SELAMAT HARI LAHIR PANCASILA



SELAMAT [MENGGUGAT] HARI LAHIR PANCASILA
(Kritik atas Relativisme Ketuhanan Pancasila)

 

Fian Sofian – Mahasiswa Prodi Bahasa dan Sastra Arab UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Umumnya, pemerintah dan sebagian masyarakat Indonesia memperingati hari kelahiran Pancasila pada tanggal 1 Juni. Maka patutlah kita bertanya, sejak kapan tanggal 1 Juni ditetapkan sebagai Hari Lahir Pancasila? Siapa penggali dan penggagas awal Pancasila? Apa dasar historis dan filosofisnya?

Melihat ke laman resmi situs-situs pemerintah (Kemenkumham, Kemenkeu dan Kemeparekraf), semuanya kompak mendasari peringatan tersebut kepada Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomer 24 Tahun 2016 yang menetapkan tanggal 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila sekaligus hari libur nasional. Ibarat grup paduan suara, kementrian-kementrian tersebut ditambah dengan media-media mainstream–yang condong dan taqlid dengan segala kebijakan beserta sejarah versi pemerintah–kompak menyatakan bahwasanya tokoh penggagas Pancasila adalah Soekarno.

Tulisan ini tak bermaksud disrupsi peran Soekarno bagi bangsa, apalagi ada upaya distorsi sejarah. Namun, tulisan ini bertujuan untuk sedikit meluruskan kronologi sejarah dan memberikan gambaran yang utuh mengenai sejarah kepada para pembaca. “Di negeri kita, sejarah bukanlah sepenuh history, tapi sudah bergeser kepada His story, pada sebuah kisah pribadi dan golongan.”

Tahun 2020 kita pernah dikejutkan oleh Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang diinisiasi oleh fraksi PDIP. Di mana pasal-pasal kontroversial tersebut mengenai pemerasan atau kristalisasi Pancasila menjadi Trisila, yang salah satu isinya adalah Ketuhanan yang Berkebudayaan. Lalu Ekasila, yang hanya menyebutkan Gotong-Royong sebagai dasar negara. Banyak kalangan menilai bahwa hal tersebut merupakan upaya sekularisasi nilai-nilai dasar negara dan sebagai bentuk Soekarnoisasi Pancasila. Rancangan tersebut memang terinspirasi dari pidato Soekarno saat sidang penentuan dasar-dasar negara. Upaya yang dilakukan fraksi PDIP menjadi preseden buruk dalam kehidupan berdemokrasi, dengan bersikap kultus kepada Soekarno dan sebagai upaya melanggengkan trah Soekarno dalam jabatan kepemimpinan di negeri ini. Di samping itu juga sebagai upaya menghilangkan peran penting tokoh lain dalam sejarah negeri ini. “Pihak pemenang akan menulis yang kalah sebagai pengkhianat, dan ketika musim berganti, maka berganti pula kisah sebuah sejarah.”

Sejarah Singkat Pancasila

Pancasila merupakan sebuah produk dari sejarah panjang bangsa ini. Maka untuk memahaminya kita harus melihat kembali peristiwa-peristiwa sejarah yang melatarbelakanginya. Mengutip perkataan Prof. Dr. Abdul Kahar Muzakkir mengenai hal ini, “Kejadian-kejadian sejarah bagi tiap negeri biasanya merupakan rangkaian yang berjalin satu dengan yang lain, sehingga susahlah kalau hendak dipungut satu kejadian saja dengan meninggalkan yang lain. Saya berkata demikian itu, karena mengenai Pancasila saja, kita tidak dapat meninggalkan kejadian-kejadian dan latar belakang sebelumnya.” Beliau merupakan salah satu dari sekian tokoh yang membidani lahirnya undang-undang dasar negara Indonesia.

Jepang yang lebih kurang sudah tiga tahun menduduki bangsa ini, memberikan janji kemerdekaan bagi segenap rakyat Nusantara. Maka dibentuklah suatu badan musyawarah untuk menyusun undang-undang dasar negara bernama Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai atau Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Pada tanggal 29 Mei 1945 Mr. Muhammad Yamin maju dalam pidato dan menghasilkan sebuah susunan yang terdiri dari lima dasar. Yaitu:

1.      Peri Kebangsaan

2.      Peri Kemanusiaan

3.      Peri Ketuhanan

4.      Peri Kerakyatan

5.      Kesejahteraan Rakyat (Keadilan Sosial)

Lalu disusul kemudian pada tanggal 1 Juni 1945 Ir. Soekarno berpidato tentang lima dasar negara yang urutannya telah dirubah dari susunan yang dibawakan oleh Mr. Muhammad Yamin. Dalam hal ini, Soekarno tidak mengeluarkan penemuan dan galian baru, beliau hanya membawakan tafsiran dan rumus baru dari yang telah disampaikan sebelumnya. Susunan tersebut adalah:

1.      Kebangsaan

2.      Kemanusiaan

3.      Demokrasi

4.      Kesejahteraan Rakyat

5.      Ketuhanan

Karena kepiawaiannya dalam berpidato tanpa teks, maka hadirin merasa terpukau dibuatnya. Maka setelah itu Pancasila (dasar yang lima) mulai dipopulerkan olehnya saat pertemuan Gerakan Pembela Pancasila di Istana Negara pada tanggal 17 Juni 1954, Dekrit Presiden di Sidang Konstituante 5 Juli 1959, kuliah umum di Istana Negara Jakarta dan UGM yang diselenggarakan oleh Liga Pancasila, dll.

Diskursus mengenai siapa penggali dan penggagas awal Pancasila masih menjadi perdebatan hangat sampai saat ini. Namun yang pasti, Mr. Muhammad Yamin lah yang terlebih dahulu melontarkan gagasan tentang lima dasar negara dalam sidang tersebut. Maka kesimpulannya tiga hari sebelum Ir. Soekarno berpidato, sudah banyak tokoh yang menelurkan gagasannya mengenai dasar negara. Namun tidak ada perbedaan yang signifikan dari setiap gagasan mereka. Bernard Johan Boland, seorang orientalis dan misionaris Kristen asal Belanda, penulis buku yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul Pergumulan Islam di Indonesia menyebutkan, “The Pancasila was in fact a creation of Yamin’s and not Soekarno’s.

Realita sejarah berikutnya bukan hanya perdebatan mengenai siapa penggali dan penggagas Pancasila, namun tafsir mengenai Pancasila pun selalu diperebutkan oleh berbagai kalangan, terlebih oleh penguasa. Otoritas penguasa selalu berusaha mendominasi tafsir tunggal mengenai Pancasila. Di Orde Lama Soekarno terbentuk Gerakan Pembela Panca Sila (GPPS) yang diinisiasi oleh seorang tokoh partai yang berkuasa saat itu (PNI), lalu ada pula Liga Pancasila sebagaimana yang telah diungkit di atas. Di zaman Orde Baru Soeharto dirumuskan Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) yang dimasukkan dalam kurikulum pendidikan tahun 1975. Lalu di tahun 1985 ada Asas Tunggal Pancasila yang diwajibkan bagi partai politik dan organisasi kemasyarakan jika ingin diakui eksistensinya oleh penguasa.

Pasca sidang BPUPK tersebut belum ada kebulatan mengenai dasar negara, maka pada tanggal 22 Juni 1945 diadakanlah perkumpulan kembali di Hokokai (Kementrian Keuangan) dengan jumlah anggota 38 orang. Pada akhir rapat itu Soekarno mengusulkan dibentuknya panitia kecil yang menyelesaikan soal dasar negara yang berjumlah 9 anggota, yang salah satu anggotanya merupakan wakil Kristen bernama A.A. Maramis. Panitia 9 tersebut pada akhirnya terus bekerja  di rumah kediaman Soekarno di jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta, sampai pukul 20.00 WIB. Dalam rapat tersebut menghasilkan suatu rumusan yang salah satunya berbunyi, “Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-Pemeluknya.” Kelak dasar ini disebut sebagai Jakarta Charter atau Piagam Jakarta.

Namun yang jelas harus kita akui, bahwa diksi Ketuhanan merupakan ide yang datang dari Muhammad Yamin dan Soekarno, terkait masalah penempatannya di mana, yang jelas sila tentang Ketuhanan ini tidak menjadi sebuah dasar yang prioritas bagi mereka. Dan diksi Ketuhanan tetap bertahan sampai saat ini. Adapun tujuh kata dalam Piagam Jakarta merupakan ide yang disumbangkan oleh para wakil umat Islam yang tergabung dalam panitia sembilan.

Namun sehari setelah diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia, tujuh kata yang tercantum dalam Piagam Jakarta dihapuskan secara sepihak, hal ini dilakukan atas desakan dan ultimatum dari pihak Kristen. Atas kejadian ini, Prof. Dr. Abdul Kahar Muzakkir mengatakan dalam pidato di Majelis Konstituante, “Saudara ketua, akan tetapi apa lacur pada tanggal 18 Agustus 1945? Semua prinsip-prinsip yang baik dan luhur itu oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan telah diubah, dicoret-coret dan dihapuskan dari Mukaddimah dan Undang-Undang Dasar. Itulah sebabnya ada orang yang mengatakan bahwa Pancasila itu dikebiri. Kalau saya tidak mengatakan demikian, akan tetapi Pancasila telah dirusak. Sebab prinsip-prinsip yang mendatangkan moral yang luhur dengan adanya Pancasila Piagam Jakarta itu telah hilang dari wujud Pancasila, yang tadinya merupakan agreement (kesepakatan bersama, pen.) itu telah dicederai dengan sengaja. Itu berarti pula bahwa perjanjian itu telah dibatalkan dengan sengaja. Itu berarti pula bahwa perjanjian itu telah dibatalkan dengan kehendak eenzijdig (sepihak, pen.). Saya katakan atas kehendak satu pihak, yaitu pihak kebangsaan.”

Prof. Kasman Singodimedjo yang juga merupakan anggota di rapat PPKI dan sidang Konstituante turut berkomentar terkait keadaan saat itu. Bahwasanya pihak non muslim tersebut pandai memanfaatkan kondisi psikologis pada waktu itu dengan melakukan lobbying agar tujuh kata dalam Piagam Jakarta dihapuskan. Pada akhirnya Ir. Soekarno menjanjikan bahwa enam bulan lagi para perwakilan tersebut akan berkumpul dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam rangka menetapkan undang-undang dasar yang lebih sempurna. Pihak Islam pun menerima keputusan saat itu dikarenakan janji yang disampaikan oleh Soekarno.

Mohammad Natsir menggambarkan peristiwa tersebut dengan menyebutkan, “Hari 17 Agustus adalah Hari Proklamasi, hari raya kita. Hari raya 18 Agustus adalah hari ultimatum dari umat Kristen Indonesia bagian Timur. Kedua-dua peristiwa itu adalah peristiwa sejarah. Kalau yang pertama kita rayakan, yang kedua sekurang-kurangnya jangan dilupakan. Menyambut hari Proklamasi 17 Agustus kita bertahmid. Menyambut hari besoknya, 18 Agustus, kita beristighfar. InsyaAllah umat Islam tidak akan lupa.”

Makna dari Sila Ketuhanan yang Tidak Bermakna

Sila Ketuhanan dari lima sila yang digagas oleh Mr. Muhammad Yamin dan Ir. Soekarno dalam pidatonya di BPUPK tidak menempati posisi prioritas dan tidak menjadi point of reference yang mana sila-sila lain mengacu dan menginduk kepadanya. Bahkan sila Ketuhanan yang digagas oleh Soekarno berada pada posisi paling akhir dan di bawah. Sila Ketuhanan yang digagas oleh mereka bukan bermakna monoteisme, bukan menunjukkan pada salah satu konsep ketuhanan yang diajarkan dalam salah satu agama yang ada, terlebih dimaknai sebagai Tauhid atau menganggap bahwa ide dan konsep tentang Tauhid ada dalam Pancasila. Muhammad Yamin dan Soekarno tidak pernah secara eksplisit menyebutkan bahwa ide mengenai Tauhid ada dalam Pancasila, atau tidak sekalipun memiliki anggapan bahwa Tauhid–yang menjadi ajaran utama dalam Islam–memiliki korelasi atau keterkaitan dengan sila Ketuhanan yang Maha Esa. Karena Ketuhanan yang dimaksud dalam sila tersebut adalah religiusiteit (religiusitas, atau suatu paham yang memiliki kepercayaan kepada suatu hal gaib yang menguasai dan mengatur hidup manusia).

Falsafah dan tafsir mengenai Ketuhanan telah dijabarkan secara panjang lebar oleh penggagasnya dalam sebuah pertemuan Gerakan Pembela Pancasila di Istana Negara pada tanggal 17 Juni 1954. Hal ini telah disebutkan oleh Mohammad Natsir pada pidatonya di sidang Konstituante. Natsir menganggap bahwa wujud Tuhan yang diinginkan oleh Soekarno bersumber dari sebuah pandangan sekuler, la diniyah. Dalam pidatonya, Soekarno mengaku bahwa ide mengenai Ketuhanan tersebut adalah hasil galiannya atas keadaan masyarakat Indonesia yang memang sudah sejak beratus-ratus bahkan beribu-ribu tahun telah memiliki religiusitas. Apa sebab? Soekarno memberikan tamtsil, bahwasanya tatkala masyarakat Indonesia (Nusantara) masih hidup dalam taraf agraria (bercocok tanam), mereka mau tidak mau membutuhkan suatu hal yang gaib tempat mereka memohon dan berharap. Soekarno insyaf, bahwasanya pada taraf tersebut belum ada istiah Ketuhanan yang Maha Esa apalagi Allah, hanya sekedar meyakini akan suatu hal yang gaib. Lantas Soekarno juga membuat sebuah tamtsil mengenai sebuah masyarakat yang telah hidup dalam taraf industrialisme, mereka banyak yang menanggalkan sikap religiusiteit-nya. Karena menurut pandangannya, jika suatu masyarakat sudah hidup dalam taraf industrialisme mereka sudah berhadapan dengan banyak sekali kepastian-kepastian. Ketuhanan bagi Soekarno bukan bersumberkan kepada wahyu atau firman Allah, melainkan sebuah paham akan adanya hal yang gaib semata. “Bagi seorang sekularis, soal Ketuhanan sampai pada soal Ketuhanan Yang Maha Esa, tak ada hubungannya dengan wahyu; baginya, soal Ketuhanan adalah ciptaan manusia yang berganti-ganti.” (Mohammad Natsir, Islam Sebagai Dasar Negara).

Nasionalis Yang Chauvinis

“Agama musuh Pancasila,” ujar Yudian Wahyudi, Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang kemudian mendapatkan pembelaan dari Kepala Staf Presiden, Moeldoko. Yudian, yang juga pernah menjabat sebagai rektor di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tersebut, menyebutkan secara eksplisit kalimat di atas tatkala ia belum lama dilantik sebagai Kepala BPIP.

Dalam pidatonya di Hut PDIP ke-44, Megawati mengulang apa yang telah disampaikan oleh Soekarno mengenai pemerasan Pancasila. Tak lupa, aroma tendensius terhadap para pemeluk agama mewarnai pidato di malam tersebut dengan diiringi riuh tepuk-tangan para hadirin. Pidato lain Megawati yang mengkritik tentang kehidupan setelah dunia fana tanpa ada dasar ilmu yang memadai. Adapula kritiknya terhadap ibu-ibu pengajian.

Lain Megawati lain Sukmawati, adiknya. Dalam sebuah diskusi yang diadakan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, ia membuat sebuah pertanyaan yang membandingkan antara Nabi Muhammad dengan Ir. Soekarno. Arah pertanyaan beliau untuk menyanggah anggapan bahwa tidak boleh menghormati orang-orang mulia di abad modern. Dari pertanyaan ini saja sudah tidak apple to apple, karena Nabi Muhammad sendiri tidak hidup di zaman modern. Lantas, mengapa hanya Soekarno yang dijadikan contoh teladan bagi bangsa ini? Di mana peran pahlawan lain, termasuk jika konteks kita adalah tentang Pancasila dan dasar negara, maka peran Soekarno tidak seberapa dibandingkan dengan para tokoh kemerdekaan lainnya. Kalaulah bukan bersumber dari ajaran Nabi Muhammad , apakah yakin Pancasila yang ada saat ini akan terisi dengan nilai-nilai mulia yang bersumber dari ajaran Islam? Atau hanya Pancasila versi Soekarno, dengan definisi Ketuhanan yang relatif, bergantung pada akal pikiran manusia?

“Djikalau kita sekarang mau berselisih, amboi, tak sukarlah mendatangkan perselisihan itu sekarang pula!” (Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi).

Narasi-narasi kebencian terhadap agama dipertontonkan oleh mereka yang mengaku Pancasilais. Mereka selalu membenturkan agama dengan nasionalisme. Soekarno yang kita akui sebagai The Founding Father negeri ini sudah jauh-jauh hari memperingatkan agar nasionalisme itu bukan berasal dari kesombongan sikap kebangsaan belaka, bukan nasionalisme yang bersifat chauvinisme, serta menganjurkan agar menjauhkan diri dari sikap sempit budi. Ia juga mengajukan pertanyaan, apa sebab banyaknya kaum nasionalis membenci orang-orang yang berkeyakinan Islamistis? Apa sebabnya kaum nasionalis berkeberatan untuk bekerja sama dengan kaum Islam? Dan di sisi lain, beliau pun mengakui bahwa Islam itu melebihi sikap kebangsaan, melampaui batas negeri dan bersifat super-nasional dan super-teritorial. Soekarno mengutip ucapan seorang nasionalis India bernama Prof. T.L. Vaswani, “Djikalau Islam menderita sakit, maka Roch kemerdekaan Timur tentulah sakit djuga; sebab makin sangatnja negeri-negeri Muslim kehilangan kemerdekaannja, makin lebih sangat imperialisme Eropah mentjekek Roch Asia. Tetapi, saja pertjaja pada Asia-sediakala; saja pertjaja bahwa Rochnja masih akan menang. Islam adalah internasional, dan djikalau Islam merdeka, maka nasionalisme kita itu adalah diperkuat oleh segenap kekuatannja iktikad internasional itu.” (Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi).

Seruan Kepada Pendukung Pancasila

Oleh: Mohammad Natsir

Saya ingin menyampaikan seruan yang sungguh-sungguh kepada saudara-saudara yang mendukung Pancasila.

Sila yang saudara maksud ada terdapat dalam Islam. Bukan sebagai pureconcepts yang steril, tetapi sebagai nilai hidup yang mempunyai substansi yang riel dan terang. Dengan menerima Islam sebagai falsafah negara, saudara-saudara pendukung Pancasila sedikitpun tidak dirugikan apa-apa. Baik sebagai pendukung Pancasila maupun sebagai orang yang beragama. Malah akan memperoleh state-philosophy yang hidup berjiwa, berisi tegas, dan menghandung kekuatan.

Tidak satu pun dari lima sila yang terumus dalam Pancasila itu, yang akan luput atau gugur, apabila saudara menerima Islam sebagai dasar negara.

Dalam Islam terdapat kaedah-kaedah yang pasti, dimana pureconcepts dari sila yang lima itu mendapat substansi yang riel, mendapat jiwa dan roh penggerak.

 

Referensi:

Husaini, Adian. Pancasila Bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam. 2009. Gema Insani Press, Jakarta.

Soekarno. Dibawah Bendera Revolusi. 1964. Panitia Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, Djakarta.

Anshari, Muhammad Isa. Mujahid Da’wah. 1964. CV. Diponegoro, Bandung.

Natsir, Mohammad. Islam sebagai Dasar Negara. 2019. Sega Arsy, Bandung.

Muhammad Isa Anshari, Kasman Singodimedjo, Abdul Kahar Muzakkir. Menuju Republik Indonesia Berdasarkan Islam. 2019. Sega Arsy, Bandung.

Baca juga:

https://attaubah-institute.com/pancasila-lahir-22-juni-1945/

https://attaubah-institute.com/soekarnoisasi-pancasila-semakin-nyata/

 


Share:

SEBUAH SINOPSIS: WAJAH PERADABAN BARAT

SEBUAH SINOPSIS: WAJAH PERADABAN BARAT

(Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal)

Bagian I

 

Fian Sofian – Mahasiswa Prodi Bahasa dan Sastra Arab UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Dr. Adian Husaini adalah penulis dari sebuah buku yang akan saya ulas kali ini, dan merupakan salah seorang pendiri Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS), sebuah lembaga pendidikan yang bergerak pada penelitan dan pengajaran tentang sejarah, pemikiran dan peradaban Islam. Sudah banyak sekali tulisan dan judul buku yang beliau hasilkan, dan beberapa di antaranya telah saya miliki. Di antaranya, Pancasila Bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam (2009), Islam Liberal Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya (2002), Islam Liberal, Pluralisme Agama & Diabolisme Agama (2005), dan yang terakhir adalah buku ini, Wajah Peradaban Barat Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal (2005).

Buku ini diterbitkan oleh Gema Insani Press, dengan ukuran yang cukup besar dan terdiri dari 415 halaman lebih. Dengan hard cover, semakin menambah “gagah” tampilan buku ini. Tujuan saya menuliskan sinopsis buku ini dalam rangka membantu para pecinta literasi–terlebih yang berkenaan dengan tema-tema pemikiran dan ghazwah al-fikr atau perang pemikiran–untuk lebih mudah dalam memahami isi dari buku ini secara singkat. Dan pastinya saya berharap untuk para pembaca bisa langsung merujuk kepada buku tersebut dan menggali faidah darinya.

Buku ini diberi pengantar oleh Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud. Dalam paragraf ketiga dari pengantarnya tersebut, beliau melemparkan sebuah pertanyaan yang dinisbatkan kepada umat Islam dan pengamat budaya Barat (oksidentalis). Mengapa hanya Islam dan umat Islam saja yang menjadi target kolonialisme dan kritikan Barat, ketimbang agama dan umat lain? Ia pun membawakan argumentasi dari Syed Muhammad Naquib al-Attas untuk menjawab soalan-soalan di atas.

Berikut jawabannya:

1. Kebangkitan Islam dalam pentas sejarah menjadi penantang agama Kristen.

2. Al-Qur’an menggugat dasar teologis Kristen mengenai konsep trinitas.

3. Al-Qur’an menjelaskan tentang tingkah laku pemuka agama Yahudi yang gemar mendistorsi ajarannya.

4. Islam mengubah kehidupan Barat dari segala aspek.

5. Meluasnya pengaruh Islam di bekas kekuasaan imperium Barat.

6. Konsep tajdid (pembaharuan) dalam Islam memiliki potensi menantang hegemoni kebudayaan Barat.

Penulis memulai pengantarnya dengan menjelaskan landasan epistemologi Barat dan Islam. Barat masih memiliki rasa trauma terhadap agama (Kristen). Karenanya tatkala Islam tampil, maka Islam lah yang menjadi bulan-bulanan kebencian mereka. Barat saat ini–yang menurut penulis berasal dari Christendom menuju pada kehidupan sekuler dan liberal–membangun program Islamic Studies yang mengacu pada epistemologi filsafat posmodern, bukan berdasarkan epistemologi Islam dan perspektif para tokoh-tokoh teolog Islam yang kompeten. Meski pun begitu, keunggulan mereka dalam hal pendidikan dan penelitian di bidang ini cukup diakui, terlebih fasilitas lengkap dan memadai turut memanjakan kehidupan para pelajar di sana. Hal ini wajar, karena memang mereka sudah mempersiapkannya selama beratus tahun.

Dengan pendidikan keislaman yang difasilitasi oleh universitas-universitas ternama di sana, lahirlah banyak intelektual yang meneliti masalah keislaman, atau yang sering disebut dengan istilah orientalis. Mengacu pada pengertian etimologisnya, orientalisme adalah suatu bidang yang meneliti masalah ketimuran. Namun definisinya bergeser menjadi suatu bidang yang meneliti masalah Islam dan umat Islam. Hal ini disadari Barat, dikarenakan memang Islam terlahir dan mendominasi di Timur, sekaligus menjadi penantang hegemoni Kristen yang banyak tersebar di Barat. Seiring perjalanannya, ada perbedaan metode dan praktik para orientalisme klasik dan modern. Kalau di zaman klasik cara mereka cukup frontal dan konfrontatif, bahkan tak segan-segan membuat kalimat-kalimat umpatan terhadap Nabi Muhammad . Kini cara mereka berubah dengan pendekatan dan pemilihan kata-kata yang seolah-olah ilmiah, namun tujuan mereka tetap sama, yaitu untuk mendekonstruksi agama Islam.

Di bagian pertama buku ini, penulis langsung menohok pada praktik homoseksualitas di Barat, yang sudah mendapatkan legitimasi dan justifikasi dari otoritas Gereja. Bahkan penulis juga membeberkan bukti bahwa pihak Gereja di Barat memiliki seorang uskup yang juga sebagai pelaku homoseks. Tentunya hal ini semakin menambah legalitas kehidupan para penganut LGBT di sana. Bagi Barat, nilai-nilai absolutisme dan fundamentalisme berdasarkan agama harus dilawan, dan standar penilaian adalah manusia. Selama apa yang dilakukan manusia tidak merugikan pihak lain, maka perbuatan tersebut legal.

Selain homoseksualitas, penulis juga membahas mengenai gender equality. Barat di zaman dark ages sampai menjelang zaman renaissance (re-birth, enlightenment atau pencerahan) masih menganggap wanita adalah jelmaan setan. Karenanya, 85% wanita menjadi korban praktik inkuisisi yang teramat keji dan biadab. Inkuisisi merupakan institusi hukum yang dibuat oleh gereja untuk menghukum siapa saja yang menyimpang dari ajaran gereja (heresy), dan memiliki banyak sekali alat siksaan yang di luar batas kemanusiaan.

Terkait masalah gender equality yang digaungkan Barat, hal ini bukan hanya imbas dari sikap gereja yang patriarkis dan misoginis, bahkan lebih dari itu gereja amat memusuhi kaum wanita. Kita lihat saja definisi feminis secara etimologis, artinya adalah fe+minus, kurang iman. Barat di zaman dominasi gereja memang menganggap wanita itu kurang imannya, bahkan jelmaan setan. Lantas lucunya, para wanita di zaman sekarang banyak terpengaruh ideologi Barat yang sekuler dan liberal menjuluki diri mereka sebagai kaum feminis. Tak sampai disitu, ada pula kalangan pria yang cukup ditokohkan malah menjuluki dirinya sebagai pembela kaum feminis atau tokoh feminisme. Apakah artinya julukan tersebut meng”amin”i dan setuju dengan para tokoh-tokoh gereja di zaman kegelapan, bahwa memang wanita itu fe+minus, kurang iman?

Semangat kebebasan sampai detik ini selalu memakai kedok dan alasan bahwa agama itu mengekang kebebasan manusia, agama bersikap patriarkis terhadap wanita, kaum wanita tidak diberikan hak-haknya. Namun sialnya, praktik kebebasan yang digaungkan kaum feminis justru menciderai kehormatan wanita itu sendiri. Kita tentu tahu ajang ratu kecantikan dunia. Apakah fokus kegiatan tersebut mencari bakat intelektualitas kaum wanita dan kontribusi mereka di tengah masyarakat, atau kah mencari kecantikan dan tubuh semampai wanita? Kita tentu tahu, mereka diarahkan untuk lebih peduli dengan perkara sosial dan pendidikan di tengah kegiatan tersebut. Namun tetap saja, kegiatan tersebut membuat stereotip bahwa ukuran kecantikan wanita itu dari kulit yang mulus, tubuh tinggi semampai dan standar-standar yang bersifat fisik lainnya.

Kebalikannya, Islam dari awal kemunculannya tentu tidak begitu. Tak pernah ada dalam kamus Islam menjadikan wanita sebagai objek pelampiasan hawa nafsu, terlebih lagi menyebut mereka sebagai jelmaan setan. Bahkan tentang hukum perbudakan dalam Islam, yang selama ini menjadi asumsi bahwa Islam memperbudak wanita, pada hakikatnya justru memperbaiki nasib para budak. Terlebih lagi jika budak tersebut adalah wanita. Maka dengan datangnya syari’at Islam, justru hukum dan status budak wanita lebih dipertegas dan diberikan hak-haknya secara penuh. Bahkan wajib bagi si tuan untuk memberikan nafkah, tempat tinggal dan pakaian yang layak bagi wanita budak tersebut. Tak berbeda dengan isteri yang dinikahinya. Lebih-lebih lagi jika wanita budak tersebut melahirkan anaknya, maka statusnya berubah menjadi ummu al-walad. Ini sangat berbeda dengan perbudakan di zaman sebelum Islam yang cendrung berlaku diskriminatif dan tak memanusiakan wanita. Wanita hanya jadi objek pemuas para pria pada zaman jahiliyyah. Lihat, Milkul Yamin dalam Pandangan Syariat.

Masih di bagian pertama dalam bukunya, penulis mengajukan pertanyaan mengapa Barat menjadi sekuler dan liberal? Setidaknya ada tiga faktor yang melandasinya. Pertama, problem Sejarah Kristen. Barat memilik trauma terhadap hegemoni Kristen di zaman kegelapan. Kalau kita merujuk pada buku-buku sejarah filsafat di abad pertengahan, maka kita akan mengetahui bahwa corak filsafat pada abad tersebut bukanlah akal murni, melainkan dogma-dogma gereja. Terlebih pada saat itu, gereja memegang kendali penuh dalam sebuah negara. Kedua, problem Barat atas teks Bible. Hal ini tentu terkait otentisitas Bible, dan siapakah penulisnya? Ketiga, Barat kebingungan dalam menentukan status ketuhanan Yesus. Doktrin trinitas bukan berasal dari ajaran Yesus (Isa as.), melainkan hasil Konsili Nicea yang digagas oleh Kaisar Konstantin, seorang pemimpin imperium Romawi, di mana masih tersebar paganisme di negeri tersebut. Untuk ulasannya sebagai berikut.

Pertama, Problem Sejarah Kristen

Barat trauma terhadap agama (Kristen). Religion bagi Barat bermakna inkuisisi, tahayul, lemah semangat, dogmatis, munafik, benar sendiri, kekakuan, kekasaran dll. Karenanya banyak yang menyebut zaman ini sebagai dark ages (zaman kegelapan).

Tatkala imperium Romawi runtuh pada tahun 476 M, maka gereja–yang sebelumnya sudah menjadi agama resmi–muncul sebagai kekuatan tunggal dan dominan yang mengatur sebuah negara peninggalan Romawi tersebut. Posisi keagamaan yang dipegang Paus, lebih tinggi dari jabatan kepemimpinan seorang Kaisar. Institusi gereja bisa mengangkat dan menjatuhkan seorang pemimpin negara saat itu. Di zaman ini pula lahir inkuisisi,  sebuah institusi hukum yang digunakan untuk menghukum siapa saja yang menyimpang dari dogma gereja. Karen Amstrong, seorang mantan biarawati dan penulis terkenal menyebutkan dalam bukunya berjudul Holy War: The Crusades and Their Impact on Today’s World, bahwa inkuisisi merupakan institusi hukum  buatan Kristen yang paling jahat dan merupakan instrumen teror dalam gereja Katolik dan Protestan atas mereka-mereka yang berbeda dalam hal pemahaman tentang dogma agama.

Doktrin bahwa jabatan kepausan datang langsung dari Tuhan dan memiliki otoritas dalam hal pengampunan, menjadi alasan untuk menghukum siapa saja yang menentang dogma gereja. Bahkan tak sampai di situ, praktik jual beli surat pengampunan dosa pun pernah terjadi di Barat. Hal ini tentu yang mendorong Martin Luther, seorang teolog berkebangsaan Jerman untuk melakukan pemberontakan terhadap institusi tersebut. Sampai pada akhirnya muncul revolusi Prancis di abad ke-18 M yang melahirkan sikap anti pemuka agama.

Trauma Barat terhadap sejarah pendahulu mereka, melahirkan sikap yang antipati terhadap agama dan melahirkan apa yang disebut saat ini sebagai sekularisme, sebuah paham yang memisahkan antara agama dan kehidupan negara. Agama adalah urusan pribadi, tidak boleh mengatur kehidupan suatu masyarakat. Dan paham ini sudah tersebar di seluruh dunia, bahkan di negara yang konon kabarnya menjadi mayoritas dalam memeluk agama tertentu.

Kedua, Otentisitas Bible

Para teolog di Barat tidak tahu siapa penulis Bible. Tak ada dokumen Bible yang original, dan bahan-bahan yang ada pun bermacam-macam dan saling kontradiksi satu sama lain. Oleh karenanya banyak terjadi perbedaan dalam penerjemahan, sehingga menimbulkan masalah dalam penafsiran. Ada sekitar 5 ribu manuskrip Bible dalam bahasa Greek. Norman Daniel, salah seorang orientalis penulis buku berjudul Islam and West: The Making of an Image mengatakan, “The Qur’an has no parallel outside Islam”. Al-Qur’an memang tidak ada bandingannya dengan kitab mana pun di luar agama Islam.

Metode hermeneutika digunakan oleh Barat untuk memahami dan melakukan kritik historis terhadap Bible. Dan pada saat ini metode hermeneutika diadopsi oleh sebagian besar Perguruan Tinggi Keagaaman Islam Negeri (PTKIN) di Indonesia dalam mempelajari al-Qur’an. Maka tidak heran, ada saja di antara mereka yang menganut metode ini memiliki anggapan bahwa al-Qur’an itu profan (tidak sakral), merupakan al-muntaj al-tsaqafi (produk budaya) manusia, isinya mengalami perubahan di zaman sahabat, dan tentunya al-Qur’an dapat dikiritik dan digugat secara bebas oleh siapa pun. Inilah salah satu hasil dari budaya Barat dalam menyikapi Bible dan kini diadopsi oleh sebagian orang yang mengaku intelektual Islam.

Ketiga, Problem Teologis

Tuhan itu satu adalah tiga dan tiga adalah satu, pastinya hal ini akan membingungkan akal manusia. Hal ini berkaitan dengan konsep teologis Kristen. Namun kerumitan ini disikapi secara pragmatis bahkan oleh para teolog mereka. Sebutlah saja Saint Anselmus, yang merupakan tokoh filsafat abad pertengahan sekaligus seorang teolog Kristen, membuat sebuah doktrin yang sampai saat ini bahkan masih dianut oleh mereka yang menuhankan Yesus. Credo ut intelligam, I believe in order to understand, saya percaya terlebih dahulu, barulah nanti akan mengerti.

Seorang teolog besar Belanda di era Barat modern mengatakan, “Yesus Kristus, relevansi, dan kebenaran abadi-Nya, akhirnya hanya tercapai dengan hati yang beriman dan berkasih. Yesus Kristus, kebenaran, selalu lebih besar dari otak manusia, meski otak itu sangat cerdas dan tajam sekalipun”. (Dr. C. Groenen Ofm). Pada akhirnya, para ilmuwan dan pemikir dituntut untuk mensubrodinasikan dan menundukkan semua pemikirannya pada teks Bible dan otoritas Gereja.

Perlu ditegaskan bahwasanya doktrin teologi Kristen tidak muncul di masa Yesus, namun beratus tahun sesudah kematiannya. Tepatnya pada tahun 325 M dalam Konsili Nicea. Konsili tersebut memilih teologi Kristen dengan cara perhitungan suara atau votting. Kaisar Romawi yang saat itu mengusulkan dan menginisiasi Konsili Nicea adalah kaisar Konstantin, yang tetap menganut paganisme dan memiliki tuhan bernama Sol Invictus, dewa matahari.

Maka kesimpulannya, trinitas merupakan hasil sinkretisme agama paganisme dan ajaran yang dibawa oleh para teolog yang saat itu menghadiri Konsili Nicea. Thomas Aquinas yang juga merupakan tokoh filsuf abad pertengahan mengatakan tentang trinitas, “Bahwa Tuhan adalah tiga dan satu hanya bisa dipahami dengan keyakinan, dan tidaklah mungkin hal ini bisa dibuktikan secara demonstratif dengan akal”. Karenanya, agama Kristen yang ada saat ini bukanlah ajaran Yesus Kristus, atau bagi umat Islam diyakini sebagai Nabi Isa as. Pemahaman tentang trinitas ini dijustifikasi dengan ucapan-ucapan para filsuf–yang juga merupakan teolog Kristen–di zaman medieval philosophy.

Share:

BINCANG FILSAFAT RELATIVISME DAN AGAMA

 Fian Sofian – Mahasiswa Prodi Bahasa dan Sastra Arab UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Berikut Definisi Relativisme dari Orang yang Berdiskusi dengan Saya

“Lalu, ada lagi yang membuat kebenaran itu menjadi relatif. Jika kita tidak memiliki informasi sebelumnya, maka jawabannya pun akan cenderung relatif (karena nebak)”.

“Jawaban yang akan muncul jika menanyakan pada yang bukan pelaku utamanya akan menimbulkan pendapat relatif. Pendapat relatif disebabkan karena kita tidak bisa meraih informasi asli dari sang pelaku utama, atau kita tidak mengantongi informasi dari yang melakukan langsung. Sama kasusnya dengan pertanyaan “Asal Muasal Bumi”, maka jawabannya akan relatif”. Ini sudah terjawab, namun tetap saya kutipkan di sini.

“Celakanya, hukum relatif ini sering menyerang hal-hal abstrak dalam agama, terutama bagian ketuhanan dan kebenaran agama”.

 

Juga Definisinya Tentang Wujud Ketuhanan dan Perkara Metafisik

“Tentu yang abstrak juga, siapa... Yakni Tuhan. Tuhan dari agama yang mana? Agama yang benar, seperti apa agama yang benar itu? Agama yang mampu memuaskan akal dan hati manusia”.

“Ruang bisa diukur, seberapa lebar. Waktu bisa diukur, seberapa panjang. Bau kentut bisa diukur, seberapa harum, seberapa kuat ledakannya, dan seberapa cepat penyebaran racunnya. Angin pun bisa diukur, seberapa cepat berhembus dalam skala breeze. Kausalitas, bisa diukur seberapa besar dampak dan resikonya. Kenapa dikatakan bisa diukur? Karena ada bagian yang ditangkap oleh indra, ada variabel yang tersedia untuk diteliti”.

 

Berikut Jawaban dan Tanggapan Saya

Bentuk ontologis ruang, waktu dan kentut itu seperti apa? Kan saya bertanya tentang wujudnya, serta menuntut harus bisa dibuktikan seluruh indera manusia? Kenapa contoh-contoh di atas saya tanyakan? Hal itu dalam rangka menyikapi pernyataan bahwa “hukum relatif sering menyerang hal-hal abstrak dalam agama, terutama bagian ketuhanan dan kebenaran agama”. Sejak kapan bagian ketuhanan dalam agama dianggap abstrak? Definisi abstrak itu apa? Salah satunya menurut KBBI itu tidak berwujud. Lho, kok bisa-bisanya seorang yang mengaku muslim menganggap ketuhanan sebagai suatu yang abstrak (tidak berwujud)? Lalu apa artinya ucapan Imam al-Sanusi al-Hasani yang merupakan tokoh terkenal penganut madzhab teologi Syafi’iyyah yang sampai saat ini dijadikan dasar pegangan tentang sifat-sifat ketuhanan yang 20 oleh sebagian masyarakat Indonesia yang bermadzhab Syafi’iyyah Asy’ariyyah? Yaitu Wujud. Bahkan tak hanya itu, Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari pun–setelah meninggalkan madzhab teologi Mu’tazilah–menetapkan sifat ketuhanan yang 7; al-Hayah, al-Ilmu, al-Iradah, al-Qudrah, al-Sama’, al-Bashar dan al-Kalam. Apakah sifat-sifat tersebut tidak cukup merepresentasikan tentang wujud Tuhan? Padahal Imam Abu al-Hasan merupakan mantan penganut Mu’tazilah selama berpuluh-puluh tahun. Masih sehat kah akal dan pikiran kita jika menganggap bagian ketuhanan itu abstrak?

Kembali lagi, saya memberikan antithesis dengan beberapa hal metafisik seperti di atas, yang pasti tidak memiliki bentuk ontologis. Contohnya waktu, ruang, bahkan kentut dll. Semua hal ini kita percayai ada dalam kehidupan kita sehari-hari, namun siapa dari kita yang bisa menentukan bentuk ontologis dari hal-hal tersebut? Pun dengan keimanan kepada Tuhan (Allah Swt), apakah harus ada wujudnya dulu baru kita beriman? Sehatkah jiwa dan pikiran kita jika menuntut wujud Allah terlebih dahulu, baru setelah itu kita beriman kepada-Nya? Sementara terhadap waktu, ruang dll kita sudah meyakini keberadaannya. Lho, ini keimanan kepada Tuhan seolah-olah lebih rendah ketimbang hal-hal tersebut.  Menyandingkan ketuhanan dengan sesuatu di bawahnya saja sudah tidak etis, apalagi menganggap rendah ketuhanan dibanding hal-hal tsb? Ada sebuah syair berbahasa Arab,


أَلَمْ تَرَ أَنَّ السَّيْفَ يَنْقُصُ قَدْرُهُ إِذَا قِيْلَ إِنَّ السَّيْفَ أَمْضَى مِنَ الْعَصَا

“Tahukah bahwasanya sebilah pedang itu akan turun derajatnya, kalau dikatakan bahwa pedang itu lebih tajam dari pada tongkat”.

