Oleh:
Fian Sofian, Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab UIN SGD Bandung.
I. PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Berbicara
masalah peradaban Islam, tentu tidak akan lepas dari berbagai fase kehidupan
umat Islam yang dinaungi oleh beberapa bentuk kepemimpinan dan juga konstelasi
politik yang terus bergulir dari waktu ke waktu. Hal ini sudah diindikasikan
dalam hadits Nabi Saw. sendiri,[1]
yang membagi lima periodisasi kehidupan umat Islam–pasca kenabian (nubuwwah)–dari
mulai kepemimpinan yang berjalan di atas petunjuk Nabi (khilafah ‘ala minhaj al-nubuwwah),
lalu zaman kepemimpinan yang menggigit (mulkan ‘adhan), zaman kepemimpinan
yang diktator (mulkan jabriyyan), dan terakhir kembali lagi pada periode
kepemimpinan yang berjalan di atas petunjuk Nabi (khilafah ‘ala minhaj al-nubuwwah).[2]
Bagi beberapa
kalangan umat Islam–yang terfokus pada bidang politik Islam (siyasah
islamiyyah), tentu menganggap zaman sekarang ini sebagai periode
kepemimpinan yang diktator (mulkan jabriyyan). Dan selanjutnya jelas,
bahwa apapun kebijakan yang dilakukan oleh para pemimpin di dunia Islam manapun,
dianggap tidak merepresentasikan kepemimpinan islami. Terlebih bentuk institusi
pemerintahan mereka adalah nasionalisme ciptaan Barat yang mewajibkan mereka
tunduk kepada Barat. Maka menjadi sebuah kewajiban bagi kalangan umat Islam
politik untuk berusaha mengembalikan kepemimpinan yang berjalan di atas
petunjuk Nabi melalui institusi khilafah.[3]
Dinasti Bani
Abbasiyyah menorehkan sejarah–dalam kepemimpinan di dunia Islam–selama kurang
lebih 524 tahun.[4] Bangkit
dan runtuhnya merupakan hal yang memang sunnatullah. Ada beberapa
catatan terkait penyebab lemah dan runtuhnya dinasti Abbasiyyah,[5]
yang beberapa di antaranya adalah munculnya konflik primordialisme,
sektarianisme, fanatisme golongan, dan juga munculnya kembali permusuhan atau
rivalitas dengan kalangan Alawiyyin (yang terafiliasi secara genealogis dengan
Ali bin Abi Thalib ra.). Namun, bagi beberapa kalangan umat Islam yang lebih
memilih bersikap apologi, penyebab keruntuhan dinasti Umayyah, dinasti
Abbasiyyah, bahkan sampai Utsmaniyyah merupakan sunnatullah yang
kemudian mereka bawakan dalil dari al-Qur’an terkait dengan keruntuhan
tersebut.[6]
Ada fakta
menarik terkait bangkit dan runtuhnya dinasti Abbasiyyah yang akan kita bahas
dalam makalah ini, yang tentu bagi para penulis di kalangan umat Islam politik
lebih banyak bersikap denial. Jelang kedatangan bangsa Mongol, salah seorang
pemimpin dinasti Abbasiyyah yang dijuluki sebagai al-Nashir li Dinillah sempat
berkonflik dengan rival politiknya bernama Khawarizm Syah. Konflik tersebut
memicu al-Nashir menyurati Jengis Khan yang kafir agar mau menyerang rivalnya
yang juga sesama muslim. Jikalau dalam kasus-kasus konflik sebelumnya yang
dipanggil adalah sesama umat Islam, untuk menyerang umat Islam lainnya, maka
kali ini yang dipanggil adalah bangsa Mongol yang kafir.[7]
B. Sistematika Penulisan
Dalam berbagai
buku rujukan yang kami miliki, sebelum membahas karakteristik peradaban beserta
para tokoh di zaman dinasti-dinasti yang sedang dibahas, para penulis
memulainya dengan penelusuran asal-usul (al-nasab) para pemimpin dari
masing-masing dinasti tersebut. Oleh karenanya, kami mendahulukan untuk membuat
penelusuran tentang asal-usul (al-nasab) dari dinasti Abbasiyyah beserta
hubungan dan konflik mereka terhadap dinasti Umayyah. Beberapa penulis bahkan
tidak ragu menyebut bahwa dinasti Abbasiyyah diperoleh dari hasil
pemberontakan-pemberontakan dan perselihan-perselisihan mereka terhadap
pemimpin sah dari kalangan dinasti Umayyah. Hal ini tentunya menarik, karena dalam
bab tersebut akan dibahas juga mengenai konstelasi politik antara penguasa
dinasti Umayyah dengan para tokoh penggagas dinasti Abbasiyyah. Kami berusaha
menghindari penyebutan khilafah bagi kedua dinasti tersebut, dikarenakan ada beberapa
pandangan yang shahih bahwa kedua dinasti tersebut bukanlah institusi
khilafah sebagaimana yang dijalankan oleh para al-khulafa’ al-rasyidin
sepeninggal Rasulullah Saw., melainkan kerajaan. Namun, tatkala para penulis
sejarah menyebutkan tentang khilafah sebagai institusi negara Islam dari mulai
zaman sahabat sampai dengan dinasti Utsmani, bukan berarti membatasi pada
bentuk institusi kekhilafahan seperti layaknya khalifah yang empat (al-khulafa’
al-arba’ah) saja, melainkan bisa juga dalam bentuk monarki atau kerajaan (al-mamlakah)
yang dipimpin oleh seorang raja–dimana pandangan stereotip masyarakat sang raja
mewarisi tahta dari ayah atau saudara mereka.[8]
Dan raja pertama dalam Islam dimulai dari Mu’awwiyyah bin Abu Sufyan. Lalu di
Bab pamungkas, kami akan memaparkan karakteristik peradaban Islam yang dibangun
di masa dinasti Abbasiyyah beserta beberapa tokoh kuncinya. Tidak semua tokoh
pemimpinnya kami kutipkan di sini, karena pasti akan memakan banyak
lembaran-lembaran makalah dan tidak memiliki urgensi bagi kemajuan peradaban
Islam yang dimaksud.[9]
Maka kalau kita
rumuskan, makalah ini akan terbagi menjadi beberapa bahasan:
1.
Asal-usul kemunculan dinasti
Abbasiyyah.
2.
Karakteristik peradaban dinasti
Abbasiyyah beserta para tokoh di zamannya.
3.
Sejarah singkat benturan peradaban
Islam dan Yahudi Kristen (Barat).
Sebagaimana
tujuan dari mempelajari ilmu sejarah pada umumnya, yaitu untuk mengetahui
keadaan suatu golongan, negeri-negeri, potret kehidupan, adat-kebiasaan, hasil
kebudayaan, garis keturunan, dan bahkan sampai waktu wafat mereka. Baik itu
dari kalangan para Nabi, para wali, ulama, pemimpin, raja-raja, sastrawan, dan
lain-lain. Kesemuanya ini tentu memiliki manfaat sebagai pelajaran dan nasihat
bagi orang-orang setelahnya. Dan hendaknya para pembaca dapat mengambil suatu
pelajaran dari apa-apa yang telah dilakukan oleh umat terdahulu, dan memiliki
sikap waspada dari segala bahaya yang ada, di samping dapat mengambil contoh
terbaik dari umat terdahulu.[10]
II. ASAL-USUL
DAN NISBATNYA
A.
Asal-Usul (al-Nasab)
dan Nisbatnya
Imam al-Mawardi
dalam kitabnya al-Ahkam al-Sulthaniyyah menyebutkan tujuh syarat seorang
pemimpin–dimana syarat ketujuh adalah asal-usul garis keturunan (al-nasab)
dari kalangan Quraisy–berdasarkan dalil-dalil hadits, dimana para ulama
bersepakat atas syarat tersebut.[11]
Dan adapun pemegang kepemimpinan, maka syarat yang
diakui oleh para ulama ada tujuh… Yang ketujuh adalah nasabnya, yang
mengharuskan dari kalangan Quraisy berdasarkan dalil-dalil dari hadits, yang
mana para ulama bersepakat atasnya. Dan tidak dianggapnya pendapat yang
menyelisihi (syarat mutabar) meskipun manusia membolehkan (selain
Quraisy) tersebut. Karena sesungguhnya Abu Bakar ra. menolak pada hari Saqifah
di kalangan sahabat Anshar (penduduk asli Madinah) yang membaiat Sa’ad bin
‘Ubadah dengan mendasarkan pendapatnya pada hadits Nabi Saw., “Para pemimpin
itu dari Quraisy”. Lantas kaum Anshar tersebut melepaskan baiat dari
kepemimpinan yang mereka miliki, dan kembali kepada persatuan umat seraya
mengatakan, “Kami memiliki pemimpin, dan kalian memiliki pemimpin. Kami
menerima dan membenarkan perintah dari Nabi tersebut”, seraya rela dengan
pernyataan “Kami (kalangan Quraisy) adalah pemimpin, sementara kalian adalah
para menterinya”. Nabi Muhammad Saw. bersabda, “Utamakanlah orang-orang Quraisy,
dan jangan kalian abaikan hak-haknya”.
Al-Abbas bin Abdul Muthallib adalah paman Nabi
Muhammad Saw. Garis lengkap keturunannya adalah al-Abbas bin Abdul Muthallib
bin Hasyim bin Abdu Manaf. Ia merupakan salah seorang tokoh senior Quraisy baik
pada masa jahiliyyah (sebutan bagi zaman sebelum kemunculan Islam di
Mekah) maupun pada masa kemunculan Islam. Al-Abbas adalah moyang dari para
penguasa dinasti Abbasiyyah. Sebagai salah seorang tokoh senior Quraisy, ia
merupakan pejabat dalam melayani kegiatan haji, pembangunan masjid al-Haram,
ikut dalam perang Hunain, ikut dalam Fathu Mekah, dan meriwayatkan 35 hadits.
Ia juga merupakan seorang tokoh terkemuka dari Bani Hasyim yang cerdas.[12]
Selain al-Abbas, Abdul Muthallib memiliki salah seorang anak yang–dari keturunannya
kelak–akan membentuk kelompok besar masyarakat Arab yang akan akan mengisi
wilayah Maroko sampai Asia Tengah (Transoxania).
Dikarenakan makalah ini menjelaskan tentang asal-usul
dari dinasti Abbasiyyah, maka kita akan merinci riwayat al-Abbas bin Abdul
Muthallib. Sebagai paman dan tokoh terkemuka di kalangan Quraisy dan Bani
Hasyim, al-Abbas merupakan salah seorang yang tulus membantu perjuangan
Rasulullah–di samping paman Rasulullah yang lain yaitu Abu Thalib. Ia juga yang
menjadi perantara urusan Rasulullah Saw. dan kaum Anshar dengan perkataan yang
mengagumkan. Pada malam pembaiatan kaum Anshar, al-Abbas lah yang kembali
menegaskan tentang posisi Rasulullah di kalangan keluarga besarnya di Mekah,
meskipun ketika Rasulullah menampakkan dakwah Islam mereka menolak dan
mengusirnya. Al-Abbas menuntut kesetian kaum Anshar terhadap Rasulullah, dan
menanyakan bagaimana cara mereka untuk memushi kaum musyrikin Mekah. Pertanyaan
demi pertanyaan terus diajukan oleh al-Abbas untuk memastikan kesetiaan kaum
Anshar. Al-Barra’ bin Ma’rur mengatakan, “Kami mendengar perkataanmu. Demi
Allah, kalaulah dalam diri kami terdapat pemikiran selain yang kamu utarakan
kepada kami, maka tentulah kami akan mengutarakannya. Akan tetapi kami ingin
setia, jujur, dan mengorbankan jiwa dan raga kami demi membela Rasulullah”.[13]
Tatkala terjadi
perang Badar, banyak kerabat Rasulullah yang menjadi tahanan Anshar. Namun
Rasulullah memerintahkan agar jangan membunuh al-Abbas dan anak-anaknya, karena
mereka dipaksa keluar dengan terpaksa oleh pihak kaum Quraisy. Dan ada suatu
riwayat tatkala seorang Anshar sudah membawa al-Abbas kehadapan Rasulullah, dan
seorang Anshar tersebut menyatakan bahwa ialah yang membawa al-Abbas. Namun
al-Abbas menyanggahnya bahwa seorang Anshar tadi dibantu oleh Malaikat.[14]
Sebelum perang Badar berkecamuk, al-Abbas lah yang memberikan segala informasi
kepada Rasulullah dan kaum Muhajirin (masyarakat muslim Mekah yang pindah ke
Madinah).
Dan yang menarik, tatkala peristiwa pembebasan kota
Mekah (fathu Makkah), al-Abbas lah yang berperan sebagai faktor
penyelamat Abu Sufyan. Beberapa hari sebelum kedatangan pasukan kaum muslimin
ke Mekah, mereka terlebih dahulu singgah dan bermalam di Murr al-Dzahran.
Lantas al-Abbas pergi menaiki baghal (peranakan kuda dengan keledai)
berwarna putih milik Rasulullah Saw. Dia pergi guna mencari seseorang yang
barangkali mampu menyampaikan pesannya kepada kaum Quraisy agar mereka dapat
mengajukan perlindungan atau suaka kepada Rasulullah Saw. Abu Sufyan bersama
dua orang sahabatnya biasa keluar untuk mencari informasi kedatangan pasukan
kaum muslimin. Dan pada saat itulah al-Abbas bertemu dengan ketiga orang
tersebut. Abu Sufyan bertanya kepada al-Abbas mengenai cara menghindari amukan
pasukan kaum muslimin tersebut. Lantas mengajak Abu Sufyan untuk bersama-sama
menaiki baghal tersebut guna menemui Rasulullah. Tatkala mereka berdua
melewati api unggun pasukan kaum muslimin, mereka pun bertanya kepada al-Abbas.
Ketika mereka melewati api unggun Umar bin al-Khattab, Umar pun mengenali Abu
Sufyan dan mengatakan kepadanya, “Abu Sufyan, musuh Allah? Segala puji bagi
Allah yang telah mendatangkanmu tanpa ada perjanjian”. Umar lantas bersegera
menemui Rasulullah dan meminta izin kepadanya, “Wahai Rasulullah, ini Abu
Sufyan, biarkan aku yang memenggal lehernya”. Namun al-Abbas segera
menyanggahnya dan memohon kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, aku telah
memberi perlindungan kepadanya”, seraya meminta izin agar jangan ada yang
menghampiri dan berbicara dengan Abu Sufyan malam ini kecuali dirinya saja.
Namun tentu saja Umar terus memaksa untuk mengeksekusi keinginannya. Dan
al-Abbas meyakinkannya dan membuat
perandaian jika Abu Sufyan ini berasal dari kabilah yang sama dengan Umar,
yaitu dari Bani ‘Adi bin Ka’ab, dengan keyakinan yang penuh al-Abbas mengira
Umar akan membela Abu Sufyan. Namun Umar mengatakan bahwa meskipun ayahnya
masuk Islam, namun keislaman al-Abbas lebih ia cintai ketimbang keislaman
ayahnya. Hal ini memberikan penegasan bahwa Umar tetap akan bertindak tegas
terhadap tawanan kaum musyrikin meskipun ia berasal dari kabilah yang sama atau
bahkan keluarganya.[15]
Perdebatan yang berlangsung antara Umar dan al-Abbas
pada akhirnya kembali kepada keputusan dan kebijakan Rasulullah. Rasulullah
mengizinkan al-Abbas untuk membawa Abu Sufyan dengannya. Hal ini tentu
mengindikasikan bahwasanya Rasulullah amat menghormati perlindungan dari
seorang muslim terhadap karib-kerabatnya. Rasulullah juga masih tetap menaruh
harapan kepada kaum Quraisy dan menginginkan keislaman mereka. Rasulullah pun
mengantisipasi jikalau tawanan yang sudah memperoleh perlindungan tersebut
mendapat amarah pasukan kaum muslimin.
Keesokan harinya, terjadi pertemuan antara Rasulullah
Saw., al-Abbas, dan Abu Sufyan. Rasulullah mengajak Abu Sufyan masuk Islam,
namun tampaknya Abu Sufyan masih memiliki ganjalan. Al-Abbas pun memaksa Abu
Sufyan agar mau masuk Islam, sehingga Rasulullah tidak memenggal lehernya.
Al-Abbas juga mengatakan tentang karakter Abu Sufyan yang suka dipuji dan
dihormati. Sehingga membuat Rasulullah membuat kebijaksanaan bahwa barangsiapa
di antara kaum Quraisy yang masuk ke rumah Abu Sufyan, maka ia aman.
Itulah sekilas tentang kuatnya hubungan, kedekatan dan
kasih sayang yang terjalin antara pemimpin klan atau keturunan Bani Hasyim dan
Bani Umayyah tersebut. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu Ishaq, bahwasanya
al-Abbas mengharapkan agar Rasulullah Saw. tidak menduduki Mekah dengan
kekerasan. Apa yang ia harapkan terwujud dengan terjadinya pertemuan antara
dirinya dengan Abu Sufyan.[16]
Adapun mengenai ide-ide tentang pemindahan tampuk
kekuasaan kepada dinasti Abbasiyyah, dimulai sejak zaman Ali bin Abdullah bin
al-Abbas. Dari keturunannya akan tersebar para pemimpin dari Bani Abbas, dengan
al-Saffah[17] sebagai
pemimpin pertama dinasti Abbasiyyah. Mereka juga menjadikan wilayah Kufah
(Irak) dan Khurasan (Afganistan)–yang sebelumnya merupakan bagian dari
kekuasaan Persia–sebagai basis aktifitas mereka. Di tempat itu pula banyak
tersebar para pendukung Ali bin Abi Thalib, kelompok Syiah,[18]
dan kaum zindiq.[19] Dan di
Kufah lah Abu al-Abbas al-Saffah dibaiat sebagai pemimpin pertama, sekaligus
menjadi pusat pemerintahan dinasti Abbasiyyah yang pertama.
B.
Hubungan dengan
Dinasti Sebelumnya
Hubungan yang terjalin antara dinasti Abbasiyyah
dengan dinasti Umayyah, tidaklah semulus hubungan kekerabatan antara al-Abbas
(selaku tokoh Bani Hasyim) dengan Abu Sufyan (selaku tokoh Bani Umayyah).
Jalinan kekerabatan mereka berdua bertemu di titik Abdu Manaf. Adapun hubungan para
tokoh penggagas dinasti Abbasiyyah dengan para pemimpin dinasti Umayyah, bukan
lagi hubungan kekerabatan yang hangat. Status para pemimpin dinasti Umayyah
adalah pemimpin yang sah bagi kaum muslimin. Sementara para tokoh penggagas
dinasti Abbasiyyah adalah pemberontak.
Revolusi–jika tidak ingin dikatakan sebagai
pemberontakan–yang dilakukan Bani Abbas sudah direncanakan secara matang dan
berkesinambungan. Revolusi yang dilakukan Bani Abbas dibangun berdasarkan
propaganda kelompok Syiah pendukung utama keturunan Ali bin Abi Thalib, bernama
Muhammad bin Ali bin Abi Thalib (Muhammad bin al-Hanafiyyah). Kelompok ini juga
disebut sebagai Alawiyyun.[20]
Sikap koeksistensi antara kelompok Syiah dengan Bani
Abbas menghasilkan suatu hubungan–mengikuti apa yang dikatakan Muhammad Abduh
saling membantu dalam menumbangkan kekusaan dinasti Umayyah, dan memaksa
penguasa dinasti Abbasiyyah untuk memberikan jabatan bagi orang-orang Persia–yang
kelak membuat opini umum bagi masyarakat Kufah dan Khurasan bahwa mereka
bercita-cita mendirikan sebuah negara yang dipimpin oleh Ahlu Bait dan
mendukung kesetaraan antara warganya, yang selama ini merasa diperlakukan
sebagai hamba sahaya oleh dinasti Umayyah yang memiliki sikap chauvinisme
terhadap ras Arab.[21]
Hal yang juga menarik dari sikap Bani Abbas–yang juga
tergolong sebagai ras Arab sebagaimana Bani Umayyah, tatkala Ibrahim[22] bin Muhammad bin Ali memberikan kepercayaan kepada
salah seorang tokoh Khurasan dalam memegang komando propaganda sehingga membawa
revolusi tersebut kepada kesuksesan dan tampuk kekuasaan bagi saudaranya,
al-Saffah. Ia pintar dalam mengatur strategi dan berpolitik, disamping
mengetahui karakteristik suatu masyarakat yang akan menjadi cikal bakal
pengikutnya. Orang-orang Khurasan tentu akan lebih bersemangat tatkala dipimpin
oleh sesame mereka. Tokoh tersebut bernama Abu Muslim al-Khurasani, yang pada
akhirnya dapat menguasai Khurasan.[23] Namun naas, di saat kepemimpinan Abu Ja’far
al-Manshur ia pun dibunuh, dikarenakan kekhawatiran atas pamor dan popularitas
Abu Muslim al-Khurasani yang kelak akan mendirikan pemerintahan otonom di
Khurasan dan mencabut dukungan atasnya.
III.
KARAKTERISTIK PERADABAN ABBASIYYAH
A.
Definisi
Peradaban
Barat versus
Islam
Berbicara
mengenai peradaban, tentu tidak terlepas dari kualitas manusia dan segala
pemikirannya. Jadi bukan sekedar bentuk bangunan fisik dan artefak yang
ditinggalkan.
Cak Nur
(sebutan untuk Nurcholish Madjid), dalam bukunya Islam Doktrin dan Peradaban
membuat sebuah sub judul mengenai Iman dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan
(Sebuah Tinjauan Historis Singkat). Ia mengajukan sebuah pertanyaan terkait
pertautan antara iman dan ilmu, apakah dapat berwujud dalam realitas kehidupan
manusia–terutama umat Islam? Dan apakah iman dan ilmu memiliki korelasi? Dalam
pandangan beberapa orang, saat ini peradaban Islam tengah berada pada fase
kemunduran dan kekalahan total dari dominasi peradaban Yahudi-Kristen (Barat). Peradaban
Islam dikatakan tidak memiliki kontribusi apapun dalam pengembangan ilmu
pengetahuan global. Untuk memberikan jawaban atas hal ini, Cak Nur terpaksa
menengok ke masa lalu dengan memberikan alasan bahwa sejarah amat penting untuk
diambil sebagai sebuah pelajaran karena itu merupakan perintah Tuhan. Ia
membawakan surat Ali Imran ayat ke 137.[24]
Sebelum ia
mengutip berbagai pandangan para orientalis Barat, ia menjadikan ayat 134 di
surat al-Baqarah yang berisikan tentang sifat wasathiyyah (pertengahan)
Islam, dan kemudian ia berikan kesimpulan mengenai letak geografis dari pusat
episentrum peradaban Islam yaitu di Timur Tengah, yang menjadi penghubung
antara peradaban Timur dan Barat. Lalu ia mengutip beberapa perkataan orientalis
bahwasanya sifat open religion (keterbukaan) dan inner dynamics
(dinamisnya) agama Islam, yang menjadikan agama ini dapat memberikan kontribusi
bagi kehidupan spiritual umat manusia, yang juga dapat bermanfaat bagi semua
orang. Inilah yang menjadi kesimpulan bagi Madjid, bahwasanya nilai-nilai
keimanan dalam Islam sama menjadikan seorang muslim “klasik” memiliki pandangan
yang positif terhadap bangsa lain, sehingga dapat memanfaatkan warisan
peradaban bangsa lain tanpa sedikit pun meremehkan atau menghinakannya, selama
itu tidak bertentangan dengan ajaran Tuhan. Dari nilai-nilai keimanan inilah,
yang pada akhirnya menjadikan para pemimpin-pemimpin Islam klasik mengumpulkan
segala ilmu pengetahuan dari mulai ilmu kedokteran, fisika, astronomi,
matematika, dan filsafat Yunani; ilmu sastra dari Persia; serta ilmu matematika
dan astronomi dari Hindu, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Sikap
terbuka dan positif terhadap peradaban bangsa-bangsa lain inilah yang
menjadikan peradaban Islam menyatukan khazanah keilmuan bersama secara
internasional dan kosmopolitan. Artinya Islam menghimpun berbagai ilmu
pengetahuan–yang tadinya hanya memiliki semangat nasionalistik, tertutup dan
terbatas–menjadi tersebar ke seluruh penjuru dunia, terbuka, dan dapat
dimanfaatkan oleh seluruh manusia.[25]
Kemudian Madjid
banyak sekali mengutip para penulis dan intelektual Barat yang mengomentari
peradaban Islam klasik secara positif dan apresiatif.[26]
Tatkala Barat menyebutkan peradaban Arab, maka hal tersebut tertuju kepada
Islam, karena agama Islamlah yang memberikan roh dan jiwa bagi bangsa Arab.
Umat Islam klasik yang dimaksud oleh Madjid tentu merujuk pada fakta sejarah
kehidupan umat Islam masa lalu, yang terpaksa ia ungkapkan pada paragraf di
atas. Umat Islam klasik ia fokuskan pada peradaban dinasti Abbasiyyah, terutama
di zaman kepemimpinan Harun al-Rasyid dan puteranya, al-Makmun sebagai
mercusuar ilmu dan pemimpin peradaban dunia pada saat itu.[27]
Di mana Barat yang Kristen masih dalam abad kegelapan sampai tahun 1000 Masehi
dan harus menyandarkan dirinya kepada ilmu pengetahuan Islam. Kontak yang
terjalin dengan dunia Islam menjadikan Eropa mulai mengenal ilmu pengetahuan
secara luas sehingga pada abad kesebelas mereka mulai tergerak secara
intelektual dalam paham Skolatisisme dan kemudian menuju pada abad Renaissance,
yang merupakan titik tolak zaman modern bagi Barat.[28]
Lalu terkait
dengan nilai-nilai Islam dan keindonesiaan, maka dalam membicarakan mengenai
pengaruh Islam di Nusantara dan peradaban Melayu, Tiar Anwar Bachtiar mengutip
ucapan Syed Muhammad Naquib al-Attas yang menolak anggapan kalangan orientalis
bahwasanya proses islamisasi di Nusantara dan kebudayaan Melayu hanya berperan
di permukaan saja, hanya menjadi pelitur–yang kalau digosok akan nampak isinya
berupa kebudayaan Hindu-Budha. Al-Attas berusaha melihat proses islamisasi dari
sisi pemikiran dan falsafah, yang pada akhirnya membawa masyarakat Nusantara
dan Melayu mulai meninggalkan dunia mistis dan klenik menuju kepada dunia ilmu
yang rasional, serta mengajarkan kepada mereka bagaimana memperlakukan alam
ini.[29]
Al-Attas juga
membawakan beberapa contoh implikasi
dari proses islamisasi terhadap dunia Eropa, yang mencapai kemodernan karena sebab
interaksi dengan umat Islam–yang mengajarkan kepada mereka tentang cari
berpikir ilmiah dan rasional. Tentang hal ini, akan kami bawakan beberapa bukti
persentuhan dunia Eropa dengan dunia Islam di zaman kepemimpinan dinasti
Abbasiyyah, terutama di zaman Harun al-Rasyid dan al-Makmun.
Definisi dan tafsir
tentang peradaban nampaknya perlu kita satukan dalam perspektif yang sama.
Sikap inferiority complex yang menjangkit sebagian besar umat Islam
memaksa mereka untuk melihat peradaban Barat post-modern sebagai suatu
peradaban yang superior dan tak tertandingi. Mengutip ucapan penasihat politik
Amerika Serikat, sekaligus penulis buku The Clash of Civilizations,
Samuel P. Huntington mengatakan, “Islam is the only civilization which has
put the survival of the West in doubt, and it has done at least twice”.[30]
Perseteruan
peradaban antara Islam dan Barat sudah dimulai sejak awal mula kemunculan
peradaban Islam di kota Madinah, di mana Rasulullah pernah menyurati kekaisaran
Romawi yang saat itu menganut agama Kristen. Apa yang dikatakan oleh Huntington
setidaknya semakin meyakinkan kita, bahwa peradaban Barat–yang diragukan oleh
Islam–sejatinya tidak membawa pengaruh positif bagi kehidupan manusia. Al-Attas
membuat anggapan bahwa peradaban Barat adalah satu-satunya peradaban yang
membawa umat manusia, makhluk hidup lainnya, dan bahkan bahan mineral masuk
dalam bahaya. Karena konsep keilmuan Barat menganut sekularisme, yang
memisahkan ilmu dari nilai-nilai agama. Sehingga ilmu dan pemikiran manusia berkembang
menjadi liar. Meskipun jalan yang ditempuh Barat itu pada awalnya logis, karena
Barat mengalami kondisi traumatis terhadap pengaruh dogma-dogma Gereja.[31]
Sikap skeptis
terhadap peradaban Barat bukanlah bentuk apologi umat Islam yang saat ini
mengalami kemunduran. Bahkan jauh-jauh hari Nietzsche mengatakan bahwa
peradaban Barat berada di pinggir jurang kehancuran. Di abad berikutnya,
Fritjof Capra juga mengatakan bahwa peradaban Barat telah hancur karena terlalu
mendewakan rasio.[32]
Lebih lanjut Capra membuat sebuah buku berjudul The Turning Point,
berisi kritik terhadap dua negara adidaya Amerika Serikat dan Rusia terkait
dengan proyek-proyek ambisius senjata nuklir mereka. Di sisi lain, belasan juta
melayang dikarenakan negara-negara berkembang pun lebih mementingkan proyek
persenjataan ketimbang kesehatan. “Penyakit peradaban”, begitu ia menyebutnya,
juga menjangkit di negara ketiga.[33]
Peradaban Islam
Mengangkat Derajat Manusia
Nabi Muhammad SAW., diserahi kewadjiban dan pekerjaan
memperbaiki keadaan umumnja ummat manusia, jang sudah djatuh kedalam kerendahan
deradjat jang serendah-rendahnja. Tetapi rochnja jang besar dan hatinja jang
kuat tidaklah memberi kesempatan kepada hatinja akan gontjang sedikitpun djuga,
meskipun njata-njata pertanggungan dan pekerdjaannja maha berat.
Nabi Muhammad SAW., menemui orang-orang ummi (bangsa
Arab pada umumnja dan lain-lain ummat djuga) dan penduduk lain-lain bahagian
dunia didalam ketjemaran dan kerusakan budi-pekerti; kepada mereka itu
(orang-orang ummi) Nabi Muhammad Çlm. menambahkan kepertjajaan kepada Allah
Jang Esa. Ia mendapati mereka itu didalam perpetjahaan kebangsaan dan
senantiasa didalam peperangan diantara satu dengan lain; ia mempersatukan
mereka itu mendjadi suatu ummat jang bersatu dengan tali-ikatan lahir, jaitu
keperluan kebangsaan dan kemanusiaan, dan tali-ikatan batin, jaitu
kepertjajaan, rasa persaudaraan dan budi kedermawanan. Semendjak masa jang
tidak teringat lagi didalam riwajat, segenap djazirah adalah diselimuti didalam
kedjahilan. Apa-apa jang pada mulanja berupa kerusakan budi-pekerti, penindasan
si-lemah oleh si-kuat dan perlanggaran hukum kemanusiaan dan hukum ke-Tuhan-an,
didalam waktu beberapa tahun sadja oleh Nabi Muhammad Çlm. telah diubah
mendjadi suatu taman kemuliaan dan taman keutamaan. Penjembahan berhala jang
sudah berabad-abad lamanja, beserta dengan kehidupan jang tjemar, hanja melulu
menudju kepada peri-kebendaan dan keduniaan sadja, didalam suatu masa jang
pendek sekali didalam hitungan riwajat, oleh Nabi Muhammad Çlm. diubah mendjadi
Tauhid besarta dengan kehidupan dunia jang menudju kemuliaan, sebagai benih
jang akan menimbulkan kehidupan achirat jang lebih tinggi dan lebih sutji;
sementara itu didunia dilakukan kedermawanan, kebadjikan, keadilan dan
ketjintaan terhadap kepada sesama manusia. Kebangunan dan pergerakan jang baru
itu, Nabi Muhammad Çlm. jang mendjadi sumbernja, dengan petundjuk dan
pertolongan Ilahi. Kebenaran-kebenaran, adjaran-adjaran dan
ketentuan-ketentuan, jang dinjatakan oleh Nabi Muhammad Çlm. selama dua puluh
tahun, sudah tertanamlah didalam otak-benak dan masuk didalam hati-sanubari
pengikut-pengikutnja, dan pada zaman sekarang ini, telah diakui djuga mendjadi
asas-asas oleh tiap-tiap ummat dan bangsa jang beradab dan sopan. Wet
dipersatukannja dengan keutamaan budi-perkerti![34]
B.
Karakteristik
Peradaban Abbasiyyah, Tokoh, dan Gagasannya.
Karakteristik
Peradaban Abbasiyyah
Para tokoh
penggagas dinasti Abbasiyyah sudah memiliki perencanaan yang matang sebelum
melakukan revolusi. Mereka menyerukan dan menganjurkan para propagandisnya
untuk bersikap loyal terhadap Ahlul Bait. Di samping itu, mereka memajukan
konflik primordial, sektarian, dan rasialisme dalam menumbangkan dinasti
Umayyah. Revolusi yang dilancarkan Bani Abbas dibangun atas propaganda dan
dukungan kelompok Syiah. Meskipun di awal mendasari prinsip-prinsipnya pada
Syi’ah, namun ketika mereka sukses mencapai tampuk kekuasaan, mereka
meninggalkan paham Syi’ah dan pada perkembangan berikutnya mencerminkan madzhab
Sunni.[35]
Akulturasi
budaya Arab, Persia, Turki, dan Transoxania (Asia Tengah) tentunya tidak
terhindarkan. Pada masa ini juga terjadi penerjemahan buku-buku filsafat Yunani
ke dalam bahasa Arab yang didukung oleh al-Manshur, al-Rasyid, dan al-Makmun.
Pada zaman tersebut berdiri Bait al-Hikmah (house of wisdom)
sebagai pusat pengembangan filsafat dan sains. Para pemimpin dinasti
Abbasiyyah, terutama Harun al-Rasyid dan al-Makmun memang pecinta ilmu.
Tokoh-Tokoh dan
Gagasan-Gagasannya
1.
Al-Manshur
Nama lengkapnya
Abu Ja’far Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin al-Abbas. Lahir pada
tahun 101 H di kota Hamimah. Ia adalah pemimpin kedua dinasti Abbasiyyah. Salah
satu gagasannya adalah memindahkan ibukota pemerintahan dari Anbar ke Hasyimiyyah.
Ia menetap di sana, sampai menjelang ide pembangunan ibukota di Baghdad, yang
akan menjadi ikon kebanggaan dan kebesaran dinasti Abbasiyyah. Konstruksi kota
Baghdad yang membentuk melingkar, dengan masjid Agung di tengah kota
menghabiskan dana mencapai delapan belas juta dinar. Al-Manshur mengisi kota
tersebut dengan para ulama dari seluruh penjur negeri dan daerah. Kota tersebut
sangat dikagumi bentuk arsitekturnya sehingga dijuluki sebagai Ummu al-Dunya
(pusat dunia).[36]
2.
Harun al-Rasyid
Nama lengkapnya
Harun al-Rasyid bin Muhammad al-Mahdi. Lahir pada tahun 145 H di kota Rayy. Ia
adalah pemimpin kelima dinasti Abbasiyyah. Di masanya inilah dinasti Abbasiyyah
mencapai puncak kejayaan dan kemakmuran. Baik dari segi ilmu pengetahuan,
sastra, militer, dan ekonomi. Beberapa gagasannya adalah melakukan ekspansi
militer ke wilayah Romawi Timur, yang saat itu dipimpin oleh Irene. Di tengah
kecamuk peperangan, pada akhirnya Irene melakukan gencatan senjata dengan
membayar kompensasi upeti kepada dinasti Abbasiyyah. Hal itu terpaksa dilakukan
karena pasukan Abbasiyyah terus melakukan serangan terhadap kekaisarannya,
sementara di sisi lain mereka pun di serang Charlemagne.
Ketidakcakapan
Irene berbuah pemakzulan atasnya. Lantas kekaisaran Romawi Timur digantikan
oleh Naqfur, yang berani mengirimkan surat ancaman kepada Harun al-Rasyid. Ia
pun naik pitam setelah membaca surat tersebut, dan mengirimkan surat balasan
berisi ancaman tegas, “Bismillah ar-Rahman ar-Rahim, dari Harun pemimpin
Amir al-Mu’minin kepada Naqfur anjing Romawi. Aku telah membaca suratmu
dan jawabannya akan segera kamu saksikan tanpa harus kamu dengar. Wassalam”.
Naqfur yang diserang pasukan Abbasiyyah pun pada akhirnya menyerah, dan kembali
membayar pajak dan upeti kepada dinasti Abbasiyyah.
Bentuk kebijakan
politik lainnya adalah menjalin kerjasama dengan bangsa Eropa yang saat itu
dipimpin Charlemagne. Charlemagne mendapat persetujuan untuk menyerang dinasti
Umayyah di Andalusia. Cordova Andalusia yang dikuasai oleh dinasti Umayyah, dan
Baghdad yang dikuasi dinasti Abbasiyyah, merupakan mercusuar ilmu pengetahuan
kala itu, di saat Eropa mengalami abad kegelapan (dark ages). Karenanya,
Charlemagne berupaya mereformasi aturan perundang-undangan pemerintahannya
dengan mengacu kepada pemerintahan yang dipegang Harun al-Rasyid.
Baghdad saat
itu menjadi pusat pendidikan Islam terkemuka. Di sana terdapat para pakar
hadits, fiqih, ahli bacaan al-Qur’an, pakar bahasa dan sastra Arab. Ilmu
kedokteran, filsafat, arsitektur, dan industri ada di sana. Banyak orang Eropa
yang setelah menimba ilmu di sana, lalu kembali ke negeri asalnya.
3.
Al-Makmun
Nama lengkapnya
Abdullah al-Makmun bin Harun al-Rasyid bin Muhammad al-Mahdi. Lahir pada tahun
170 H. Dia adalah pemimpin keenam dinasti Abbasiyyah. Di masanya, dinasti Abbasiyyah
mencapai puncak kejayaan ilmu pengetahuan. Hal itu dikarenakan ia sendiri
merupakan orang yang menghabiskan sebagian waktunya untuk ilmu pengetahuan.
Ilmu yang tersebar saat itu bukan hanya ilmu agama dan sastra Arab, melainkan
juga ilmu-ilmu pengetahuan umum dan logika.
Selain Baghdad,
ada pula Bashrah yang lebih dahulu menjadi pusat penyebaran ilmu keislaman dan
terdapat banyak ulama terkenal seperti al-Hasan al-Bashri. Konflik yang terjadi
antara al-Hasan al-Bashri dengan muridnya, Washil bin Atha’ mencapai puncaknya
sehingga membentuk kelompok Mu’tazilah, yang mendasarkan pemahaman mereka
kepada akal dan logika semata. Puncak dari semua ini adalah munculnya sebuah
anggapan bahwa al-Qur’an adalah makhluk (fitnah khalq al-Qur’an). Di
zaman al-Makmun, banyak ulama Ahlus Sunnah yang dihukum karena tidak mau
mengikuti keyakinan yang dianut pemerintah saat itu. Salah satu ulama yang
mendapatkan hukuman tersebut adalah Ahmad bin Hanbal. Tidak hanya sampai di
situ, sebelum al-Makmun wafat, ia mewasiatkan kepada al-Mu’tashim untuk
meneruskan keyakinan ambisiusnya. Imam Ahmad dihadapkan kepada al-Mu’tashim,
dan disodorkan pertanyaan mengenai kemakhlukan al-Qur’an. Namun Imam Ahmad
tetap bergeming dengan keyakinannya.
PENUTUP
Istilah khilafah,
imamah, dan mamlakah bukanlah hal yang substantif untuk
diperdebatkan. Namun yang pasti, kebutuhan umat akan penjagaan terhadap agama
dan kehidupan dunianya tidaklah mungkin tercapai dengan sempurna tanpa ada
pemimpin yang memberikan perhatian
secara penuh terhadap aturan-aturan agama Islam. Dalam hal ini, mungkin tepat
jika kita mengacu kepada kaidah fiqih yang berbunyi, “La yatimmu al-wajib
illa bihi fahuwa wajib”, tidak sempurnyanya suatu kewajiban kecuali dengan
sesuatu, maka sesuatu itu wajib. Pelaksanaan ibadah, penjagaan terhadap
kehormataan agama, penyebaran dakwah Nabi, dan lain sebagainya, tentu
membutuhkan sokongan para pemangku jabatan yang memang peduli terhadap
keberlangsungan agama Islam.
Peradaban yang
dibangun oleh dinasti Abbasiyyah, sudah cukup merepresentasikan peradaban Islam
dan cukup pula melindungi keberlangsungan agama dan kehidupan dunia. Meski
banyak catatan dan kritik, yang tentu berlandaskan aspek teologis. Setidaknya,
dakwah Islam pada saat itu tersebar luas bahkan sampai ke Nusantara ini.
Sejarah
merupakan bahan refleksi. Menjadi ibrah atau pelajaran bagi generasi
setelahnya, agar tak salah dalam melangkah dan masuk ke lubang yang sama.
Namun, pengertian sejarah saat ini bukan lagi sekedar history, namun
bergeser menjadi his story, ceritanya. Tak usahlah risau dengan catatan
sejarah kita kelak. Sejarah hanya sekedar persepsi, soal ruang dan waktu.
Tergantung pihak mana yang menulisnya. Mungkin kelak kita dituliskan dengan
tinta emas sebagai pahlawan yang berjasa. Namun bisa jadi kita ditulis dengan
tinta muram. Karenanya, buatlah sejarah.[37]
DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Muhammad. 1976. Risalah Tauhid. Jakarta, Bulan Bintang.
Abdul Lathif, Abdussyafi Muhammad. 2023. Bangkit dan Runtuhnya
Khilafah Bani Umayyah. Jakarta, Pustaka Al-Kautsar.
Al-Khudari, Muhammad. 2016. Bangkit dan Runtuhnya
Khilafah Bani Abbasiyah. Jakarta, Pustaka Al-Kautsar.
Al-Mawardi, Abu Hasan. 2014. Al-Ahkam
al-Sulthaniyyah. Kairo, Syirkah al-Quds.
Al-Mubarakfuri, Shafiyyurrahman. 2001. Perjalanan Hidup
Rasul yang Agung. Jakarta, Kantor Atase Agama Saudi Arabia.
Al-Suyuthi, Jalal al-Din. 2019. Tarikh al-Khulafa’. Kairo, Maktabah al-Tibyan.
Bachtiar, Tiar Anwar. 2018. Jas Mewah. Yogyakarta, Pro-U Media.
Bachtiar, Tiar Anwar. 2021. Rasional Tanpa
Menjadi Liberal. Jakarta, INSISTS.
Capra, Fritjof. 2019. The Turning Point
(Titik Balik Peradaban). Yogyakarta, Mata Bangsa.
Husaini, Adian. 2005. Wajah Peradaban Barat. Jakarta, Gema Insani.
Madjid, Nurcholish. 1992. Islam Doktrin dan
Peradaban. Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina.
Pandawa, Nicko. 2021. Khilafah dan
Ketakutan Penjajah Belanda. Bogor, Komunitas Literasi Islam.
Tafsir, Ahmad. 2021. Filsafat Umum. Bandung, Rosda.
Tjokroaminoto, H.O.S. 1955. Tarich Agama Islam. Jakarta, Bulan Bintang.
[1]
https://islamqa.info Judul artikel شرح حديث: تكون
نبوة فيكم ما شاء الله أن تكون. Diakses pada tanggal 17 September 2023
pukul 23.10 WIB.
[2]
Ibid. Hadits
tersebut menjelaskan perihal keadaan umat Islam dari zaman kenabian sampai
dengan akhir zaman. Pertama, zaman kenabian (nubuwwah) terjadi dari
mulainya kepemimpinan Nabi Muhammad Saw. sampai dengan wafatnya. Kedua,
periode kepemimpinan yang berada di jalan kenabian yang tetap berpegang teguh
kepada perintah-perintah Allah dan menjalankan syariat dan hukum-hukum Islam.
Periode ini berlangsung selama 30 tahun menurut pendapat yang valid. Mereka
dijuluki sebagai para pemimpin yang mendapat petunjuk (al-Khulafa’
al-Rasyidin). Ketiga, periode pemimpin yang memperlakukan rakyatnya
dengan kejam dan zalim (mulkan ‘adhan). Periode ini dimulai dari zaman
al-Hajjaj. Keempat, periode kepemimpinan yang melampaui batas-batas
kemanusiaan, diktator dan otoriter (mulkan jabriyyan). Kelima,
kembali pada periode kepemimpinan yang mengikuti jalan Nabi. Ditandai dengan
kemunculan al-Mahdi dan nuzul-nya Nabi Isa As.
[3]
Lihat Nicko Pandawa, Khilafah dan Ketakutan Penjajah Belanda, Komunitas
Literasi Islam [Bogor, 2021], hal. 29-44. Sangat menarik menyimak uraian dalam
buku hasil penelitian skripsi tersebut, yang menurut Moeflich H. Hart (Dosen
Sejarah Senior di UIN Sunan Gunung Djati Bandung) bercita rasa disertasi.
Penulis mengajak untuk melakukan identifikasi terkait pemerintahan seperti apa
yang layak disebut sebagai khilafah. Dalam hal ini, penulis ingin memberikan
justifikasi terkait keabsahan dinasti Utsmaniyyah sebagai institusi khilafah,
yang memiliki tugas untuk menjaga agama dan aturan hidup di dunia (li
hirasati al-din wa siyasati al-dunya), serta menjadi kepemimpinan umum bagi
umat Islam di seluruh dunia yang sanggup menegakkan syariat Islam.
[4]
Muhammad al-Khudari, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Bani Abbasiyah,
Pustaka Al-Kautsar [Jakarta, 2016], hal. xv.
[5]
Ibid., hal. 793-823
[6]
Allah Ta’ala berfirman,
وَتِلْكَ الْأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ
النَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللهُ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا وَيَتَّخِذَ مِنْكُمْ
شُهَدَاءَ. وَاللهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِيْنَ
“Dan masa (kejayaan dan
kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat
pelajaran), dan agar Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan
orang-orang kafir), dan agar sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada.
Dan Allah tidak menyukai orang-orang zalim.” (QS. Alu Imran: 140).
[7]
Op.cit., hal. 759
[8]
Perdebatan mengenai siapa yang layak disebut khalifah dan raja tidak akan
dibahas lebih rinci dalam makalah ini. Namun beberapa ulama sepakat bahwa yang
dimaksud sebagai khulafa’ ala minhaj al-nubuwwah atau khulafa’
al-rasyidin adalah keempat sahabat yang utama, ditambah dengan al-Hasan bin
Ali. Nicko Pandawa, Khilafah dan Ketakutan Penjajah Belanda, Komunitas
Literasi Islam [Bogor, 2021], hal. 32. Beberapa ulama seperti Ibnu al-Jauzi dan
al-Hasan al-Bashri menyebutkan tentang Umar bin Abdul Aziz–yang menjadi
pemimpin setelah berlalunya kezaliman al-Hajjaj, bahwa ia dikecualikan dari
kriteria pemimpin mulkan ‘adhan dan mulkan jabriyyan. https://islamqa.info Judul artikel شرح حديث: تكون
نبوة فيكم ما شاء الله أن تكون. Diakses pada tanggal 19 September 2023
pukul 09.29 WIB. Al-Suyuthi menyebutkan ucapan ulama terkait hadits tentang
periode khilafah selama 30 tahun, “Para pemimpin yang empat dan beberapa hari
masa kepemimpinan al-Hasan adalah yang dimaksud dengan periode khilafah selama
30 tahun tersebut, yang terjadi setelah wafatnya Nabi Saw.”. Jalal al-Din al-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa’,
Maktabah al-Tibyan [Kairo, 2019], hal. 37.
[9]
Lihat Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Rosda [Bandung, 2021], hal.
238. Dalam berbagai penulisan sejarah atau bahkan mengenai filsafat Timur
(Islam), tokoh-tokoh pemimpin Dinasti Abbasiyyah yang sering disebut-sebut dan
berkontribusi penuh dalam ilmu pengetahuan Barat adalah al-Manshur, Harun
al-Rasyid, dan al-Makmun. Mereka menginisiasi penerjemahan buku-buku Yunani ke
dalam bahasa Arab. Dan kemudian berdirilah lembaga pendidikan bernama Bait
al-Hikmah (house of wisdom).
[10]
Jalal al-Din al-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa’,
Maktabah al-Tibyan [Kairo, 2019], hal. 6.
[11]
Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, Syirkah
al-Quds [Kairo, 2014], hal. 32-33.
[12]
Muhammad al-Khudari, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Bani Abbasiyah,
Pustaka Al-Kautsar [Jakarta, 2016], hal. 1.
[13]
Ibid., hal. 2-3.
[14]
Ibid., hal. 3; Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Perjalanan Hidup Rasul
yang Agung, Kantor Atase Agama Kerajaan Saudi Arabia [Jakarta, 2001], hal.
319; https://shamela.ws/book/97932/111
Diakses pada tanggal 20 September pukul 11.42 WIB.
[15]
Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Perjalanan Hidup Rasul yang Agung,
Kantor Atase Agama Kerajaan Saudi Arabia [Jakarta, 2001], hal. 594-596.
[16]
Abdussyafi Muhammad Abdul Lathif, Bangkit dan
Runtuhnya Khilafah Bani Umayyah, Pustaka Al-Kautsar [Jakarta, 2023], hal.
17.
[17]
Namanya adalah Abu al-Abbas Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin
al-Abbas, dari seorang ibu bernama Rithah binti Ubaidillah. Lahir pada tahun 40
H di Hamimah.
[18]
Muhammad al-Khudari, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Bani Abbasiyah,
Pustaka Al-Kautsar [Jakarta, 2016], hal. 14-16.
[19]
Muhammad Abduh, dalam bukunya berjudul Risalah Tauhid menyebutkan
tentang hubungan antara bangsa Persia dengan dinasti Abbasiyyah, yang
menurutnya memiliki peranan penting dalam membantu Bani Abbasiyyah menumbangkan
kekuasaan terakhir dinasti Umayyah. Karenanya, dinasti Abbasiyyah menyediakan
jabatan-jabatan tinggi bagi orang-orang Persia yang di antaranya sebagai
menteri dan wakil menteri, meskipun kebanyakan dari mereka bodoh dalam masalah
agama, bahkan tidak menganut agama sama sekali. Dengan kesempatan dan
kepercayaan yang diberikan oleh dinasti Abbasiyyah itulah, mereka menyebarkan
berbagai macam buah pikiran mereka dan melahirkan kekafiran dan banyak
munculnya tokoh-tokoh zindiq. Lihat Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, Bulan Bintang [Jakarta, 1976], hal. 46.
[20]
Lihat halaman 2; Abdussyafi Muhammad Abdul Lathif, Bangkit
dan Runtuhnya Khilafah Bani Umayyah, Pustaka Al-Kautsar [Jakarta, 2023],
hal. 656.
[21]
Abdussyafi Muhammad Abdul Lathif, Bangkit dan
Runtuhnya Khilafah Bani Umayyah, Pustaka Al-Kautsar [Jakarta, 2023], hal.
659; Muhammad al-Khudari, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah
Bani Abbasiyah, Pustaka Al-Kautsar [Jakarta, 2016], hal. 16.
[22]
Ia merupakan saudara kandung dari Abu al-Abbas
Abdullah bin Muhammad bin Ali al-Saffah.
[23]
Abdussyafi Muhammad Abdul Lathif, Bangkit dan
Runtuhnya Khilafah Bani Umayyah, Pustaka Al-Kautsar [Jakarta, 2023], hal.
661.
[24] Nurcholish Madjid, Islam
Doktrin dan Peradaban, Yayasan Wakaf Paramadina [Jakarta, 1992], hal.
131-132.
[25] Ibid., hal. 134-135.
[26] In science, the Arabs outdistanced the Greeks.
Greek civilization was, in essence, a lush garden full of beautiful flowers
that bore little fruit. It was a civilization rich inphilosophy and literature,
but poor in techniques and technology. Thus it was the historic task of the
Arabs and the Islamic Jews to break through this Greek scientific cul-de-sac,
to stumble upon new paths of science to invent the concepts of zero, the minus
sign, irrational numbers, to lay the foundations for the new science of chemistry
ideas which paved the path to the modern scientific world via the minds of
post-Renaissance European intellectuals.
(Dalam science, orang-orang Arab jauh
meninggalkan orang-orang Yunani. Peradaban Yunani itu, pada esensinya, adalah
sebuah kebon yang subur penuh dengan bunga-bunga indah yang tidak banyak
berbuah. Ia adalah peradaban yang kaya dengan filsafat dan sastra, tapi miskin
dalam teknik dan teknologi, karena itu, adalah usaha bersejarah orang-orang
Arab dan Yahudi Islam untuk memecahkan tabung buntu ilmu-pengetahuan Yunani
itu, guna merintis jalan-jalan baru science menemukan konsep nol, rumus minus,
angka irasional, dan meletakkan dasar-dasar untuk ilmu kimia baru-yaitu ide-ide
yang meratakan jalan bagi dunia ilmu pengetahuan modern melalui pikiran para
intelektual Eropa pasca Renaissance). [Max Isaac Dimont, Sejarawan Yahudi
Amerika, dalam buku The Indestructible Jews].
They improved algebra, inveted trigonometry,
and built astronomical observatories. They invented the lens and founded the
study ofoptics, maintaining that light rays issue from the object seen rather
than from the eye. In the tenth century Alhazen discovered a number of optical
laws, for example, that a light ray takes the quickest and easiest path, a fore
runner of Format's “least action” principle. The Arabs also extended alchemy,
improving and inventing a wealth of techniques and instruments, such as the
alembic, used to distill perfumes. In the eight century the physician al-Razi
laid the foundations of chemistry by organizing alchemical knowledge and
denying its arcane significance. Inventor of animal-vegetable-mineral
classification, he categorized a host of substances and chemical operations,
some of which, such as distillation and crystallization, are used today.
(Mereka (orang-orang Islam) mengembangkan al-jabar,
menemukan trigonometri, dan membangun berbagai observatorium astronomi. Mereka
menemukan lensa dan menciptakan kajian tentang optik, dengan berpegang pada
teori bahwa sinar cahaya berasal dari objek yang dilihat, bukan dari mata. Pada
abad kesepuluh Alhazen menemukan sejumlah hukum optik, misalnya, bahwa seberkas
cahaya menempuh jalan yang tercepat dan termudah, suatu pendahulu prinsip
Format tentang “tingkah laku terkecil”. Orang-orang Arab juga mengembangkan kimia,
memperbaiki dan menemukan jumlah yang sangat banyak teknik dan instrumen,
seperti alembic (dari Arab: al-anbiq, bejana distilasi, Madjid), yang
digunakan untuk distilasi parfum. Pada abad kedelapan, ahli fisika al-Razi
meletakkan dasar-dasar ilmu kimia dengan menyusun pengetahuan kimiawi disertai
penolakan tentang kegunaannya yang tersembunyi. Sebagai penemu klasifikasi
binatang, tumbuhan, dan mineral, ia menyusun kategori sejumlah zat dan praktek
kimiawi, beberapa di antaranya, seperti distilasi dan kristalisasi, yang masih
digunakan saat ini). [George F. Kneller, penulis berkebangsaan Inggris].
The civilazation of the Arabs has made deep
contribution to European civilization, and this fact is very clearly reflected
by the many important words we have borrowed from the Arabic language. Most did
not come directly into English but were borrowed through Turkish, Italian,
Spanish, and French. In the selection below, note how many of the words relate
to science and technology and to sophisticated products, objects, and conforts
of civilized life.
(Peradaban Arab telah memberi kontribusi yang
mendalam kepada peradaban Eropa, dan kenyataan ini dengan amat jelas
dicerminkan dalam banyak kata-kata penting yang kita pinjam dari bahasa Arab.
Kebanyakan tidak datang langsung ke bahasa Inggris, tetap dipinjam melalui
bahasa-bahasa Turki, Itali, Spanyol dan Perancis. Dalam seleksi di bawah,
perhatikanlah betapa banyaknya kata-kata yang berhubungan dengan science dan
teknologi dan kepada produk-produk dan obyek-obyek canggih, serta kepada
berbagai kenyamanan hidup berperadaban). [Peter Davies, penulis berkebangsaan
Inggris, dalam bukunya Succes with Words].
[27] Mereka berdua berkuasa dari tahun 783-833
Masehi, dan memiliki perbedaan pemahaman teologis antara ahlu al-sunnah dan
muktazilah.
[28] Nurcholish Madjid, Islam
Doktrin dan Peradaban, Yayasan Wakaf Paramadina [Jakarta, 1992], hal. 143.
[29]
Tiar Anwar Bachtiar, Jas Mewah, Pro-U Media
[Yogyakarta, 2018], hal. 28-31; Tiar Anwar Bachtiar, Rasional Tanpa Menjadi
Liberal (Islam: Ruh Kemajuan Peradaban Melayu), INSISTS [Jakarta, 2021],
hal. 324-331.
[30]
Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat, Gema
Insani [Jakarta, 2005], hal. 131.
[31]
Ibid., hal. 124-126.
[32]
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Rosda [Bandung,
2021], hal. 257-258.
[33]
Fritjof Capra, The Turning Point (Titik Balik
Peradaban), Mata Bangsa [Yogyakarya, 2019], hal. 3-7.
[34]
H.O.S. Tjokroaminoto, Tarich Agama Islam, Bulan
Bintang [Jakarta, 1955], hal. 56&174.
[35]
Abdussyafi Muhammad Abdul Lathif, Bangkit dan
Runtuhnya Khilafah Bani Umayyah, Pustaka Al-Kautsar [Jakarta, 2023], hal.
656.
[36]
Muhammad al-Khudari, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Bani Abbasiyah,
Pustaka Al-Kautsar [Jakarta, 2016], hal. 121.
[37]
Kalimat ini terinspirasi dari puisi Syaukani al-Karim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar