Pertarungan Pemikiran Islam di Indonesia (Kritik-Kritik Terhadap Islam Liberal dari H.M Rasjidi Sampai INSISTS)
Buku yang akan saya resensi ini merupakan disertasi Tiar Anwar Bachtiar di Universitas Indonesia. Beliau merupakan seorang akademisi dan sejarawan muda yang aktif di organisasi pergerakan Islam. Dan saat ini beliau menjabat sebagai Ketua Bid-Gar Pengembangan Dakwah dan Kajian Pemikiran Islam PP PERSIS.
Buku ini terbitan Pustaka Al-Kautsar. Tebal halaman utama hanya 410 halaman ditambah beberapa halaman untuk pengantar penerbit, penulis, daftar isi, dan daftar pustaka. Di akhir-akhir halaman, penerbit mencantumkan biodata penulis dan foto-foto wajah dan buku dari dua kubu yang bersebrangan. Buku ini saya beli dari market place orange seharga Rp. 76.000. Dari kualitas cetakan dan kertas kurang baik menurut saya. Tapi hal ini bukan menjadi substansi yang akan saya bahas.
Sinopsis
Penulis mengantarkan pembaca agar dapat langsung melakukan polarisasi kelompok gerakan Islam yang ada di era Orde Baru. Kelompok-kelompok yang ada lebih cendrung mengarah kepada gerakan pemikiran, ketimbang gerakan politik dan gerakan sosial. Terlebih Partai Masyumi -yang menjadi partai tempat bernaung semua kelompok gerakan Islam-, dibubarkan secara sepihak oleh rezim Orde Lama atas dugaan mendukung pemberontakan yang dilakukan PRRI. Mengenai keterkaitan orang-orang eks. Masyumi terhadap pertarungan pemikiran di Indonesia, akan dibahas oleh penulis di Bab II Sub Bab Fase Kemunculan Islam Liberal.
Secara garis besar, dalam pengantarnya penulis memaparkan beberapa pandangan para peneliti lain -bahkan dari kalangan orientalis seperti Charles Kurzman dan Greg Barton- dalam membuat polarisasi dan pelabelan terhadap kelompok gerakan Islam yang ada di zaman Orde Baru. Bahkan tak tanggung-tanggung, para peneliti tersebut menyebutkan afiliasi bahkan melakukan kategorisasi terhadap setiap person tersebut, dengan kelompok gerakan atau ormas Islam yang ada. Sebut saja Nurcholis Madjid dan Mukti Ali, terafiliasi dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) kala itu. Ada juga sosok Abdurrahman Wahid (Gusdur), terafiliasi dengan gerakan Islam Tradisional NU. Adapun lawannya, dikalangan gerakan Islam modernis, lebih banyak tergabung di Dewan Dakwah besutan Moh. Natsir (seperti mantan Menteri Agama Pertama HM. Rasjidi, Endang Saefudin Anshari, Ahmad Husnan, dll).
Julukan liberal memang masih asing di telinga masyarakat kala itu. Kelompok yang sehaluan dengan Nurcholish Madjid hanya diberi julukan sebagai Neo-Modernis atau Pembaharu kala itu. Barulah era Pasca-Reformasi, julukan Islam Liberal mulai akrab di telinga masyarakat, baik di kalangan para pendukung pemikiran Nurcholis Madjid, maupun penentangnya.
Dari Bab ke Bab, Ringkasan Inti
Penulis masih mengutip keterangan dari para peniliti, yang menyebutkan bahwa di awal abad ke-20 bermunculan gerakan-gerakan pembaharu Islam (tajdid) atau kelompok Modernis di Indonesia. Gerakan ini digawangi oleh Muhammadiyyah, Persatuan Islam (PERSIS), dan Al-Irsyad. Ciri yang melekat dalam pergerakan mereka berupa jargon "Kembali Kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah". Dan kelompok Modernis ini menolak praktik-praktik keagamaan berupa syirik dan TBC (Takhayyul, Bi'dah, dan Churafat, sesuai dengan aksen di zaman dahulu). Kelompok Modernis ini melakukan kritik terhadap sikap keagamaan kelompok Tradisionalis yang dianggap jumud dan enggan membuka pintu-pintu ijtihad, juga terlampau taqlid (membeo) terhadap ulama dan madzhab fiqih tertentu. Oleh karenanya tak heran, jika kelompok Islam Modernis ini mendapatkan julukan peyoratif -bahkan hingga saat ini- sebagai Wahhabi. Wahhabi merupakan julukan bagi para pengikut gerakan pembaharuan dari tanah Arab yang dilakukan oleh Imam Muhammad bin Abdul Wahhab. Tak heran jika meraka dijuluki sebagai Wahhabi oleh kalangan orientalis dan kelompok Islam Tradisionalis, karena momen pembaharuan yang dilakukan kelompok modernis Islam Indonesia tersebut memang bertepatan dengan momen keruntuhan Turki Utsmani tahun 1924 -yang salah satu sebabnya karena imbas dari gerakan pembaharuan di tanah Arab-. Terlebih, jargon-jargon yang mereka usung pun mirip dengan yang diusung di tanah Arab.
Dalam hal urusan pokok agama (ushul), mereka memiliki pandangan yang sama. Perbedaan yang mencolok di antara mereka terletak di urusan cabang agama, terutama dalam hal fiqih. Karena sebab inilah, mereka dapat dipertemukan dalam suatu forum yang digagas oleh organisasi pergerakan Islam pertama di Nusantara bernama Sarekat Islam pada tahun 1925, dibawah kepemimpinan HOS. Tjokroaminoto, yang juga sekaligus menjadi guru bagi para founding father negeri ini, terutama di kalangan kelompok Islam Modernis. Dari pertemuan itulah, akhirnya kelompok Islam Tradisionalis dan Modernis dapat duduk di bawah satu naungan organisasi, bernama Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI) pada tahun 1937. MIAI inilah yang menjadi cikal bakal atau rahim partai Islam milik umat Islam Indonesia, bernama Majelis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI).
Dan yang menarik dari hal ini, meskipun mereka memiliki perbadaan dalam hal cabang agama, akan tetapi dalam forum-forum politik dan kenegaraan mereka tetap memperjuangkan asas Islam. Kenyataan yang indah tersebut terus berlangsung sampai tahun 1975, ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) didirikan dibawah kepemimpinan Buya Hamka -yang merupakan seorang tokoh Islam modernis-. Mungkin yang membuat kalangan Modernis dan Tradisionalis bersatu, karena di tahun 1970 terjadi polemik kontroversial yang menjadi pemantik bangunnya gerakkan sekularisme dan liberalisme agama di Indonesia. Jargon yang diteriakkan oleh Nurcholis Madjid yaitu "Islam Yes, Partai Islam No!", dia utarakan dalam pidatonya pada acara silaturahim Idul Fithri tanggal 3 Januari 1970. Polemik tersebut menjadi menarik bagi kalangan elit, entah itu dari kalangan umat Islam maupun elit Orde Baru, terlebih hal tersebut dijadikan bahan berita di media massa.
Kekecewaan yang dirasakan umat Islam tersebut semakin bertambah, tatkala Nurcholis Madjid kembali melakukan pidato dalam Orasi Kebudayaan di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada tahun 1972. Pidatonya tersebut merupakan sekuel dari pidato sebelumnya, yang berisi penekanan agar umat Islam mau menjawab tantangan zaman. Berbeda dengan pidato sebelumnya, kali ini Madjid lebih memilih narasi-narasi yang tidak menimbulkan polemik, dan beliau lebih mengutarakan gagasan-gagasannya tentang keharusan sekularisasi dan liberalisasi pemikiran Islam secara lebih mendalam dan tajam. Mungkin karena pemilihan narasi seperti inilah, Madjid tidak terlalu dikecam oleh para pengritiknya dikalangan umat Islam -terutama kalangan eks. Masyumi-, yang terlampau kecewa da menganggap Madjid berpihak kepada rezim Orde Baru.
Dan yang perlu diketahui, pada saat kejatuhan Soekarno, usaha-usaha para eks. Masyumi untuk mengajukan rehabilitasi terhadap Masyumi sudah dilakukan, akan tetapi ditolak secara tegas oleh perwira-perwira militer karena Masyumi dianggap pernah melakukan pemberontakan. Dan didirkanlah Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) pada tahun 1967, dengan catatan eks. Masyumi tidak boleh memimpin partai ini karena dianggap memilik watak pemberontak. Bukan hanya eks. Masyumi saja yang terkena imbas dari peraturan Orde Baru, NU yang telah menjadi partai politik kala itupun mengalami pembersihan struktural melalui operasi khusus (Opsus) terhadap pemimpinnya (Muchammad Dahlan dan Subhan ZE) pada tahun 1972, karena dinilai kritis dan berbahaya bagi kekuasaan Soeharto.
Nah, ada yang menarik bagi saya pribadi. Pembahasan mengenai intervensi Orde Baru terhadap Masyumi dan NU ada di halaman 24, akan tetapi di halaman 30 kembali dibahas oleh penulis tentang sikap akomodatif NU terhadap rezim Orde Baru, sehingga Soeharto memilih Mochammad Dahlan -yang saat itu menjadi pimpinan partai NU- sebagai menteri agama sampai tanggal 6 September 1971, sebagai bukti balas jasa Soeharto kepada NU. Dan yang tak kalah menarik, di halaman 28 penulis langsung loncat kepada peristiwa tahun 1980-an, diawali sebuah paragraf yang menyebutkan di tahun 1985, pemerintah membuat Undang-Undang tentang kewajiban seluruh partai dan ormas menganti asasnya dengan pancasila, atau asas tunggal. Lalu disusul paragraf di bawahnya di tahun 1984, tentang aksi represif dan brutal aparat (ABRI) terhadap umat Islam, dan puncaknya ketika ABRI di bawah komando Leonardus Benyamin (LB) Moerdani menurukan pasukan bersenjata menembaki umat Islam yang melakukan aksi massa -yang dipicu oleh kesewenang-wenangan ABRI masuk ke masjid As-Sa'adah tanpa melepas sepatu dan melumpuri pengumuman pengajian di tembok masjid-.
Di halaman 29, penulis kembali membahas tentang didirikannya Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 1975, sebagai upaya kontrol pemerintah terhadap gerakan-gerakan ulama umat Islam. Dan kalau kita mau flashback ke Bab I halaman 4, ada sebuah paragraf yang membahas mengenai didirikannya MUI di bawah kepemimpinan Buya Hamka. Yang tergambar bagi saya sebagai pembaca buku ini adalah hal indah, karena di dalamnya duduk berbagai kalangan ulama umat Islam yang memiliki corak pandangan keagamaan yang berbeda, akan tetapi saling melengkapi dan mau duduk bersama untuk berdiskusi mengenai permasalahan umat Islam. Padahal di tahun-tahun tersebut, situasi politik dan sosial sedang panas-panasnya menyelimuti tubuh umat Islam. Bahkan penulis di halaman 29 memiliki anggapan bahwa pembentukan MUI oleh Soeharto adalah upaya untuk melemahkan peran politik umat Islam, dan upaya korporatis agar masyarkat mau bersikap kooperatif dan akomodatif terhadap kepentingan rezim Orde Baru. Nah, bagi pembaca yang lebih senang ketika membaca sebuah buku yang runtutan sejarahnya sesuai dengan waktu kejadian, tampaknya akan sangat sulit mencerna paragraf demi paragraf dan Bab demi Bab yang dijabarkan oleh penulis. Karena penulis meruntut kejadiannya sesuai dengan substansi latar belakang sejarah pemikiran, lalu disusul oleh fase kemunculannya beserta kritik atasnya tanpa harus dibatasi oleh runtutan tanggal dan tahun kejadian. Oleh karenanya, ada kesan loncat-loncat materinya menurut saya pribadi. Nah di bab-bab berikutnya, akan ada kesan pengulangan kembali kronologis tanggal dan tahun kejadian. Namun yang pasti, kita tetap harus membacanya secara utuh agar dapat tergambar kejadian yang lebih luas dan bertambahnya wawasan kita mengenai hal ini.
Dalam paragraf-paragraf berikutnya, penulis menjelaskan bahwa de-Islamisasi politik di era Orde Baru tidak dipertahankan oleh Soeharto. Sikap represifnya terhadap umat Islam mulai melemah dan mencair, seiring dengan melemahnya kontrol Soeharto terhadap militer. Peran dan kontrol LB. Moerdani terhadap militer semakin kuat, dan muncul dugaan dia akan menggulingkan Soeharto. Menurut penulis, selain faktor-faktor internal, ternyata suhu politik internasional memengaruhi iklim politik di dalam negeri.
Sikap politik Soeharto -yang terkesan mendekati kalangan Islam- terlihat dari kebijakan politik yang ia ambil. Jika sebelumnya ia cendrung dekat dengan pemimpin-pemimpin dan teknokrat-teknokrat Kristen, bahkan banyak sekali pos-pos penting dalam pemerintahannya diduduki oleh kalangan Kristen dan anti Islam. Maka di tahun-tahun berikutnya Soeharto mengangkat orang-orang di sekelilingnya yang beragama Islam untuk menduduki pos-pos penting. Termasuk di dalamnya pos militer dan kebijakan dalam hal ekonomi.
Ialah Habibie -lewat Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI)-, yang menjadi jembatan komunikasi Soeharto dengan kelompok-kelompok Islam. Meskipun bukan gerakan politik praktis, namun banyak anggapan bahwa ICMI kental dengan nuansa politis. Meski tak memiliki prestasi signifikan dalam hal politik -dan malah terkesan dipolitisasi oleh Soeharto-, terbukti ICMI memainkan perannya dalam merubah arah politik Soeharto yang menjadi dekat dengan Islam. Bukti-bukti ritual keislaman pun dijalankan oleh Soeharto dengan menunaikan haji di tahun 1991, dan kehadirannya dalam acara-acara umat Islam.