doenia Bergerak, 1914).
HOS.
Tjokroaminoto yang merupakan guru para pendiri bangsa adalah sosok priyayi
sekaligus santri. Dari tangannyalah gerakan Sarekat Islam menasional. Dari
didikannya pula terlahir para tokoh bangsa dengan latarbelakang pemikiran yang
berbeda. Kita kenal Musso, Alimin bahkan Semaoen yang menjadi pemimpin Sarekat
Islam Semarang. Mereka representasi tokoh komunis yang pernah belajar dan
menjadi bawahan Tjokro. Kita tahu pula Soekarno yang pernah indekos di rumahnya
dan menjadi tokoh besar republik, presiden pertama Republik Indonesia. Kita
tahu pula Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo yang kelak memimpin Negara Islam
Indonesia (NII), merupakan sekretaris pribadinya. Kita tahu Mohammad Natsir
yang mengajukan mosi integral NKRI, HAMKA dan para tokoh lain yang belajar dan
menimba ilmu kepadanya. Pada hakikatnya, kontribusi tokoh-tokoh Islam bagi
kemerdekaan Republik Indonesia amatlah besar.
Islam
bukan pelitur, melainkan isi dan ruh negeri ini. Dalam perjalannya, cita-cita
politik dan asipirasi umat Islam tidak diakomodir dengan baik oleh penguasa. Di
era Orde Lama partai Islam (Masyumi) dibubarkan. Di era Orde Baru pun tak jauh
berbeda dengan Orde Lama, satu-satunya partai Islam (yaitu PPP) berada di bawah
intervensi penguasa. Sementara tokoh-tokoh kemerdekaan yang dahulu tergabung
dalam Masyumi dilarang untuk aktif dalam politik. Sebagian dari mereka memilih
jalan dakwah dan menekuni bidang keilmuan. Mungkin dengan keadaan seperti
itulah, umat Islam akan terbebas dari oportunisme politik dan kepentingan
pribadi, terbebas dari sikap hipokrit dan lebih dekat pada keikhlasan.
Pandangan
stereotip terhadap umat Islam sejenak berubah tatkala sosok pahlawan berkuda
itu mengenakan sorban putih terjuntai. Gamis putih menghantam wajah kecut musuh
bak debur ombak putih menghantam karang. Deru derap kaki kuda menghamburkan
debu di medan jihad. Pekik takbir diiringi ringkik kuda menggema menambah muram
wajah si pengecut. Sebilah pedang terhunus menanti ayunan sang pahlawan. Dalam
sekelebat mengiris batang hidung kaum-kaum durhaka penghisap darah rakyat jelata.
Sumber:
Gonggong, Anhar. H.O.S.
Tjokroaminoto. 1985. Depdikbud, Jakarta.
Marasabessy,
Mikael. H.O.S. Tjokroaminoto. 2020. Pustaka Al-Kautsar, Jakarta.
Bachtar, Tiar
Anwar. Jas Mewah. 2018. Pro-U Media, Yogyakarta.
Gie, Soe Hok. Zaman
Peralihan. 2016. MataBangsa, Yogyakarya.
Gie, Soe Hok. Di
Bawah Lentera Merah. 2016. MataBangsa, Yogyakarta.
Gie, Soe Hok. Catatan
Seorang Demonstran. 1993. LP3ES, Jakarta.
Wahib, Ahmad. Pergolakan
Pemikiran Islam. 1981. LP3ES, Jakarta.
Rosidi, Ajip. Ikhtisar
Sejarah Sastra Indonesia. 1991. Binacipta, Bandung.
Majalah Tempo Edisi
15-21 Agustus 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar