KORELASI IDE GENDER DALAM PERSPEKTIF MUSLIM


Oleh: Fian Sofian, Mahasiswa Prodi Bahasa dan Sastra Arab UIN SGD Bandung 

Membahas terkait judul utama dalam tulisan ini, yaitu persoalan gender, setiap muslim pasti akan mengaitkannya dengan dua jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Dan kalau kita mau membuka kamus bahasa Inggris, tentu terjemahan dari gender adalah jenis kelamin. Namun ketika persoalan gender ini kita rujuk pada wacana atau diskursus akademik yang terjadi di Barat, maka persoalannya akan lebih pelik dari sekedar relasi antara laki-laki dan perempuan. Bagi Barat sendiri, ada perbedaan yang signifikan antara gender dan sex. Kalau kita mau men-search definisi tentang gender di internet, maka yang akan muncul paling atas di halaman pertama menyebutkan bahwa,  

“Gender adalah sifat dan perilaku yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan yang dibentuk secara sosial dan budaya. Karena dibentuk oleh sosial dan budaya setempat, maka gender tidak berlaku selamanya tergantung kepada waktu (tren) dan tempatnya.”1 

Lihat beberapa kalimat yang sengaja kami tebalkan. Dalam paragraf di atas disebutkan bahwa gender bukanlah hal yang berupa fisik, dan gender tidak terbentuk secara alamiah berupa anatomi biologis atas kehendak dari Tuhan. Berbeda halnya dengan definisi sex (seks atau seksualitas), maka ia mengacu pada perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan yang bersifat fisik dan biologis. Dalam menguraikan konsep gender pun masih banyak sekali rincian-rincian yang rasanya tidak akan cukup jika diuraikan dalam makalah ini.  

  1. A. Studi Gender dalam Sorotan 

Secara ringkas, teori mengenai konsep gender terbagi menjadi dua. Pertama, peran gender. Di mana penilaian atau pendefinisian tentang hal ini lebih banyak berasal dari faktor eksternal. Sebagai contoh ketika laki-laki dan perempuan hidup berumah tangga, namun mereka memiliki komitmen untuk memilih perannya masing-masing. Tarulah seorang suami—yang disebut sebagai kepala rumah tangga dengan sifat maskulinitasnya dan memiliki mobilitas yang tinggi di luar rumah dengan jadwal yang teramat padat dari pagi-pagi buta sampai malam hari—mengambil peran sebagai pengurus rumah dan mengasuh anak-anak. Sementara seorang isteri yang pekerjaan sehari-harinya di dalam rumah, mengurus segala kebutuhan suami dan anak-anaknya, yang mungkin saja sesekali keluar rumah untuk berkumpul dengan ibu-ibu tetangga lainnya, lantas ia memilih peran di luar rumah dan bahkan berpanas-panasan demi mencari penghasilan untuk kebutuhan rumah tangganya. Tentu stigma masyarakat terhadap suami tersebut adalah negatif, dan bahkan ia akan dicap sebagai pemalas yang tak bertanggung jawab, dan hanya mampu memanfaatkan kepolosan isterinya. Seraya beramai-ramai masyarakat tersebut merasa iba dan peduli terhadap si isteri tersebut. Namun dalam konsep gender equality (kesetaraan gender), pemilihan peran dalam kehidupan sosial masyarakat adalah hal yang sangat wajar.  

Kedua, atribut gender. Di mana salah satunya adalah orientasi seksual. Faktor eksternal tidak dapat memberikan definisi atas hal ini, meski pun dalam beberapa hal seperti cara berpakaian dan gestur tubuh2 memiliki perbedaan dari kebiasaan masyarakat pada umumnya. Meski ada perbedaan di antara peran dan atribut gender, namun tak jarang kedua hal tersebut juga saling mengisi satu sama lain dalam diri seseorang.3 Karenanya di negara-negara Barat sangat lumrah sekali jika seseorang yang memiliki seksualitas (jenis kelamin biologis) sebagai seorang laki-laki, namun ia memilih peran sebagai perempuan ataupun isteri dalam berumah tangga, dan orientasi seksualnya pun sebagaimana lumrahnya seorang isteri. Dari sini dapat kita tarik kesimpulan, bahwa kategorisasi gender yang diinginkan oleh masyarakat Barat tidak terbatas pada laki-laki dan perempuan saja, melainkan ada banyak. Untuk kasus di atas, mungkin bisa masuk dalam kategori transgender,4 yang lumrah juga kita sebut sebagai gay atau boti.5 