Diskusi pun semakin melebar, sampai kepada bahasan tentang definisi filsafat dan cirinya. Saya mengutip ucapan Thales, “What is the nature of the world stuff?”. Hal tersebut saya ajukan, karena saya merasa pembahasan kita tentang definisi filsafat dan segala cabangnya sudah menyimpang jauh. Maka sebelum diskusi semakin jauh menyimpang, saya ingin mengajak dan mengingatkan yang bersangkutan tentang tema-tema awal pembahasan filsafat. Namun yang bersangkutan turut menanggapi kembali, “Apa asal-usul dari benda-benda yang ada di dunia?”, begini bunyi terjemahannya (InsyaAllah relevan terjemahannya)”.

Sejujurnya, substansi dari kutipan saya tersebut tidak mau masuk ke ranah semantik, saya hanya sekedar mengingatkan tentang ciri utama dari filsafat, berupa pertanyaan yang berbobot seperti yang diajukan Thales tersebut. Maka untuk menanggapinya, saya bawakan terjemahan dari buku Filsafat Umum karya Ahmad Tafsir, “Apa sebenarnya bahan alam semesta ini? Indra tidak dapat menjawabnya, sains juga terdiam. Filosof menjawabnya. Thales menjawabnya, air. Jawaban itu (air itu) sungguh belum memuaskan, tetapi ia mendasari jawabannya dengan dasar yang lumayan. Katanya water is the basic principle of the universe. Prinsip dasar alam semesta adalah air karena air dapat berubah menjadi berbagai ujud”.

Pertanyaan Thales sangat wajar, bahkan memiliki nilai bobot yang tinggi. Karena pada hakikatnya filsafat itu muncul dari dua keadaan; penolakan terhadap mitologi (terutama mitologi Yunani), dan muncul karena rasa takjub sehingga memantik pertanyaan.

Adapun mengenai pertanyaan “Apa rasa gula?”, dapat dijawab oleh lidah. Dan pertanyaan lain yang senada pun akan terjawab oleh riset dan pengamatan. “Pertanyaan yang dalam, yang ultimate, yang bobotnya berat, itulah yang akan menimbulkan filsafat bila jawabannya diberikan secara serius”, ujar Ahmad Tafsir.

Maka pertanyaan-pertanyaan yang remeh-temeh dan tidak berbobot seperti contoh berikut,
“Kenapa kita disuruh berpuasa di Bulan Ramadhan”. Atau, “Mengapa saya terlahir sebagai orang Indonesia?”. Ya, meskipun pertanyaan ini bukan imajiner menurut pengakuannya, namun contoh-contoh pertanyaan tak berbobot seperti ini tak layak dihidangkan dalam diskusi filsafat yang berkualitas. Ajukan saja pertanyaan tersebut kepada orangtua anda, mengapa ketika dia melahirkan anda tidak sedang vacation ke Swiss atau umrah ke Mekkah? “Kalau mau dijawab kadang bisa menimbulkan pendapat relatif”, tutupnya. Lagi-lagi, hal ini dihubungkan dengan definisi relativisme.

Rasanya kita berada di zaman degradasi intelektual, contoh-contoh kasus dan pertanyaan yang tidak berbobot dijadikan pembahasan dalam filsafat. Seharusnya ada filterisasi mengenai mana pertanyaan yang berbobot dan mana pertanyaan yang remeh-temeh. Agar ketika diskusi berlangsung, tidak lantas menjadi debat kusir dan terjadi penumpukkan argumen-argumen yang kualitasnya rendah. Saya menyarankan agar membaca tulisan Mohammad Natsir, berjudul Rasionalisme dalam Islam dan Reaksi Atasnya. Dalam karyanya tersebut, Nastir memberikan apresiasi terhadap golongan Mu’tazilah dan menjulukinya–dengan mengutip para sejarawan Barat–sebagai “Rasionalisme” dalam Islam. Beliau sengaja memberikan tanda kutip dua, karena beranggapan bahwa rasionalisme yang dikenal di Barat berbeda hakikat dengan keyakinan kaum Mu’tazilah. Hal ini terkonfirmasi ketika saya membaca buku berjudul Mawaqif, Beriman dengan Akal Budi karya Henri Salahuddin, Ph.D. Henri menjelaskan bahwa pandangan Mu’tazilah tentang sifat ketuhanan, takdir dan status al-Qur’an dalam rangka al-tanzih (mensucikan Tuhan) dari hal-hal yang tidak layak dan menjauhkan dari perkara-perkara yang berpotensi akan melemahkan ke-Maha Esaan Tuhan. Dan mereka mengklaim ajaran mereka sebagai bentuk kepedulian intelektual–berdasarkan nilai-nilai filosofis dan rasional–demi mengokohkan makna Tauhid.

Masalah-masalah yang penting–begitu ungkap Natsir–menjadi pusat perbincangan kaum Mu’tazilah seperti sifat-sifat Tuhan, qadha dan qadar dan status Al-Qur’an apakah dia makhluk atau bukan. Tulisan yang diketahui terbit di majalah Al-Manar pada tahun 1939 ini diketahui sebagai antithesis bagi tulisan-tulisan Soekarno yang saat itu tengah gandrung dengan iklim politik dan budaya Turki Muda dan memiliki keinginan kuat untuk mengimpornya ke negeri ini. Semangat tersebut ia tuangkan dalam tulisannya yang kontroversial, sebagaimana terkonfirmasi dalam judulnya Islam Sontoloyo.

Dari paparan di atas terlihat, bahwa masalah-masalah yang diributkan pada saat tersebut merupakan masalah yang memang menjadi konsumsi sehari-hari masyarakat muslim Nusantara. Terkait dengan masalah ibadah dan praktek sebagian besar kaum muslimin yang dia juluki kepala batu dan sontoloyo. Namun sikap sinis dan tendensius lebih dominan ditampilkan oleh Bung Besar. Maka dengan jeniusnya, Natsir membuat bantahan-bantahan ilmiah yang kaya akan referensi ilmiah, termasuk menggunakan ilmu-ilmu filsafat Barat dan cabangnya, beserta pemaparan sejarah dalam khazanah peradaban Islam.

Maka saya yakin telah terjadi degradasi intelektual, karena pada zaman ini kaum mudanya tidak mampu memberikan argumentasi dengan dalil-dalil dari ucapan para filsuf dan tokoh-tokohnya dari Barat. Sedangkan bidang bahasan dan kajian mereka adalah filsafat Barat. Namun argumentasinya kosong, hanya sekedar pendapat mereka yang tak bersandar pada ucapan tokoh manapun, juga tidak mengutip buku apapun.

Karena diskusi awal adalah tentang relativisme, maka apa yang dijabarkan sama sekali tidak memiliki definisi yang selama ini umum diketahui oleh para ilmuwan dari Barat maupun dari Timur, dalam hal ini para intelektual muslim. Bahkan untuk sekedar membuat pernyataan “Penyebab sesuatu menjadi relative, “ketiadaan informasi langsung  yang menjabarkan secara lugas dan pasti”, inipun tidak memiliki dasar sama sekali. Hanya asumsi dan pemahaman pribadi yang bersumber dari buku-buku kesehatan, jurnal psikologi dll yang sama sekali tidak ada korelasinya dengan salah satu madzhab dalam filsafat yang sedang dibahas.

Lalu berikutnya, ia mulai menghubungkan relativisme dengan agama. Padahal para orientalis Barat yang selama ini mengkaji masalah agama (Islam), mereka berpegang teguh pada madzhab relativisme dalam menjalankan misi mereka. Dan lagi-lagi, ucapan para ilmuan Barat sama sekali tidak seperti yang ia ucapkan seperti di bawah ini,

“Nah, orang yang menganggap agama itu relatif juga bersandar dari temuannya bahwa ternyata setiap agama itu mengajarkan kebaikan, gak ada agama yang mengajarkan untuk nyolong uang di Bank kan. Makanya mereka berbendapat kebenaran agama itu relatif, karena ada beberapa opsi yang berterima dan masuk akal. Meski mereka juga masih bingung mana yang bener, karena masing-masing punya klaim kebenaran sendiri. Akhirnya, kebenaran agama menjadi relatif dan benar bagi para penganutnya”.

Yang saya inginkan, kalau hendak membuat sebuah pernyataan harus diperjelas kembali apakah pernyataan tersebut sekedar asumsi dan pemahaman pribadi, atau sekedar hasil merangkai kata-kata yang disandarkan pada bacaan-bacaan selama ini–yang mana kemungkinan kesalahan interpretasi dari bacaan tersebut sangat tinggi, terlebih lagi membaca buku dan jurnal yang bidang pembahasannya tidak memiliki korelasi sama sekali dengan bahasan–, ataukah mengutip dari para tokoh yang memang concern di bidang tersebut? Kalau yang saya pahami bahwa dalam menjelaskan dan menjalankan agama itu bersikap tauqifiyyah, berhenti pada batasan-batasan syari’at yang ada dan harus ada dalil yang mendukung, maka kiranya begitupun ketika kita memasuki sebuah bidang ilmu tertentu, meskipun tak ada batasan aturan yang baku, setidaknya seseorang itu bisa membawakan “dalil” argumentasi dari tokoh terkemuka yang diakui. Bukan sekedar asumsi pribadi.

 

Berikut Kutipan Beberapa Tokoh Mengenai Definisi Relativisme

“No view is true, or that all views are equally true”. (Lihat, Oxford Dictionary of Philosophy).

“Memang dalam doktrin postmodernisme yang amat relativistik dan nihilistik sebagai ciri khasnya, menghapus otoritas, juga maksud asli dari suatu teks (maqashid al-nash) dihilangkan; tidak perlu diutamakan. Untuk itu, semua makna harus dibongkar dan dimaknai ulang.” (Hamid Fahmy Zarkasyi).

Dalam bukunya, An Interpretation of Religion, John Hick menyatakan bahwa kebenaran itu relatif, yang absolut hanya Tuhan. Oleh sebab itu, manusia tidak akan pernah mampu memahami Tuhan. Apa yang dipahami manusia mengenai Tuhan hanyalah bersifat relatif.

Mengenai relativisme dalam tafsir al-Qur’an, Ahmad Syafii Maarif dan Nasr Hamd Abu Zaid mengatakan bahwa penafasiran al-Qur’an itu nisbi ketika ia berinteraksi dengan akal manusia, sementara kemutlakannya tatkala ia menjadi teks keagamaan dari sisi lafazhnya, hanya ada di alam metafisika (lauh al-mahfuz). Bisa kita lihat, agama memang menjadi objek seksi relativisme. Dan ucapan kedua tokoh muslim ini senada dengan tokoh besar pluralisme agama dengan teori global theology-nya.

“Sebab definisi ilmu dalam Islam adalah sifat yang dapat menyingkap suatu objek, sehingga tidak menyisakan ruang keraguan; dan berakhir pada keyakinan. Sementara relativisme selalu bermuara pada kebingungan”. (Henri Salahuddin)

“Gagasan negara yang netral agama, dengan berbasis kepada relativisme tafsir dan relativisme kebenaran, pada hakikatnya juga sebuah ide yang sangat naif dan tidak realistis”. (Adian Husaini)

Lihat pula ucapan Arnold Toynbee, seorang sejarawan Inggris yang menghubungkan pemahaman tentang agama dengan relativisme. Maka kesimpulannya, relativisme itu membawa pada pluralisme agama, mendekonstruksi agama dan membawa manusia pada kebingungan. Lihat, BINCANG MASALAH PLURALISME DAN STUDI PERBANDINGAN AGAMA

Ernest Gellner mengatakan mengenai ciri-ciri posmodernisme, “Segala sesuatu adalah teks, materi  dasar teks, termasuk masyarakat atau apapun juga adalah arti, dan arti-arti itu harus didekonstruksikan, pernyataan tentang realitas objektif harus diragukan”.

Arti dekonstruksi yang dimaksud Derrida adalah bahwa dalam mendekati suatu teks, kita harus skeptis dan maksud penulis teks tidak perlu diutamakan, yang ada tidak lebih dari kesempatan untuk menafsirkan atau mengomentari teks secara bebas.

Pada dasarnya, posmodernisme selalu menjadikan fundamentalisme sebagai musuh utamanya. Dan di zaman posmodern lahirlah relativisme, nihilisme, yang akan berwujud menjadi monster pluralisme agama.

 

 

Referensi:
Thoha, Anis Malik. Tren Pluralisme Agama. 2021. INSISTS, Jakarta.

Kumpulan Esai. Rasional Tanpa Menjadi Liberal. 2021. INSISTS, Jakarta.

Natsir, Mohammad. Islam dan Akal Merdeka. 2018. Sega Arsy, Bandung.

Tim Ulin Nuha Ma’had Aly An-Nur. Dirasatul Firaq. 2010. Pustaka Arafah, Solo.

Salahuddin, Henri. Mawaqif Beriman dengan Akal Budi. 2019. INSISTS, Jakarta.

Nuruddin, Muhammad. Logical Fallacy. 2022. Keira Publishing, Depok.

Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum. 2021. Rosda, Bandung.

Share:

Definition List

Definition list
Consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua.
Lorem ipsum dolor sit amet
Consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua.

Theme Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.
Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

Ordered List

  1. Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.
  2. Aliquam tincidunt mauris eu risus.
  3. Vestibulum auctor dapibus neque.

Recent Posts

Unordered List

  • Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.
  • Aliquam tincidunt mauris eu risus.
  • Vestibulum auctor dapibus neque.

Sample Text

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua.

Pages

Theme Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.