SEBUAH SINOPSIS: WAJAH PERADABAN BARAT

SEBUAH SINOPSIS: WAJAH PERADABAN BARAT

(Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal)

Bagian I

 

Fian Sofian – Mahasiswa Prodi Bahasa dan Sastra Arab UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Dr. Adian Husaini adalah penulis dari sebuah buku yang akan saya ulas kali ini, dan merupakan salah seorang pendiri Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS), sebuah lembaga pendidikan yang bergerak pada penelitan dan pengajaran tentang sejarah, pemikiran dan peradaban Islam. Sudah banyak sekali tulisan dan judul buku yang beliau hasilkan, dan beberapa di antaranya telah saya miliki. Di antaranya, Pancasila Bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam (2009), Islam Liberal Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya (2002), Islam Liberal, Pluralisme Agama & Diabolisme Agama (2005), dan yang terakhir adalah buku ini, Wajah Peradaban Barat Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal (2005).

Buku ini diterbitkan oleh Gema Insani Press, dengan ukuran yang cukup besar dan terdiri dari 415 halaman lebih. Dengan hard cover, semakin menambah “gagah” tampilan buku ini. Tujuan saya menuliskan sinopsis buku ini dalam rangka membantu para pecinta literasi–terlebih yang berkenaan dengan tema-tema pemikiran dan ghazwah al-fikr atau perang pemikiran–untuk lebih mudah dalam memahami isi dari buku ini secara singkat. Dan pastinya saya berharap untuk para pembaca bisa langsung merujuk kepada buku tersebut dan menggali faidah darinya.

Buku ini diberi pengantar oleh Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud. Dalam paragraf ketiga dari pengantarnya tersebut, beliau melemparkan sebuah pertanyaan yang dinisbatkan kepada umat Islam dan pengamat budaya Barat (oksidentalis). Mengapa hanya Islam dan umat Islam saja yang menjadi target kolonialisme dan kritikan Barat, ketimbang agama dan umat lain? Ia pun membawakan argumentasi dari Syed Muhammad Naquib al-Attas untuk menjawab soalan-soalan di atas.

Berikut jawabannya:

1. Kebangkitan Islam dalam pentas sejarah menjadi penantang agama Kristen.

2. Al-Qur’an menggugat dasar teologis Kristen mengenai konsep trinitas.

3. Al-Qur’an menjelaskan tentang tingkah laku pemuka agama Yahudi yang gemar mendistorsi ajarannya.

4. Islam mengubah kehidupan Barat dari segala aspek.

5. Meluasnya pengaruh Islam di bekas kekuasaan imperium Barat.

6. Konsep tajdid (pembaharuan) dalam Islam memiliki potensi menantang hegemoni kebudayaan Barat.

Penulis memulai pengantarnya dengan menjelaskan landasan epistemologi Barat dan Islam. Barat masih memiliki rasa trauma terhadap agama (Kristen). Karenanya tatkala Islam tampil, maka Islam lah yang menjadi bulan-bulanan kebencian mereka. Barat saat ini–yang menurut penulis berasal dari Christendom menuju pada kehidupan sekuler dan liberal–membangun program Islamic Studies yang mengacu pada epistemologi filsafat posmodern, bukan berdasarkan epistemologi Islam dan perspektif para tokoh-tokoh teolog Islam yang kompeten. Meski pun begitu, keunggulan mereka dalam hal pendidikan dan penelitian di bidang ini cukup diakui, terlebih fasilitas lengkap dan memadai turut memanjakan kehidupan para pelajar di sana. Hal ini wajar, karena memang mereka sudah mempersiapkannya selama beratus tahun.

Dengan pendidikan keislaman yang difasilitasi oleh universitas-universitas ternama di sana, lahirlah banyak intelektual yang meneliti masalah keislaman, atau yang sering disebut dengan istilah orientalis. Mengacu pada pengertian etimologisnya, orientalisme adalah suatu bidang yang meneliti masalah ketimuran. Namun definisinya bergeser menjadi suatu bidang yang meneliti masalah Islam dan umat Islam. Hal ini disadari Barat, dikarenakan memang Islam terlahir dan mendominasi di Timur, sekaligus menjadi penantang hegemoni Kristen yang banyak tersebar di Barat. Seiring perjalanannya, ada perbedaan metode dan praktik para orientalisme klasik dan modern. Kalau di zaman klasik cara mereka cukup frontal dan konfrontatif, bahkan tak segan-segan membuat kalimat-kalimat umpatan terhadap Nabi Muhammad . Kini cara mereka berubah dengan pendekatan dan pemilihan kata-kata yang seolah-olah ilmiah, namun tujuan mereka tetap sama, yaitu untuk mendekonstruksi agama Islam.

Di bagian pertama buku ini, penulis langsung menohok pada praktik homoseksualitas di Barat, yang sudah mendapatkan legitimasi dan justifikasi dari otoritas Gereja. Bahkan penulis juga membeberkan bukti bahwa pihak Gereja di Barat memiliki seorang uskup yang juga sebagai pelaku homoseks. Tentunya hal ini semakin menambah legalitas kehidupan para penganut LGBT di sana. Bagi Barat, nilai-nilai absolutisme dan fundamentalisme berdasarkan agama harus dilawan, dan standar penilaian adalah manusia. Selama apa yang dilakukan manusia tidak merugikan pihak lain, maka perbuatan tersebut legal.

Selain homoseksualitas, penulis juga membahas mengenai gender equality. Barat di zaman dark ages sampai menjelang zaman renaissance (re-birth, enlightenment atau pencerahan) masih menganggap wanita adalah jelmaan setan. Karenanya, 85% wanita menjadi korban praktik inkuisisi yang teramat keji dan biadab. Inkuisisi merupakan institusi hukum yang dibuat oleh gereja untuk menghukum siapa saja yang menyimpang dari ajaran gereja (heresy), dan memiliki banyak sekali alat siksaan yang di luar batas kemanusiaan.

Terkait masalah gender equality yang digaungkan Barat, hal ini bukan hanya imbas dari sikap gereja yang patriarkis dan misoginis, bahkan lebih dari itu gereja amat memusuhi kaum wanita. Kita lihat saja definisi feminis secara etimologis, artinya adalah fe+minus, kurang iman. Barat di zaman dominasi gereja memang menganggap wanita itu kurang imannya, bahkan jelmaan setan. Lantas lucunya, para wanita di zaman sekarang banyak terpengaruh ideologi Barat yang sekuler dan liberal menjuluki diri mereka sebagai kaum feminis. Tak sampai disitu, ada pula kalangan pria yang cukup ditokohkan malah menjuluki dirinya sebagai pembela kaum feminis atau tokoh feminisme. Apakah artinya julukan tersebut meng”amin”i dan setuju dengan para tokoh-tokoh gereja di zaman kegelapan, bahwa memang wanita itu fe+minus, kurang iman?

Semangat kebebasan sampai detik ini selalu memakai kedok dan alasan bahwa agama itu mengekang kebebasan manusia, agama bersikap patriarkis terhadap wanita, kaum wanita tidak diberikan hak-haknya. Namun sialnya, praktik kebebasan yang digaungkan kaum feminis justru menciderai kehormatan wanita itu sendiri. Kita tentu tahu ajang ratu kecantikan dunia. Apakah fokus kegiatan tersebut mencari bakat intelektualitas kaum wanita dan kontribusi mereka di tengah masyarakat, atau kah mencari kecantikan dan tubuh semampai wanita? Kita tentu tahu, mereka diarahkan untuk lebih peduli dengan perkara sosial dan pendidikan di tengah kegiatan tersebut. Namun tetap saja, kegiatan tersebut membuat stereotip bahwa ukuran kecantikan wanita itu dari kulit yang mulus, tubuh tinggi semampai dan standar-standar yang bersifat fisik lainnya.

Kebalikannya, Islam dari awal kemunculannya tentu tidak begitu. Tak pernah ada dalam kamus Islam menjadikan wanita sebagai objek pelampiasan hawa nafsu, terlebih lagi menyebut mereka sebagai jelmaan setan. Bahkan tentang hukum perbudakan dalam Islam, yang selama ini menjadi asumsi bahwa Islam memperbudak wanita, pada hakikatnya justru memperbaiki nasib para budak. Terlebih lagi jika budak tersebut adalah wanita. Maka dengan datangnya syari’at Islam, justru hukum dan status budak wanita lebih dipertegas dan diberikan hak-haknya secara penuh. Bahkan wajib bagi si tuan untuk memberikan nafkah, tempat tinggal dan pakaian yang layak bagi wanita budak tersebut. Tak berbeda dengan isteri yang dinikahinya. Lebih-lebih lagi jika wanita budak tersebut melahirkan anaknya, maka statusnya berubah menjadi ummu al-walad. Ini sangat berbeda dengan perbudakan di zaman sebelum Islam yang cendrung berlaku diskriminatif dan tak memanusiakan wanita. Wanita hanya jadi objek pemuas para pria pada zaman jahiliyyah. Lihat, Milkul Yamin dalam Pandangan Syariat.

Masih di bagian pertama dalam bukunya, penulis mengajukan pertanyaan mengapa Barat menjadi sekuler dan liberal? Setidaknya ada tiga faktor yang melandasinya. Pertama, problem Sejarah Kristen. Barat memilik trauma terhadap hegemoni Kristen di zaman kegelapan. Kalau kita merujuk pada buku-buku sejarah filsafat di abad pertengahan, maka kita akan mengetahui bahwa corak filsafat pada abad tersebut bukanlah akal murni, melainkan dogma-dogma gereja. Terlebih pada saat itu, gereja memegang kendali penuh dalam sebuah negara. Kedua, problem Barat atas teks Bible. Hal ini tentu terkait otentisitas Bible, dan siapakah penulisnya? Ketiga, Barat kebingungan dalam menentukan status ketuhanan Yesus. Doktrin trinitas bukan berasal dari ajaran Yesus (Isa as.), melainkan hasil Konsili Nicea yang digagas oleh Kaisar Konstantin, seorang pemimpin imperium Romawi, di mana masih tersebar paganisme di negeri tersebut. Untuk ulasannya sebagai berikut.

Pertama, Problem Sejarah Kristen

Barat trauma terhadap agama (Kristen). Religion bagi Barat bermakna inkuisisi, tahayul, lemah semangat, dogmatis, munafik, benar sendiri, kekakuan, kekasaran dll. Karenanya banyak yang menyebut zaman ini sebagai dark ages (zaman kegelapan).

Tatkala imperium Romawi runtuh pada tahun 476 M, maka gereja–yang sebelumnya sudah menjadi agama resmi–muncul sebagai kekuatan tunggal dan dominan yang mengatur sebuah negara peninggalan Romawi tersebut. Posisi keagamaan yang dipegang Paus, lebih tinggi dari jabatan kepemimpinan seorang Kaisar. Institusi gereja bisa mengangkat dan menjatuhkan seorang pemimpin negara saat itu. Di zaman ini pula lahir inkuisisi,  sebuah institusi hukum yang digunakan untuk menghukum siapa saja yang menyimpang dari dogma gereja. Karen Amstrong, seorang mantan biarawati dan penulis terkenal menyebutkan dalam bukunya berjudul Holy War: The Crusades and Their Impact on Today’s World, bahwa inkuisisi merupakan institusi hukum  buatan Kristen yang paling jahat dan merupakan instrumen teror dalam gereja Katolik dan Protestan atas mereka-mereka yang berbeda dalam hal pemahaman tentang dogma agama.

Doktrin bahwa jabatan kepausan datang langsung dari Tuhan dan memiliki otoritas dalam hal pengampunan, menjadi alasan untuk menghukum siapa saja yang menentang dogma gereja. Bahkan tak sampai di situ, praktik jual beli surat pengampunan dosa pun pernah terjadi di Barat. Hal ini tentu yang mendorong Martin Luther, seorang teolog berkebangsaan Jerman untuk melakukan pemberontakan terhadap institusi tersebut. Sampai pada akhirnya muncul revolusi Prancis di abad ke-18 M yang melahirkan sikap anti pemuka agama.

Trauma Barat terhadap sejarah pendahulu mereka, melahirkan sikap yang antipati terhadap agama dan melahirkan apa yang disebut saat ini sebagai sekularisme, sebuah paham yang memisahkan antara agama dan kehidupan negara. Agama adalah urusan pribadi, tidak boleh mengatur kehidupan suatu masyarakat. Dan paham ini sudah tersebar di seluruh dunia, bahkan di negara yang konon kabarnya menjadi mayoritas dalam memeluk agama tertentu.

Kedua, Otentisitas Bible

Para teolog di Barat tidak tahu siapa penulis Bible. Tak ada dokumen Bible yang original, dan bahan-bahan yang ada pun bermacam-macam dan saling kontradiksi satu sama lain. Oleh karenanya banyak terjadi perbedaan dalam penerjemahan, sehingga menimbulkan masalah dalam penafsiran. Ada sekitar 5 ribu manuskrip Bible dalam bahasa Greek. Norman Daniel, salah seorang orientalis penulis buku berjudul Islam and West: The Making of an Image mengatakan, “The Qur’an has no parallel outside Islam”. Al-Qur’an memang tidak ada bandingannya dengan kitab mana pun di luar agama Islam.

Metode hermeneutika digunakan oleh Barat untuk memahami dan melakukan kritik historis terhadap Bible. Dan pada saat ini metode hermeneutika diadopsi oleh sebagian besar Perguruan Tinggi Keagaaman Islam Negeri (PTKIN) di Indonesia dalam mempelajari al-Qur’an. Maka tidak heran, ada saja di antara mereka yang menganut metode ini memiliki anggapan bahwa al-Qur’an itu profan (tidak sakral), merupakan al-muntaj al-tsaqafi (produk budaya) manusia, isinya mengalami perubahan di zaman sahabat, dan tentunya al-Qur’an dapat dikiritik dan digugat secara bebas oleh siapa pun. Inilah salah satu hasil dari budaya Barat dalam menyikapi Bible dan kini diadopsi oleh sebagian orang yang mengaku intelektual Islam.

Ketiga, Problem Teologis

Tuhan itu satu adalah tiga dan tiga adalah satu, pastinya hal ini akan membingungkan akal manusia. Hal ini berkaitan dengan konsep teologis Kristen. Namun kerumitan ini disikapi secara pragmatis bahkan oleh para teolog mereka. Sebutlah saja Saint Anselmus, yang merupakan tokoh filsafat abad pertengahan sekaligus seorang teolog Kristen, membuat sebuah doktrin yang sampai saat ini bahkan masih dianut oleh mereka yang menuhankan Yesus. Credo ut intelligam, I believe in order to understand, saya percaya terlebih dahulu, barulah nanti akan mengerti.

Seorang teolog besar Belanda di era Barat modern mengatakan, “Yesus Kristus, relevansi, dan kebenaran abadi-Nya, akhirnya hanya tercapai dengan hati yang beriman dan berkasih. Yesus Kristus, kebenaran, selalu lebih besar dari otak manusia, meski otak itu sangat cerdas dan tajam sekalipun”. (Dr. C. Groenen Ofm). Pada akhirnya, para ilmuwan dan pemikir dituntut untuk mensubrodinasikan dan menundukkan semua pemikirannya pada teks Bible dan otoritas Gereja.

Perlu ditegaskan bahwasanya doktrin teologi Kristen tidak muncul di masa Yesus, namun beratus tahun sesudah kematiannya. Tepatnya pada tahun 325 M dalam Konsili Nicea. Konsili tersebut memilih teologi Kristen dengan cara perhitungan suara atau votting. Kaisar Romawi yang saat itu mengusulkan dan menginisiasi Konsili Nicea adalah kaisar Konstantin, yang tetap menganut paganisme dan memiliki tuhan bernama Sol Invictus, dewa matahari.

Maka kesimpulannya, trinitas merupakan hasil sinkretisme agama paganisme dan ajaran yang dibawa oleh para teolog yang saat itu menghadiri Konsili Nicea. Thomas Aquinas yang juga merupakan tokoh filsuf abad pertengahan mengatakan tentang trinitas, “Bahwa Tuhan adalah tiga dan satu hanya bisa dipahami dengan keyakinan, dan tidaklah mungkin hal ini bisa dibuktikan secara demonstratif dengan akal”. Karenanya, agama Kristen yang ada saat ini bukanlah ajaran Yesus Kristus, atau bagi umat Islam diyakini sebagai Nabi Isa as. Pemahaman tentang trinitas ini dijustifikasi dengan ucapan-ucapan para filsuf–yang juga merupakan teolog Kristen–di zaman medieval philosophy.

Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Definition List

Definition list
Consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua.
Lorem ipsum dolor sit amet
Consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua.

Theme Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.
Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

Ordered List

  1. Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.
  2. Aliquam tincidunt mauris eu risus.
  3. Vestibulum auctor dapibus neque.

Recent Posts

Unordered List

  • Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.
  • Aliquam tincidunt mauris eu risus.
  • Vestibulum auctor dapibus neque.

Sample Text

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua.

Pages

Theme Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.