Dalam uraian di atas, studi tentang gender memang menjadi persoalan yang pelik bagi orang-orang Barat. Secara historis gender digunakan untuk mendefinisikan pembagian jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan. Namun dalam perkembangan berikutnya, definisi tentang gender ditambahkan menjadi sebuah perbedaan antara laki-laki dan perempuan dari segi nilai, mentalitas, emosional, perilaku, dan juga bagian dari konstruk sosial maupun produk budaya. Definisi ini menjadi pandangan umum dan lumrah bagi kalangan akademisi, baik yang mendukung tentang ide gender dan feminisme, maupun mereka yang kontra dengannya. Kita bisa sama-sama melihat definisi gender menurut paparan para akademisi yang mendukung ide tersebut, dari definisi yang berupa fisik atau anatomi biologis, menjadi definisi yang non-fisik. Hal ini tentunya berbeda dengan sex, yang oleh seorang seksolog digunakan untuk identifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan dari segi anatomi fisik, klasifikasi biologis, sistem reproduksi, dan hormon tubuh.6 Singkatnya, gender bagi kalangan yang mendukung ide tersebut bukanlah bawaan dari lahir atau fithrah insâniyyah, akan tetapi menyesuaikan dengan waktu, tempat, dan keadaan. Gender mengikuti konstruk sosial dan budaya suatu masyarakat.  

  1. 1. Mengapa Umat Islam Memungut Ideologi Gender dan Feminisme?  

Menjadi sebuah persoalan tatkala kita selaku muslim mengikuti pendapat bahwa gender itu dihasilkan dari konstruk sosial dan kultural di suatu masyarakat. Dengan adanya anggapan seperti itu, maka peran Tuhan dalam pembentukan fithrah insâniyyah tidak lagi berlaku. Dan oleh karenanya pula terdapat kesan bahwa ajaran Tuhan berupa agama itu menjadi lawan bagi nilai-nilai sosial dan kultural suatu masyarakat. Berbagai perintah dan larangan dalam agama akan berbenturan—atau bahkan dibenturkan—dengan budaya masyarakat. Ajaran Islam yang melarang praktik-praktik homoseksualitas, penyerupaan laki-laki dengan perempuan baik dari pakaian ataupun tingkah laku dan sebaliknya, atau bahkan praktik-praktik yang berkaitan dengan ritual keagamaan, akan dibenturkan dengan nilai-nilai sosial dan kultural yang dianggap telah mapan dan berlaku di suatu masyarakat. Praktik paganisme yang terlarang dalam Islam akan dicarikan dalih bahwa patung-patung dan ritual-ritual tersebut merupakan produk budaya dan kearifan lokal, tak boleh ada intervensi agama atas praktik yang berlaku di masyarakat tersebut. Maka selanjutnya jelas, larangan-larangan Rasulullah Saw untuk membuat patung tereliminir dengan dalih bahwa patung-patung yang ada adalah sebagai bentuk seni dan nilai-nilai aktual dari kehidupan sosial budaya masyarakat.7  

Tatkala ajaran Islam dibenturkan—atau bahkan didegradasi dan didestruksi—oleh sebab pembelaan yang membabi buta atas nilai-nilai sosial, budaya, maupun hak asasi manusia, apatah lagi ketika hal tersebut dilakukan oleh seseorang yang mengaku intelektual muslim dengan alasan dekonstruksi ajaran Islam, maka ada yang salah dalam cara berpikir seperti itu. Ada bias intelektual bahkan rusaknya epistemologis orang tersebut. Mari kita buat premis-premis akan hal ini.  

  1. a. Premis Mayor  

Bagi kalangan akademisi yang mendukung ide kesetaraan gender dan feminisme, secara umum tentunya masih memiliki aggapan bahwa Islam adalah agama yang sempurna. Sehingga dalam menilai relasi antara agama mereka dengan ide yang diimpor dari Barat tersebut, mereka tetap meyakini ajaran Islam lebih universal dan cakupan ajarannya sangat luas ketimbang ideologi tersebut. Karena hal mendasar tersebut, maka kami anggap ini sebagai premis mayor. Meski keyakinan agama mereka lebih dominan, namun dalam beberapa hal mereka juga menawarkan dan menerima dengan senang hati beberapa ide dan gagasan lain yang dapat kami bagi menjadi dua faktor.  

Pertama, faktor yang bersifat intrinsik. Seperti pembaharuan dan reaktualisasi ajaran Islam, di mana ajaran Islam harus ditinjau kembali agar sesuai dengan perkembangan nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat modern. Lalu reinterpretasi atas tafsir tradisional yang menurut mereka cenderung mensubordinasikan peran perempuan dalam agama, sehingga tidak sesuai dengan nilai hak asasi manusia dan iklim demokrasi. Dalam hal ini mereka juga menawarkan metode tafsir hermeneutik, yang berangkat dari pandangan historis atas sebuah teks agama. Dalam beberapa ayat mengenai relasi antara laki-laki dan perempuan yang menurut mereka cenderung patriarkis, hal tersebut terjadi disebabkan konstruk sosial dan kultural di tanah Arab saat itu. Karena konteks turunnya al-Qur’an mengikuti kebudayaan Arab saat itu, maka tafsir-tafsir klasik sudah tidak relevan lagi saat ini.8 Keberanian mereka untuk melakukan reinterpretasi terhadap ayat-ayat dalam al-Qur’an memang berangkat dari metodologi tafsir hermeneutika, yang lagi-lagi mereka impor dari Barat tanpa sikap kritis dan skeptis. Secara singkatnya, metode hermeneutika menganggap bahwa kitab suci tak jauh berbeda dengan karya-karya manusia lainnya, sehingga diragukan otentisitasnya. Dalam kasus ide keseteraan gender dan feminisme, tentu mereka menuduh ayat-ayat al-Qur’an lebih banyak didominasi oleh keunggulan laki-laki dan memarjinalkan peran perempuan. Lagi-lagi budaya Arab yang mereka kambing hitamkan.  

Hal seperti ini tentu sangat mudah sekali untuk dibantah, namun membahas tema tentang metodologi tafsir hermeneutik di sini akan memakan waktu lebih lama dan memenuhi banyak lembaran makalah yang sederhana ini. Kita simak pernyataan dari pakar sejarah teologi Islam Jerman, Prof. Josef van Ess, yang dikutip oleh Dr. Syamsuddin Arif,  

We should, however, be aware of the fact that German hermeneutics was not made for Islamic studies as such. It was originally a product of Protestant theology. Schleiermacher applied it to the Bible.” Dan juga perkataannya, “This is not necessarily so in Islamic studies.”9 

Kedua, faktor yang bersifat ekstrinsik. Isu-isu seperti moderasi beragama, demokrasi, hak asasi manusia, nilai-nilai inklusivitas, dan pluralisme agama, menjadi semacam daya tarik luar yang mau tak mau para cerdik cendikia tersebut harus menyesuaikan ajaran agama yang mereka yakini dengan isu-isu kekinian. Karenanya ada salah seorang profesor dari UIN Syarif Hidayatullah yang secara lantang membela praktik-praktik penyimpangan kelompok LGBT dengan anggapan bahwa “Allah hanya melihat taqwa, bukan orientasi seksual manusia”. Ia juga beranggapan bahwa mereka memiliki posisi sebagai kaum lemah dan tertindas yang sering mengalami diskriminasi di tengah masyarakat. Di sisi lain pembelaannya terhadap kelompok LGBT tersebut berdasarkan pada realitas bahwa mereka memiliki hak yang sama sebagai warga negara, sehingga dengan pembelaannya tersebut artinya ia telah menjunjung nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan.10 Secara garis besar, mereka masih meyakini keutamaan agama Islam. Dan tujuan mereka selama ini tidak lain hanya untuk memperbaharui ajaran Islam. Berikut ucapan Mohammad Natsir terhadap ide pembaharuan Islam,  

“Menggunakan hujjah Agama untuk mempereteli Agama atas nama pembaharuan, itu bukan baru. Tiga puluh empat puluh tahun yang lalu tahun yang lalu, pikiran semacam itu sudah dikembangkan oleh seorang pemimpin besar Indonesia, ialah Soekarno. Katanya untuk mem-muda-kan faham Islam. Ini namanya membaharui faham Islam, tapi akibatnya sama, bukan membaharui dan me-muda-kan, akan tetapi melikwidasi faham Islam.”11 

  1. b. Premis Minor  

Faktor pendidikan selalu menjadi sebab utama dari berseraknya paham-paham liberal—dalam hal ini ideologi gender dan feminisme—yang terdapat di berbagai perguruan tinggi di Indonesia, tak terkecuali perguruan tinggi agama Islam. Peran pejabat terkait dalam Departemen Agama semakin menguatkan ideologi liberalisme dalam kajian-kajian Islam di Indonesia. Adalah Prof. Dr. Harun Nasution, dengan bantuan Menteri Agama Mukti Ali, yang memprakarsai pembaharuan kurikulum pendidikan di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta12 ke arah yang lebih progresif, rasional, dan liberal. Meskipun begitu, Nasution menolak anggapan bahwa kurikulum yang dibuatnya atas pengaruh orientalisme, melainkan karena sebab pengaruh pemikiran teologi Mu‘tazilah. Harun mengakui bahwa pemikiran Mu‘tazilah berlandaskan pada teologi liberal, sehingga studi Islam yang ia tawarkan di UIN Jakarta adalah Islam liberal. Hal ini diakui pula oleh Prof. Azyumardi Azra yang pernah menjabat sebagai rektor UIN Jakarta, bahwa Islam yang diajarkan adalah Islam liberal yang jauh dari fanatisme terhadap salah satu mazhab saja.13 

Pembaharuan yang digagas oleh mereka berdua tidak serta merta mengubah kurikulum yang ada menjadi lebih masif dan berani, barulah ketika Departemen Agama dipimpin oleh Munawir Syadzali yang menjabat dari tahun 1983 sampai 1993, turut memperkuat upaya tersebut. Munawir Syadzali juga menggagas tentang reaktualisasi hukum Islam dengan maksud agar hukum Islam dapat relevan dengan perkembangan zaman, yang beberapa di antara pemikirannya adalah tentang hukum waris dan kewajiban hijab. Pembagian waris yang ada selama ini tidak memberikan kesempatan bagi perempuan untuk mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki, sehingga banyak dari masyarakat yang sudah meninggalkan kebiasaan pembagian waris 2:1 tersebut. Ia berpendapat bahwa apa yang terjadi di masyarakat merupakan pandangan yang negatif tentang pembagian waris yang merugikan perempuan. Sementara pandangannya terkait hijab, bahwa ia adalah perkara khilafiyah dan hal tersebut merupakan budaya Timur Tengah. Meskipun begitu, istilah ide kesetaraan gender dan feminisme belum menjadi wacana yang hangat pada saat itu. Dan beliau bukanlah orang yang pertama kali melontarkan gagasan tersebut. Namun dikarenakan kedudukan beliau sebagai Menteri Agama yang sering diundang dalam acara-acara resmi di berbagai universitas Islam, maka hal tersebut menjadi penguat moral bagi para civitas akademika dan mahasiswa yang tertantang untuk melakukan reinterpretasi ulang khazanah keilmuan Islam.14 Pandangan umum yang mengintegrasikan antara kedudukan politik dan ideologi atau agama tampaknya dilakukan oleh tokoh-tokoh di atas. Bahwa dengan kemenangan dalam bidang politik dan kekuasaan, maka siapa pun akan dengan dengan mudah menyebarkan ideologi dan keyakinan agamanya. Atau dengan kata lain, kemenangan dalam politik maka berarti kemenangan dalam menjalankan agama dan keyakinan.15 

  1. c. Konklusi  

Pada akhirnya, kita melihat banyak sekali kontroversi-kontroversi yang terjadi terkait relasi antara agama—yang dalam hal ini Islam—dengan ideologi transnasional16 seperti gender equality, yang sampai saat ini masih hangat menjadi wacana dan diskursus akademik di perguruan tinggi Islam. Sebagai contoh pada tahun 2009, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta pernah mendatangkan tokoh feminis liberal radikal yang menjadi imam dan khatib salat Jum'at di sebuah gereja di Amerika dan sebuah kampus kenamaan di Inggris, di mana jamaah saat itu terdiri dari laki-laki dan perempuan yang bercampur baur. Kuliah umum yang dilaksanakan di UIN Jakarta tersebut berkaitan dengan kritiknya terhadap Imam al-Ghazali mengenai permasalahan gender dan etika Islam. Kita tidak membicarakan kritiknya terhadap al-Ghazali, namun lebih kepada beberapa pertanyaan yang bernada konfirmasi terkait ulahnya yang menjadi imam dan khatib salat Jum'at. Ia hanya berdalih bahwa tidak ada satupun dalil dari ayat al-Qur'an maupun hadits yang melarang perempuan menjadi imam. Argumentasi seperti ini jelas sekali keliru, karena dalam perkara ibadah kita diharamkan, sampai ada dalil yang memerintahkan dan menunjukkan mengenai tata caranya.17 

Kontroversi yang dibuat oleh Wadud memang berangkat dari bias intelektual dan rusaknya epistemologis dalam memahami relasi antara ajaran agama Islam dengan wacana atau diskursus akademik yang kekinian. Dalih Wadud ketika menjadi imam dan khatib bagi jamaah yang bercampur baur tersebut berangkat dari pemikiran bahwa posisi perempuan dalam Islam tersubordinasi dan menjadi manusia kelas dua. Wadud juga mengatakan bahwa anggapan laki-laki lebih tinggi dari perempuan adalah logika setan, sedangkan yang menganggap posisi keduanya sama adalah logika Tuhan.18  

