Kedewasaan dalam Toleransi
Ramai di jagat twitter, salah satu akun membagikan sebuah link artikel yang di dalamnya menyoroti sebuah animasi buatan anak bangsa, bernama Nussa-Rara. Aroma tendensius menyeruak di setiap kalimat-kalimat, diiringi dengan labelisasi buruk di dalamnya. Mulai dari judul yang menggiring opini bahwa animasi tersebut tidak mengajarkan sebuah Islam "khas" Nusantara, yang terkenal dengan jargonnya "Rahmatan Lil 'Aalamiin".
Islam yang ditawarkan dalam serial animasi tersebut digambarkan sebagai "Islam Kaku" oleh penulis, lantaran dalam dua judul yang disinggung oleh penulis, terdapat dua buah adegan dimana anak laki-laki tersebut enggan bersalaman dengan seorang perempuan -yang ia kira sebagai orang asing-, dan sikap anak perempuan yang melakukan salam "namaste" setelah laki-laki kurir tersebut melakukannya.
Pun di paragraf 19 dan 20, dengan fatalnya penulis membuat sebuah sekat-sekat dan blok-blok baru dalam kehidupan sosial Islam, dimana keislaman yang divisualisasikan dalam animasi tersebut adalah "Islam Kelas Menengah atau Urban" dengan segala atribut keislamannya berupa niqob, gamis, dll. Yang kalau kita mau jujur; niqob dan gamis merupakan bagian dari keluasan fiqih Islam -dalam berpakaian- yang menuntut kita sebagai ummatnya untuk bersikap "tasammuh" atau toleran menyikapinya. Dan tak boleh kita benturkan dengan kebiasaan berpakaian ummat Islam lainnya yang bersarung, berkopeah hitam ala pejabat, berkemeja batik, dan sebagainya.
Dan di paragraf 26 lebih kentara sekali aroma hasutan dari penulis, dengan membuat perbandingan terhadap animasi kartun "tetangga" -di paragraf sebelumnya-, dan tanpa sadar membuat sebuah penghakiman bahwa Islam yang disuguhkan dalam animasi tersebut rentan mendangkalkan sikap toleransi dan ke-bhineka-an yang menjadi ruh persatuan bangsa ini. Apa sebab? Sebab yang ditonjolkan secara dominan dalam animasi tersebut adalah tata-cara ibadah dan gaya hidup keislaman. Atau mungkin maunya si penulis, perlu kiranya agar si produser, sutradara, dan mereka yang berkecimpung dalam pembuatan animasi tersebut harus dari latar belakang agama, keyakinan, dan budaya yang berbeda? Dan angle dalam animasi tersebut dilakukan di sebuah pondok pesantren tradisional dan di tempat ibadah umat agama lain, semisal gereja? Dimana ada beberapa santri berkunjung ke beberapa tempat ibadah umat lain dalam rangka mempraktikkan toleransi yang didramatisir? Kalau itu terjemahan toleransi dan sikap ke-bhineka-an yang mereka tuntut, rumit sekali bangsa ini untuk bersikap dewasa!
Labelisasi Buruk Terhadap Umat Islam
Labelisasi dan stigmatisasi buruk terhadap sang Pembawa Risalah Ilahiyyah, disematkan oleh kaum musyrik jahiliyyah, tatkala Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mulai menampakkan secara terang-terangan agama Islam. Mulai dari sebutan majnuun gila, saahirun kadzdzaab tukang sihir pendusta, Al-Qur'an&seruan yang beliau bawa dianggap karangannya&dongeng orang-orang terdahulu, dan segala macam bentuk labelisasi dan stigmatisasi buruk lainya.
Kita majukan kembali di zaman pra proklamasi, zaman dimana pertarungan yang sengit berlaku antara satu tokoh dengan tokoh lainnya. Pertarungan tersebut tak lepas pula dari labelisasi dan stigmatisasi terhadap kelompok ummat Islam.
Bung Karno dalam artikelnya berjudul "Memudakan Pengertian Islam", banyak sekali memberi labelisasi terhadap ummat Islam dengan sebutan jumud, kepala batu, beku, dungu, dan sebagainya. Hal tersebut kemudian disanggah oleh Mohammad Natsir dalam buku "Islam dan Akal Merdeka", dan juga disanggah oleh A. Hassan dalam sebuah artikel berjudul "Membudakkan Pengertian Islam".
Ir. Soekarno berkata:
"Umumnya manusia adalah egosentris di dalam anggapannya, anggapan sendiri saja yang benar, anggapan orang lain adalah salah, anggapan orang lain dianggap tempe".
A. Hassan menanggapi:
"Manusia memang mempunyai tabiat demikian. Oleh sebab itulah, barangkali tuan Soekarno kepala batukan, dungukan, bodohkan orang lain yang tidak mau turut pahamnya, dan tuan Soekarno merasa pahamnya sendirilah yang paling benar".
A. Hassan berkata lagi:
"Di dalam karangan-karangan tuan Soekarno itu banyak kita dapati kalimat-kalimat yang sangat menusuk hati kaum yang disindirnya atau yang 'dinasehatinya', seperti; cungak-cinguk, kaum jumud, kepala batu, kaum tasbih, celak mata, dungu, pembangkang, pembandel, dan sebagainya, yang saya pandang tuan Soekarno bisa memakai lain lafazh buat memenuhi kosongan-kosongan itu. Apabila kita melihat kedudukan tuan Soekarno dalam masyarakat dan kewartawanannya, serta kita lihat pula tulisannya yang mengandung kalimat-kalimat tajam dan pedas-pedas itu, terpaksa seseorang merasa bahwa tuan Soekarno tidak berwisdom atau berhikmah bijaksana...".
Kita kembali kepada substansi yang menjadi biang kerok bagi penulis, yakni Idealisme Keislaman yang disuguhkan animasi tersebut. Tentu hal tersebut menjadi bermasalah di kalangan orang-orang yang menginginkan kehidupan secara bebas (liberal) dan tak ingin terbelenggu oleh aturan-aturan agama (sekuler).
Maka teramat wajar jika mengajarkan anak-anak untuk faham akan batasan-batasan syari'at sedari dini, mereka anggap sebagai ajaran yang "Kaku". Bagi mereka, Islam yang mereka kehendaki, tafsirkan dan interpretasikan adalah Islam yang mengajarkan "keluwesan", Islam yang dapat menjadi "karet", yang bisa mereka tarik sekehendaknya.
Mohammad Natsir berkata:
"Kemukakanlah Islam itu sebagaimana yang dibawa dan yang diterangkan serta ditafsirkan oleh Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam sendiri. Tidak ada satu interpretator yang lebih berhak serta lebih benar interpretasinya selain Rasulullah sendiri. Islam yang macam itu, Islam yang bersih dari segala macam tambahan manusia di belakangnya, tak usah kuatir akan jatuh merknya di mata siapapun juga".
Penulis: Fian Sofian, Bandung 15 Mei 2020.
Sumber:
Islam dan Akal Merdeka, Mohammad Natsir.
Islam dan Kebangsaan, A. Hassan.
https://almanhaj.or.id/1053-mereka-menghambat-dakwah-dan-melontarkan-tuduhan-dusta.html
Home »
» Nussa-Rara, dan Sebongkah Hasad Kaum Kolot "Mayoritas" Terhadap Karya Anak Bangsa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar