Cowboy (Koboi) Bersorban

Tulisan ini adalah subjudul dari tulisan sebelumnya. Lihat MEREFLEKSIKAN SEJARAH PENDIDIKAN DI INDONESIA

Quo Vadis Intelektual Muda?

“Sekarang kebanyakan intelektual telah menjadi teknokrat alias sekrup-sekrup dalam roda pemerintahan. Kaum intelektual pada gilirannya dipergunakan lagi oleh pemerintah untuk membela beleid-nya atau sebagai solidarity maker. Ternyatalah, pemerintah memang berusaha memagar dirinya dengan argumentasi intelektual.” (Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam).

Membaca kembali tulisan-tulisan Ahmad Wahib yang memuji setinggi-tingginya para pemimpin gerakan mahasiswa pra kemerdekaan, dengan julukan pejuang sekaligus pemikir. Di sisi lain ia mengajak untuk membandingkan pemimpin-pemimpin mahasiswa di zamannya. Kalaupun kita ingin jujur membandingkan dengan pemimpin-pemimpin mahasiswa saat ini, maka akan didapati degradasi intelektual dan krisis identitas di kalangan mahasiswa. Para mahasiswa jauh dari jiwa merdeka sehingga membawa mereka–beserta organisasi tempat mereka bernaung–terbelit dalam jaringan partai politik dan kekuasaan. Atau bahkan hanya menjadi organisasi underbouw-nya partai politik dan ormas keagamaan tertentu?

Hal di atas tentunya akan mengundang implikasi negatif bagi pergerakan kaum intelektual ke depan. Mahasiswa sebagai lambang kelas masyarakat intelektual yang seharusnya menjadi agent of change dan penyambung lidah atau suara rakyat, malah berbicara atas nama ormas induk mereka dan terjebak dalam kegiatan politik teoritis maupun praktis. Praktik oportunisme, yang dibarengi dengan perebutan otoritas, dominasi dan supremasi dalam kampus merupakan miniatur kehidupan politik yang dicontohkan oleh senior mereka. Sementara independensi, kemandirian dan sikap kritis mahasiswa ibarat mencari jarum dalam tumpukan jerami. Dan kaderisasi menjadi wajah baru feodalisme di kalangan mahasiswa.

Membaca gagasan Ahmad Wahib dan Soe Hok Gie–yang dijuluki sebagai abortus intellectual oleh Dr. Kuntowijoyo–, tentunya kita akan menemukan berbagai macam negasi jika membandingkan dengan peranan para mahasiswa political force. Julukan political force diarahkan kepada mahasiswa yang terlibat langsung dalam kegiatan organisasi politik, sementara yang menolak untuk berpolitik praktis dijuluki sebagai moral force. Dalam menyikapi golongan pertama ini, Soe Hok Gie membuat sebuah pernyataan bahwasanya mereka bukan lagi mahasiswa yang berpolitik, tetapi politikus yang punya kartu mahasiswa. Hal itu diungkapkan tatkala ia mengkritik KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia).

 

Cowboy (Koboi) Bersorban

“Indonesia lahir di ruang-ruang kuliah dan kelas-kelas di beberapa kota.” (Soe Hok Gie, Zaman Peralihan).

Dalam membuat gambaran mengenai realitas perpolitikan di tahun 1966, Radio Ampera menjuluki kelompok mahasiswa moral force sebagai koboi. Koboi dalam gambaran mereka adalah sosok pahlawan berkuda, mengenakan sepatu bot, rompi kulit, topi lebar dan yang pasti memiliki pistol di pinggangnya. Inilah gambaran menurut mahasiswa elektro dari kota Bandung dan mahasiswa UI yang terhimpun dalam Radio Ampera, dibentuk sebagai reaksi atas sikap oportunisme politik awak media dan pers.

Bak seorang koboi yang datang ke sebuah kota dari horizon yang jauh, begitulah peran mahasiswa tatkala terjadi huru-hara yang disebabkan penguasa tiran. Koboi datang menantang para bandit berduel. Setelah para bandit mati, si koboi pun menghilang dari pandangan masyarakat kota yang ingin memberikan sanjungan, hadiah dan pangkat jabatan.

Pun dengan mahasiswa, tatkala terjadi penjajahan, penindasan, kesewenang-wenangan, kediktatoran, korupsi dan segala praktik despotisme penguasa, maka mereka pun mengerahkan segala potensi intelektualnya dalam menumbangkan penguasa tiran tersebut. Tatkala kaum penjajah hengkang dari negerinya, masyarakat suatu negeri terbebas dari penindasan menuju kemerdekaan, penguasa diktator turun jabatan dan si korup pun terhinakan, maka mereka kembali duduk manis di ruang-ruang kelasnya untuk menuntut ilmu dan menamatkan kuliah.

Sebagian gambaran di atas pernah dilakukan kalangan santri tatkala bangsa Eropa menjadikan negeri ini sebagai bangsa perahan. Mereka selalu mengobarkan api perlawanan  dan memposisikan dirinya sebagai oposisi para penguasa tiran.

Sebenarnya banyak pengamat yang mengkritik kategorisasi sosio-kultural yang disebutkan oleh Clifford Geertz–dan diikuti oleh Soe Hok Gie–tersebut, salah satunya sosiolog Universitas Indonesia bernama Harsya W. Bachtiar yang menganggap bahwa priyayi bukanlah kategori berdasarkan kriteria keagamaan, melainkan kriteria sosial berdasarkan garis keturunan. Namun perlu dipahami bahwa kategori tersebut tidaklah statis dan mutlak. Sebagai contoh sebut saja HOS. Tjokroaminoto yang terlahir dari keluarga ningrat dan sekaligus merupakan keturunan ulama besar Tegalsari, Kyai Ageng Hasan Besari. Pendidikan yang didapatkan Tjokro sebagaimana anak-anak priyayi lainnya, namun manifestasi perjuangannya saat itu dilandaskan oleh ruh keislaman yang kuat. Lihat Mengenal HOS. Tjokroaminoto; Sosok Priyayi dan Da'i

Abad ke-20 dan politik etis merubah tatanan masyarakat yang ada. Perkembangan konstelasi politik dunia melahirkan warna baru bagi sebuah tatanan masyarakat jajahan. Ideologi kiri komunis menjadi salah satu bagian yang turut mewarnai pertarungan gagasan kaum intelektual Indonesia. Pemerintah Hindia-Belanda kini memiliki oposisi lain di luar kelompok umat Islam (yang saat itu tergabung dalam Sarekat Islam). Sarekat Islam merupakan representasi kebangkitan nasional sebuah bangsa, yang di dalamnya mengakomodir seluruh lapisan masyarakat baik itu priyayi, santri bahkan abangan. Simbol-simbol feodalisme dan perbudakan ditiadakan. Sekat-sekat antara kaum borjuis dan proletar pun dihilangkan. Hal ini turut membantah stigma yang selama ini berkembang bahwa kaum komunislah yang lebih memperhatikan kaum proletar.

Selain pengaruh perkembangan konstelasi politik dunia–yang didominasi oleh fasisme, blok Barat dan blok Timur–, pan-Islamisme yang digaungkan di Mesir turut mewarnai gerakan kebangkitan umat Islam di Indonesia. Umat Islam Indonesia yang selama ini termarginalkan dan mendapatkan stigma kolot, konservatif dan tidak sesuai dengan modernisasi dari pihak kolonial Belanda beserta kaum intelektual binaannya, mulai menunjukkan dirinya sebagai gerakan tajdid (modernisasi atau pembaharuan Islam). Gerakan pan-Islamisme yang diinisiasi oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh menjadi stimulus dan energi baru bagi perjuangan umat Islam di Indonesia.

“Bahkan kepada kaum intelek mereka memberikan kesan, bahwa agama Islam itu adalah identik dengan agama kampungan, agama rakyat jelata, agamanya kuli, agamanya orang yang bodoh dan bukan agamanya orang terpelajar. Tentunya mereka tidak akan mau disamakan ataupun disejajarkan dengan orang-orang yang bodoh. Belanda mengajarkan kepada kaum intelek didikan mereka bahwa Islam itu agama yang reaksioner, yang tidak mempunyai daya vitalitas untuk menjawab tantangan-tantangan di abad modern. Apabila kaum intelek mengaku dirinya terpelajar, orang yang modern tidaklah patut menamakan dirinya orang Islam. Benih-benih yang berbisa yang berisikan kebencian terhadap agama Islam ini tiap hari dimasukkan ke dalam jiwa kaum intelegensia kita. Pendek kata kehidupan agama Islam di Indonesia penuh diliputi oleh alam dan suasana kebekuan, kekolotan, kekalahan, kesuraman dan kemunduran. Dalam keadaan masyarakat Islam yang demikian itulah dahulu Haji Agus Salim lahir, hidup dan berjuang.” (Solichin Salam, Haji Agus Salim Pahlawan Nasional).

Pendidikan yang diberikan Belanda terbilang cukup berhasil dalam memecah-belah kekuatan masyarakat jajahan. Politik devide et impera (belah bambu) terbilang cukup mulus dalam melemahkan kekuatan kaum bumiputera. Sikap inferiority complex yang ditanamkan di sebagian kaum abangan dan priyayi semakin membuat jauh jarak antara mereka dengan kaum santri. Di sisi lain, pengetahuan mereka mengenai ilmu modern, permasalahan birokrasi dan kenegaraan berada di atas kaum santri. Sehingga sebagian urusan perpolitikan dan kenegaraan dapat mereka kuasai dengan baik. Hal inilah yang menjadikan kaum santri semakin terisolir dari dunia politik dan kenegaraan. Status sebagai oposisi pemerintah pun masih terus disandang sampai datangnya pengaruh pan-Islamisme yang disambut antusias oleh kaum santri.

***

 

“Lelap terus, dan kau pun dipuji sebagai bangsa terlembut di dunia. Darahmu dihisap dan dagingmu dilahap sehingga hanya kulit tersisa. Siapa pula tak memuji sapi dan kerbau? Orang dapat menyuruhnya kerja, dan memakan dagingnya. Tapi kalau mereka tahu hak-haknya, orang pun akan menamakannya pongah, karena tidak mau ditindas. Bahasamu terpuji halus di seluruh dunia, dan sopan pula. Sebabnya kau menegur bangsa lain dalam bahasa kromo dan orang lain menegurmu dalam bahasa ngoko. Kalau kau balikkan, kau pun dianggap kurang ajar.” (Sajak Hadji Oemar Said Tjokroaminoto, Doenia Bergerak, 1914).

HOS. Tjokroaminoto yang merupakan guru para pendiri bangsa adalah sosok priyayi sekaligus santri. Dari tangannyalah gerakan Sarekat Islam menasional. Dari didikannya pula terlahir para tokoh bangsa dengan latarbelakang pemikiran yang berbeda. Kita kenal Musso, Alimin bahkan Semaoen yang menjadi pemimpin Sarekat Islam Semarang. Mereka representasi tokoh komunis yang pernah belajar dan menjadi bawahan Tjokro. Kita tahu pula Soekarno yang pernah indekos di rumahnya dan menjadi tokoh besar republik, presiden pertama Republik Indonesia. Kita tahu pula Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo yang kelak memimpin Negara Islam Indonesia (NII), merupakan sekretaris pribadinya. Kita tahu Mohammad Natsir yang mengajukan mosi integral NKRI, HAMKA dan para tokoh lain yang belajar dan menimba ilmu kepadanya. Pada hakikatnya, kontribusi tokoh-tokoh Islam bagi kemerdekaan Republik Indonesia amatlah besar.

Islam bukan pelitur, melainkan isi dan ruh negeri ini. Dalam perjalannya, cita-cita politik dan asipirasi umat Islam tidak diakomodir dengan baik oleh penguasa. Di era Orde Lama partai Islam (Masyumi) dibubarkan. Di era Orde Baru pun tak jauh berbeda dengan Orde Lama, satu-satunya partai Islam (yaitu PPP) berada di bawah intervensi penguasa. Sementara tokoh-tokoh kemerdekaan yang dahulu tergabung dalam Masyumi dilarang untuk aktif dalam politik. Sebagian dari mereka memilih jalan dakwah dan menekuni bidang keilmuan. Mungkin dengan keadaan seperti itulah, umat Islam akan terbebas dari oportunisme politik dan kepentingan pribadi, terbebas dari sikap hipokrit dan lebih dekat pada keikhlasan.

Pandangan stereotip terhadap umat Islam sejenak berubah tatkala sosok pahlawan berkuda itu mengenakan sorban putih terjuntai. Gamis putih menghantam wajah kecut musuh bak debur ombak putih menghantam karang. Deru derap kaki kuda menghamburkan debu di medan jihad. Pekik takbir diiringi ringkik kuda menggema menambah muram wajah si pengecut. Sebilah pedang terhunus menanti ayunan sang pahlawan. Dalam sekelebat mengiris batang hidung kaum-kaum durhaka penghisap darah rakyat jelata.

 

Sumber:

Gonggong, Anhar. H.O.S. Tjokroaminoto. 1985. Depdikbud, Jakarta.

Marasabessy, Mikael. H.O.S. Tjokroaminoto. 2020. Pustaka Al-Kautsar, Jakarta.

Bachtar, Tiar Anwar. Jas Mewah. 2018. Pro-U Media, Yogyakarta.

Gie, Soe Hok. Zaman Peralihan. 2016. MataBangsa, Yogyakarya.

Gie, Soe Hok. Di Bawah Lentera Merah. 2016. MataBangsa, Yogyakarta.

Gie, Soe Hok. Catatan Seorang Demonstran. 1993. LP3ES, Jakarta.

Wahib, Ahmad. Pergolakan Pemikiran Islam. 1981. LP3ES, Jakarta.

Rosidi, Ajip. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. 1991. Binacipta, Bandung.

Majalah Tempo Edisi 15-21 Agustus 2011.

Share:

MEREFLEKSIKAN SEJARAH PENDIDIKAN DI INDONESIA

Fian Sofian – Mahasiswa Prodi Bahasa dan Sastra Arab UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Dalam suatu forum saya mengajukan sebuah pertanyaan, “Apa sistem pendidikan tertua di Indonesia?” Dari banyaknya peserta yang hadir di forum tersebut, ada satu orang yang menjawab, “Pesantren”. Tepat, inilah yang saya dapatkan ketika membaca buku Dr. Tiar Anwar Bachtiar berjudul Jas Mewah.

Dalam bukunya tersebut beliau mengutip pernyataan seorang antropolog orientalis Belanda bernama Martin van Bruinessen, yang menyebutkan bahwa pesantren merupakan tradisi besar asli Nusantara. Pun dengan Nurcholish Madjid alias Cak Nur, seorang tokoh intelektual penggagas sekularisme di era Orde Baru yang terkenal dengan jargon “Islam Yes Partai Islam No!”, menyebutkan bahwa pesantren mengandung makna keaslian Indonesia (indeginous).

Jauh sebelum pemerintah kolonial memberikan akses pendidikan bagi kaum bumiputera, sebenarnya rakyat Indonesia sudah mengenyam pendidikan di pesantren-pesantren. Maka sejatinya pendidikan merupakan langkah awal kebangkitan sebuah masyarakat dalam melawan penjajahan demi meraih cita-cita kemerdekaan. Hal ini dibuktikan dalam beberapa literatur sejarah, bahwa perlawanan terhadap penjajah selalu didominasi oleh umat Islam. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Soe Hok Gie seorang aktivis pergerakan mahasiswa 66, ia menyebutkan dalam bukunya berjudul Di Bawah Lentera Merah, “Islam selalu menjadi sumber kekuatan gerakan-gerakan rakyat untuk mengusir penjajahan selama abad ke-18 dan ke-19 di Indonesia, mulai dari Perang Diponegoro sampai pada Perang Aceh.”

Dalam bukunya tersebut, Soe Hok Gie juga membuat kategorisasi sosio-kultural terhadap kekuatan rakyat Jawa sejak abad ke-16 menjadi tiga entitas; priyayi, santri dan abangan. Ia menyebutkan mengenai perlawanan umat Islam yang menjadikan semangat perjuangannya adalah melawan kafir (Belanda). Pernyataan ini diperkuat dengan fakta sejarah bahwa perang yang dilancarkan oleh pasukan Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol dan para petani Banten dijuluki dengan istilah “Perang Sabil”. Dalam perjalanan selanjutnya kaum priyayi (aristokrat) dan abangan lebih memilih menjadi sekutu Belanda, yang pada akhirnya semakin memanaskan perseteruan mereka dengan kaum santri. Dan pada saatnya, kaum priyayi inilah yang mendapatkan akses pendidikan dari Belanda.

Gerakan perlawan umat Islam tersebut tak mungkin muncul dari sebuah masyarakat feodalistis dan tak berpendidikan. Hal ini tentu memiliki korelasi dengan sistem pendidikan yang telah saya sebutkan di atas, terlebih van Bruinessen memiliki dugaan bahwa lembaga pendidikan bernama pesantren tersebut baru ada setelah abad ke-18. Meski sebelum abad tersebut memang sudah diajarkan kitab-kitab kuning khas Pesantren.

Menjadi sebuah pertanyaan, apakah tatkala bangsa Eropa datang ke negeri ini tidak membangun lembaga pendidikan? Dalam beberapa sumber yang saya baca, pendidikan awal yang diberikan oleh bangsa Eropa yaitu tatkala kedatangan VOC di awal abad ke-17. Itupun dalam rangka mencetak para pekerja terampil yang kelak dibutuhkan oleh perusahaan dagang terbesar tersebut, baik dari kalangan warga Eropa maupun kaum bangsawan dan priyayi. Kurikulum yang mereka selenggarakan pun sarat dengan nilai-nilai Kristen yang dibawa oleh mereka. Tentunya kita mengenal slogan 3G; Gold, Glory dan Gospel. Di samping mencari kekayaan dan kekuasaan, mereka pun menyebarkan misi Kristen di negeri ini. Maka pada tahun 1643, peraturan sekolah yang mereka dirikan menganjurkan agar guru memiliki kewajiban untuk memupuk rasa takut terhadap Tuhan (Tuhan agama Kristen tentunya), mengajarkan dasar-dasar agama dan doa-doa Kristen bagi para peserta didik. Hal ini sesuai dengan instruksi badan tertinggi VOC di negeri Belanda pada tahun 1617. Bisa dilihat dalam buku tulisan Mikael Marasabessy, HOS Tjokroaminoto Dari Santri Menjadi Guru Tokoh Bangsa.

Pendidikan yang diselenggarakan oleh Belanda bukan dalam rangka mencerdaskan kehidupan kaum bumiputera, terlebih mencetak manusia-manusia bertakwa dan berbudi pekerti luhur sebagaimana yang tertuang dalam tujuan Pendidikan Nasional hari ini. Tujuan pendidikan yang diselenggarakan oleh penjajah tentunya pamrih, agar kaum bumiputera merasa “dekat” dengan bangsa Belanda dan kelak menjadi pekerja terampil yang bisa mengisi pos-pos perusahaan dan pemerintahan.

Termasuk dalam hal ini adalah etische politiek (politik etis) yang dimulai pada awal abad ke-20, yang menurut Ajip Rosidi dalam bukunya Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia sebagai “balas jasa” kaum penjajah dengan cara memperhatikan nasib kaum bumiputera. Dalam politik etis tentu kita mengetahui ada tiga kebijakan yang mereka jalankan; transmigrasi, irigasi dan edukasi. Hal ini terpaksa dilakukan karena inisiatif dari beberapa kelompok masyarakat di Belanda (koalisi partai Kristen) dalam menyikapi sikap tamak pemerintah mereka yang mengeksploitasi negeri jajahannya dengan kebijakan cultuurstelsel (sistem tanam paksa). Indikasi yang mengarah pada balas jasa dan pamrih pun cukup nyata pada praktik pendidikan saat itu, anak didik diajarkan mengenai tata cara kehidupan, ilmu, moral dan bahkan bahasa Belanda.

 

Bahasa dan Sastra Sebagai Medium Perjuangan

Bagi Ajip, bahasa Belanda merupakan bahasa dari sebuah bangsa kecil yang tak memiliki kontribusi dan pengaruh apapun dalam percaturan politik di Eropa. Maka diajarkanlah bahasa Belanda dalam kurikulum pendidikan di seluruh wilayah jajahan mereka, termasuk di Nusantara ini. Sebagai reaksi, tokoh muslim yang sekaligus juga tokoh pergerakan nasional saat itu–bernama HOS. Tjokroaminoto–, selalu menggunakan bahasa Melayu dalam lingkungan Sarekat Islam.

Bahasa Melayu yang merupakan lingua-franca (bahasa pergaulan) rakyat Nusantara telah berabad-abad digunakan sebagai bahasa sehari-hari mereka. Pada saat ancaman pemaksaan bahasa Belanda diresmikan dalam kurikulum pendidikan sekitar tahun 1920, barulah penggunaan bahasa Melayu lebih diintensifkan dalam forum-forum resmi oleh para tokoh pergerakan lainnya. Dan pada akhirnya bahasa Melayu tersebut diresmikan sebagai bahasa persatuan bagi bangsa Indonesia pada tahun 1928 dalam Sumpah Pemuda. Karena kepiawaian Soekarno dalam berpidato, maka ia yang menjadikan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia yang popular, hidup, lincah dan lentur di tengah masyarakat Nusantara. Bukan hanya digunakan oleh orang-orang Sumatera dan Kepulauan Riau saja. Sementara di semenanjung Malaya (Malaysia kini) bahasa Melayu menemui perkembangannya sendiri, termasuk dalam bidang sastra.

Tentunya kita menyadari bahwa pendidikan menjadi batu tapal perjuangan kemerdekaan Indonesia. Kesamaan nasib–karena di bawah penjajahan bangsa Eropa–, kesamaan bahasa, ditambah landasan perjuangan agama bagi umat Islam menambah gairah kaum bumiputera untuk sesegera mungkin melepaskan diri dari belenggu penjajahan bangsa lain.

Pemerintah kolonial Belanda menyadari, jika kaum bumiputera diberi akses pendidikan, maka besar kemungkinan akan memiliki potensi untuk berontak dari belenggu penjajahan. Dan sebagaimana yang telah maklum, etische politiek hanya menjadi kedok dalam melanggengkan penjajahan mereka di negeri ini. Sekali lagi, lembaga pendidikan yang didirikan oleh Belanda diperuntukkan hanya untuk mencetak para pekerja dengan upah murah (ketimbang harus membawa pekerja dari Eropa) dan mencetak para ambtenaar (pegawai negeri sipil Belanda) yang loyal dengan pemerintah Hindia-Belanda dan sang ratu (Wilhelmina). Tak perlu dipertanyakan lagi hak yang didapatkan dari keluarga bupati dan wedana, pastinya lebih tinggi dari para ambtenaar dan para pekerja tersebut.

 

Quo Vadis Intelektual Muda?

“Sekarang kebanyakan intelektual telah menjadi teknokrat alias sekrup-sekrup dalam roda pemerintahan. Kaum intelektual pada gilirannya dipergunakan lagi oleh pemerintah untuk membela beleid-nya atau sebagai solidarity maker. Ternyatalah, pemerintah memang berusaha memagar dirinya dengan argumentasi intelektual.” (Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam).

Membaca kembali tulisan-tulisan Ahmad Wahib yang memuji setinggi-tingginya para pemimpin gerakan mahasiswa pra kemerdekaan, dengan julukan pejuang sekaligus pemikir. Di sisi lain ia mengajak untuk membandingkan pemimpin-pemimpin mahasiswa di zamannya. Kalaupun kita ingin jujur membandingkan dengan pemimpin-pemimpin mahasiswa saat ini, maka akan didapati degradasi intelektual dan krisis identitas di kalangan mahasiswa. Para mahasiswa jauh dari jiwa merdeka sehingga membawa mereka–beserta organisasi tempat mereka bernaung–terbelit dalam jaringan partai politik dan kekuasaan. Atau bahkan hanya menjadi organisasi underbouw-nya partai politik dan ormas keagamaan tertentu?

Hal di atas tentunya akan mengundang implikasi negatif bagi pergerakan kaum intelektual ke depan. Mahasiswa sebagai lambang kelas masyarakat intelektual yang seharusnya menjadi agent of change dan penyambung lidah atau suara rakyat, malah berbicara atas nama ormas induk mereka dan terjebak dalam kegiatan politik teoritis maupun praktis. Praktik oportunisme, yang dibarengi dengan perebutan otoritas, dominasi dan supremasi dalam kampus merupakan miniatur kehidupan politik yang dicontohkan oleh senior mereka. Sementara independensi, kemandirian dan sikap kritis mahasiswa ibarat mencari jarum dalam tumpukan jerami. Dan kaderisasi menjadi wajah baru feodalisme di kalangan mahasiswa.

Membaca gagasan Ahmad Wahib dan Soe Hok Gie–yang dijuluki sebagai abortus intellectual oleh Dr. Kuntowijoyo–, tentunya kita akan menemukan berbagai macam negasi jika membandingkan dengan peranan para mahasiswa political force. Julukan political force diarahkan kepada mahasiswa yang terlibat langsung dalam kegiatan organisasi politik, sementara yang menolak untuk berpolitik praktis dijuluki sebagai moral force. Dalam menyikapi golongan pertama ini, Soe Hok Gie membuat sebuah pernyataan bahwasanya mereka bukan lagi mahasiswa yang berpolitik, tetapi politikus yang punya kartu mahasiswa. Hal itu diungkapkan tatkala ia mengkritik KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia).

 

Cowboy (Koboi) Bersorban

“Indonesia lahir di ruang-ruang kuliah dan kelas-kelas di beberapa kota.” (Soe Hok Gie, Zaman Peralihan).

Dalam membuat gambaran mengenai realitas perpolitikan di tahun 1966, Radio Ampera menjuluki kelompok mahasiswa moral force sebagai koboi. Koboi dalam gambaran mereka adalah sosok pahlawan berkuda, mengenakan sepatu bot, rompi kulit, topi lebar dan yang pasti memiliki pistol di pinggangnya. Inilah gambaran menurut mahasiswa elektro dari kota Bandung dan mahasiswa UI yang terhimpun dalam Radio Ampera, dibentuk sebagai reaksi atas sikap oportunisme politik awak media dan pers.

Bak seorang koboi yang datang ke sebuah kota dari horizon yang jauh, begitulah peran mahasiswa tatkala terjadi huru-hara yang disebabkan penguasa tiran. Koboi datang menantang para bandit berduel. Setelah para bandit mati, si koboi pun menghilang dari pandangan masyarakat kota yang ingin memberikan sanjungan, hadiah dan pangkat jabatan.

Pun dengan mahasiswa, tatkala terjadi penjajahan, penindasan, kesewenang-wenangan, kediktatoran, korupsi dan segala praktik despotisme penguasa, maka mereka pun mengerahkan segala potensi intelektualnya dalam menumbangkan penguasa tiran tersebut. Tatkala kaum penjajah hengkang dari negerinya, masyarakat suatu negeri terbebas dari penindasan menuju kemerdekaan, penguasa diktator turun jabatan dan si korup pun terhinakan, maka mereka kembali duduk manis di ruang-ruang kelasnya untuk menuntut ilmu dan menamatkan kuliah.

Sebagian gambaran di atas pernah dilakukan kalangan santri tatkala bangsa Eropa menjadikan negeri ini sebagai bangsa perahan. Mereka selalu mengobarkan api perlawanan  dan memposisikan dirinya sebagai oposisi para penguasa tiran.

Sebenarnya banyak pengamat yang mengkritik kategorisasi sosio-kultural yang disebutkan oleh Clifford Geertz–dan diikuti oleh Soe Hok Gie–tersebut, salah satunya sosiolog Universitas Indonesia bernama Harsya W. Bachtiar yang menganggap bahwa priyayi bukanlah kategori berdasarkan kriteria keagamaan, melainkan kriteria sosial berdasarkan garis keturunan. Namun perlu dipahami bahwa kategori tersebut tidaklah statis dan mutlak. Sebagai contoh sebut saja HOS. Tjokroaminoto yang terlahir dari keluarga ningrat dan sekaligus merupakan keturunan ulama besar Tegalsari, Kyai Ageng Hasan Besari. Pendidikan yang didapatkan Tjokro sebagaimana anak-anak priyayi lainnya, namun manifestasi perjuangannya saat itu dilandaskan oleh ruh keislaman yang kuat. Lihat Mengenal HOS. Tjokroaminoto; Sosok Priyayi dan Da'i

Abad ke-20 dan politik etis merubah tatanan masyarakat yang ada. Perkembangan konstelasi politik dunia melahirkan warna baru bagi sebuah tatanan masyarakat jajahan. Ideologi kiri komunis menjadi salah satu bagian yang turut mewarnai pertarungan gagasan kaum intelektual Indonesia. Pemerintah Hindia-Belanda kini memiliki oposisi lain di luar kelompok umat Islam (yang saat itu tergabung dalam Sarekat Islam). Sarekat Islam merupakan representasi kebangkitan nasional sebuah bangsa, yang di dalamnya mengakomodir seluruh lapisan masyarakat baik itu priyayi, santri bahkan abangan. Simbol-simbol feodalisme dan perbudakan ditiadakan. Sekat-sekat antara kaum borjuis dan proletar pun dihilangkan. Hal ini turut membantah stigma yang selama ini berkembang bahwa kaum komunislah yang lebih memperhatikan kaum proletar.

Selain pengaruh perkembangan konstelasi politik dunia–yang didominasi oleh fasisme, blok Barat dan blok Timur–, pan-Islamisme yang digaungkan di Mesir turut mewarnai gerakan kebangkitan umat Islam di Indonesia. Umat Islam Indonesia yang selama ini termarginalkan dan mendapatkan stigma kolot, konservatif dan tidak sesuai dengan modernisasi dari pihak kolonial Belanda beserta kaum intelektual binaannya, mulai menunjukkan dirinya sebagai gerakan tajdid (modernisasi atau pembaharuan Islam). Gerakan pan-Islamisme yang diinisiasi oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh menjadi stimulus dan energi baru bagi perjuangan umat Islam di Indonesia.

“Bahkan kepada kaum intelek mereka memberikan kesan, bahwa agama Islam itu adalah identik dengan agama kampungan, agama rakyat jelata, agamanya kuli, agamanya orang yang bodoh dan bukan agamanya orang terpelajar. Tentunya mereka tidak akan mau disamakan ataupun disejajarkan dengan orang-orang yang bodoh. Belanda mengajarkan kepada kaum intelek didikan mereka bahwa Islam itu agama yang reaksioner, yang tidak mempunyai daya vitalitas untuk menjawab tantangan-tantangan di abad modern. Apabila kaum intelek mengaku dirinya terpelajar, orang yang modern tidaklah patut menamakan dirinya orang Islam. Benih-benih yang berbisa yang berisikan kebencian terhadap agama Islam ini tiap hari dimasukkan ke dalam jiwa kaum intelegensia kita. Pendek kata kehidupan agama Islam di Indonesia penuh diliputi oleh alam dan suasana kebekuan, kekolotan, kekalahan, kesuraman dan kemunduran. Dalam keadaan masyarakat Islam yang demikian itulah dahulu Haji Agus Salim lahir, hidup dan berjuang.” (Solichin Salam, Haji Agus Salim Pahlawan Nasional).

Pendidikan yang diberikan Belanda terbilang cukup berhasil dalam memecah-belah kekuatan masyarakat jajahan. Politik devide et impera (belah bambu) terbilang cukup mulus dalam melemahkan kekuatan kaum bumiputera. Sikap inferiority complex yang ditanamkan di sebagian kaum abangan dan priyayi semakin membuat jauh jarak antara mereka dengan kaum santri. Di sisi lain, pengetahuan mereka mengenai ilmu modern, permasalahan birokrasi dan kenegaraan berada di atas kaum santri. Sehingga sebagian urusan perpolitikan dan kenegaraan dapat mereka kuasai dengan baik. Hal inilah yang menjadikan kaum santri semakin terisolir dari dunia politik dan kenegaraan. Status sebagai oposisi pemerintah pun masih terus disandang sampai datangnya pengaruh pan-Islamisme yang disambut antusias oleh kaum santri.

***

 

“Lelap terus, dan kau pun dipuji sebagai bangsa terlembut di dunia. Darahmu dihisap dan dagingmu dilahap sehingga hanya kulit tersisa. Siapa pula tak memuji sapi dan kerbau? Orang dapat menyuruhnya kerja, dan memakan dagingnya. Tapi kalau mereka tahu hak-haknya, orang pun akan menamakannya pongah, karena tidak mau ditindas. Bahasamu terpuji halus di seluruh dunia, dan sopan pula. Sebabnya kau menegur bangsa lain dalam bahasa kromo dan orang lain menegurmu dalam bahasa ngoko. Kalau kau balikkan, kau pun dianggap kurang ajar.” (Sajak Hadji Oemar Said Tjokroaminoto, Doenia Bergerak, 1914).

HOS. Tjokroaminoto yang merupakan guru para pendiri bangsa adalah sosok priyayi sekaligus santri. Dari tangannyalah gerakan Sarekat Islam menasional. Dari didikannya pula terlahir para tokoh bangsa dengan latarbelakang pemikiran yang berbeda. Kita kenal Musso, Alimin bahkan Semaoen yang menjadi pemimpin Sarekat Islam Semarang. Mereka representasi tokoh komunis yang pernah belajar dan menjadi bawahan Tjokro. Kita tahu pula Soekarno yang pernah indekos di rumahnya dan menjadi tokoh besar republik, presiden pertama Republik Indonesia. Kita tahu pula Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo yang kelak memimpin Negara Islam Indonesia (NII), merupakan sekretaris pribadinya. Kita tahu Mohammad Natsir yang mengajukan mosi integral NKRI, HAMKA dan para tokoh lain yang belajar dan menimba ilmu kepadanya. Pada hakikatnya, kontribusi tokoh-tokoh Islam bagi kemerdekaan Republik Indonesia amatlah besar.

Islam bukan pelitur, melainkan isi dan ruh negeri ini. Dalam perjalannya, cita-cita politik dan asipirasi umat Islam tidak diakomodir dengan baik oleh penguasa. Di era Orde Lama partai Islam (Masyumi) dibubarkan. Di era Orde Baru pun tak jauh berbeda dengan Orde Lama, satu-satunya partai Islam (yaitu PPP) berada di bawah intervensi penguasa. Sementara tokoh-tokoh kemerdekaan yang dahulu tergabung dalam Masyumi dilarang untuk aktif dalam politik. Sebagian dari mereka memilih jalan dakwah dan menekuni bidang keilmuan. Mungkin dengan keadaan seperti itulah, umat Islam akan terbebas dari oportunisme politik dan kepentingan pribadi, terbebas dari sikap hipokrit dan lebih dekat pada keikhlasan.

Pandangan stereotip terhadap umat Islam sejenak berubah tatkala sosok pahlawan berkuda itu mengenakan sorban putih terjuntai. Gamis putih menghantam wajah kecut musuh bak debur ombak putih menghantam karang. Deru derap kaki kuda menghamburkan debu di medan jihad. Pekik takbir diiringi ringkik kuda menggema menambah muram wajah si pengecut. Sebilah pedang terhunus menanti ayunan sang pahlawan. Dalam sekelebat mengiris batang hidung kaum-kaum durhaka penghisap darah rakyat jelata.

 

Sumber:

Gonggong, Anhar. H.O.S. Tjokroaminoto. 1985. Depdikbud, Jakarta.

Marasabessy, Mikael. H.O.S. Tjokroaminoto. 2020. Pustaka Al-Kautsar, Jakarta.

Bachtar, Tiar Anwar. Jas Mewah. 2018. Pro-U Media, Yogyakarta.

Gie, Soe Hok. Zaman Peralihan. 2016. MataBangsa, Yogyakarya.

Gie, Soe Hok. Di Bawah Lentera Merah. 2016. MataBangsa, Yogyakarta.

Gie, Soe Hok. Catatan Seorang Demonstran. 1993. LP3ES, Jakarta.

Wahib, Ahmad. Pergolakan Pemikiran Islam. 1981. LP3ES, Jakarta.

Rosidi, Ajip. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. 1991. Binacipta, Bandung.

Majalah Tempo Edisi 15-21 Agustus 2011.

Share:

PENDIDIKAN ADALAH HAK SETIAP WARGA NEGARA

Fian Sofian – Mahasiswa Prodi Bahasa dan Sastra Arab UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 di pasal 31 disebutkan bahwa:

1)    Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran.

Setelah diamandemen berbunyi sebagai berikut:

1)    Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.

Rasanya tak perlu banyak berdalil untuk menyuarakan hal ini, karena para birokrat yang kita tuntut lebih paham bagaimana dalil-dalil tersebut dijadikan dalih. Dalam tulisan ini saya hanya ingin sedikit menyampaikan sejarah pendidikan Indonesia (baca: nusantara) pra-kemerdekaan. Hidup mahasiswa! Hidup rakyat Indonesia!

Pesantren, dan Akses Pendidikan Mudah-Murah bagi Kaum Bumiputera

Seorang antropolog dan orientalis Belanda, bernama Martin van Bruinessen menganggap bahwa pesantren merupakan tradisi besar dalam khazanah pendidikan di Indonesia. Ia beranggapan bahwa lembaga pendidikan khas Islam ini baru ada setelah abad ke-18. Pun Nurcholis Madjid, seorang tokoh intelektual di era Orde Baru menyebut pesantren sebagai indeginous (mengandung makna keaslian Indonesia).

Ada sebuah hipotesis yang menyebutkan bahwa pesantren –yang kini menjadi ciri khas pendidikan Islam di Indonesia– merupakan hasil dari proses akulturasi dengan budaya pendidikan ala Hindu dan Timur Tengah. Apapun itu, yang jelas kiprah pesantren dalam mendidik rakyat Nusantara tetap eksis sampai saat ini dan telah melewati fase di mana rakyat Nusantara menjadi budak kaum kolonialis kapitalis. Hidup mahasiswa! Hidup rakyat Indonesia!

Pendidikan Modern di Zaman Kolonialisme Belanda

Setidaknya banyak sejarawan yang membagi fase pendidikan di zaman kolonialis menjadi tiga bagian. Yang pertama, masa VOC. Pendidikan pada zaman tersebut hanya bertujuan untuk melahirkan para pekerja terampil dari kalangan Inlander (pribumi) yang kelak akan mengisi pos-pos di perusahaan dagang tersebut. Yang kedua, pasca runtuhnya VOC. Pangeran Mangkubumi (kakek buyut Pangeran Diponegoro), dari kerajaan Mataram merupakan salah seorang tokoh yang menyebabkan bangkrut dan runtuhnya VOC pada tahun 1799. Namun, pendidikan di zaman ini lebih baik dari zaman sebelumnya, dan perluasan pendidikan terjadi di zaman tersebut. Yang ketiga, di zaman Politik Etis (Politik Balas Budi). Inilah yang lebih masyhur di tengah-tengah kita, dan di zaman inilah para founding father bangsa kita lahir dan tumbuh besar. Namun bukan hanya sektor pendidikan saja yang diperhatikan oleh pemerintah kolonial Belanda, namun juga irigasi dan imigrasi. Sebelum membahas lebih jauh, ada baiknya kita mengetahui alasan dibalik kebijakan Politik Etis tersebut. Yang jelas, Politik Etis selain merupakan gagasan dan inisiasi dari koalisi partai politik Kristen Belanda, ia juga merupakan bentuk tanggung jawab dari Ratu Wilhelmina terhadap rakyat pribumi yang sebelumnya sudah mengalami cultuur stelsel (tanam paksa) yang di gagas oleh van den Bosch. Cultuur stelsel merupakan kebijakan yang diambil ketika kerajaan Belanda mengalami defisit dan kerugian, akibat pertempuran lima tahun (1825-1830) yang dilancarkan oleh keturunan Pangeran Mangkubumi, Diponegoro. Hidup mahasiswa! Hidup rakyat Indonesia!

Pendidikan di Zaman Politik Etis, Langkah Awal Perlawanan Terhadap Penjajah

Tujuan pendidikan yang diselenggarakan oleh kaum kolonialis tersebut tidak lain dan tidak bukan dalam rangka mencetak abituren (lulusan) yang loyal terhadap Belanda dan dapat bekerja dengan bayaran murah di bawah standar orang Eropa. Namun akses pendidikan tersebut hanya dapat diperoleh keluarga priyayi dan bangsawan. Sangat sedikit keluarga kaum proletar yang dapat bersekolah saat itu.

Sebut saja H.O.S. Tjokroaminoto yang disebut sebagai guru para pendiri bangsa, terlahir dari keluarga ningrat. Ayah beliau merupakan seorang wedana, sementara kakeknya pernah menjabat sebagai bupati Ponorogo. Pendidikan tinggi yang beliau dapatkan saat itu dari OSVIA, sekolah tempat mencetak anak-anak bumiputera untuk menjadi seorang pamongpraja atau ambtenaar (Pegawai Negeri Sipil) Belanda. Dikarenakan karakter Tjokro yang keras dan tidak mau kalah, maka watak itulah yang  pada akhirnya membuat ia meninggalkan pekerjaan sebagai juru tulis Patih di Ngawi. Pekerjaan yang diidam-idamkan oleh para pemuda saat itu. Ia lebih memilih mencari pekerjaan lain yang dapat mengasah akal kreatifnya. Selain berpindah-pindah pekerjaan, ia pun mengikuti pendidikan di sekolah Burgelijke Avondschool, yaitu sekolah teknik mesin pada zaman Belanda. Hingga pada akhirnya, ia bekerja di sebuah pabrik gula di dekat kota Surabaya sebagai seorang chemiker.

Kalau kita melihat gaya hidup Tjokro secara dangkal, maka dapat disimpulkan bahwa dia adalah seorang yang tidak memiliki pendirian dan tidak mampu untuk menuntaskan pekerjaan yang menjadi sumber kehidupannya. Namun siapa sangka, dari sikap tersebut justru lahirlah sebuah gerakan nasional bernafaskan Islam bernama Sarekat Islam pada tahun 1912. Adapun beberapa pendapat yang menyatakan bahwa Boedi Oetomo-lah yang terlebih dahulu lahir (1908), maka menurut Prof. Dr. Deliar Noer, gerakan tersebut adalah sebatas gerakan kebudayaan dan kaum intelektual yang terbatas untuk orang Jawa saja (meliputi Madura dan Bali).

Dari banyaknya fakta tersebut, kita bisa menarik kesimpulan bahwasanya Politik Etis yang salah satunnya adalah pendidikan, menjadi tonggak awal lahirnya para intelektual bangsa ini yang justru di kemudian hari akan mengusir kolonialisme dan imperialisme dari negeri ini. Pendidikan! Ya, Pendidikan!

Maka dalam UUD 45 preambul alinea ke empat dituliskan sebagai berikut,

“…untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial,…”

Maka yang jadi pertanyaan saat ini, sudahkah negara mencerdaskan kehidupan bangsanya dengan memberikan akses pendidikan yang mudah dan murah –kalau tidak ingin mengatakan gratis– kepada anak bangsa?! Ataukah pendidikan hanya khusus bagi mereka-mereka yang berasal dari keluarga pejabat dan ningrat?! Sementara rakyat miskin dan tidak memiliki kedekatan dengan pejabat pemerintah sulit untuk mengenyam pendidikan tinggi?! Jadikanlah sejarah sebagai pelajaran, wahai para pejabat dan siapapun yang memiliki kewenangan di lembaga pendidikan! Jangan sampai kaum intelektual muda itu sadar bahwa sejarah akan terulang kembali, dan kalian diposisikan layaknya kolonialis penjajah yang hanya memberikan akses pendidikan untuk kepentingan dan keberlangsungan hidup kalian saja! Hidup mahasiswa! Hidup rakyat Indonesia!

 Yang Lahir dari Didikan Hadji Oemar Said Tjokroaminoto, Sang Raja Jawa Tanpa Mahkota

“Jika kalian ingin menjadi pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator”.

Lahirlah seorang pemuda dari asuhan sang bapak kos di gang Peneleh Surabaya, Koesno muda. Dari ucapan gurunya itulah, yang pada akhirnya membawa Koesno menjadi seorang orator ulung dan penulis handal dengan tulisan-tulisan kaya akan sumber referensi ilmiah.

Setamatnya sekolah di Surabaya, Koesno bersama isterinya bernama Siti Oetari pergi ke Bandung untuk melanjutkan sekolah tinggi di Technische Hogeschool atau yang sekarang kita kenal ITB. Selain melakukan aktifitas kuliah, Koesno juga aktif mengikuti kegiatan politik dna tergabung dengan Partai Nasional Indonesia dibawah asuhan bapak kosnya yang baru. Aktifitas politik inilah yang menghantarkan seorang intelektual muda sepertinya semakin kritis dengan keadaan rakyat Indonesia kala itu. Koesno ditangkap, didakwa melakukan makar terhadap pemerintah kolonialis kapitalis Belanda. Yang pada akhirnya dia dipenjara di Landraad, Bandung. Landraad adalah penjara khusus bagi rakyat pribumi yang terlibat dalam gerakan politik dan makar. Di penjara tersebut, Koesno membuat sebuah pledoi yang mengguncangkan Hindia-Belanda dan bahkan sampai ke negeri Belanda nun jauh di sana. Pledoi ini pun menarik perhatian dunia Timur dan Barat, karena banyaknya sumber bacaan berbahasa asing entah itu dari Belanda, Inggris, Prancis, dan Jerman. Pledoi ini kemudian dijadikan sebuah risalah berjudul “Indonesia menggugat”. Dalam salah satu isinya, beliau mengatakan,

“Toh, diberi hak-hak atau tidak diberi hak-hak, diberi pegangan atau tidak diberi pegangan, diberi penguat atau tidak diberi penguat, tiap-tiap makhluk, tiap-tiap umat, tiap-tiap bangsa tidak boleh tidak, pasti akhirnya berbangkit, pasti akhirnya bangun, pasti akhirnya menggerakkan tenaganya, kalau ia sudah terlalu sekali merasakan celakanya diri teraniaya oleh suatu daya angkara murka! Jangan lagi manusia, jangan lagi bangsa, walau cacing pun tentu bergerak berkeluget-keluget kalau merasakan sakit! Seluruh riwayat dunia adalah riwayat golongan-golongan manusia atau bangsa-bangsa yang bergerak menghindarkan diri dari sesuatu keadaan yang celaka. Seluruh riwayat dunia, menurut perkataan Herbert Spencer, adalah riwayat reactief verzet van verdrukte elementen (perlawanan terhadap elemen yang menindas)”.

Hidup mahasiswa! Hidup rakyat Indonesia!


[Artikel ini dituliskan beberapa jam sebelum aksi penuntutan UKT UIN Sunan Gunung Djati Bandung, tanggal 15 Maret 2023. Dan aksi yang akan kami lakukan ini dilatarbelakangi oleh rasa solidaritas kami tatkala adalah salah seorang Mahasiswi di Fakultas Adab dan Humaniora yang dipersulit oleh Universitas karena terkendala UKT. Harap diperhatikan, yang bersangutan mendapatkan UKT golongan 6 dengan nominal Rp. 3.790.000, dimana golongan itu untuk orangtua yang PNS. Sementara profesi ayah Mahasiswi tersebut sebagai satpam, yang nominal UMK Bandung dibawah Rp. 3.000.000. Di sisi lain, banyak tanggungan di luar biaya UKT. Segala upaya sudah dilakukan, termasuk banding UKT dan mendaftar beasiswa KIP. Namun belum ditakdirkan untuk mendapatkannya. Di sisi lain, pihak Universitas yang seharusnya memberikan kebijaksanaan, malah mempersulit yang bersangkutan. Padahal semangat yang bersangkutan sudah terlihat semenjak awal perkuliahan semester 2, di Minggu pertama masuk, sampai pada akhirnya mundur perlahan dengan perasaan kecewa. Kami yang mengetahui, segera melakukan komunikasi di antara internal mahasiswa Adab dan Humaniora, bahkan sudah melakukan advokasi terhadap pihak rektorat Universitas atau al-Jami’ah. Namun, kami selalu “dipingpong” dan hasilnya tetap nihil. Pihak Universitas kepala batu dan sama sekali tidak memiliki rasa kemanusiaan. Semoga dengan aksi ini berjalan dengan sukses, dan dapat mencairkan kerasnya kepala rektor dan pihak-pihak terkait]

 

Referensi:

Soekarno. Indonesia Menggugat. 1983. PT. Inti Idayu Press, Jakarta.

Gonggong, Anhar. H.O.S. Tjokroaminoto. 1985. Depdikbud, Jakarta.

Marasabessy, Mikael. H.O.S. Tjokroaminoto. 2020. Pustaka Al-Kautsar, Jakarta.

Bachtar, Tiar Anwar. Jas Mewah. 2018. Pro-U Media, Yogyakarta.

A. Fillah, Salim. Sang Pangeran dan Janissary Terakhir. 2019. Pro-U Media, Yogyakarta.

http://www.historislam.com/2022/03/muqoddimah-perspektif-sejarah.html

https://media.neliti.com/media/publications/110344-ID-hak-warga-negara-dalam-memperoleh-pendid.pdf

Share:

RESENSI BUKU: LOGICAL FALLACY (Muhammad Nuruddin)

“Anak muda tau apa? Udah diem aja, biar ini jadi urusan orangtua!”

Atau, “Tau apa kamu tentang persoalan ini? Emangnya pernah mempelajarinya? Saya yang lebih tinggi ilmunya dari kamu aja ga tau, apalagi kamu!”

Lalu berkaitan dengan bidang pekerjaan, “Kamu anak baru tau apa? Saya yang lebih berpengalaman dan udah lama kerja di sini! Jangan sok cari muka di depan atasan deh!” 

Dan kalimat-kalimat lain yang senada dengan beberapa contoh di atas, mungkin pernah sahabat alami? Beberapa kejadian yang senada dengan contoh kalimat di atas, juga pernah saya alami. Merasa bahwa apa yang kita utarakan tidak dihargai di hadapan orang lain yang secara usia lebih senior dari kita. Atau orang yang mementahkan pendapat kita itu lebih memiliki banyak gelar akademik sehingga menganggap pendapat kita hanya angin lalu. Dan bahkan diremehkan oleh senior di tempat kerja, sehingga tuduhan bahwa kita ingin cari muka di hadapan atasan.

Hal di atas ternyata pernah saya anggap sebagai salah satu bentuk logical fallacy, atau kekeliruan dalam berpikir. Dan mirisnya, di sekitar kita –bahkan di lingkungan akademik– hal ini masih saja dipraktikkan. Sebagai contoh kating atau kakak tingkat kita –yang terlebih juga menjabat di kampus–, selalu membubuhkan kalimat-kalimat seperti “IPK saya di atas rata-rata” atau kalimat-kalimat lain yang membuktikan bahwa dia memilik prestasi akademik, dalam beberapa argumennya. Mungkin dengan cara seperti itu, akan ada anggapan bahwa argumen yang dia bangun adalah sudah pasti kebenarannya? Sehingga menutup ruang bagi adik tingkatnya untuk melakukan bantahan dan argumen tandingan.

Namun sebelum Barat –yang selama ini diasumsikan sebagai kiblat bagi ilmu pengetahuan– membuat teori-teori dalam berlogika, hal yang saya sebutkan di atas sudah lebih dahulu di bahas dalam ajaran Islam. Seseorang yang menolak kebenaran dan meremehkan orang lain, akan dikategorikan sebagai orang yang sombong. Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda,

اَلْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْتُ النَّاسِ

“Sombong itu adalah menolak kebenaran, dan meremehkan orang lain.”

Buku yang saya resensi ini, ditulis oleh seorang intelektual muda yang menempuh pendidikan di Universitas al-Azhar Kairo, Mesir. Isi buku ini, selain mengoreksi apa yang menjadi anggapan kita selama ini, juga menambahkan beberapa contoh kasus lain dalam kekeliruan berpikir dan berargumen.

Di awal pembahasannya, penulis menjelaskan tentang definisi argumen.           Menurutnya, argumen adalah sekumpulan klaim yang diajukan untuk membuktikan benar atau salahnya klaim lain. Penulis juga mengutip  definisi dari seorang filsuf dan penulis Amerika, T. Edward Damerd bahwasanya argumen itu adalah “klaim yang didukung oleh klaim-klaim lain.” Namun dalam menyusun klaim-klaim tersebut, adakalanya tidak memiliki korelasi satu sama lain. Maka inilah yang disebut dengan logical fallacy atau kekeliruan berpikir. T. Edward Damerd menyebut fallacy sebagai “pelanggaran atas standar pembangunan argumen yang baik.”

Namun bagi saya pribadi, sangat penting membuat standarisasi sebuah istilah. Agar kita tahu mana yang disebut dengan pelanggaran yang berimplikasi pada sebuah kesalahan, dan mana yang merupakan kebenaran hakiki. Bagi saya yang seorang muslim, kebenaran itu menurut Allah dan Rasul-Nya, dan segala ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia juga dari Allah. Logis atau tidak, maka kebenaran tersebut akan tersingkap seiring berjalannya waktu meskipun standarisasi-standarisasi dan teori-teori Barat menganggap itu sebuah kesalahan dan pelanggaran. Namun yang saya yakini, Islam tidak hanya mewajibkan ketaataan dan keimanan atas manusia, namun juga memberikan kebebasan bagi manusia untuk mengoptimalkan akal dan pikirannya. Maka saya sangat yakin, Islam bukanlah agama yang memusuhi ilmu pengetahuan, sains, dan teknologi.

Dalam bab berikutnya, Nuruddin menuliskan tentang pengalaman pribadinya ketika berdikusi dengan seorang doktor di platform media sosialnya. Yang mana doktor tersebut beranggapan bahwa sains itu lebih penting ketimbang ilmu logika. Namun, tak dikutipkan apa dasar argumen doktor tersebut yang oleh penulis dianggap tak berkualitas, memprihatinkan, dan kacau. Saya pribadi sangat menginginkan untuk mengetahui argumen masing-masing pihak, yang setidaknya dapat menambah wawasan saya dalam membuat suatu argumen. Dan yang cukup disayangkan, penulis pun tidak menjelaskan argumen yang menjadi antitesis bagi pernyataan doktor tersebut.

Dalam menjelaskan tentang tolak ukur kebenaran dan kesalahan, penulis membawakan beberapa contoh yang terjadi di masyarakat. Pertama, menggantungkan kebenaran pada suara mayoritas. Kedua, bersandar kepada keimanan. Ketiga, mengikuti kata orang. Dan disimpulkan bahwa beberapa contoh di atas merupakan tolak ukur yang tidak dibenarkan.

Namun kita tahu, Islam membolehkan seorang muslim untuk mengikuti kebenaran yang telah disepakati oleh mayoritas, yakni para ulama. Itulah yang dinamakan dengan ijma’. Keimanan merupakan hal yang sangat vital bagi seorang muslim. Seorang muslim tak mungkin beribadah kepada Allah dan menaati Rasul-Nya kalau tidak memiliki keimanan. Dalam agama Islam, keimanan terdiri dari tiga unsur. Yakni; pembenaran dengan hati, ucapan dengan lisan, dan perbuatan dengan anggota badan. Kita fokuskan pada perkara hati. Pada umumnya, manusia sudah mengetahui bahwa keimanan, kepercayaan, dan keyakinan itu “espisentrum” nya di hati. Dan dalam hadits, tatkala seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah mengenai kebaikan, maka jawaban beliau “Mintalah fatwa kepada hatimu” (اِسْتَفْتِ قَلْبَكَ), karena kebaikan adalah apa saja yang membuat tenang jiwa dan hati. Sementara keburukan adalah apa saja yang membuat resah di jiwa dan membuat bimbang dada manusia. Begitu pentingnya perkara keimanan, yang menjadi tolak ukur bagi seorang muslim sebelum menilai, berkata, dan memutuskan segala sesuatu. Lantas, bolehkah kita mengikuti pendapat orang lain? Dalam Islam ada sebuah istilah taqlid, bisa kita terjemahkan secara bebas bermakna membeo atau membebek. Namun secara terminologis atau istilah yang dikenal oleh para ulama, adalah “mengikuti perkataan seseorang tanpa mengetahui dasar dalilnya” (قَبُولُ قَولُ الْقَائِلِ مِنْ غَيْرِ مَعْرِفَةِ لِدَلِيْلِهِ). Taqlid ada yang tercela, yakni taqlid buta (اَلتَّقْلِيْدُ الْأَعْمَى). Namun bagi orang awam yang belum memiliki kemampuan untuk ber-ijtihad dalam memutuskan suatu perkara, maka dibolehkan untuk taqlid kepada ulama madzhab yang menjadi rujukannya. Salahkah? Tidak. Itulah ketentuan dalam Islam. Karena standar atau tolak ukur dalam menentukan suatu kebenaran dan kebaikan, bukan hanya dari satu sisi, namun dari berbagai sisi.

Ada empat teori yang diajukan penulis yang menjadi tolak ukur untuk menentukan kebenaran dan kesalahan. Pertama, kejelasan. Kedua, kegunaan. Yang benar adalah yang menghasilkan manfaat. Ketiga, korespondensi. Benar atau salahnya suatu pandangan bergantung pada sesuai tidaknya dia dengan kenyataan yang ada. Keempat, konsistensi. Benar atau salahnya suatu pandangan ditentukan pada konsistensinya dengan pandangan-pandangan lain yang telah disepakati kebenarannya.

A.    Argumentum Ad Hominem

Menolak argumen orang lain dengan cara menjatuhkan kepribadiannya. Penulis mengatakan di halaman 111, “Padahal, idealnya, seperti kata nabi, kita melihat apa yang dikatakan, bukan hanya melihat siapa yang mengatakan.” Mungkin pendapat penulis didasari oleh sebuah kalimat اُنْظُرْ مَا قَالَ وَلَا تَنْظُرْ مَنْ قَالَ. Perlu ditegaskan, ucapan ini bukanlah dari Nabi Muhammad .

Di paragraf akhir pembahasan, penulis memberi pengecualian dalam kondisi-kondisi tertentu. Dia memberikan contoh tentang konteks pemilu dan persaksian. Maka dalam menyikapi kedua keadaan ini, kita perlu melihat kepribadian orang lain ketika orang tersebut sedang berbicara.

Maka menurut hemat saya, begitupun dengan perkara agama. Kita perlu melihat kepribadian orang yang menyampaikan agama kepada kita. Sebagaimana yang diucapkan oleh seorang ulama tabi’in,

إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِيْنٌ فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِيْنَكُمْ

“Sesungguhnya ilmu itu adalah bagian dari agama, maka perhatikanlah dari mana kalian mengambil agama.”

B.     Appeal to Pity / Argumentum Ad Misericordiam

Menjadikan tolak ukur kebenaran dan kesalahan karena sebab emosional. Sebagai contoh ketika di persidangan, seorang hakim meringankan hukuman dikarenakan merasa kasihan.

Rasulullah yang merupakan seorang pemimpin negara, pernah mengatakan,

وَايْمُ اللهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتُ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا

“Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, maka aku yang akan memotong tangannya.”

C.    Appeal to Authority / Argumentum Ad Verecundiam

Menjadikan suara otoritas sebagai satu-satunya jalan kebenaran. Saya teringat pelajaran filsafat umum di kampus. Dalam buku tersebut dijelaskan tentang fenomena filsafat abad pertengahan yang mana penurut para ilmuwan disebut dengan medieval philosophy atau abad kegelapan dark age. Ilmu pengetahuan saat itu dibatasi dan cendrung mundur ke belakang. Hal itu dikarenakan otoritas pemangku kebijakan ada di gereja. Siapapun yang berlainan pendapat dengan gereja, maka akan mendapatkan konsekuensi dari gereja. Doktrin ini terus bertahan sampai zaman Reinassance. Sebagai contoh adalah Galileo Galilei yang mengikuti pendapat Nicolaus Copernicus, dihukum oleh otoritas gereja Katolik karena dianggap melakukan kesesatan.

 

Untuk lebih lengkapnya mengenai beberapa contoh kekeliruan berpikir, mungkin bisa dibaca kembali bukunya. Atau buku-buku lain mengenai hal ini. Namun ada beberapa kalimat atau uraian dari penulis yang sangat perlu saya berikan kritik. Sebagai seorang penuntut ilmu, sangat perlu bersikap kritis terhadap perkataan ataupun tulisan orang lain. Beberapa uraian yang saya akan kritisi adalah terkait dengan hukum-hukum akal. Bisa dilihat pada halaman 138 misalnya, syarat dalam membuktikan pandangan yang benar itu harus dari dalil yang kuat, kesesuaian dengan fakta, dan tidak bertentangan dengan hukum-hukum akal. Jika sebaliknya, maka menurut penulis itu merupakan pandangan yang salah. Saya ingin membawakan ucapan sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu,

لَوْ كَانَ الدِّيْنُ بِالرَّأْيِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلَاهُ

“Seandainya tolak ukur dalam beragama itu dengan akal logika, maka bagian bawah alas kaki lebih utama untuk dibersihkan ketimbang bagian atasnya.”


Yang menarik untuk dikritisi lagi, penulis membawakan contoh kasus Ahok pada halaman 156. Penulis beranggapan bahwa penistaan yang dilakukan Ahok hanya sekedar dugaan saja. Dan memberikan kesimpulan bahwa Ahok tak bermaksud untuk menistakan agama. Karena bagi penulis, apa yang Ahok ucapkan di pulau Pramuka itu merupakan suatu kebetulan semata. Karena niat Ahok hanya sekedar mengingatkan umat Islam agar tidak tertipu dengan kelompok yang suka mempolitisasi agama. Justru faktanya –masih menurut penulis–, Ahok peduli dengan warganya. Karena dia membangun masjid, membantu orang yang tidak mampu, ulama-ulama muslim didekati, marbot masjid diberikan hadiah umroh. Dan penulis beranggapan bahwa yang mempermasalahkan ucapan Ahok itu merupakan kelompok yang tidak menjadi representasi umat Islam. Benarkah begitu? Baiklah, kita simak uraiannya di bawah ini.

Dalam laman internetnya tanggal 11 Oktober 2016, MUI yang merupakan representasi dan gabungan dari seluruh ormas Islam yang ada di Indonesia memberikan fatwa bahwa Ahok itu dikategorikan sebagai mengina Al-Qur’an dan menghina ulama, dan memiliki konsekuensi hukum. MUI menyarankan agar pemerintah mencegah penodaan terhadap Al-Qur’an dan agama Islam tersebut, juga meminta dengan tegas agar aparat hukum menindaknya, dan meminta masyarakat agar tidak main hakim sendiri dan menyerahkan penanganannya terhadap aparat penegak hukum. Maka yang harus ditanyakan, kesimpulan dari mana bahwa umat Islam menginginkan agar Ahok disiksa saja? Dari mana penulis tahu niat yang tersembunyi dalam hati Ahok? Siapakah yang mempolitisasi agama? Apakah MUI –yang saat itu dibawah KH. Ma’ruf Amin– bukan representasi utama dari umat Islam? Lagipula menyebutkan orang lain mempolitisasasi agama, merupakan bentuk ketidakpahaman terhadap sejarah bangsa ini.

Di halaman 270, lagi-lagi saya mendapati penulis mengutip pandangan orang lain yang menjadi lawan diskusinya, entah di media sosial ataupun diskusi tatap muka secara langsung, tanpa memberi kejelasan siapa yang mengucapkan perkataan tersebut dan apa isi ucapannya. Setidaknya, saya sebagai pembaca ingin melakukan konfirmasi secara langsung terhadap yang bersangkutan. Dikhawatirkan kalau lawan diskusi penulis berada di dunia maya, akun tersebut adalah akun anonim yang tidak jelas asal-usulnya. Dan secara gegabah penulis kutip dan jadikan bahan tulisan di buku ini. Kenapa hal ini harus dipermasalahkan? Karena orang yang menjadi lawan diskusi penulis mengutip ucapan Ibnu Taimiyyah, yang menurut pandangan penulis bukanlah pakar dalam ilmu akidah dan melakukan banyak penyimpangan. Penulis juga melakukan framing busuk terhadap Ibnu Taimiyyah, bahwasanya pandangan Ibnu Taimiyyah itu menjadi rujukan baku dan dianggap sebagai kitab suci bagi pengikutnya. Dan penulis menyebutkan bahwa para teolog raksasa dari kalangan Sunni banyak yang meragukan otoritas keilmuan Ibnu Taimiyyah. Namun lagi-lagi, penulis tidak menyebutkan siapa teolog atau ulama yang meragukan keilmuan Ibnu Taimiyyah. Justru dalam berbagai kesempatan, Ibnu Taimiyyah mengatakan agar umat Islam mengikuti panduan dari Al-Qur’an, As-Sunnah, dan teladan para sahabat dan tabi’in.

Dalam salah satu babnya, Meaningless Question, penulis mengutip dari buku Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara tentang sebuah pertanyaan yang penting dan sah, yaitu “Apa itu Tuhan.” Bagi penulis, pertanyaan tersebut tergolong sia-sia dan tak bermakna. Lantas karena tertarik dengan tema yang disodorkan dalam buku tersebut, penulis pun memberikan contoh-contoh pertanyaan lain yang menurutnya sia-sia dan tak bermakna, yaitu “di mana Tuhan?”, karena bagi penulis Tuhan itu tidak bertempat. Kalau pertanyaan tersebut dijawab, maka jawaban tersebut keliru. Benarkah seperti itu? Kita lihat faktanya dalam beberapa literatur para ulama akidah.

Dalam kitab hadits imam Muslim, kitab al-Janaiz wa Maudhi ash-Shalah, disebutkan bahwa Nabi pernah bertanya kepada seorang budak perempuan, “Di manakah Allah?” Maka budak tersebut menjawab, “Ada di atas langit.” Beliau bertanya kembali, “Siapakah aku?” Dia menjawab, “Anda adalah Rasulullah.” Maka beliau bersabda,

أَعْتِقْهَا فَإنَّهَا مُؤْمؤنَةٌ

“Bebaskanlah ia, sesungguhnya ia orang yang beriman.”

Adakah yang berani mengatakan bahwa pertanyaan Rasulullah itu sia-sia dan tak bermakna?

Dalam mempelajari ilmu filsafat, saya mendapati salah satu definisinya adalah “The attempt to answer ultimate questions” (Usaha untuk menjawab pertanyaan yang berbobot). Salah satu bentuk pertanyaan yang penting dan berat bobotnya pernah diajukan oleh bapak filsafat, Thales, “What is the nature of the world stuff”, Apa bahan baku alam semesta ini? Ada yang menjawab air, dengan alasan bahwa air menghidupi tumbuhan dan hewan. Namun, pertanyaannya lebih berbobot dari pada jawabannya. Di halaman lain, saya dapati bahwa salah satu bentuk pertanyaan yang tidak berbobot menurut penulis buku filsafat tersebut adalah pertanyaan mengenai apa rasa gula? Karena kita akan tahu kalau sudah merasakannya. Contoh-contoh seperti ini mungkin bisa jadi pertimbangan bagi penulis ketimbang harus membawakan tema yang berkaitan dengan masalah akidah.

Di halaman 364, dalam menentukan tolak ukur suatu kemajuan umat, penulis tidak berpendapat bahwa kemajuan itu dengan banyaknya anak-anak yang hafal Al-Qur’an, tingginya animo masyarakat untuk memasukkan anaknya ke pesantren dan kampus islami. Karena baginya, orang yang hafal kitab suci belum tentu memberikan kontribusi, dan orang yang belajar Islam belum tentu membawa kemajuan yang signifikan. Hal ini wajib kita tanyakan kepada penulis, siapakah yang menyatakan klaim seperti di atas? Apakah penulis sedang melakukan strawman fallacy (kekeliruan berpikir manusia jerami)? Yaitu argumen yang tidak pernah dinyatakan oleh orang lain, namun kita nisbatkan kepada orang lain yang menjadi lawan diskusi kita atau objek pembahasan kita. Padahal sejatinya penulis sedang berdialektika dengan manusia khayalan yang dibuat-buat sendiri, layaknya manusia jerami. Maka penting sekali menyertakan sumber dan referensi dari lawan diskusi atau objek kita. Karena tidak ada kebenaran mutlak dalam berdialektika, maka perlu bagi para pembaca menelusuri dan menggali fakta dari dua pihak yang sedang berdialektika. Bisa jadi, lawan diskusi penulis tersebut membawakan fakta bahwa ketika Indonesia masih dalam penjajahan Belanda, orang-orang yang terus melawan penjajahan Belanda adalah kalangan kaum santri, kalangan umat Islam. Hal ini jauh sebelum adanya kebijakan politik etis di Hindia Belanda. Sebutlah misalnya perang yang diusung Diponegoro selama lima tahun di tanah Jawa. Perang tersebut bukan seperti yang dituliskan dalam lembaran sejarah pada umumnya, yakni karena masalah tanah yang direbut oleh pihak Belanda, namun dalam berbagai sumber perang yang dilakukan Diponegoro dan para ulama kala itu adalah untuk menegakkan agama dan syariat Islam, demi kemajuan Islam dan rakyat Jawa khususnya. Maka sangat jelas, jauh sebelum adanya politik etis, umat Islam sudah sangat maju karena berani melakukan konfrontasi dengan kaum kafir kolonialis. 

Di bab kedua terakhir dalam bukunya, Subverted Support (Dukungan yang Ditumbangkan), penulis memberikan sebuah dialog imajiner antara dua orang yang membahas tentang mayoritas anak-anak sekarang yang menyimpang dari tuntunan agama. Bantahan yang diajukan penulis juga tidak kalah jauh minimnya dari data dan fakta. Penulis hanya mengatakan “Anak-anak yang berprestasi dan berperilaku baik justru jauh lebih banyak ketimbang anak-anak yang berperilaku menyimpang.” Namun sama sekali tidak ada data yang diajukan oleh penulis. Dikutip dari CNN Indonesia, detikcom, dan liputan6.com, mengangkat berita yang hampir sama tentang ratusan anak yang mengajukan dispensasi nikah. Berita tersebut diunggah pada tanggal 14 Januari 2023 oleh CNN. Namun di beritasatu.com, 60 persennya sudah hamil duluan, menurut Plt. Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak KemenPPPA, Rini Handayani. Ini baru di Ponorogo, belum di daerah yang lain, yang seharusnya dicarikan fakta dan datanya oleh penulis. Bagi saya pribadi, tidak ingin terlalu dalam terlibat mengenai kasus tersebut. Kalau pun berita itu benar, maka setidaknya kita selaku muslim bersikap antisipatif dan lebih menjaga keluarga kita, bukan memilih sikap denial dengan keadaan saat ini. Yang saya yakini, sesuai dengan sabda Nabi Muhammad ,

اِصْبِرُوْا فَإِنَّهُ لَا يَأْتِيْ عَلَيْكُمْ زَمَانٌ إِلَّا وَالَّذِيْ بَعْدَهُ شَرٌّ مِنْهُ حَتَّى تَلْقَوا رَبَّكُمْ

“Hendaklah kalian bersabar. Sesungguhnya tidak datang kepada kalian suatu zaman, kecuali yang setelahnya lebih buruk dari sebelumnya. Sampai kalian menemui Rabb kalian.”


Share:

Definition List

Definition list
Consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua.
Lorem ipsum dolor sit amet
Consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua.

Theme Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.
Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

Ordered List

  1. Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.
  2. Aliquam tincidunt mauris eu risus.
  3. Vestibulum auctor dapibus neque.

Recent Posts

Unordered List

  • Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.
  • Aliquam tincidunt mauris eu risus.
  • Vestibulum auctor dapibus neque.

Sample Text

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua.

Pages

Theme Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.