The World View of Islam, Bagaimana Cara Seorang Muslim Melihat Realitas Dunia

The Worldview of Islam رؤية الإسلام للوجود, menjadi tema menarik di pertemuan pekan ketiga Sekolah Pemikiran Islam (SPI Bandung), pada malam Jum'at tanggal 15 September 2022, di ruang tafsir masjid Istiqomah kota Bandung. Dr. Wendi Zarman yang menjadi pemateri di malam tersebut memberikan penjelasan historis mengenai asal-usul istilah tersebut. Pencetus istilah The Worldview adalah Syed Muhammad Naquib Al-Attas, yang merupakan 'ulama sekaligus pemikir yang lahir di Buitenzorg (Bogor saat ini), dan menetap di Malaysia. Secara esensi, Worldview adalah 'Aqidah, yang kalau diterjemahkan secara letterlijk adalah Pandangan Hidup Islam. Ada pula yang menyebut Islamic Worldview, pandangan hidup yang Islami. Akan tetapi belum tentu pelakunya adalah orang Islam. Sebagai contoh di Barat, dalam beberapa hal mereka menerapkan tata cara Islami, seperti menjaga kebersihan dan ketertiban, menerapkan disiplin waktu, dll. Akan tetapi mereka bukan golongan Islam. Maka yang menjadi titik tekan di sini adalah The Worldview of Islam.

Dr. Wendi Zarman kemudian memberikan beberapa analogi sederhana dalam kehidupan kita sehari-hari. Contoh saja ketika kita ingin makan, pastinya ada beberapa faktor pendorong dan asumsi-asumsi yang membuat kita ingin makan. Tindakan atau perbuatan makan tersebut dilandasi oleh sebuah keyakinan. Ketika kita makan pastinya kita sudah yakin bahwa kita lapar, kita yakin bahwa makanan tersebut dapat mengenyangkan kita, kita yakin makanan tersebut higienis dan aman untuk kita. Atau tatkala kita ingin pergi ke luar kota, sebelum kita menaiki kendaraan umum, pastinya kita akan meyakinkan diri kita terlebih dahulu, dan sebelum menaiki kendaraan yang mengantarkan kita ke tempat tujuan, maka kita akan bertanya pada petugas yang ada di tempat saat itu. Setelah kita yakin dengan arahan petugas tersebut, kita pun dengan tenang duduk dalam kendaraan tersebut, dan pastinya yakin bahwa kendaraan tersebut akan mengantarkan kita ke kota tujuan. "Tindakan-tindakan tersebut dilatar belakangi oleh sebuah keyakinan", tegasnya.

Beliau mengambil contoh lagi tentang sebuah budaya kolot di Jepang, Harakiri. Penyebab dan dorongan perbuatan tersebut adalah karena rasa malu. Bagi orang-orang Jepang, lebih baik mati terhormat dengan cara bunuh diri daripada hidup menanggung malu. Tindakan bunuh diri tersebut juga berdasarkan pada sebuah keyakinan. Ada faktor-faktor pendorong dan asumsi-asumsi yang menyebabkan Harakiri tersebut. Akan tetapi, bagi orang lain -terutama umat Islam- mungkin hal tersebut adalah hal yang aneh dan tragis. 

Di Barat, feminisme timbul dan didorong oleh beberapa keyakinan bahwa mereka memang merasa ditindas oleh kaum laki-laki. Budaya patriarki dan pengekangan terhadap kebebasan perempuan dirasakan oleh perempuan-perempuan Barat, yang pada akhirnya melahirkan gelombang feminisme. Berbeda dengan Islam, yang menjadikan keadilan sebagai asas utama dalam mengarungi kehidupan sosial, baik laki-laki maupun perempuan. "Dalam tiap tindakan sadar manusia ada pikiran atau kepercayaan yang tersembunyi yang melandasinya, itulah WORLDVIEW", tutur beliau. 

Dalam uraian berikutnya, beliau mencoba menjelaskan secara etimologis arti kata Worldview. Worldview -atau Weltanschauung dalam bahasa Jerman-, merupakan unsur dari kata world, yang artinya dunia atau kehidupan duniawi. Dan view, yang artinya adalah pandangan akal pikiran, bukan pandangan mata. Jadi Worldview adalah pandangan terhadap dunia. "Sedangkan asumsi, yang menjadi landasan kita dalam berkata dan bertindak, adalah sesuatu yang kita percaya begitu saja", tambah beliau.

Dalam beberapa uraian berikutnya, beliau menjelaskan definisi Worldview dari sudut pandang orang Barat. Hal ini dilakukan dalam rangka mengkomparasikan antara pandangan-pandangan Barat dengan pandangan Islam. Uraian beliau sampai pada taraf membuat kategorisasi antara mereka yang percaya pada nilai-nilai ketuhanan, dan mereka yang tidak percaya. Dan membuat beberapa tingkatan dari hasil Worldview yang kelak akan muncul tiga golongan, baik itu dari golongan Agama, Sosial-Politik, dan Sains. Maka sebagai penganut sebuah agama, kita pun memiliki pandangan hidup yang kesemuanya sudah diatur dalam agama kita, yang sumbernya berdasarkan dari wahyu Allah, yakni Al-Qur'an dan As-Sunnah, dan kemudian bermuara pada sebuah keyakinan tentang ke-Esa-an Allah berupa Tauhid, yang memang menjadi asas utama dalam The Worldview of Islam, Pandangan Hidup Islam. 

Di akhiri dengan sesi tanya-jawab, para peserta yang hadir sangat antusias untuk bertanya dan membahas terkait tema yang ditawarkan. Sebut saja Sadam, salah satu peserta Sekolah Pemikiran Islam (SPI Bandung), bertanya mengenai ikhtilaf fiqhiyyah atau ikhtilaf tanawwu' yang memang lumrah terjadi di tengah umat Islam, "Apakah hal tersebut karena perbedaan mengenai pandangan hidup mereka masing'masing?". Dr. Wendi memberi jawaban singkat bahwa yang dimaksud dengan worldview dalam pembahasan ini adalah yang bersifat global, mujmal, bukan perkara cabang yang jatuhnya dalam bab fiqih. Kalau di antara umat Islam sudah meyakini bahwa Allah adalah Tuhannya, Muhammad adalah Rasul dan Teladannya, Al-Qur'an kitab suci dan pedomannya, percaya dengan kehidupan setelah mati, maka mereka memiliki Worldview yang sama.

FIAN SOFIAN. 

Share:

Perang Pemikiran, dan Kewajiban Menuntut Ilmu Bagi Seluruh Umat Islam

Kamis malam, bertepatan dengan tanggal 8 September 2022, Sekolah Pemikiran Islam (SPI Bandung) kembali menggelar pertemuan keduanya yang bertempat di Ruang Tafsir masjid Istiqomah Citarum. Tema yang diangkat kali ini adalah Ghozwul Fikr, yang mana kalau kita terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia secara letterlijk berarti Perang Pemikiran. Ustadz Akmal Sjafril, yang merupakan Kandidat Doktor Ilmu Sejarah UI kembali menjadi pemateri di malam tersebut.

Materi diawali dengan penjelasan secara etimologis, yang mana di dalamnya terdiri dua unsur kata yakni ghozwah (perang), dan al-fikroh (pemikiran). Sebelum menginjak pada pemaparan secara terminologis, sejenak beliau ingin meluruskan tentang apa dan bagaimana itu bentuk ghozwul fikr, yang menurut pengalaman beliau ketika SMP, hanya berkutat pada 3F, Fun (hiburan), Food (makanan dan minuman yang membawa pada perilaku konsumtif), and Fashion (pakaian). Sifat dan bentuk perang yang dilancarkan oleh musuh-musuh Islam sudah mulai berubah haluan, maka bentuk pencegahan dan perlawanan pun sudah mestinya dirubah oleh umat Islam. Beliau menyebutkan, bahwa orang-orang yang di zaman ini menjadi gembong pemantik perang terhadap umat Islam, tidak terkategorisasi dalam 3 hal tersebut di atas. Kalau di awal-awal abad ke-21 ada JIL, dan seluruh umat Islam bersatu-padu melawan pemikiran mereka, maka pada hari ini dedengkot JIL sudah masuk dalam pemerintahan.

Ayat ke 120 dari surat Al-Baqoroh menjadi pembuka untuk lanjut ke tahapan materi yang lebih terperinci. Kata demi kata, kalimat demi kalimat beliau jelaskan, dan kemudian dikomparasikan dengan realitas yang tengah terjadi di tengah-tengah umat Islam. Beliau melemparkan sebuah pertanyaan kepada para peserta, "Mengapa hanya disebutkan Yahudi dan Nasrani saja di dalam ayat ini? Kenapa tidak ada agama-agama lain?". Sejenak para peserta pun terdiam sembari mengernyitkan dahinya pertanda sedang berfikir keras. Tak lama beliau pun menjawab, "Karena Yahudi dan Nasrani adalah yang terdekat dengan umat Islam, karena sama-sama ahli kitab. Kalau yang dekat saja sudah tidak rela dengan umat Islam, bagaimana dengan yang jauh?".

Masih terkait dengan ayat ke 120 dari surat Al-Baqoroh tersebut, yang berbunyi, ولئن اتبعت أهواءهم بعد الذي جاءك من العلم مالك من الله من ولي ولا نصير, ayat tersebut cukup menjelaskan bahwa pemikiran, ideologi, dan isme-isme yang ditawarkan oleh mereka bukanlah sejatinya ilmu yang membawa umat manusia menuju ke peradaban yang lebih baik, melainkan hanya sekedar hawa nafsu saja. Sedangkan Allah-lah yang memberikan kita ilmu. Isme-isme yang mereka tawarkan sejatinya hanyalah kamuflase, kebohongan, dan absurd. Sejarah terus berulang, dan berulang pulalah kegagalan-kegagalan ideologi yang dianut musuh-musuh Islam tersebut. Kita tentu tahu ideologi marxisme, komunisme, dan leninisme, yang diawal abad ke 20 menjadi lawan dari ideologi kapitalisme? Dan buku-buku yang berkaitan dengan ideologi tersebut seolah-olah dijadikan sebagai kitab suci dan pegangan bagi kalangan muda-mudi yang mengaku intelektual. Ideologi tersebut gagal, dan tak bisa menjawab tantangan zaman. Omong kosong yang ditawarkan oleh tokoh mereka mengenai kesetaraan dan kesamaan dalam hal ekonomi dan penghidupan, hanya menjadi lip service belaka. Pada realitasnya, kehidupan para tokoh-tokoh mereka amat kontradiktif dengan keadaan masyarakat yang menjadi penganut ajaran mereka. 

Ayat tersebut sejatinya menjadi hujjah untuk kita, jikalau kita mengikuti hawa nafsu mereka, maka Allah memberi peringatan bahwa kita tidak akan memiliki pelindung dan penolong lagi. Lantas, apakah Barat yang selama ini menjadi "trendsetter" bagi sebagian kalangan, akan menjadi pelindung bagi umat Islam? Barat, yang memang sudah sejak lama menjadi poros permusuhan terhadap Islam, saat ini sudah nampak tanda-tanda kehancuran sosialnya.Ideologi yang mereka tawarkan sudah gagal memperbaiki kehidupan sosial di sana. Lantas, masihkah kita "membebek" kepada mereka?

Ghozwah.

  • Bermakna konfrontasi yang terencana untuk satu tujuan penaklukkan.
  • Konfrontasi mengharuskan kita siap untuk memberikan perlawanan.
  • Aspek perencanaan membedakan antara perang dan tawuran atau hal lainnya. Maka semakin tinggi level perang yang dilakukan musuh Islam, maka harus semakin tinggilah perencanaan.
  • Karena tujuannya penaklukkan, maka ada urgensi yang harus disadari.
Fikroh.

  • Fikroh menjadi penting karena manusia adalah makhluk yang dikendalikan oleh akalnya, demikian juga segala potensi dirinya hanya bisa dimanfaatkan sesuai kondisi akalnya.
  • Aspek pemikiran ini menunjukkan bahwa perang ini hanya bisa dimenangkan dengan ilmu. Artinya, yang lebih berilmu-lah yang akan menjadi pemenang.

Pemikiran dan Bahasa.

Serangan pemikiran yang paling sederhana diawali dengan bahasa yang terdiri dari kata-kata. Sebab, setiap kita mewakili sebuah konsep, dan setiap konsep mewakili sebuah pemikiran. 

Selanjutnya, beliau membawakan kalimat-kalimat absurd dari kalangan musuh-musuh Islam, yang sebenarnya jauh sekali dari sikap kritis dan ilmiah, justru malah terkesan ceroboh dan tidak logis.

Modus-modus yang sering mereka lakukan dari tiga aspek; media, pendidikan, dan hiburan.

Share:

Pengertian dan Sejarah Singkat Bahasa Indonesia

Manusia sebagai makhluk sosial tidak akan terlepas dari interaksi dan komunikasi di antara sesamanya. Seseorang dapat menyampaikan keinginan, perasaan, ide, dan gagasannya kepada orang lain melalui bahasa, baik secara lisan maupun tulisan. Pada awal perkembangannya, hanya dua hal itu saja yang menjadi alat interaksi dan komunikasi bagi manusia. Namun belakangan, saudara-saudara kita yang difabel pun sudah mulai menggunakan standar bahasa khusus dalam kehidupan mereka, entah itu bahasa tubuh maupun bahasa isyarat.

Pun dengan masyarakat Indonesia -yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasionalnya-, di zaman pasca kemerdekaan dijadikan sebagai alat untuk saling berinteraksi dan berkomunikasi. Di dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan bangsa, (2) lambang identitas nasional, (3) alat perhubungan antarwarga, antardaerah, dan antarbudaya, (4) dan alat menyatukan berbagai elemen bangsa. 

Kondisi Geografis Masyarakat Nusantara Pra Kemerdekaan.

Sebagai negara maritim, kondisi geografis Indonesia (baca: Nusantara) yang merupakan jalur perdagangan internasional, mengharuskan terkoneksinya antara satu pulau dengan pulau lainnya. Selain faktor hubungan ekonomi dengan dunia internasional, faktor pendidikan atau koneksi intelektual di antara orang-orang Nusantara dengan Hijaz pun turut andil dalam mempertemukan orang-orang dari Nusantara di sana, dimana lingua franca yang mereka gunakan adalah bahasa Melayu. Bahasa ini mulanya adalah bahasa orang-orang di Selat Malaka dan Pantai Timur Sumatera. Bahasa ini kemudian menyebar melalui interaksi laut, terutama interaksi antar orang-orang yang berada dalam gugus Laut Jawa. Karakteristik linguistiknya yang egaliter dan mudah dipelajari, membuat bahasa Melayu menjadi cepat menyebar di pesisir-pesisir pantai utara Jawa, pantai barat dan selatan Kalimantan (Borneo), pantai barat Sulawesi (Celebes), dan daerah-daerah lain dalam gugus Laut Jawa. Bahkan bahasa ini cepat menyebar ke sistem-sistem gugus laut lain di sebelah timur kepulauan Nusantara melalui interaksi lanjutan Laut Jawa dengan laut-laut lain. Lihat Jas Mewah Hal. 62.

Proses akulturasi Islam dan kebudayaan Melayu memengaruhi perubahan nilai-nilai yang terkandung dalam bahasa Melayu. Sebelum bersentuhan dengan Islam, bahasa Melayu kuno adalah bahasa seni atau bahasa estetis. Konsepsi bahasa Melayu modern memudahkan masyarakat Nusantara untuk lebih memahami agama Islam. Islam menjadi ruh dan kehidupan bagi masyarakat Nusantara, sehingga laju dan perputaran ekonomi saat itu sangat baik seiring dengan baiknya interaksi dan komunikasi masyarakat Nusantara dengan dunia internasional. Selama masa ini, naskah-naskah ilmiah berbahasa Melayu-Islam dengan tulisan Arab Pegon mewarnai ruang kebudayaan masyarakat Nusantara, yang isinya bukan lagi puji-pujian terhadap penguasa, melainkan nilai-nilai ilmiah yang dibutuhkan untuk kemajuan peradaban.

Ada sebuah pertanyaan dari seorang peneliti berkebangsaan Prancis bernama Dr. Denys Lombard, kenapa Belanda "relatif mudah" menguasai wilayah yang sekarang menjadi Indonesia? Berdasarkan bukti-bukti yang berhasil dikumpulkannya, ia menemukan jawaban bahwa Belanda menjadi mudah menguasai wilayah ini dan menyatukannya di bawah payung Hindia Belanda karena sebab sebelumnya wilayah-wilayah ini telah disatukan oleh jaringan para pedagang Muslim yang akhirnya membentuk kekuasaan Islam di berbagai wilayah. Antara satu penguasa dengan penguasa lain telah saling berhubungan secara intensif. Sebagai bukti nyata adalah terciptanya "bahasa Melayu baru" sebagai lingua franca di antara mereka. Bahasa Melayu baru ini adalah bahasa Melayu yang telah diislamisasi secara intensif peristilahan-peristilahannya yang menunjukkan pengaruh Islam yang sangat kuat. Lihat Jas Mewah Hal. 274.

Bahasa dan Pengaruhnya Terhadap Kemerdekaan.

Ada tiga faktor kesamaan antara penduduk di sebuah embrio negara baru bernama Indonesia, yang kelak akan menjadi pemicu kebangkitan nasional. Yang pertama, memiliki kesamaan nasib dalam hal ekonomi dan sosial, yakni sama-sama menjadi rakyat jajahan. Yang kedua, memiliki kesamaan lingua franca yang digunakan dalam melakukan hubungan ekonomi dan sosial. Yang ketiga, memiliki kesamaan agama. Bahkan agama Islam pada paruh pertama abad ke-20 mencapai angka 95%.

 

 

Diresmikannya Bahasa Indonesia

Kelahiran bahasa Indonesia tidak terpisahkan dari kebangkitan nasional. Semenjak dini tokoh- tokoh semacam Ki Hadjar Dewantara, serta para perintis kemerdekaan lain telah memiliki gagasan bagaimana bangsa ini bisa mempunyai bahasa yang bukan hanya berperan selaku perlengkapan pemersatu komunikasi dalam bermasyarakat, namun juga sebagai bahasa kebudayaan yang mencerminkan kedewasaan pemakainya dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa.

Setelah itu, pada saat mempersiapkan Kongres Pemuda pada tahun 1926, panitia setuju tentang garis besar rumusan Sumpah Pemuda. M. Tabrani menganjurkan bahasa persatuan itu disebut bahasa Indonesia, yang mana usulan tersebut disetujui bersama pada 2 mei 1926, termasuk Muh. Yamin meski dengan berat hati. Proses itulah yang menyebabkan tercipatanya keputusan Kongres Pemuda awal 30 April hingga 2 Mei 1926 kemudian dikukuhkan dalam Kongres Pemuda kedua, 27-28 Oktober 1928 berbentuk Sumpah Pemuda, jelas bagi kita kalau bahasa persatuan itu bahasa Melayu yang setelah itu diberi nama, bahasa Indonesia.

 

Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Nasional

Sejak Kongres Pemuda itulah kita mengenal dua bahasa, bahasa Melayu dan bahasa Indonesia. Dengan menyebut bahwa bahasa persatuan adalah bahasa Indonesia. Tidaklah berarti bahwa bahasa Melayu telah punah, bahasa tersebut masihlah eksis dan dipergunakan sebagai bahasa daerah seperti di wilayah Riau, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, dan daerah lainnya. Juga dipergunakan di pelosok Asia Tenggara, seperti Malaysia, Brunei, Singapura, serta sebagai bahasa daerah di Thailand Selatan, dan Filipina Selatan.

Bahasa Indonesia mempunyai kedudukan sebagai bahasa nasional seperti pada ikrar ketiga Sumpah Pemuda 1928 yang berbunyi "Kami putera dan puteri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia". Dan seperti yang tertera di dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal khusus (bab XV, pasal 36) mengenai kedudukan bahasa Indonesia, menyatakan bahwa bahasa negara ialah bahasa Indonesia.

Bahasa Melayu yang telah menjelma menjadi bahasa Indonesia, telah berada di Nusantara sejak 680 M, membuatnya menjadi lebih kokoh dengan perkembangan zaman. Diawali dengan bahasa pemersatu yang menyatukan setiap suku kemudian menjadi bahasa negara yang eksis hingga saaat ini. Dan kini di era modern bahasa Indonesia mulai dikenal di belahan bumi lain, nahasnya masyarakat indonesia mulai kehilangan kebanggannya terhadap bahasa ibunya tersebut.

 

Studi Kasus.

Di era digitalisasi seperti saat ini, acap kali terjadi pencampuran bahasa, terutama dalam percakapan sehari-hari. Sebut saja bahasa Jaksel,  yang merupakan hasil kombinasi dari bahasa Inggris tidak baku dengan bahasa Indonesia. Dan hal tersebut, dikhawatirkan akan menghilangkan eksistensi bahasa Indonesia. Lantas, upaya prefentif apa yang dapat kita lakukan agar bahasa Indonesia tetap dapat diaplikasikan dalam percakapan sehari-hari? Baik dalam lingkungan formal maupun non formal?


Turut Berkontribusi: Euis Siti, Fitri Az-Zahra, Habibullah Anshari, dan Fian Sofian

UIN SGD Bandung, Fakultas Adab&Humoniora Prodi Bahasa&Sastra Arab

Share:

Fenomena Sekularisme, dan Wajah Baru Kaum Modernis


Sekolah Pemikiran Islam (SPI) Bandung angkatan 8 telah resmi dibuka pada hari Kamis, 1 September 2022. Bertempat di Ruang Tafsir masjid Istiqomah Citarum, pertemuan pertama di malam tersebut didahului oleh pemaparan dari Akmal Sjafril, yang merupakan pendiri sekaligus kepala pusat SPI yang saat ini juga merupakan peneliti di INSISTS.

Sesuai dengan visi yang diusung, yaitu menjadi lembaga pendidikan yang berkontribusi membangkitkan kembali tradisi ilmu untuk mengembalikan kejayaan peradaban Islam, maka Akmal menjelaskan bahwasanya agama Islam dibangun atas dasar ilmu pengetahuan, bukan keajaiban-keajaiban yang bersifat metafisik dan irasional. Akmal kemudian memberikan sebuah contoh mengenai fenomena orang murtad, yang menurut anggapannya tidak berlandaskan pada nilai-nilai intelektualitas. Tidak ada sejarahnya orang yang murtad menganggap bahwa konsep trinitas lebih logis ketimbang konsep tauhid yang ditawarkan oleh Islam. Motif murtad mereka tidak lebih dari sekedar perkara remeh-temeh dan timbangan duniawi belaka. 

Akmal juga kembali menegaskan, bahwa level umat Islam jauh di atas umat-umat lain. Dalam berbagai lini, seharusnya umat Islam lebih jauh mengungguli mereka. Sebagai contoh dalam perkara kehidupan sosial, mereka penganut agama-agama lain pun menolak tentang LGBT dan freesex, akan tetapi kembali hanya Islam saja yang habis-habisan menentang hal-hal tersebut. Penganut agama lain sudah angkat tangan menghadapi hal-hal tersebut, maka imbasnya adalah kerusakan moral dan hilangnya peradaban dari masyarakat mereka. Itulah tujuan sekularisme dan liberalisme, menjauhkan manusia dari peradaban dan moralitas. Karena bagi penganut sekularisme, agama dan nilai-nilai ketuhanan harus dijauhkan dari ruang lingkup publik apapun itu namanya. Cukup dijadikan konsumsi pribadi saja.

Maka kiranya tepat, jika saat ini SPI menjadi wadah yang mengakomodir seluruh kalangan muda-mudi muslim dengan latar belakang pendidikan yang berbeda, untuk mengkaji fenomena-fenomena yang tengah terjadi saat ini -terutama di lingkungan kampus atau tempat tinggal mereka-. Salah satunya adalah Trianka Utama, salah seorang peserta SPI Bandung yang memiliki latar belakang pendidikan di jurusan komunikasi dan pengembangan masyarakat IPB, tatkala ditanyakan mengenai fenomena sekularisme,

"Proyek sekularisasi bangsa Indonesia itu sangat terasa hasilnya di masa sekarang. Orang-orang benar-benar jauh dari agama, apalagi generasi-generasi akhir sekarang ini. Mereka ini di setiap sendi kehidupannya dicekoki pemikiran ala-ala sekuler liberal. Jauh dari agama ditambah dengan pemahaman sekuler liberal, jadilah generasi yang rusak aqidah, rusah ibadah, rusak akhlak, dan rusak pemikirannya".

Mengenai harapannya tatkala mengikuti program SPI, "Itulah salah satu peran SPI, sebagai pondasi untuk membangun generasi umat Islam bukan hanya sekedar aqidah, ibadah, atau akhlaq, tapi pemikiran dan intelektualitasnya juga di islamisasi", imbuhnya.

Maka kita berharap, dengan agenda yang ditawarkan oleh SPI ini menjadi tempat yang akan melahirkan kaum-kaum intelektual di kalangan umat Islam -yang sebelum zaman kemerdekaan disebut sebagai kaum modernis-, yang berpedoman kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah, dan menolak segala bentuk kejumudan berfikir.

Share:

Definition List

Definition list
Consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua.
Lorem ipsum dolor sit amet
Consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua.

Theme Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.
Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

Ordered List

  1. Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.
  2. Aliquam tincidunt mauris eu risus.
  3. Vestibulum auctor dapibus neque.

Recent Posts

Unordered List

  • Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.
  • Aliquam tincidunt mauris eu risus.
  • Vestibulum auctor dapibus neque.

Sample Text

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua.

Pages

Theme Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.