NEGARA PASUNDAN vs RI: Kebijakan Politik dan Kepastian Hukum Terhadap Umat Islam
Kartini dan Sejarah Feminisme di Indonesia
Oleh: Dr. Tiar Anwar Bachtiar
KATA "EMANSIPASI WANITA" sudah menjadi kata-kata klise di negeri ini. Paling tidak kata-kata ini dikenal sejak Armijn Pane menerjemahkan surat-menyurat Kartini dengan teman-teman Belandanya, Door Dusternis tot Licht (1910), yang dia beri judul Habis Gelap Terbitlah Terang pada tahun 1922. Buku ini menginspirasi kalangan pejuang kemerdekaan Indonesia untuk menyemangati agar kaum wanita pun turut serta berjuang menegakkan kemerdekaan negeri ini.
Dalam surat-suratnya, Kartini memang menceritakan apa adanya yang dialami para wanita priyayi di Jawa. Misalnya, dia mengisahkan tentang adat istiadat yang mengurung dirinya.
"Kami, anak-anak perempuan yang terantai dengan adat istiadat lama, hanya boleh memanfaatkan sedikit saja dari kemajuan di bidang pengajaran itu. Bahwa sebagai anak perempuan, setiap hari pergi meninggalkan rumah untuk belajar di sekolah, sudah merupakan pelanggaran besar terhadap adat kebiasaan negeri kami. Ketahuilah, adat negeri kami melarang keras gadis-gadis keluar rumah. Pergi ke tempat lain kami tidak boleh... . Pada usia 12 tahun saya harus tinggal di rumah. Saya harus masuk "kotak", dikurung di dalam rumah, sama sekali terasing dari dunia luar..."
Cerita-cerita Kartini hampir sepanjang bukunya itulah yang kemudian menjadi asumsi bahwa nasib para wanita di Indonesia pada umumnya seperti itu hingga kesimpulannya adalah bahwa wanita Indonesia harus dikasihani. Emansipasi wanita adalah suatu keharusan.
Dalam kasus Kartini bisa saja dia memang diperlakukan seperti itu. Namun, apakah dapat dianggap bahwa semua wanita di masanya diperlakukan seperti yang dialami Kartini? Apakah Kartini berani menjamin klaimnya bahwa adat di negeri ini (adat Timur) memperlakukan para wanita seperti itu adalah benar? Jangan-jangan kasus itu hanya menimpa Kartini; atau hanya dialami kaum priyayi seperti Kartini. Pertanyaan ini wajar diajukan mengingat banyak indikasi yang akhirnya harus menggugurkan klaim berlebihan Kartini mengenai perlakuan terhadap kaum wanita.
Sejarah Para Wanita di Indonesia Sebelum dan Semasa Kartini
Munculnya Cut Nyak Dhien sebetulnya cukup mengherankan. Bagaimana bisa dalam masyarakat yang -katanya- sangat dominasi laki-laki (patriarki) dapat muncul seorang panglima perang perempuan. Jelas membutuhkan suatu revolusi sosial untuk munculnya seorang seperti Cut Nyak Dhien dalam masyarakat patriarki. Nyatanya Cut Nyak Dhien bukan tokoh rekayasa. Jelas dia bukan tokoh ciptaan Belanda.
Harap diketahui, Aceh tidak pernah tunduk pada Belanda sampat tahun 1904. Kalaupun akhirnya ditaklukkan, para ulama Aceh tidak mengakui bahwa mereka tunduk pada Belanda. Oleh sebab itu, perlawanan terhadap Belanda terus dikobarkan. Jadi tidak mungkin munculnya sosok Cut Nyak Dhien dipengaruhi ide feminisme Barat.
Lebih menarik lagi, tradisi perempuan berkiprah di ruang publik, bahkan menjadi pemimpin negara bukan barang baru di Aceh. Pemimpin kerajaan Aceh antara tahun 1641 sampai tahun 1699 adalah perempuan. Mereka masing-masing Sri Ratu Tajul Alam Shafiatuddin Johan Berdaulat (1642-1675), Sri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin (1675-1678), Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah (1678-1688), dan Sri Ratu Kamalat Syah (1688-1699) (Ali Hasyimi, 1977).
Pada awal abad ke-17 saat Eropa baru memasuki zaman yang mereka sebut "pencerahan" (renaisan, afklarung, enlightenment), jangan tanyakan soal wanita menjadi pemimpin publik. Para wanita Eropa nasibnya tidak lebih daripada budak. Kalaupun mereka menjadi bangsawati, perannya tetap berada di bawah subordinasi laki-laki. Struktur masyarakat yang patriarki sangat dominan di Eropa saat itu. Kenyataan ini pula yang menjadi sebab munculnya gerakan-gerakan feminis di Eropa yang sangat memusuhi dan membenci struktur patriarki. Walaupun umumnya diklaim bahwa gerakan ini mulai diperkenalkan Mary Wollstonecraft tahun 1790-an, gerakan sesungguhnya baru muncul menjelang abad ke-19.
Kalau dibandingkan dengan apa yang terjadi di Aceh, tidak mungkin bahwa munculnya raja-raja perempuan di Aceh ini adalah pengaruh dari Eropa. Lagi pula pada masa-masa berikutnya, ketidaksenangan dan permusuhan rakyat kerajaan Aceh terhadap Belanda (baca: Barat) begitu kuat. Inilah salah satu yang membuat Belanda harus berjibaku selama lebih dari satu abad untuk menaklukkan negeri ini. Namun, itu pun tidak sepenuhnya. Hanya kemenangan simbolik dan politik yang didapatkan Belanda. Sisanya Aceh masih seperti sediakala, terutama dalam masalah keyakinan dan budaya yang dipegang.
Sudah lama memang referensi sejarah bangsa ini melulu Jawa-sentris. Itu pun terbatas sejarah priyayi Jawa. Salah satunya soal Kartini. Kartini yang dibangga-banggakan itu adalah seorang priyayi perempuan Jawa. Apa yang diceritakannya adalah cerita mengenai kehidupan "para-priyayi" Jawa yang -barangkali- begitu. Tradisi para priyayi ini berbeda sangat mencolok dengan kehidupan kaum "cacah". Secara cukup atraktif Clifford Geertz berhasil mendemonstrasikan bagaimana perilaku komunitas priyayi yang berbeda dengan kaum "cacah" ini dalam Religion of Java.
