RESENSI BUKU: Pertarungan Pemikiran Islam di Indonesia (Tiar Anwar Bachtiar).


Pertarungan Pemikiran Islam di Indonesia (Kritik-Kritik Terhadap Islam Liberal dari H.M Rasjidi Sampai INSISTS)

Buku yang akan saya resensi ini merupakan disertasi Tiar Anwar Bachtiar di Universitas Indonesia. Beliau merupakan seorang akademisi dan sejarawan muda yang aktif di organisasi pergerakan Islam. Dan saat ini beliau menjabat sebagai Ketua Bid-Gar Pengembangan Dakwah dan Kajian Pemikiran Islam PP PERSIS.

Buku ini terbitan Pustaka Al-Kautsar. Tebal halaman utama hanya 410 halaman ditambah beberapa halaman untuk pengantar penerbit, penulis, daftar isi, dan daftar pustaka. Di akhir-akhir halaman, penerbit mencantumkan biodata penulis dan foto-foto wajah dan buku dari dua kubu yang bersebrangan. Buku ini saya beli dari market place orange seharga Rp. 76.000. Dari kualitas cetakan dan kertas kurang baik menurut saya. Tapi hal ini bukan menjadi substansi yang akan saya bahas.

Sinopsis

Penulis mengantarkan pembaca agar dapat langsung melakukan polarisasi kelompok gerakan Islam yang ada di era Orde Baru. Kelompok-kelompok yang ada lebih cendrung mengarah kepada gerakan pemikiran, ketimbang gerakan politik dan gerakan sosial. Terlebih Partai Masyumi -yang menjadi partai tempat bernaung semua kelompok gerakan Islam-, dibubarkan secara sepihak oleh rezim Orde Lama atas dugaan mendukung pemberontakan yang dilakukan PRRI. Mengenai keterkaitan orang-orang eks. Masyumi terhadap pertarungan pemikiran di Indonesia, akan dibahas oleh penulis di Bab II Sub Bab Fase Kemunculan Islam Liberal.

Secara garis besar, dalam pengantarnya penulis memaparkan beberapa pandangan para peneliti lain -bahkan dari kalangan orientalis seperti Charles Kurzman dan Greg Barton- dalam membuat polarisasi dan pelabelan terhadap kelompok gerakan Islam yang ada di zaman Orde Baru. Bahkan tak tanggung-tanggung, para peneliti tersebut menyebutkan afiliasi bahkan melakukan kategorisasi terhadap setiap person tersebut, dengan kelompok gerakan atau ormas Islam yang ada. Sebut saja Nurcholis Madjid dan Mukti Ali, terafiliasi dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) kala itu. Ada juga sosok Abdurrahman Wahid (Gusdur), terafiliasi dengan gerakan Islam Tradisional NU. Adapun lawannya, dikalangan gerakan Islam modernis,  lebih banyak tergabung di Dewan Dakwah besutan Moh. Natsir (seperti mantan Menteri Agama Pertama HM. Rasjidi, Endang Saefudin Anshari, Ahmad Husnan, dll). 

Julukan liberal memang masih asing di telinga masyarakat kala itu. Kelompok yang sehaluan dengan Nurcholish Madjid hanya diberi julukan sebagai Neo-Modernis atau Pembaharu kala itu. Barulah era Pasca-Reformasi, julukan Islam Liberal mulai akrab di telinga masyarakat, baik di kalangan para pendukung pemikiran Nurcholis Madjid, maupun penentangnya.

Dari Bab ke Bab, Ringkasan Inti

Penulis masih mengutip keterangan dari para peniliti, yang menyebutkan bahwa di awal abad ke-20 bermunculan gerakan-gerakan pembaharu Islam (tajdid) atau kelompok Modernis di Indonesia. Gerakan ini digawangi oleh Muhammadiyyah, Persatuan Islam (PERSIS), dan Al-Irsyad. Ciri yang melekat dalam pergerakan mereka berupa jargon "Kembali Kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah". Dan kelompok Modernis ini menolak praktik-praktik keagamaan berupa syirik dan TBC (Takhayyul, Bi'dah, dan Churafat, sesuai dengan aksen di zaman dahulu). Kelompok Modernis ini melakukan kritik terhadap sikap keagamaan kelompok Tradisionalis yang dianggap jumud dan enggan membuka pintu-pintu ijtihad, juga terlampau taqlid (membeo) terhadap ulama dan madzhab fiqih tertentu. Oleh karenanya tak heran, jika kelompok Islam Modernis ini mendapatkan julukan peyoratif -bahkan hingga saat ini- sebagai Wahhabi. Wahhabi merupakan julukan bagi para pengikut gerakan pembaharuan dari tanah Arab yang dilakukan oleh Imam Muhammad bin Abdul Wahhab. Tak heran jika meraka dijuluki sebagai Wahhabi oleh kalangan orientalis dan kelompok Islam Tradisionalis, karena momen pembaharuan yang dilakukan kelompok modernis Islam Indonesia tersebut memang bertepatan dengan momen keruntuhan Turki Utsmani tahun 1924 -yang salah satu sebabnya karena imbas dari gerakan pembaharuan di tanah Arab-. Terlebih, jargon-jargon yang mereka usung pun mirip dengan yang diusung di tanah Arab. 

Dalam hal urusan pokok agama (ushul), mereka memiliki pandangan yang sama. Perbedaan yang mencolok di antara mereka terletak di urusan cabang agama, terutama dalam hal fiqih. Karena sebab inilah, mereka dapat dipertemukan dalam suatu forum yang digagas oleh organisasi pergerakan Islam pertama di Nusantara bernama Sarekat Islam pada tahun 1925, dibawah kepemimpinan HOS. Tjokroaminoto, yang juga sekaligus menjadi guru bagi para founding father negeri ini, terutama di kalangan kelompok Islam Modernis. Dari pertemuan itulah, akhirnya kelompok Islam Tradisionalis dan Modernis dapat duduk di bawah satu naungan organisasi, bernama Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI) pada tahun 1937. MIAI inilah yang menjadi cikal bakal atau rahim partai Islam milik umat Islam Indonesia, bernama Majelis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI). 

Dan yang menarik dari hal ini, meskipun mereka memiliki perbadaan dalam hal cabang agama, akan tetapi dalam forum-forum politik dan kenegaraan mereka tetap memperjuangkan asas Islam. Kenyataan yang indah tersebut terus berlangsung sampai tahun 1975, ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) didirikan dibawah kepemimpinan Buya Hamka -yang merupakan seorang tokoh Islam modernis-. Mungkin yang membuat kalangan Modernis dan Tradisionalis bersatu, karena di tahun 1970 terjadi polemik kontroversial yang menjadi pemantik bangunnya gerakkan sekularisme dan liberalisme agama di Indonesia. Jargon yang diteriakkan oleh Nurcholis Madjid yaitu "Islam Yes, Partai Islam No!", dia utarakan dalam pidatonya pada acara silaturahim Idul Fithri tanggal 3 Januari 1970. Polemik tersebut menjadi menarik bagi kalangan elit, entah itu dari kalangan umat Islam maupun elit Orde Baru, terlebih hal tersebut dijadikan bahan berita di media massa.

Kekecewaan yang dirasakan umat Islam tersebut semakin bertambah, tatkala Nurcholis Madjid kembali melakukan pidato dalam Orasi Kebudayaan di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada tahun 1972. Pidatonya tersebut merupakan sekuel dari pidato sebelumnya, yang berisi penekanan agar umat Islam mau menjawab tantangan zaman. Berbeda dengan pidato sebelumnya, kali ini Madjid lebih memilih narasi-narasi yang tidak menimbulkan polemik, dan beliau lebih mengutarakan gagasan-gagasannya tentang keharusan sekularisasi dan liberalisasi pemikiran Islam secara lebih mendalam dan tajam. Mungkin karena pemilihan narasi seperti inilah, Madjid tidak terlalu dikecam oleh para pengritiknya dikalangan umat Islam -terutama kalangan eks. Masyumi-, yang terlampau kecewa da menganggap Madjid berpihak kepada rezim Orde Baru. 

Dan yang perlu diketahui, pada saat kejatuhan Soekarno, usaha-usaha para eks. Masyumi untuk mengajukan rehabilitasi terhadap Masyumi sudah dilakukan, akan tetapi ditolak secara tegas oleh perwira-perwira militer karena Masyumi dianggap pernah melakukan pemberontakan. Dan didirkanlah Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) pada tahun 1967, dengan catatan eks. Masyumi tidak boleh memimpin partai ini karena dianggap memilik watak pemberontak. Bukan hanya eks. Masyumi saja yang terkena imbas dari peraturan Orde Baru, NU yang telah menjadi partai politik kala itupun mengalami pembersihan struktural melalui operasi khusus (Opsus) terhadap pemimpinnya (Muchammad Dahlan dan Subhan ZE) pada tahun 1972, karena dinilai kritis dan berbahaya bagi kekuasaan Soeharto.

Nah, ada yang menarik bagi saya pribadi. Pembahasan mengenai intervensi Orde Baru terhadap Masyumi dan NU ada di halaman 24, akan tetapi di halaman 30 kembali dibahas oleh penulis tentang sikap akomodatif NU terhadap rezim Orde Baru, sehingga Soeharto memilih Mochammad Dahlan -yang saat itu menjadi pimpinan partai NU- sebagai menteri agama sampai tanggal 6 September 1971, sebagai bukti balas jasa Soeharto kepada NU. Dan yang tak kalah menarik, di halaman 28 penulis langsung loncat kepada peristiwa tahun 1980-an, diawali sebuah paragraf yang menyebutkan di tahun 1985, pemerintah membuat Undang-Undang tentang kewajiban seluruh partai dan ormas menganti asasnya dengan pancasila, atau asas tunggal. Lalu disusul paragraf di bawahnya di tahun 1984, tentang aksi represif dan brutal aparat (ABRI) terhadap umat Islam, dan puncaknya ketika ABRI di bawah komando Leonardus Benyamin (LB) Moerdani menurukan pasukan bersenjata menembaki umat Islam yang melakukan aksi massa -yang dipicu oleh kesewenang-wenangan ABRI masuk ke masjid As-Sa'adah tanpa melepas sepatu dan melumpuri pengumuman pengajian di tembok masjid-.

Di halaman 29, penulis kembali membahas tentang didirikannya Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 1975, sebagai upaya kontrol pemerintah terhadap gerakan-gerakan ulama umat Islam. Dan kalau kita mau flashback ke Bab I halaman 4, ada sebuah paragraf yang membahas mengenai didirikannya MUI di bawah kepemimpinan Buya Hamka. Yang tergambar bagi saya sebagai pembaca buku ini adalah hal indah, karena di dalamnya duduk berbagai kalangan ulama umat Islam yang memiliki corak pandangan keagamaan yang berbeda, akan tetapi saling melengkapi dan mau duduk bersama untuk berdiskusi mengenai permasalahan umat Islam. Padahal di tahun-tahun tersebut, situasi politik dan sosial sedang panas-panasnya menyelimuti tubuh umat Islam. Bahkan penulis di halaman 29 memiliki anggapan bahwa pembentukan MUI oleh Soeharto adalah upaya untuk melemahkan peran politik umat Islam, dan upaya korporatis agar masyarkat mau bersikap kooperatif dan akomodatif terhadap kepentingan rezim Orde Baru. Nah, bagi pembaca yang lebih senang ketika membaca sebuah buku yang runtutan sejarahnya sesuai dengan waktu kejadian, tampaknya akan sangat sulit mencerna paragraf demi paragraf dan Bab demi Bab yang dijabarkan oleh penulis. Karena penulis meruntut kejadiannya sesuai dengan substansi latar belakang sejarah pemikiran, lalu disusul oleh fase kemunculannya beserta kritik atasnya tanpa harus dibatasi oleh runtutan tanggal dan tahun kejadian. Oleh karenanya, ada kesan loncat-loncat materinya menurut saya pribadi. Nah di bab-bab berikutnya, akan ada kesan pengulangan kembali kronologis tanggal dan tahun kejadian. Namun yang pasti, kita tetap harus membacanya secara utuh agar dapat tergambar kejadian yang lebih luas dan bertambahnya wawasan kita mengenai hal ini.

Dalam paragraf-paragraf berikutnya, penulis menjelaskan bahwa de-Islamisasi politik di era Orde Baru tidak dipertahankan oleh Soeharto. Sikap represifnya terhadap umat Islam mulai melemah dan mencair, seiring dengan melemahnya kontrol Soeharto terhadap militer. Peran dan kontrol LB. Moerdani terhadap militer semakin kuat, dan muncul dugaan dia akan menggulingkan Soeharto. Menurut penulis, selain faktor-faktor internal, ternyata suhu politik internasional memengaruhi iklim politik di dalam negeri.

Sikap politik Soeharto -yang terkesan mendekati kalangan Islam- terlihat dari kebijakan politik yang ia ambil. Jika sebelumnya ia cendrung dekat dengan pemimpin-pemimpin dan teknokrat-teknokrat Kristen, bahkan banyak sekali pos-pos penting dalam pemerintahannya diduduki oleh kalangan Kristen dan anti Islam. Maka di tahun-tahun berikutnya Soeharto mengangkat orang-orang di sekelilingnya yang beragama Islam untuk menduduki pos-pos penting. Termasuk di dalamnya pos militer dan kebijakan dalam hal ekonomi.

Ialah Habibie -lewat Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI)-, yang menjadi jembatan komunikasi Soeharto dengan kelompok-kelompok Islam. Meskipun bukan gerakan politik praktis, namun banyak anggapan bahwa ICMI kental dengan nuansa politis. Meski tak memiliki prestasi signifikan dalam hal politik -dan malah terkesan dipolitisasi oleh Soeharto-, terbukti ICMI memainkan perannya dalam merubah arah politik Soeharto yang menjadi dekat dengan Islam. Bukti-bukti ritual keislaman pun dijalankan oleh Soeharto dengan menunaikan haji di tahun 1991, dan kehadirannya dalam acara-acara umat Islam.



Share:

RUU HIP: SEJARAH PANCASILA, PENGKHIANATAN TERHADAP UMAT ISLAM, DAN SIKAP OTORITER SOEKARNO DALAM BERNEGARA

Pembahasan mengenai RUU HIP -yang diinisiasi oleh fraksi PDIP di parlemen- kian memanas. Kendati pembahasan tersebut ditunda, kelompok masyarakat terutama dikalangan umat Islam masih terus menyuarakan penolakan tersebut. Kecurigaan menyeruak, mulai dari tuduhan adanya peran komunis dalam RUU tersebut -karena tidak mencantumkan Tap MPRS yang membubarkan dan melarang PKI serta segala hal berbau komunisme-, mendegradasi atau melemahkan Pancasila, sikap otoriter pemerintah dalam menafsirkan Pancasila, bentuk Soekarnoisasi Pancasila -karena mencantumkan ide pemerasan Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila-, dan kecurigaan sebagai bentuk Islamphobia negara -karena menghapus sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa dan menggantinya menjadi Ketuhanan Yang Berkebudayaan di sila terakhir-.

Semua elemen umat Islam menolak keras upaya distorsi Pancasila tersebut, mulai dari MUI, Muhammadiyyah, NU, Persatuan Islam (PERSIS), Front Pembela Islam (FPI), dan kelompok umat Islam lainnya. Bahkan kelompok nasionalis Pemuda Pancasila (PP) pun turut hadir bersama elemen umat Islam tersebut dalam demo tanggal 24 Juni 2020 di depan gedung DPR.

Lantas apa dan bagaimana sebenarnya korelasi RUU HIP dengan peristiwa sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia?  Apa yang menjadi kekhawatiran Umat Islam tersebut jika RUU HIP disahkan? Apakah dengan disahkannya RUU tersebut, akan membawa stabilitas bagi negara? Kita perlu menyikapi hal ini dengan ilmiah dan kepala dingin serta semangat toleransi, dan tak lupa setiap kejadian di negeri ini harus dikomparasikan dengan peristiwa-peristiwa sejarah kemerdekaan bangsa ini.

Sejarah Pancasila

Kejadian sejarah dalam negeri kita merupakan rangkaian peristiwa yang berkaitan satu dengan yang lainnya. Sehingga amat sulit jikalau hendak diambil satu peristiwa saja, dan meninggalkan bahkan mendistorsi peristiwa yang lainnya.

Membahas mengenai sejarah Pancasila, harus kita tarik mundur ke belakang sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Kita tarik menuju tahun dimana konstelasi politik dunia yang sedang memanas dalam perang dunia ke II, antara blok fasis (Jepang, Italia, dan Jerman) dan blok sekutu (termasuk di dalamnya Belanda). Belanda yang selama 3,5 abad menguasai Nusantara, dibuat bertekut-lutut oleh agresi Jepang di Indonesia pada tanggal 9 Maret 1942.

Kekuasaan beralih pada Jepang, adapun pihak Hindia-Belanda yang telah menyerah banyak terdapat di kamp-kamp tahanan perang. Sebagian adapula yang memilih pergi ke Australia, bersama dengan para tahanan pribumi di Boven Digoel -yang mayoritas merupakan kelompok komunis-. Di sana terbangun kekuatan sekutu antara pemerintah Hindia Belanda dengan pihak komunis. Dari sini benang merah kita tarik, bahwa semenjak dahulu kaum komunis sering memainkan politik dua kaki, politik bermuka dua.

Sementara di Indonesia, kelompok komunis yang semenjak zaman pemerintahan Hindia-Belanda sering melakukan pemberontakan dan perlawanan, kini tidak berani menampakkan batang hidungnya di hadapan Jepang, hanya berani melakukan gerakan bawah tanah. Salah satu tokoh PKI yang berani melakukan gerakan perlawanan adalah Amir Sjarifoeddin. Beliau membentuk gerakan anti fasis dalam rangka menentang imperialisme Jepang di Indonesia.

Kekalahan demi kekalahan pun dialami oleh Jepang dalam perang Asia Pasifik Raya. Maka dengan siasatnya, Jepang menjanjikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia dengan membentuk BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia) atau dikenal Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai. Pembentukan badan ini sejatinya hanyalah iming-iming Jepang agar pihak pejuang Indonesia tidak melakukan perlawanan terhadap Jepang, yang justru akan membuat pihak Jepang semakin lemah.

Sidang BPUPKI dilaksanakan selama 4 hari, tanggal 29 Mei sampai 1 Juni 1945. Dalam bukunya, KH. M. Isa Anshary berkata,
"Menurut sejarah yang kita baca, sila yang lima dari Pancasila mula pertama digali oleh Mr. M. Yamin dalam sebuah pidato beliau pada rapat BPUPKI tanggal 29 Mei 1945 di Jakarta. Tanggal 29 Mei-lah lahirnya Pancasila, dan penggalinya adalah Muhammad Yamin.

Dalam uraian pidato Muhammad Yamin yang panjang itu, urutan sila yang lima itu disusun sebagai berikut:
1. Peri Kebangsaan
2. Peri Kemanusiaan
3. Peri Ketuhanan
4. Peri Kerakyatan
5. Kesejahteraan Rakyat (Keadilan Sosial)

Tanggal 1 Juni 1945, baru Bung Karno berpidato tentang dasar dari negara yang akan dibentuk, dalam rapat yang sama. Beliau sama sekali tidak mengeluarkan penemuan dan galian baru, hanya membawakan tafsiran dan rumus baru dari sila yang lima yang telah dikemukakan oleh Muhammad Yamin tanggal 29 Mei. Hanya urutannya mendapat perubahan sedikit, sebagai berikut:
1. Kebangsaan
2. Kemanusiaan
3. Demokrasi
4. Kesejahteraan Rakyat
5. Ketuhanan

Karena kecakapan Bung Karno berpidato yang tanpa teks itu, seluruh hadirin terpesona dibuatnya". (Mujahid Da'wah, 156)

Di atas sudah kita simak, bahwasanya ide Pancasila (Dasar Yang Lima) bukan murni dan otentik pemikiran bung Karno, bahkan menurut beberapa sumber ia adalah hasil diskusi dan kompromi antara beliau dan Mr. M. Yamin sebelum sidang BPUPKI. Bahkan Mr. Soepomo pun memberikan dasar yang lima tersebut sebagaimana kedua tokoh itu, meski susunannya berbeda.

Sila "Ketuhanan Yang Maha Esa" yang dikemukakan oleh Bung Karno -terlepas dari masalah tempatnya di urutan paling akhir-, bersumber dari sekularisme (ketiadaan agama). Ketuhanan yang dimaksud oleh Bung Karno bukan bermakna monoteisme (kepercayaan pada satu Tuhan), tidak bersumber dari wahyu Ilahi, bukan sebagai pengakuan akan kedaulatan Tuhan beserta konsekuensinya -yaitu menjalankan segala hukum Ilahi-, dinamis dan relatif, mengikuti situasi dan kondisi masyarakat saat itu.

Dalam pidatonya di sidang BPUPKI, Bung Karno berkata,
"Prinsip ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w., orang Budha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semua bertuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya bertuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada egoisme Agama".

Saudara bisa lihat kalimat-kalimat beliau yang telah saya tebalkan dan garis-bawahi. Ketuhanan yang beliau maksudkan sangat kabur, cendrung pada pluralisme Agama (percampur-adukkan Agama). Ada faham trinitas atau politeisme, monoteisme, dan paganisme yang dicampur-aduk dalam sila tersebut. Dan kalimat beliau "menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa", lebih mengarah pada liberalisasi dalam beragama, kebebasan dalam berketuhanan, bahkan kebebasan dalam anti berketuhanan. Hal inilah yang menjadi dasar bagi Partai Komunis Indonesia (PKI) saat sidang Konstituante, menyisipkan suatu pasal berbunyi, "Pancasila menjamin kebebasan berkeyakinan hidup". Ya, kebebasan untuk bersikap atheis dan anti Agama!

Dalam sebuah pertemuan gerakan pembela Pancasila di Istana tanggal 17 Juni 1954, Bung Karno membuat suatu gambaran tentang wujud ketuhanan yang relatif dan dinamis, mengikuti perkembangan hidup masyarakat dari satu taraf ke taraf lainnya. Dari taraf nomaden, ke taraf agraria atau pertanian, sampai ke taraf industrialisasi, dan lain-lain. Kesimpulan dari tamsil beliau, seseorang yang hidup di taraf nomaden dan agraria membutuhkan Tuhan. Tetapi jika seseorang hidup di taraf industrialisasi, Tuhan tidak dia butuhkan lagi.

Mohammad Natsir mengomentari tafsir dan falsafah Pancasila yang dibawakan oleh Bung Karno,
"Pancasila sebagai falsafah negara itu bagi kami adalah kabur dan tak bisa berkata apa-apa kepada jiwa umat Islam yang sudah mempunyai dan sudah memiliki satu ideologi yang jelas, terang, dan lengkap, dan hidup dalam kalbu rakyat Indonesia sebagai tuntunan hidup dan sumber kekuatan lahir dan batin, yakni Islam.

Dari ideologi Islam ke Pancasila bagi umat Islam adalah ibarat melompat dari bumi tempat berpijak, ke ruang hampa, vacuum, tak berhawa". (Islam Sebagai Dasar Negara, Sidang Konstituante 1957-1959).


[TULISAN INI SAMPAI DENGAN TEMA "SURAT KEPADA MARIDJAN" DI MUAT SESUAI TANGGAL YANG TERTERA PADA SUMBER BLOG PERTAMA]


Share:

SIKAP ISLAM TERHADAP KEMERDEKAAN BERFIKIR

Sikap Islam Terhadap Kemerdekaan Berfikir

(Disadur dari tulisan Mohammad Natsir).

Salah satu dari tiang-tiang ajaran junjungan kita Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam yang penting, ialah: Menghargai akal manusia dan melindunginya dari pada tindasan yang mungkin dilakukan orang atas nikmat Tuhan yang tiada ternilai itu. Muhammad meletakkan akal pada tempat yang terhormat dan menjadikan akal itu sebagai salah satu alat untuk mengetahu Tuhan. Bertebaran dalam Al-Qur'an pertanyaan yang memikat perhatian, menyuruh orang mempergunakan fikiran dan mendorong manusia supaya mempergunakan akalnya dengan sebaik-baiknya:
أفلا تتفكرون
"Kenapa mereka tidak berfikir?". (QS. Al-An'am:50)
أفلا تعلمون
"Kenapa mereka tiada mengetahui?"
أفلا تعقلون
"Kenapa mereka tiada mempergunakan akal?". (QS. Al-An'am:32), dan demikianlah seterusnya...! Disuruh manusia memperhatikan tumbuhan yang hidup, dan ditanya, apa dan siapakah yang menghidupkan dan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan itu.

Akal merdeka bisa memperkuat dan memperteguh iman kita, menambah khusyu' dan tawadhu' kita terhadap kebesaran Ilahi serta membantu kita mencari rahasia-rahasia firman Tuhan, menolong kita memahamkan hikmah-hikmah suruhan dan ajaran agama, mempertinggi dan memperhalus perasaan keagamaan kita.

Akal merdeka bisa membersihkan agama kita dari kutu-kutu berbahaya yang datang belakangan dan yang bertentangan dengan agama itu sendiri. Akal merdeka membukakan jendela alam pikiran kita, agar bertukar udara apik dan busuk dengan udara yang bersih dan nyaman.

Tapi dalam pada itu akal merdeka pandai pula membongkar tiang-tiang agama itu, melemparkan hudud dan melangkahi batas. Jadi bukan saja ia bisa memasukkan udara yang sejuk dan sepoi-sepoi basam tetapi dapat pula memasukkan topan limbubu menghancurkan apa yang ada.

Agama datang membangunkan akal dan membangkitkan akal itu serta menggemarkan agar manusia memakai akalnya dengan sebaik-baiknya sebagai suatu nikmat Ilahi yang maha indah.

Ir. Soekarno pernah mengemukakan satu tamsil tentang jilatan anjing:
Pada suatu hari saya punya anjing menjilat air di dalam panci di dekat sumur. Saya punya anak Ratna Juami berteriak, "Papie, papie, si Ketuk menjilat air di dalam panci".

Saya menjawab, "Buanglah air itu, dan cucilah panci itu beberapa kali bersih-bersih dengan sabun dan creoline".

Ratna termenung sebentar. Kemudian ia menanya, "Tidakkah Nabi bersabda bahwa panci ini mesti dicuci tujuh kali, diantaranya satu kali dengan tanah?".

Saya menjawab, "Ratna, di zaman Nabi belum ada sabun dan creoline. Nabi waktu itu tidak bisa memerintahkan orang memakai sbaun creoline!".

Muka Ratna menjadi terang kembali. Itu malam ia tidur dengan roman muka yang seperti bersenyum, seperti mukanya orang yang mendapat kebahagiaan besar. Maha besarlah Allah ta'ala, maha mulialah Nabi yang Ia suruh!.

Menjaga kebersihan itu diperintah oleh agama kita. Caranya kita menjaga kebersihan itu diserahkan kepada kita, menurut ilmu kesehatan di zaman kita dan dengan alat-alat yang ada dalam masyarakat kita. Kalau kita dapat tahu bahwa jilatan anjing itu ada mengandung mikrob dan kita buang mikrob itu dengan sabun atau karbol, atau kita rebus dan kita bakar dengan spirtus sampai steril sama sekali, yang demikian adalah satu amal keduniaan menjaga kebersihan yang dengan cara umum juga sudah disuruh oleh agama. Akan tetapi semua ini tidak menghilangkan bahagian 'Ubudiyyah dari masalah ini, yakni suruhan mencuci dengan tanah. Demikian juga bila ada orang bisa melihat bahwa dalam shalat itu ada semacam gerak badan (sport). Dan kita sekarang sudah mendapat cara sport yang modern dan praktis. Kita boleh kerjakan sport itu, tapi apakah bisa shalat itu lantas ditukar saja dengan badminton, umpamanya? Tentu tidak bisa, bukan?

Ditakdirkan besok lusa anak saya datang mengatakan, "Ba! Si Kumbang menjilat panci. Cukupkah kalau dicuci dengan sabun dan kreolin saja?".

Saya akan jawab, "Sekedar menjaga kebersihan kita, itu sudah cukup. Akan tetapi untuk menyempurnakan suatu suruhan agama yang harus kita terima dengan ta'abbudi, cucilah panci itu pakai tanah satu kali dan lindangi dengan air bersih-bersih sampai enam kali. Sekarang, bila kuatir kalau-kalau pada bekas jilatan anjing itu ada bakteri-bakteri, cuci pulalah sekali lagi dengan lisol atau kreolin dan yang semacam itu!".

Kalau saya jawab begitu, say ayakin bahwa anak sayapun akan tidur pada malamnya dengan nyenyak dan mukanyapun akan berseri-seri lantaran hygienishchezin-nya sebagai anak dari zaman bakteriologi dan hygiene sudah ia puaskan dengan cara yang ia telah dimerdekakan oleh agama melakukannya disamping itu ia telah sempurnakan pula suatu suruhan 'ubudiyyah terhadap Tuhan dengan cara yang telah diterangkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Maha Sucilah Tuhan yang mengetahui akan apa yang nyata dan apa yang gaib dari akal dan pancaindera hamba-hambaNya.

Share:

Nussa-Rara, dan Sebongkah Hasad Kaum Kolot "Mayoritas" Terhadap Karya Anak Bangsa

Kedewasaan dalam Toleransi

Ramai di jagat twitter, salah satu akun membagikan sebuah link artikel yang di dalamnya menyoroti sebuah animasi buatan anak bangsa, bernama Nussa-Rara. Aroma tendensius menyeruak di setiap kalimat-kalimat, diiringi dengan labelisasi buruk di dalamnya. Mulai dari judul yang menggiring opini bahwa animasi tersebut tidak mengajarkan sebuah Islam "khas" Nusantara, yang terkenal dengan jargonnya "Rahmatan Lil 'Aalamiin".

Islam yang ditawarkan dalam serial animasi tersebut digambarkan sebagai "Islam Kaku" oleh penulis, lantaran dalam dua judul yang disinggung oleh penulis, terdapat dua buah adegan dimana anak laki-laki tersebut enggan bersalaman dengan seorang perempuan -yang ia kira sebagai orang asing-, dan sikap anak perempuan yang melakukan salam "namaste" setelah laki-laki kurir tersebut melakukannya.

Pun di paragraf 19 dan 20, dengan fatalnya penulis membuat sebuah sekat-sekat dan blok-blok baru dalam kehidupan sosial Islam, dimana keislaman yang divisualisasikan dalam animasi tersebut adalah "Islam Kelas Menengah atau Urban" dengan segala atribut keislamannya berupa niqob, gamis, dll. Yang kalau kita mau jujur; niqob dan gamis merupakan bagian dari keluasan fiqih Islam -dalam berpakaian- yang menuntut kita sebagai ummatnya untuk bersikap "tasammuh" atau toleran menyikapinya. Dan tak boleh kita benturkan dengan kebiasaan berpakaian ummat Islam lainnya yang bersarung, berkopeah hitam ala pejabat, berkemeja batik, dan sebagainya.

Dan di paragraf 26 lebih kentara sekali aroma hasutan dari penulis, dengan membuat perbandingan terhadap animasi kartun "tetangga" -di paragraf sebelumnya-, dan tanpa sadar membuat sebuah penghakiman bahwa Islam yang disuguhkan dalam animasi tersebut rentan mendangkalkan sikap toleransi dan ke-bhineka-an yang menjadi ruh persatuan bangsa ini. Apa sebab? Sebab yang ditonjolkan secara dominan dalam animasi tersebut adalah tata-cara ibadah dan gaya hidup keislaman. Atau mungkin maunya si penulis, perlu kiranya agar si produser, sutradara, dan mereka yang berkecimpung dalam pembuatan animasi tersebut harus dari latar belakang agama, keyakinan, dan budaya yang berbeda? Dan angle dalam animasi tersebut dilakukan di sebuah pondok pesantren tradisional dan di tempat ibadah umat agama lain, semisal gereja? Dimana ada beberapa santri berkunjung ke beberapa tempat ibadah umat lain dalam rangka mempraktikkan toleransi yang didramatisir? Kalau itu terjemahan toleransi dan sikap ke-bhineka-an yang mereka tuntut, rumit sekali bangsa ini untuk bersikap dewasa!

Labelisasi Buruk Terhadap Umat Islam

Labelisasi dan stigmatisasi buruk terhadap sang Pembawa Risalah Ilahiyyah, disematkan oleh kaum musyrik jahiliyyah, tatkala Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mulai menampakkan secara terang-terangan agama Islam. Mulai dari sebutan majnuun gila, saahirun kadzdzaab tukang sihir pendusta, Al-Qur'an&seruan yang beliau bawa dianggap karangannya&dongeng orang-orang terdahulu, dan segala macam bentuk labelisasi dan stigmatisasi buruk lainya.

Kita majukan kembali di zaman pra proklamasi, zaman dimana pertarungan yang sengit berlaku antara satu tokoh dengan tokoh lainnya. Pertarungan tersebut tak lepas pula dari labelisasi dan stigmatisasi terhadap kelompok ummat Islam.

Bung Karno dalam artikelnya berjudul "Memudakan Pengertian Islam", banyak sekali memberi labelisasi terhadap ummat Islam dengan sebutan jumud, kepala batu, beku, dungu, dan sebagainya. Hal tersebut kemudian disanggah oleh Mohammad Natsir dalam buku "Islam dan Akal Merdeka", dan juga disanggah oleh A. Hassan dalam sebuah artikel berjudul "Membudakkan Pengertian Islam".

Ir. Soekarno berkata:
"Umumnya manusia adalah egosentris di dalam anggapannya, anggapan sendiri saja yang benar, anggapan orang lain adalah salah, anggapan orang lain dianggap tempe".

A. Hassan menanggapi:
"Manusia memang mempunyai tabiat demikian. Oleh sebab itulah, barangkali tuan Soekarno kepala batukan, dungukan, bodohkan orang lain yang tidak mau turut pahamnya, dan tuan Soekarno merasa pahamnya sendirilah yang paling benar".

A. Hassan berkata lagi:
"Di dalam karangan-karangan tuan Soekarno itu banyak kita dapati kalimat-kalimat yang sangat menusuk hati kaum yang disindirnya atau yang 'dinasehatinya', seperti; cungak-cinguk, kaum jumud, kepala batu, kaum tasbih, celak mata, dungu, pembangkang, pembandel, dan sebagainya, yang saya pandang tuan Soekarno bisa memakai lain lafazh buat memenuhi kosongan-kosongan itu. Apabila kita melihat kedudukan tuan Soekarno dalam masyarakat dan kewartawanannya, serta kita lihat pula tulisannya yang mengandung kalimat-kalimat tajam dan pedas-pedas itu, terpaksa seseorang merasa bahwa tuan Soekarno tidak berwisdom atau berhikmah bijaksana...".

Kita kembali kepada substansi yang menjadi biang kerok bagi penulis, yakni Idealisme Keislaman yang disuguhkan animasi tersebut. Tentu hal tersebut menjadi bermasalah di kalangan orang-orang yang menginginkan kehidupan secara bebas (liberal) dan tak ingin terbelenggu oleh aturan-aturan agama (sekuler).

Maka teramat wajar jika mengajarkan anak-anak untuk faham akan batasan-batasan syari'at sedari dini, mereka anggap sebagai ajaran yang "Kaku". Bagi mereka, Islam yang mereka kehendaki, tafsirkan dan interpretasikan adalah Islam yang mengajarkan "keluwesan", Islam yang dapat menjadi "karet", yang bisa mereka tarik sekehendaknya.

Mohammad Natsir berkata:
"Kemukakanlah Islam itu sebagaimana yang dibawa dan yang diterangkan serta ditafsirkan oleh Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam sendiri. Tidak ada satu interpretator yang lebih berhak serta lebih benar interpretasinya selain Rasulullah sendiri. Islam yang macam itu, Islam yang bersih dari segala macam tambahan manusia di belakangnya, tak usah kuatir akan jatuh merknya di mata siapapun juga".


Penulis: Fian Sofian, Bandung 15 Mei 2020.
Sumber:
Islam dan Akal Merdeka, Mohammad Natsir.
Islam dan Kebangsaan, A. Hassan.
https://almanhaj.or.id/1053-mereka-menghambat-dakwah-dan-melontarkan-tuduhan-dusta.html

Share:

SURAT KEPADA MARIDJAN


 Aku merasa kita pernah bertemu suatu ketika, meski Tuan akan mengatakan tidak. Waktu itu tahun 1938, dan Tuan berusia 33 tahun. Di atas podium, Tuan, sebagai wakil ketua Partai Syarikat Islam Hindia Belanda, yang kemudian disebut Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dengan semangat menjelaskan konsep "hijrah" kepada peserta kongres ke-22 di Surabaya. Dengan nada yang berapi-api, Tuan menjelaskan bahwa hijrah, bukanlah semata-mata penolakan, bukan semata-mata sikap non-kooperasi, tapi bermuatan lebih positif, yaitu penolakan yang diikuti oleh usaha membentuk kekuatan hebat yang menuju Darul Islam: sebuah negeri yang dibangun dengan konsep kemaslahatan.


Pada waktu itu, kalimat Tuan yang menyebut Darul Islam, tentu saja tak bermasalah. Pada tahun 1938 tersebut, secara de facto dan de jure, Indonesia masih sesuatu yang imajiner. Indonesia belumlah ada, kecuali dalam sederet mimpi dan sehasrat rindu. Indonesia hanya ada dalam perbincangan-perbincangan elit politik yang mencoba menjadikan nama itu sebagai sumbu gairah perlawanan. Yang dihadapi  waktu itu adalah Belanda, dan Islam, merupakan sentimen yang kuat dan seksi untuk menumbuhkan semangat perlawanan.

Politik hijrah yang Tuan usung, meski didukung oleh beberapa pihak, juga mendapat penolakan yang keras. Akhirnya Tuan dikeluarkan dari partai. Namun demikian, sebagai seorang yang keras keyakinan, Tuan tak peduli dengan ketidaksetujuan itu. Tuan terus melawan dengan mendirikan Komite Pertahanan Kebenaran (KPK) PSII, yang sering disebut sebagai PSII tandingan. Selain mengurus PSII tandingan, Tuan juga mendirikan Institut Suffah, sebuah pondok pesantren, yang sekaligus dijadikan basis latihan laskar Hizbullah dan Sabilillah.

Aku merasa kita pernah bertemu suatu kali, mungkin tahun 1945. Akhirnya hati Tuan luluh juga, meski sebelumnya Tuan mati-matian menentang konsep Soekarno dan Hatta dalam menghadapi Belanda. Dengan hati yang penuh, Tuan pun menerima Indonesia yang Pancasila. Aku mencoba menebak dari mana persetujuan Tuan berpangkal. Mungkin karena pemimpin masa itu, Tuan pandang dapat menerjemahkan konsep hijrah Tuan dalam kepemimpinan mereka.

Aku juga ingat, ketika 27 Juli 1947, Belanda melakukan agresi pertama. Tuan mengeluarkan resolusi jihad. Resolusi itu, membuat pasukan Tuan bersedia mati berkalang tanah demi Indonesia. Bersedia, hanya dengan bermodal bambu runcing, mempertarungkan rindu akan merdeka dengan nyawa. Tuan pernah kecewa, ketika pemimpin Indonesia bersedia untuk berunding di kapal US Renville (Perjanjian Renville) yang berujung ditariknya pasukan RI dari wilayah-wilayah yang dikuasai Belanda. Karena kecewa dengan perjanjian itu, Tuan memutuskan untuk tak ikut menarik pasukan keluar dari Jawa Barat. Lalu, Tuan menamakan pasukan yang tersisa dengan nama Tentara Islam Indonesia (TII).

Tuan terus bertempur, dan kembali mengobarkan jihad sewaktu agresi Belanda ke-II. Tapi ketika wilayah itu sudah Tuan kuasai, dan kemudian divisi Siliwangi meminta agar Tuan menyerahkan wilayah tersebut kepada mereka, maka Tuan pun tersinggung. Tuan menganggap pemerintah pusat sudah tidak beretika, sudah tidak amanah, serta tidak istiqamah dalam berpolitik. Tuan meradang, lalu berbalik menempur tentara Siliwangi dan sekaligus Belanda. Pada kemarahan yang puncak itulah, Tuan lalu memproklamirkan Negara Islam Indonesia (NII), pada 7 Agustus 1949 di Malangbong.

Aku merasa kita pernah bertemu, suatu kali, meski Tuan tetap berkata tidak. Hari itu 16 Agustus tahun 1962. Tuan diadili dan dijatuhi hukuman mati. Bagiku, bukan kematian itu benar yang menusuk kalbu, tapi kekukuhan Tuan dalam memegang teguh apa yang Tuan yakini itulah yang menggetarkan jiwa. Menjelang ajal, Tuan tetap menolak meniadakan NII yang tuan dengungkan, meski dengan imbalan keringanan hukuman. Aku tak peduli, apakah NII itu benar atau tidak, tapi sikap yang Tuan tunjukkan adalah pelajaran bahwa sebuah prinsip perlu dijaga dengan satu kata: Istiqamah.

Aku merasa kita pernah bertemu, suatu kali, mungkin dalam kitab sejarah. Di kitab itu, nama dan tindakan Tuan ditulis dengan huruf-huruf yang buram dan murung, untuk selanjutnya diterjemahkan dalam kalimat-kalimat yang kusam. Di kitab itu, pasukan Tuan disebut dengan "gerombolan" dan perjuangan Tuan disebut dengan "pemberontakan" dan Tuan dicap pula sebagai "pemberontak".

Ah, aku tak percaya Tuan seorang pemberontak. Tuan tak sejahat itu, sebab bagaimana mungkin seorang ulama besar seperti Daud Beureueh, atau tokoh seperti Kahar Muzakkar (Abdul Qahhar Mudzakkar, -pen), dengan rela membai'at Tuan sebagai pemimpin. Saya percaya, seperti yang Tuan katakan, bahwa apa yang Tuan lakukan adalah sebuah respon terhadap kekuasaan yang menyimpang, sebuah kekuasaan yang Tuan sebut "tidak konsisten", atau sebuah kekuasaan yang dalam praktik, bertolak-belakang antara aqidah dan ibadah, antara konsep dan tindakan.

Tapi tak usahlah Tuan risau, karena sejarah hanya soal persepsi, soal ruang dan waktu. Soal pihak mana yang menulisnya. Pihak pemenang akan menulis yang kalah sebagai pengkhianat, dan ketika musim berganti, maka berganti pula kisah sebuah sejarah. Siapa pahlawan dan pengkhianat tergantung sebuah situasi psikologi pada waktu sejarah itu ditulis. Soekarno pernah ditulis sebagai pahlawan pada suatu masa, lalu ditulis sebagai pengkhianat pada masa yang lain, lalu ditulis kembali sebagai pahlawan pada masa berikutnya.  Hal yang sama pernah terjadi pada Teungku Daud Beureueh, pada Tan Malaka, bahkan kepada Soeharto, yang dari pahlawan ditulis menjadi pengkhianat ketika ia kalah.

Tak usahlah Tuan risau, karena aku dan Tuan, hidup pada sebuah negara, yang sejarah tak selalu berisi kebenaran, tapi lebih banyak pembenaran. Kita hidup pada sebuah negara, dengan buku-buku sejarah yang sarat kepentingan, dengan kisah sejarah yang selalu diarahkan untuk melegitimasi sebuah tujuan. Di negeri kita, sejarah bukanlah sepenuh "history", tapi sudah bergeser kepada "His Story", pada sebuah kisah pribadi dan golongan. Sekali lagi, usahlah risau, karena meski aku masih mempertanyakan konsep negara Islam yang Tuan proklamirkan, aku tetap memandang Tuan sebagai pahlawan, karen atelah berjuang, baik ketika menjadi anggota Jong JavaJong Islamieten Bond, maupun ketika memimpin pasukan melawan Belanda, Tuan telah bertungkus-lumus berjuang, telah mempertaruhkan nyawa demi memberikan kemerdekaan, untuk kami simpan.

Aku merasa kita pernah bertemu, mungkin kemarin dan kemarinnya lagi, di antara bunyi bom yang memekakkan telinga, di tengah larian ketakutan, di antara tatapan kosong para ibu yang kehilangan anaknya, antara kematian orang-orang yang tak bersalah, antara tatap benci dan dendam yang entah kapan selesai. Mereka menghubungkan bom dan kehilangan anak-anak itu dengan gerakan Tuan. Aku tak percaya Tuan akan setuju dengan cara itu, karena Tuan bukan pengecut. Sepanjang hidup Tuan, segala sesuatu selalu Tuan hadapi dengan jantan, tidak dengan cara mengorbankan orang yang tak bersalah.

Aku cuma tidak tahu, dari mana datangnya sebuah tafsir yang membenarkan bom menjadi jalan bagi pencapaian cita-cita. Aku juga tidak tahu mengapa mereka menerjemahkan Negara Islam dengan mendirikan Khilafah dengan pengertian raja. Aku tentu saja sepakat dengan Tuan, bahwa kita membutuhkan seorang Khulafaur Rasyidin, tapi dalam makna yang sebenarnya, yaitu seorang pemimpin atau pengganti yang cerdas dan baik secara aqidah (Khulafaur Rasyidin), karena dengan pemimpin yang cerdas dan baik, sebuah negeri berpeluang menjadi lebih maju, sejahtera, dan bermartabat.

Aku dan Tuan, pada hari ini mungkin akan sama-sama heran melihat banyak orang yang mengaku pengikut Tuan, menerjemahkan kekhalifahan dengan mendirikan raja. Seolah-olah, hanya dengan kerajaan, negeri ini bisa ditata dengan baik. Tuan dan aku mungkin sama-sama maklum, bahwa begitu banyak raja dalam dinasti Islam, gagal menjadi pemimpin yang cerdas iman dan menjadi pengganti yang baik itu. Mereka hanya tegak sebagai raja, semata-mata sebagai raja. Negara Islam di mataku, bukanlah sebuah monarkhi, tapi adalah sebuah demokrasi yang bersandar pada kemaslahatan. Islam menyuruh kita memilih dengan jalan musyawarah, bukan menunjuk seseorang sebagai raja, apa lagi sampai berketurunan.

Aku juga tak percaya, bahwa Tuan hendak mendirikan raja. Tuan pasti tahu, bahwa jika raja adalah sumber kemaslahatan, maka pastilah Tuhan telah menjadikan semua Nabi sebagai raja. Tapi ketika Tuhan hanya menjadikan  segelintir Nabi, seperti Daud dan Sulaiman sebagai raja, dari sekian banyak utusanNya, maka kita dapat mengambil petunjuk, bahwa bukan raja yang utama.

Aku ingat kita pernah bertemu, mungkin hari ini, mungkin kemarin, di antara sisa-sisa mayat, di antara hujan hujatan, atau mungkin di tengah wajah-wajah penduduk yang cemas, di tengah ceracau negara yang tak pernah merasa salah, dan pada raut kepedihan menatap kematian. Ya, aku merasa bertemu denganmu pada hari ini, karena semua peristiwa dinisbatkan kepadamu, dan engkau dijadikan  tempat berlindung bagi sebuah teror lain yang justru lebih besar: korupsi, tarik-menarik kekuasaan yang tiada habis, penistaan, kemiskinan, dan orang-orang yang lelah menanti cahaya.

Aku ingat kita pernah bertemu, mungkin di rumah sejarah. Berbincang di ruang kenangan. Aku mengagumimu dengan hati nan pedih, lalu dengan suara lamat-lamat aku menyebut namamu: "Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo".


[Syaukani Al Karim, sastrawan Riau yang telah menghasilkan banyak karya. Tulisannya tersebar di berbagai media, maupun antologi. Kini bermastautin di Pekanbaru.
"Surat Kepada Maridjan", pernah dimuat di harian Riau Pos, Minggu, 15 April 2012]
Share:

MUQODDIMAH: PERSPEKTIF SEJARAH

Bismillahir Rahmanir Rahim... .

Sebuah sejarah memiliki nilai positif dan negatif, tergantung dari sudut mana kita melihat dan memaknainya. Ketika sejarah menjadi suatu hal yang positif, sudah barang tentu di dalamnya tidak berisi kepentingan-kepentingan penguasa dan pemenang semata. Dan bukan pula berisi sebuah pembenaran dari si pemenang. Sejarah yang seperti ini akan bernilai positif bagi generasi setelahnya dalam memaknai sebuah kehidupan. Dan mereka dapat menimba sebuah pelajaran dari kehidupan yang telah berlalu di zamannya.

Sejarah hanya soal persepsi, hanya soal ruang dan waktu. Pihak yang memenangkan pertarungan akan menulis musuhnya sebagai pecundang dan pengkhianat. Dan tatkala musim bergulir, bergulir pula sejarah tergantung dari persepsi pihak yang berkuasa dan meraih tampuk kepemimpinan saat itu. Singkat cerita, siapa pahlawan dan pengkhianat, tergantung dari situasi psikologis penguasa.

Sejarah bukan sekedar khayalan yang menggantung di awang-awang belaka, sejarah bukan sekedar pembenaran dan kepentingan belaka. Lebih dalam, sejarah mengajarkan kita nilai-nilai sebuah kejujuran. Sejarah mengajarkan kita kehati-hatian dalam melangkah.

Melalui proses berfikir yang cukup panjang, perlu kiranya saya membuat sebuah blog khusus yang berisi pemikiran saya selama ini. Pemikiran yang terlahir dari proses membaca beberapa buku sejarah, terkhusus sejarah perkembangan Islam di Indonesia ini dan sejarah beberapa tokoh Islam yang juga turut berkontribusi pada perjuangan Islam dan bangsa Indonesia ini.

Tak luput, saya pun akan menuliskan kejadian-kejadian yang terjadi di negeri ini berkaitan dengan keadaan rakyat Indonesia pada umumnya, dan umat Islam secara khusus.

Amat penting saya rasa membuat tulisan yang berkenaan dengan pemikiran dan kejadian sejarah di negeri ini. Semoga kelak tulisan ini bermanfaat untuk tuan-tuan para pembaca entah di generasi saya saat ini maupun kelak di generasi setelah saya. Dan terkhusus semoga tulisan ini bermanfaat untuk anak keturunan saya kelak.

Teringat sebuah nasehat penting dati tuan Haji Omar Said Tjokroaminoto (HOS Tjokroaminoto), yang memberi saya ruh penyemangat dalam menulis. Beliau berkata:
"Jika kalian ingin menjadi Pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator". 

Tak usahlah jauh harapan saya kedepan untuk menjadi seorang Pemimpin besar, cukuplah kiranya tulisan-tulisan saya ini memberikan faidah untuk tuan-tuan para pembaca ini. Yang juga terhitung sebagai Amal Jariyah saya kelak untuk menghadapi hari akhir. Wassalam.

Bandung, 18 Maret 2020/23 Rojab 1441

Fian Sofian

(Blog ini merupakan kelanjutan dari blog historislam18.blogspot.com yang sudah lama terbengkalai dan terlupakan alamat emailnya)


Share:

Definition List

Definition list
Consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua.
Lorem ipsum dolor sit amet
Consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua.

Theme Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.
Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

Ordered List

  1. Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.
  2. Aliquam tincidunt mauris eu risus.
  3. Vestibulum auctor dapibus neque.

Recent Posts

Unordered List

  • Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.
  • Aliquam tincidunt mauris eu risus.
  • Vestibulum auctor dapibus neque.

Sample Text

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua.

Pages

Theme Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.