Dari sisi relasi laki-laki dan perempuan dalam masyarakat "cacah" (rakyat biasa) Jawa ketimpangan seperti yang diceritakan Kartini terasa berlebihan. Lihat saja saat menggarap sawah atau kebun yang sejak berabad-abad menjadi pencaharian rakyat Jawa. Selalu sawah akan digarap bersama antara laki-laki dan perempuan. Selalu ada pembagian peran. Misalnya, laki-laki mencangkul, perempuan menyiangi rumput; dan sebagainya. Aktivitas di pasar-pasar pun selalu bercampur antara laki-laki dan perempuan. Di pesantren-pesantren, ulamanya tidak hanya laki-laki. Istilah "Kiai" (ulama laki-laki) dan "Nyai" (ulama perempuan) sudah hidup begitu lama. Pesantren pun sudah sejak awal berdirinya selalu diperuntukkan bagi santri putra dan putri.
Kalau melihat kenyataan ini, apakah sungguh-sungguh kaum perempuan Jawa ini termarginalkan? Jangan-jangan itu hanya terjadi di sekitar lingkungan Kartini yang priyayi. Sementara di akar rumput, apa yang diceritakan Kartini tidak pernah terjadi. Kalau memang begitu masih layakkah "curhatan" Kartini dipercaya dan dijadikan semacam "kitab suci" mengenai kondisi perempuan di negeri ini?
Soal pendidikan pun sepertinya hanya berlaku di lingkungan Kartini. Mungkin benar para priyayi Jawa lebih senang menyekolahkan anak-anak laki-laki daripada anak-anak perempuan seperti yang diceritakan Kartini. Namun, klaim ini patut dipertanyakan kalau digunakan untuk memotret kaum "cacah". Salah satu bukti adalah tradisi di pesantren-pesantren yang memberikan ruang seluas-luasnya, bahkan khusus, bagi kaum perempuan. Selain itu, masalah buta huruf sesungguhnya tidak hanya dialami kaum perempuan. Laki-laki pun menghadapi problem yang sama. Jadi, kalau perempuan saat itu tidak banyak yang bersekolah, bukan masalah diskriminasi, melainkan memang sekolahnya tidak ada. Jangankan perempuan, laki-laki pun sama-sama tidak pergi ke sekolah. Kebodohan ini merata di kalangan laki-laki dan perempuan. Sama sekali bukan monopoli kaum perempuan saja.
Sederet fakta lain seperti munculnya tokoh seperti Rohana Kudus di Sumatera Barat dan Dewi Sartika di Bandung semakin memperkokoh argumen bahwa sesungguhnya di negeri ini kesadaran akan kesetaraan laki-laki dan perempuan sudah sejak lama ada. Kesadaran ini bukan kesadaran impor seperti yang diklaim para aktivis feminis. Fakta-fakta ini juga semakin menegaskan bahwa sesungguhnya Indonesia tidak menderita sindrom patriarki seperti yang terjadi di Eropa sana.
Oleh karena kesadaran ini bukan impor, jelas pula prinsip kesetaraan yang dipegang masyarakat Indonesia sama sekali berbeda dengan kesetaraan gender yang diajarkan Barat-sekuler. Kesetaraan gender yang digadang-gadang para aktivis perempuan melabrak norma-norma budaya dan agama. Sementara kesadaran yang tumbuh di kalangan perempuan Indonesia seperti Cut Nyak Dhien adalah kesadaran yang berporos pada budaya. Budaya yang tumbuh sangat dipengaruhi prinsip-prinsip Islam. Adat basandi syara', syara' basandi Kitabullah. Oleh karena itu, sekalipun para perempuan Muslimah ini bergerak, agama tidak pernah mereka serang dan abaikan. Lebih dari itu, mereka malah mau bergerak karena diinspirasi oleh kesadaran keagamaan mereka. Kalau begitu, sesungguhnya membawa ide emansipasi dan feminisme dari Barat ke Indonesia adalah salah alamat.
Realitas Sejarah Kartini
Dalam surat-suratnya di atas, Kartini bercerita tentang kegetiran dan nestapa yang dialaminya sebagai anak perempuan seorang priyayi Jawa (bupati). Dia selalu ditempatkan sebagai makhluk kelas dua setelah saudara laki-lakinya. Perannya dianggap lebih rendah dibandingkan laki-laki. Ayahnya menikah secara poligami yang membuatnya sengat tidak senang, sekalipun akhirnya dia harus menerima kenyataan menjadi isteri keempat Bupati Rembang.
Atas pengalaman yang dialaminya itu, Kartini sampai pada kesimpulan bahwa wanita Indonesia harus bergerak dan bangkit melawan penindasan ini. Untuk bangkit itu, "Kartini bercita-cita memberi bekal pendidikan kepada anak-anak perempuan, terutama budi pekerti, agar mereka menjadi ibu yang berbudi luhur, yang dapat berdiri sendiri mencari nafkah sehingga mereka tidak perlu kawin kalau mereka tidak mau". (Sulastin Sutrisno, Surat-Surat Kartini, Djambatan, 1985: xvii).
Sampai pada titik ini, pemikiran-pemikiran feminis Kartini terlihat terang-benderang, walaupun akhirnya dia memilih untuk meninggalkan pemikirannya ini. Kartini rupanya lebih senang menjadi wanita Jawa apa adanya. Dia memilih untuk menikah, punya anak, dan tidak bekerja mencari nafkah sendiri seperti yang dia angankan sebelumnya. Bahkan pernikahan poligami yang sebelumnya sangat dimusuhi dan dianggapnya sangat "diskriminatif" terhadap wanita, akhirnya dia jalani. Keputusannya ini sangat disayangkan oleh teman-teman Belandanya, terutama Stella. Stella kecewa atas perubahan pikiran dalam diri Kartini. Sebagai seorang penganut feminisme yang sudah mendarah daging, Stella betul-betul tidak dapat mengerti keputusan Kartini.
Kartini sendiri tidak terlihat sama sekali merasa tertindas atas pernikahan poligaminya itu. Bahkan beberapa saat setelah pernikahannya Kartini menulis surat kepada J.H. Abendanon dan isterinya yang menunjukkan bahwa pernikahannya, sekalipun pernikahan keempat bagi suaminya, sama sekali baik-baik saja.
"Kawan-kawan yang baik dan budiman. Saya tahu betul-betul, bagaimana surat ini diharap-harapkan, surat saya yang pertama dari rumah saya yang baru. Alhamdulillah, di rumah itu dalam segala hal keadaan saya baik dan menyenangkan; di situ yang seorang dengan dan karena yang lain bahagia...". (Surat-Surat Kartini, hlm. 348).
Mencermati perjalanan hidup Kartini seperti itu, patut dipertanyakan dari mana Kartini punya pikiran feminis pada awal-awal suratnya? Padahal, sejatinya Kartini adalah wanita Jawa yang ternyata lebih menghayati kehidupan budayanya. Kesenangannya justru lahir dalam harmoni mengikuti ritme budaya tempat sekian lama dia hidup dan sudah mendarah daging sejak lahir. Dia tidak pernah senang menjadi wanita pemberontak seperti yang diajarkan para feminis.
Pertanyaan ini tidak akan pernah terjawab kalau kita tidak mencermati di mana Kartini bersekolah dan dengan siapa dia berkirim surat. Kartini bersekolah di sekolah Belanda karena dia seorang anak bupati yang bisa menikmati sekolah bersama dengan anak-anak Belanda. Menjelang abad ke-20 saat Kartini bersekolah adalah saat ide-ide Politik Etis yang dipengaruhi kelompok liberal di Belanda tengah menjadi arus wacana utama di Hindia Belanda (baca: Indonesia).
Selain karena arus wacana Politik Etis, dengan bersekolah di sekolah Belanda sudah tentu Kartini akan menyerap berbagai paham yang tengah berkembang di Barat. Salah satu yang tidak bisa dihindari adalah liberalisme. Pandangannya tentang kedudukan laki-laki dan perempuan pun hampir bisa dipastikan banyak terpengaruh oleh pandangan-pandangan liberal yang diajarkan guru-guru belandanya di sekolah. Dari sekolah Belanda ini pula Kartini bertemu dengan buku-buku dan surat kabar yang berhaluan liberan.
Pengaruh feminis yang paling meyakinkan dalam surat-suratnya adalah teman-teman korespondensinya sendiri. Stella Zeehandelar adalah salah seorang yang paling feminis dibanding teman-temannya yang lain. Usianya lebih tua lima tahun dari Kartini, anak dari orangtua Yahudi-Belanda. Dia penganut sosialis yang sangat kuat dan aktivis feminis sejak masih di Belanda sampai bekerja di Indonesia. Kartini berkenalan dengan Stella pada tahun 1899 melalui redaksi De Hollandse Leile, majalah wanita yang saat itu sangat populer. Teman-temannya yang lain pun rata-rata berpaham liberal seperti pada umumnya orang-orang yang datang dari Belanda pada abad ke-19 dan 20.
Paham feminis yang muncul dalam surat-surat Kartini hampir bisa dipastikan berasal dari dua sumber di atas: sekolah Belanda dan teman-teman Belandanya. Beruntung bahwa Kartini sesungguhnya tidak benar-benar menjadi feminis yang ekstrem: memusuhi laki-laki. Feminisme bagi Kartini hanya sebatas wacana yang bergolak dalam pikirannya. Selebihnya ia sampaikan itu dalam surat-suratnya. Kartini sendiri tidak pernah berniat sama sekali memublikasikan pikiran-pikirannya itu, bahkan sampai ia meninggal tahun 1904 dalam usia 25 tahun beberapa hari setelah melahirkan anak pertamanya.
Justru yang mempromosikan pemikiran-pemikiran feminis ini adalah Mr. J.H. Abendanon, yang menjabat Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Dia mengumpulkan semua surat-surat Kartini, menyusunnya, kemudian menerbitkannya tujuh tahun setelah Kartini wafat. Abendanon sendiri, secara politis, adalah penganut aliran etis (baca: liberal) di Belanda. Sangat wajar kalau dia kemudian mempromosikan ide-ide liberal seperti yang tercermin dalam surat-surat Kartini. Secara tidak langsung Abendanon ingin mengajarkan feminisme-liberal kepada masyarakat Indonesia, namun meminjam tangan anak bangsa Indonesia sendiri, Kartini. Inilah sesungguhnya awal mula benih feminisme-liberal ditaburkan di bumi Indonesia yang sesungguhnya tidak menyimpan masalah besar dalam hubungan laki-laki perempuan sejak Islam datang ke negeri ini.
Wallahu a'lam.
RESENSI BUKU: Pertarungan Pemikiran Islam di Indonesia (Tiar Anwar Bachtiar).
Pertarungan Pemikiran Islam di Indonesia (Kritik-Kritik Terhadap Islam Liberal dari H.M Rasjidi Sampai INSISTS)
Buku yang akan saya resensi ini merupakan disertasi Tiar Anwar Bachtiar di Universitas Indonesia. Beliau merupakan seorang akademisi dan sejarawan muda yang aktif di organisasi pergerakan Islam. Dan saat ini beliau menjabat sebagai Ketua Bid-Gar Pengembangan Dakwah dan Kajian Pemikiran Islam PP PERSIS.
Buku ini terbitan Pustaka Al-Kautsar. Tebal halaman utama hanya 410 halaman ditambah beberapa halaman untuk pengantar penerbit, penulis, daftar isi, dan daftar pustaka. Di akhir-akhir halaman, penerbit mencantumkan biodata penulis dan foto-foto wajah dan buku dari dua kubu yang bersebrangan. Buku ini saya beli dari market place orange seharga Rp. 76.000. Dari kualitas cetakan dan kertas kurang baik menurut saya. Tapi hal ini bukan menjadi substansi yang akan saya bahas.
Sinopsis
Penulis mengantarkan pembaca agar dapat langsung melakukan polarisasi kelompok gerakan Islam yang ada di era Orde Baru. Kelompok-kelompok yang ada lebih cendrung mengarah kepada gerakan pemikiran, ketimbang gerakan politik dan gerakan sosial. Terlebih Partai Masyumi -yang menjadi partai tempat bernaung semua kelompok gerakan Islam-, dibubarkan secara sepihak oleh rezim Orde Lama atas dugaan mendukung pemberontakan yang dilakukan PRRI. Mengenai keterkaitan orang-orang eks. Masyumi terhadap pertarungan pemikiran di Indonesia, akan dibahas oleh penulis di Bab II Sub Bab Fase Kemunculan Islam Liberal.
Secara garis besar, dalam pengantarnya penulis memaparkan beberapa pandangan para peneliti lain -bahkan dari kalangan orientalis seperti Charles Kurzman dan Greg Barton- dalam membuat polarisasi dan pelabelan terhadap kelompok gerakan Islam yang ada di zaman Orde Baru. Bahkan tak tanggung-tanggung, para peneliti tersebut menyebutkan afiliasi bahkan melakukan kategorisasi terhadap setiap person tersebut, dengan kelompok gerakan atau ormas Islam yang ada. Sebut saja Nurcholis Madjid dan Mukti Ali, terafiliasi dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) kala itu. Ada juga sosok Abdurrahman Wahid (Gusdur), terafiliasi dengan gerakan Islam Tradisional NU. Adapun lawannya, dikalangan gerakan Islam modernis, lebih banyak tergabung di Dewan Dakwah besutan Moh. Natsir (seperti mantan Menteri Agama Pertama HM. Rasjidi, Endang Saefudin Anshari, Ahmad Husnan, dll).
Julukan liberal memang masih asing di telinga masyarakat kala itu. Kelompok yang sehaluan dengan Nurcholish Madjid hanya diberi julukan sebagai Neo-Modernis atau Pembaharu kala itu. Barulah era Pasca-Reformasi, julukan Islam Liberal mulai akrab di telinga masyarakat, baik di kalangan para pendukung pemikiran Nurcholis Madjid, maupun penentangnya.
Dari Bab ke Bab, Ringkasan Inti
Penulis masih mengutip keterangan dari para peniliti, yang menyebutkan bahwa di awal abad ke-20 bermunculan gerakan-gerakan pembaharu Islam (tajdid) atau kelompok Modernis di Indonesia. Gerakan ini digawangi oleh Muhammadiyyah, Persatuan Islam (PERSIS), dan Al-Irsyad. Ciri yang melekat dalam pergerakan mereka berupa jargon "Kembali Kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah". Dan kelompok Modernis ini menolak praktik-praktik keagamaan berupa syirik dan TBC (Takhayyul, Bi'dah, dan Churafat, sesuai dengan aksen di zaman dahulu). Kelompok Modernis ini melakukan kritik terhadap sikap keagamaan kelompok Tradisionalis yang dianggap jumud dan enggan membuka pintu-pintu ijtihad, juga terlampau taqlid (membeo) terhadap ulama dan madzhab fiqih tertentu. Oleh karenanya tak heran, jika kelompok Islam Modernis ini mendapatkan julukan peyoratif -bahkan hingga saat ini- sebagai Wahhabi. Wahhabi merupakan julukan bagi para pengikut gerakan pembaharuan dari tanah Arab yang dilakukan oleh Imam Muhammad bin Abdul Wahhab. Tak heran jika meraka dijuluki sebagai Wahhabi oleh kalangan orientalis dan kelompok Islam Tradisionalis, karena momen pembaharuan yang dilakukan kelompok modernis Islam Indonesia tersebut memang bertepatan dengan momen keruntuhan Turki Utsmani tahun 1924 -yang salah satu sebabnya karena imbas dari gerakan pembaharuan di tanah Arab-. Terlebih, jargon-jargon yang mereka usung pun mirip dengan yang diusung di tanah Arab.
Dalam hal urusan pokok agama (ushul), mereka memiliki pandangan yang sama. Perbedaan yang mencolok di antara mereka terletak di urusan cabang agama, terutama dalam hal fiqih. Karena sebab inilah, mereka dapat dipertemukan dalam suatu forum yang digagas oleh organisasi pergerakan Islam pertama di Nusantara bernama Sarekat Islam pada tahun 1925, dibawah kepemimpinan HOS. Tjokroaminoto, yang juga sekaligus menjadi guru bagi para founding father negeri ini, terutama di kalangan kelompok Islam Modernis. Dari pertemuan itulah, akhirnya kelompok Islam Tradisionalis dan Modernis dapat duduk di bawah satu naungan organisasi, bernama Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI) pada tahun 1937. MIAI inilah yang menjadi cikal bakal atau rahim partai Islam milik umat Islam Indonesia, bernama Majelis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI).
Dan yang menarik dari hal ini, meskipun mereka memiliki perbadaan dalam hal cabang agama, akan tetapi dalam forum-forum politik dan kenegaraan mereka tetap memperjuangkan asas Islam. Kenyataan yang indah tersebut terus berlangsung sampai tahun 1975, ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) didirikan dibawah kepemimpinan Buya Hamka -yang merupakan seorang tokoh Islam modernis-. Mungkin yang membuat kalangan Modernis dan Tradisionalis bersatu, karena di tahun 1970 terjadi polemik kontroversial yang menjadi pemantik bangunnya gerakkan sekularisme dan liberalisme agama di Indonesia. Jargon yang diteriakkan oleh Nurcholis Madjid yaitu "Islam Yes, Partai Islam No!", dia utarakan dalam pidatonya pada acara silaturahim Idul Fithri tanggal 3 Januari 1970. Polemik tersebut menjadi menarik bagi kalangan elit, entah itu dari kalangan umat Islam maupun elit Orde Baru, terlebih hal tersebut dijadikan bahan berita di media massa.
Kekecewaan yang dirasakan umat Islam tersebut semakin bertambah, tatkala Nurcholis Madjid kembali melakukan pidato dalam Orasi Kebudayaan di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada tahun 1972. Pidatonya tersebut merupakan sekuel dari pidato sebelumnya, yang berisi penekanan agar umat Islam mau menjawab tantangan zaman. Berbeda dengan pidato sebelumnya, kali ini Madjid lebih memilih narasi-narasi yang tidak menimbulkan polemik, dan beliau lebih mengutarakan gagasan-gagasannya tentang keharusan sekularisasi dan liberalisasi pemikiran Islam secara lebih mendalam dan tajam. Mungkin karena pemilihan narasi seperti inilah, Madjid tidak terlalu dikecam oleh para pengritiknya dikalangan umat Islam -terutama kalangan eks. Masyumi-, yang terlampau kecewa da menganggap Madjid berpihak kepada rezim Orde Baru.
Dan yang perlu diketahui, pada saat kejatuhan Soekarno, usaha-usaha para eks. Masyumi untuk mengajukan rehabilitasi terhadap Masyumi sudah dilakukan, akan tetapi ditolak secara tegas oleh perwira-perwira militer karena Masyumi dianggap pernah melakukan pemberontakan. Dan didirkanlah Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) pada tahun 1967, dengan catatan eks. Masyumi tidak boleh memimpin partai ini karena dianggap memilik watak pemberontak. Bukan hanya eks. Masyumi saja yang terkena imbas dari peraturan Orde Baru, NU yang telah menjadi partai politik kala itupun mengalami pembersihan struktural melalui operasi khusus (Opsus) terhadap pemimpinnya (Muchammad Dahlan dan Subhan ZE) pada tahun 1972, karena dinilai kritis dan berbahaya bagi kekuasaan Soeharto.
Nah, ada yang menarik bagi saya pribadi. Pembahasan mengenai intervensi Orde Baru terhadap Masyumi dan NU ada di halaman 24, akan tetapi di halaman 30 kembali dibahas oleh penulis tentang sikap akomodatif NU terhadap rezim Orde Baru, sehingga Soeharto memilih Mochammad Dahlan -yang saat itu menjadi pimpinan partai NU- sebagai menteri agama sampai tanggal 6 September 1971, sebagai bukti balas jasa Soeharto kepada NU. Dan yang tak kalah menarik, di halaman 28 penulis langsung loncat kepada peristiwa tahun 1980-an, diawali sebuah paragraf yang menyebutkan di tahun 1985, pemerintah membuat Undang-Undang tentang kewajiban seluruh partai dan ormas menganti asasnya dengan pancasila, atau asas tunggal. Lalu disusul paragraf di bawahnya di tahun 1984, tentang aksi represif dan brutal aparat (ABRI) terhadap umat Islam, dan puncaknya ketika ABRI di bawah komando Leonardus Benyamin (LB) Moerdani menurukan pasukan bersenjata menembaki umat Islam yang melakukan aksi massa -yang dipicu oleh kesewenang-wenangan ABRI masuk ke masjid As-Sa'adah tanpa melepas sepatu dan melumpuri pengumuman pengajian di tembok masjid-.
Di halaman 29, penulis kembali membahas tentang didirikannya Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 1975, sebagai upaya kontrol pemerintah terhadap gerakan-gerakan ulama umat Islam. Dan kalau kita mau flashback ke Bab I halaman 4, ada sebuah paragraf yang membahas mengenai didirikannya MUI di bawah kepemimpinan Buya Hamka. Yang tergambar bagi saya sebagai pembaca buku ini adalah hal indah, karena di dalamnya duduk berbagai kalangan ulama umat Islam yang memiliki corak pandangan keagamaan yang berbeda, akan tetapi saling melengkapi dan mau duduk bersama untuk berdiskusi mengenai permasalahan umat Islam. Padahal di tahun-tahun tersebut, situasi politik dan sosial sedang panas-panasnya menyelimuti tubuh umat Islam. Bahkan penulis di halaman 29 memiliki anggapan bahwa pembentukan MUI oleh Soeharto adalah upaya untuk melemahkan peran politik umat Islam, dan upaya korporatis agar masyarkat mau bersikap kooperatif dan akomodatif terhadap kepentingan rezim Orde Baru. Nah, bagi pembaca yang lebih senang ketika membaca sebuah buku yang runtutan sejarahnya sesuai dengan waktu kejadian, tampaknya akan sangat sulit mencerna paragraf demi paragraf dan Bab demi Bab yang dijabarkan oleh penulis. Karena penulis meruntut kejadiannya sesuai dengan substansi latar belakang sejarah pemikiran, lalu disusul oleh fase kemunculannya beserta kritik atasnya tanpa harus dibatasi oleh runtutan tanggal dan tahun kejadian. Oleh karenanya, ada kesan loncat-loncat materinya menurut saya pribadi. Nah di bab-bab berikutnya, akan ada kesan pengulangan kembali kronologis tanggal dan tahun kejadian. Namun yang pasti, kita tetap harus membacanya secara utuh agar dapat tergambar kejadian yang lebih luas dan bertambahnya wawasan kita mengenai hal ini.
Dalam paragraf-paragraf berikutnya, penulis menjelaskan bahwa de-Islamisasi politik di era Orde Baru tidak dipertahankan oleh Soeharto. Sikap represifnya terhadap umat Islam mulai melemah dan mencair, seiring dengan melemahnya kontrol Soeharto terhadap militer. Peran dan kontrol LB. Moerdani terhadap militer semakin kuat, dan muncul dugaan dia akan menggulingkan Soeharto. Menurut penulis, selain faktor-faktor internal, ternyata suhu politik internasional memengaruhi iklim politik di dalam negeri.
Sikap politik Soeharto -yang terkesan mendekati kalangan Islam- terlihat dari kebijakan politik yang ia ambil. Jika sebelumnya ia cendrung dekat dengan pemimpin-pemimpin dan teknokrat-teknokrat Kristen, bahkan banyak sekali pos-pos penting dalam pemerintahannya diduduki oleh kalangan Kristen dan anti Islam. Maka di tahun-tahun berikutnya Soeharto mengangkat orang-orang di sekelilingnya yang beragama Islam untuk menduduki pos-pos penting. Termasuk di dalamnya pos militer dan kebijakan dalam hal ekonomi.
Ialah Habibie -lewat Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI)-, yang menjadi jembatan komunikasi Soeharto dengan kelompok-kelompok Islam. Meskipun bukan gerakan politik praktis, namun banyak anggapan bahwa ICMI kental dengan nuansa politis. Meski tak memiliki prestasi signifikan dalam hal politik -dan malah terkesan dipolitisasi oleh Soeharto-, terbukti ICMI memainkan perannya dalam merubah arah politik Soeharto yang menjadi dekat dengan Islam. Bukti-bukti ritual keislaman pun dijalankan oleh Soeharto dengan menunaikan haji di tahun 1991, dan kehadirannya dalam acara-acara umat Islam.
RUU HIP: SEJARAH PANCASILA, PENGKHIANATAN TERHADAP UMAT ISLAM, DAN SIKAP OTORITER SOEKARNO DALAM BERNEGARA
Pembahasan mengenai RUU HIP -yang diinisiasi oleh fraksi PDIP di parlemen- kian memanas. Kendati pembahasan tersebut ditunda, kelompok masyarakat terutama dikalangan umat Islam masih terus menyuarakan penolakan tersebut. Kecurigaan menyeruak, mulai dari tuduhan adanya peran komunis dalam RUU tersebut -karena tidak mencantumkan Tap MPRS yang membubarkan dan melarang PKI serta segala hal berbau komunisme-, mendegradasi atau melemahkan Pancasila, sikap otoriter pemerintah dalam menafsirkan Pancasila, bentuk Soekarnoisasi Pancasila -karena mencantumkan ide pemerasan Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila-, dan kecurigaan sebagai bentuk Islamphobia negara -karena menghapus sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa dan menggantinya menjadi Ketuhanan Yang Berkebudayaan di sila terakhir-.
Semua elemen umat Islam menolak keras upaya distorsi Pancasila tersebut, mulai dari MUI, Muhammadiyyah, NU, Persatuan Islam (PERSIS), Front Pembela Islam (FPI), dan kelompok umat Islam lainnya. Bahkan kelompok nasionalis Pemuda Pancasila (PP) pun turut hadir bersama elemen umat Islam tersebut dalam demo tanggal 24 Juni 2020 di depan gedung DPR.
Lantas apa dan bagaimana sebenarnya korelasi RUU HIP dengan peristiwa sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia? Apa yang menjadi kekhawatiran Umat Islam tersebut jika RUU HIP disahkan? Apakah dengan disahkannya RUU tersebut, akan membawa stabilitas bagi negara? Kita perlu menyikapi hal ini dengan ilmiah dan kepala dingin serta semangat toleransi, dan tak lupa setiap kejadian di negeri ini harus dikomparasikan dengan peristiwa-peristiwa sejarah kemerdekaan bangsa ini.
Sejarah Pancasila
Kejadian sejarah dalam negeri kita merupakan rangkaian peristiwa yang berkaitan satu dengan yang lainnya. Sehingga amat sulit jikalau hendak diambil satu peristiwa saja, dan meninggalkan bahkan mendistorsi peristiwa yang lainnya.
Membahas mengenai sejarah Pancasila, harus kita tarik mundur ke belakang sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Kita tarik menuju tahun dimana konstelasi politik dunia yang sedang memanas dalam perang dunia ke II, antara blok fasis (Jepang, Italia, dan Jerman) dan blok sekutu (termasuk di dalamnya Belanda). Belanda yang selama 3,5 abad menguasai Nusantara, dibuat bertekut-lutut oleh agresi Jepang di Indonesia pada tanggal 9 Maret 1942.
Kekuasaan beralih pada Jepang, adapun pihak Hindia-Belanda yang telah menyerah banyak terdapat di kamp-kamp tahanan perang. Sebagian adapula yang memilih pergi ke Australia, bersama dengan para tahanan pribumi di Boven Digoel -yang mayoritas merupakan kelompok komunis-. Di sana terbangun kekuatan sekutu antara pemerintah Hindia Belanda dengan pihak komunis. Dari sini benang merah kita tarik, bahwa semenjak dahulu kaum komunis sering memainkan politik dua kaki, politik bermuka dua.
Sementara di Indonesia, kelompok komunis yang semenjak zaman pemerintahan Hindia-Belanda sering melakukan pemberontakan dan perlawanan, kini tidak berani menampakkan batang hidungnya di hadapan Jepang, hanya berani melakukan gerakan bawah tanah. Salah satu tokoh PKI yang berani melakukan gerakan perlawanan adalah Amir Sjarifoeddin. Beliau membentuk gerakan anti fasis dalam rangka menentang imperialisme Jepang di Indonesia.
Kekalahan demi kekalahan pun dialami oleh Jepang dalam perang Asia Pasifik Raya. Maka dengan siasatnya, Jepang menjanjikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia dengan membentuk BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia) atau dikenal Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai. Pembentukan badan ini sejatinya hanyalah iming-iming Jepang agar pihak pejuang Indonesia tidak melakukan perlawanan terhadap Jepang, yang justru akan membuat pihak Jepang semakin lemah.
Sidang BPUPKI dilaksanakan selama 4 hari, tanggal 29 Mei sampai 1 Juni 1945. Dalam bukunya, KH. M. Isa Anshary berkata,
"Menurut sejarah yang kita baca, sila yang lima dari Pancasila mula pertama digali oleh Mr. M. Yamin dalam sebuah pidato beliau pada rapat BPUPKI tanggal 29 Mei 1945 di Jakarta. Tanggal 29 Mei-lah lahirnya Pancasila, dan penggalinya adalah Muhammad Yamin.
Dalam uraian pidato Muhammad Yamin yang panjang itu, urutan sila yang lima itu disusun sebagai berikut:
1. Peri Kebangsaan
2. Peri Kemanusiaan
3. Peri Ketuhanan
4. Peri Kerakyatan
5. Kesejahteraan Rakyat (Keadilan Sosial)
Tanggal 1 Juni 1945, baru Bung Karno berpidato tentang dasar dari negara yang akan dibentuk, dalam rapat yang sama. Beliau sama sekali tidak mengeluarkan penemuan dan galian baru, hanya membawakan tafsiran dan rumus baru dari sila yang lima yang telah dikemukakan oleh Muhammad Yamin tanggal 29 Mei. Hanya urutannya mendapat perubahan sedikit, sebagai berikut:
1. Kebangsaan
2. Kemanusiaan
3. Demokrasi
4. Kesejahteraan Rakyat
5. Ketuhanan
Karena kecakapan Bung Karno berpidato yang tanpa teks itu, seluruh hadirin terpesona dibuatnya". (Mujahid Da'wah, 156)
Di atas sudah kita simak, bahwasanya ide Pancasila (Dasar Yang Lima) bukan murni dan otentik pemikiran bung Karno, bahkan menurut beberapa sumber ia adalah hasil diskusi dan kompromi antara beliau dan Mr. M. Yamin sebelum sidang BPUPKI. Bahkan Mr. Soepomo pun memberikan dasar yang lima tersebut sebagaimana kedua tokoh itu, meski susunannya berbeda.
Sila "Ketuhanan Yang Maha Esa" yang dikemukakan oleh Bung Karno -terlepas dari masalah tempatnya di urutan paling akhir-, bersumber dari sekularisme (ketiadaan agama). Ketuhanan yang dimaksud oleh Bung Karno bukan bermakna monoteisme (kepercayaan pada satu Tuhan), tidak bersumber dari wahyu Ilahi, bukan sebagai pengakuan akan kedaulatan Tuhan beserta konsekuensinya -yaitu menjalankan segala hukum Ilahi-, dinamis dan relatif, mengikuti situasi dan kondisi masyarakat saat itu.
Dalam pidatonya di sidang BPUPKI, Bung Karno berkata,
"Prinsip ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w., orang Budha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semua bertuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya bertuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada egoisme Agama".
Saudara bisa lihat kalimat-kalimat beliau yang telah saya tebalkan dan garis-bawahi. Ketuhanan yang beliau maksudkan sangat kabur, cendrung pada pluralisme Agama (percampur-adukkan Agama). Ada faham trinitas atau politeisme, monoteisme, dan paganisme yang dicampur-aduk dalam sila tersebut. Dan kalimat beliau "menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa", lebih mengarah pada liberalisasi dalam beragama, kebebasan dalam berketuhanan, bahkan kebebasan dalam anti berketuhanan. Hal inilah yang menjadi dasar bagi Partai Komunis Indonesia (PKI) saat sidang Konstituante, menyisipkan suatu pasal berbunyi, "Pancasila menjamin kebebasan berkeyakinan hidup". Ya, kebebasan untuk bersikap atheis dan anti Agama!
Dalam sebuah pertemuan gerakan pembela Pancasila di Istana tanggal 17 Juni 1954, Bung Karno membuat suatu gambaran tentang wujud ketuhanan yang relatif dan dinamis, mengikuti perkembangan hidup masyarakat dari satu taraf ke taraf lainnya. Dari taraf nomaden, ke taraf agraria atau pertanian, sampai ke taraf industrialisasi, dan lain-lain. Kesimpulan dari tamsil beliau, seseorang yang hidup di taraf nomaden dan agraria membutuhkan Tuhan. Tetapi jika seseorang hidup di taraf industrialisasi, Tuhan tidak dia butuhkan lagi.
Mohammad Natsir mengomentari tafsir dan falsafah Pancasila yang dibawakan oleh Bung Karno,
"Pancasila sebagai falsafah negara itu bagi kami adalah kabur dan tak bisa berkata apa-apa kepada jiwa umat Islam yang sudah mempunyai dan sudah memiliki satu ideologi yang jelas, terang, dan lengkap, dan hidup dalam kalbu rakyat Indonesia sebagai tuntunan hidup dan sumber kekuatan lahir dan batin, yakni Islam.
Dari ideologi Islam ke Pancasila bagi umat Islam adalah ibarat melompat dari bumi tempat berpijak, ke ruang hampa, vacuum, tak berhawa". (Islam Sebagai Dasar Negara, Sidang Konstituante 1957-1959).
[TULISAN INI SAMPAI DENGAN TEMA "SURAT KEPADA MARIDJAN" DI MUAT SESUAI TANGGAL YANG TERTERA PADA SUMBER BLOG PERTAMA]
SIKAP ISLAM TERHADAP KEMERDEKAAN BERFIKIR
Sikap Islam Terhadap Kemerdekaan Berfikir
(Disadur dari tulisan Mohammad Natsir).
Salah satu dari tiang-tiang ajaran junjungan kita Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam yang penting, ialah: Menghargai akal manusia dan melindunginya dari pada tindasan yang mungkin dilakukan orang atas nikmat Tuhan yang tiada ternilai itu. Muhammad meletakkan akal pada tempat yang terhormat dan menjadikan akal itu sebagai salah satu alat untuk mengetahu Tuhan. Bertebaran dalam Al-Qur'an pertanyaan yang memikat perhatian, menyuruh orang mempergunakan fikiran dan mendorong manusia supaya mempergunakan akalnya dengan sebaik-baiknya:
أفلا تتفكرون
"Kenapa mereka tidak berfikir?". (QS. Al-An'am:50)
أفلا تعلمون
"Kenapa mereka tiada mengetahui?"
أفلا تعقلون
"Kenapa mereka tiada mempergunakan akal?". (QS. Al-An'am:32), dan demikianlah seterusnya...! Disuruh manusia memperhatikan tumbuhan yang hidup, dan ditanya, apa dan siapakah yang menghidupkan dan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan itu.
Akal merdeka bisa memperkuat dan memperteguh iman kita, menambah khusyu' dan tawadhu' kita terhadap kebesaran Ilahi serta membantu kita mencari rahasia-rahasia firman Tuhan, menolong kita memahamkan hikmah-hikmah suruhan dan ajaran agama, mempertinggi dan memperhalus perasaan keagamaan kita.
Akal merdeka bisa membersihkan agama kita dari kutu-kutu berbahaya yang datang belakangan dan yang bertentangan dengan agama itu sendiri. Akal merdeka membukakan jendela alam pikiran kita, agar bertukar udara apik dan busuk dengan udara yang bersih dan nyaman.
Tapi dalam pada itu akal merdeka pandai pula membongkar tiang-tiang agama itu, melemparkan hudud dan melangkahi batas. Jadi bukan saja ia bisa memasukkan udara yang sejuk dan sepoi-sepoi basam tetapi dapat pula memasukkan topan limbubu menghancurkan apa yang ada.
Agama datang membangunkan akal dan membangkitkan akal itu serta menggemarkan agar manusia memakai akalnya dengan sebaik-baiknya sebagai suatu nikmat Ilahi yang maha indah.
Ir. Soekarno pernah mengemukakan satu tamsil tentang jilatan anjing:
Pada suatu hari saya punya anjing menjilat air di dalam panci di dekat sumur. Saya punya anak Ratna Juami berteriak, "Papie, papie, si Ketuk menjilat air di dalam panci".
Saya menjawab, "Buanglah air itu, dan cucilah panci itu beberapa kali bersih-bersih dengan sabun dan creoline".
Ratna termenung sebentar. Kemudian ia menanya, "Tidakkah Nabi bersabda bahwa panci ini mesti dicuci tujuh kali, diantaranya satu kali dengan tanah?".
Saya menjawab, "Ratna, di zaman Nabi belum ada sabun dan creoline. Nabi waktu itu tidak bisa memerintahkan orang memakai sbaun creoline!".
Muka Ratna menjadi terang kembali. Itu malam ia tidur dengan roman muka yang seperti bersenyum, seperti mukanya orang yang mendapat kebahagiaan besar. Maha besarlah Allah ta'ala, maha mulialah Nabi yang Ia suruh!.
Menjaga kebersihan itu diperintah oleh agama kita. Caranya kita menjaga kebersihan itu diserahkan kepada kita, menurut ilmu kesehatan di zaman kita dan dengan alat-alat yang ada dalam masyarakat kita. Kalau kita dapat tahu bahwa jilatan anjing itu ada mengandung mikrob dan kita buang mikrob itu dengan sabun atau karbol, atau kita rebus dan kita bakar dengan spirtus sampai steril sama sekali, yang demikian adalah satu amal keduniaan menjaga kebersihan yang dengan cara umum juga sudah disuruh oleh agama. Akan tetapi semua ini tidak menghilangkan bahagian 'Ubudiyyah dari masalah ini, yakni suruhan mencuci dengan tanah. Demikian juga bila ada orang bisa melihat bahwa dalam shalat itu ada semacam gerak badan (sport). Dan kita sekarang sudah mendapat cara sport yang modern dan praktis. Kita boleh kerjakan sport itu, tapi apakah bisa shalat itu lantas ditukar saja dengan badminton, umpamanya? Tentu tidak bisa, bukan?
Ditakdirkan besok lusa anak saya datang mengatakan, "Ba! Si Kumbang menjilat panci. Cukupkah kalau dicuci dengan sabun dan kreolin saja?".
Saya akan jawab, "Sekedar menjaga kebersihan kita, itu sudah cukup. Akan tetapi untuk menyempurnakan suatu suruhan agama yang harus kita terima dengan ta'abbudi, cucilah panci itu pakai tanah satu kali dan lindangi dengan air bersih-bersih sampai enam kali. Sekarang, bila kuatir kalau-kalau pada bekas jilatan anjing itu ada bakteri-bakteri, cuci pulalah sekali lagi dengan lisol atau kreolin dan yang semacam itu!".
Kalau saya jawab begitu, say ayakin bahwa anak sayapun akan tidur pada malamnya dengan nyenyak dan mukanyapun akan berseri-seri lantaran hygienishchezin-nya sebagai anak dari zaman bakteriologi dan hygiene sudah ia puaskan dengan cara yang ia telah dimerdekakan oleh agama melakukannya disamping itu ia telah sempurnakan pula suatu suruhan 'ubudiyyah terhadap Tuhan dengan cara yang telah diterangkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Maha Sucilah Tuhan yang mengetahui akan apa yang nyata dan apa yang gaib dari akal dan pancaindera hamba-hambaNya.
Nussa-Rara, dan Sebongkah Hasad Kaum Kolot "Mayoritas" Terhadap Karya Anak Bangsa
Ramai di jagat twitter, salah satu akun membagikan sebuah link artikel yang di dalamnya menyoroti sebuah animasi buatan anak bangsa, bernama Nussa-Rara. Aroma tendensius menyeruak di setiap kalimat-kalimat, diiringi dengan labelisasi buruk di dalamnya. Mulai dari judul yang menggiring opini bahwa animasi tersebut tidak mengajarkan sebuah Islam "khas" Nusantara, yang terkenal dengan jargonnya "Rahmatan Lil 'Aalamiin".
Islam yang ditawarkan dalam serial animasi tersebut digambarkan sebagai "Islam Kaku" oleh penulis, lantaran dalam dua judul yang disinggung oleh penulis, terdapat dua buah adegan dimana anak laki-laki tersebut enggan bersalaman dengan seorang perempuan -yang ia kira sebagai orang asing-, dan sikap anak perempuan yang melakukan salam "namaste" setelah laki-laki kurir tersebut melakukannya.
Pun di paragraf 19 dan 20, dengan fatalnya penulis membuat sebuah sekat-sekat dan blok-blok baru dalam kehidupan sosial Islam, dimana keislaman yang divisualisasikan dalam animasi tersebut adalah "Islam Kelas Menengah atau Urban" dengan segala atribut keislamannya berupa niqob, gamis, dll. Yang kalau kita mau jujur; niqob dan gamis merupakan bagian dari keluasan fiqih Islam -dalam berpakaian- yang menuntut kita sebagai ummatnya untuk bersikap "tasammuh" atau toleran menyikapinya. Dan tak boleh kita benturkan dengan kebiasaan berpakaian ummat Islam lainnya yang bersarung, berkopeah hitam ala pejabat, berkemeja batik, dan sebagainya.
Dan di paragraf 26 lebih kentara sekali aroma hasutan dari penulis, dengan membuat perbandingan terhadap animasi kartun "tetangga" -di paragraf sebelumnya-, dan tanpa sadar membuat sebuah penghakiman bahwa Islam yang disuguhkan dalam animasi tersebut rentan mendangkalkan sikap toleransi dan ke-bhineka-an yang menjadi ruh persatuan bangsa ini. Apa sebab? Sebab yang ditonjolkan secara dominan dalam animasi tersebut adalah tata-cara ibadah dan gaya hidup keislaman. Atau mungkin maunya si penulis, perlu kiranya agar si produser, sutradara, dan mereka yang berkecimpung dalam pembuatan animasi tersebut harus dari latar belakang agama, keyakinan, dan budaya yang berbeda? Dan angle dalam animasi tersebut dilakukan di sebuah pondok pesantren tradisional dan di tempat ibadah umat agama lain, semisal gereja? Dimana ada beberapa santri berkunjung ke beberapa tempat ibadah umat lain dalam rangka mempraktikkan toleransi yang didramatisir? Kalau itu terjemahan toleransi dan sikap ke-bhineka-an yang mereka tuntut, rumit sekali bangsa ini untuk bersikap dewasa!
Labelisasi Buruk Terhadap Umat Islam
Labelisasi dan stigmatisasi buruk terhadap sang Pembawa Risalah Ilahiyyah, disematkan oleh kaum musyrik jahiliyyah, tatkala Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mulai menampakkan secara terang-terangan agama Islam. Mulai dari sebutan majnuun gila, saahirun kadzdzaab tukang sihir pendusta, Al-Qur'an&seruan yang beliau bawa dianggap karangannya&dongeng orang-orang terdahulu, dan segala macam bentuk labelisasi dan stigmatisasi buruk lainya.
Kita majukan kembali di zaman pra proklamasi, zaman dimana pertarungan yang sengit berlaku antara satu tokoh dengan tokoh lainnya. Pertarungan tersebut tak lepas pula dari labelisasi dan stigmatisasi terhadap kelompok ummat Islam.
Bung Karno dalam artikelnya berjudul "Memudakan Pengertian Islam", banyak sekali memberi labelisasi terhadap ummat Islam dengan sebutan jumud, kepala batu, beku, dungu, dan sebagainya. Hal tersebut kemudian disanggah oleh Mohammad Natsir dalam buku "Islam dan Akal Merdeka", dan juga disanggah oleh A. Hassan dalam sebuah artikel berjudul "Membudakkan Pengertian Islam".
Ir. Soekarno berkata:
"Umumnya manusia adalah egosentris di dalam anggapannya, anggapan sendiri saja yang benar, anggapan orang lain adalah salah, anggapan orang lain dianggap tempe".
A. Hassan menanggapi:
"Manusia memang mempunyai tabiat demikian. Oleh sebab itulah, barangkali tuan Soekarno kepala batukan, dungukan, bodohkan orang lain yang tidak mau turut pahamnya, dan tuan Soekarno merasa pahamnya sendirilah yang paling benar".
A. Hassan berkata lagi:
"Di dalam karangan-karangan tuan Soekarno itu banyak kita dapati kalimat-kalimat yang sangat menusuk hati kaum yang disindirnya atau yang 'dinasehatinya', seperti; cungak-cinguk, kaum jumud, kepala batu, kaum tasbih, celak mata, dungu, pembangkang, pembandel, dan sebagainya, yang saya pandang tuan Soekarno bisa memakai lain lafazh buat memenuhi kosongan-kosongan itu. Apabila kita melihat kedudukan tuan Soekarno dalam masyarakat dan kewartawanannya, serta kita lihat pula tulisannya yang mengandung kalimat-kalimat tajam dan pedas-pedas itu, terpaksa seseorang merasa bahwa tuan Soekarno tidak berwisdom atau berhikmah bijaksana...".
Kita kembali kepada substansi yang menjadi biang kerok bagi penulis, yakni Idealisme Keislaman yang disuguhkan animasi tersebut. Tentu hal tersebut menjadi bermasalah di kalangan orang-orang yang menginginkan kehidupan secara bebas (liberal) dan tak ingin terbelenggu oleh aturan-aturan agama (sekuler).
Maka teramat wajar jika mengajarkan anak-anak untuk faham akan batasan-batasan syari'at sedari dini, mereka anggap sebagai ajaran yang "Kaku". Bagi mereka, Islam yang mereka kehendaki, tafsirkan dan interpretasikan adalah Islam yang mengajarkan "keluwesan", Islam yang dapat menjadi "karet", yang bisa mereka tarik sekehendaknya.
Mohammad Natsir berkata:
"Kemukakanlah Islam itu sebagaimana yang dibawa dan yang diterangkan serta ditafsirkan oleh Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam sendiri. Tidak ada satu interpretator yang lebih berhak serta lebih benar interpretasinya selain Rasulullah sendiri. Islam yang macam itu, Islam yang bersih dari segala macam tambahan manusia di belakangnya, tak usah kuatir akan jatuh merknya di mata siapapun juga".
Penulis: Fian Sofian, Bandung 15 Mei 2020.
Sumber:
Islam dan Akal Merdeka, Mohammad Natsir.
Islam dan Kebangsaan, A. Hassan.
https://almanhaj.or.id/1053-mereka-menghambat-dakwah-dan-melontarkan-tuduhan-dusta.html