Jawaban yang tak kalah nyeleneh juga ia sampaikan tatkala mendapatkan pertanyaan terkait pandangan seorang feminis bahwasanya Allah hanya melihat takwa, bukan orientasi seksual seorang hamba. Ia menjawab bahwa Islam menuntut iman dan amal saleh. Bagi kalangan feminis tentu jelas, bahwa puncak dari kesetaraan gender adalah lesbianisme, yang menjadikan seorang perempuan tidak lagi bergantung kepada laki-laki karena kebutuhan seksualnya sudah terpenuhi ketika ia menjadi seorang lesbian.19 Pendapat bahwa Allah hanya melihat takwa, bukan orientasi seksual, ternyata menjadi sebuah pandangan yang seirama di kalangan akademisi pendukung ide gender dan feminisme. Salah satunya adalah Prof. Dr. Siti Musdah Mulia dari UIN Jakarta. Kita akan ulas kontroversinya di bawah ini.  

Sudah sedikit kami singgung terkait penyataan kontroversial Prof. Dr. Siti Musdah Mulia di bagian Premis Mayor. Musdah cukup aktif terlibat dalam studi terkait Islam dan ide gender, baik dalam bentuk seminar, kuliah umum, maupun menjadi narasumber dalam berbagai jurnal dan penelitian. Yang cukup miris, tatkala ia hadir sebagai pembicara dalam sebuah seminar yang berjudul Seminar Umum Paradigma Feminisme di Indonesia yang diselenggarakan oleh Komunitas Mahasiswa Filsafat UI di Fakultas Ilmu Budaya UI, di mana salah seorang pembicara—yang merupakan dosen filsafat UI—membacakan sebuah kutipan dari novel berjudul Menyusu Ayah dengan isi yang sungguh tidak patut dan sarat aroma cabul. Dalam kesempatan yang lain manakala ia diwawancarai oleh peneliti dari Jurnal Perempuan terkait hubungan antara Islam dan lesbianisme, Musdah mengatakan bahwa “Allah hanya melihat taqwa, bukan orientasi seksual manusia”. Menurut Musdah, setiap manusia memiliki potensi untuk menjadi salih meski bagaimanapun orientasi seksualnya. Iya juga mengatakan tidak ada perbedaan antara lesbian dan bukan di hadapan Tuhan. Berbicara soal ketakwaan, hanya Tuhan saja yang punya hak prerogatif untuk menilai, bukan manusia. Manusia hanya bisa berlomba untuk berbuat kebaikan sesuai perintah Tuhan. Diketahui, bahwa founder dari Jurnal Perempuan tersebut adalah Dr. Gadis Arivia, pembicara yang mengutip kalimat-kalimat tak senonoh dalam seminar yang juga dihadiri Musdah tersebut.20 

Hampir mirip dengan Wadud dan Musdah, Gus Dur21 bisa dibilang termasuk dalam kategori tokoh-tokoh umat Islam yang masyhur dengan narasi-narasi kontroversialnya. Kesamaan mereka dalam menyikapi isu-isu kekinian—berupa ide kesetaraan gender dan feminisme—dengan ajaran agamanya adalah menyambut positif dengan dalih untuk menjaga nilai-nilai kemanusiaan, toleransi, dan demokrasi. Namun perbedaan yang mencolok adalah dari status mereka dalam percaturan politik dan penentu kebijakan. Di paragraf akhir dalam Premis Minor sudah kami kutipkan terkait relasi antara politik dengan ideologi atau ajaran agama. Anggapan ini tersebar di kalangan masyarakat yang menjadi objek penelitan Clifford Geertz pada tahun 50-an di sebuah daerah bernama Mojokuto.22 

Berbicara terkait kesetaraan gender dan feminisme, maka ideologi ini tidak mungkin menjadi wacana dan diskursus akademik di berbagai perguruan tinggi di Indonesia dan institusi negara tanpa bantuan dan sokongan pemerintah. Dukungan atas kesetaraan gender dan feminisme dimulai pada zaman Orde Baru Soeharto ketika terbentuk kementerian khusus yang menangani peranan wanita di pemerintahannya. Barulah pada zaman Gus Dur dukungan terhadap ide kesetaraan gender semakin menguat dengan Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG). Inpres tersebut juga menjadi batu tapal yang membuat semakin berkembangnya kurikulum studi Islam berbasis gender di berbagai perguruan tinggi Islam dengan pembentukan Pusat Studi Wanita/Gender (PSW/PSG).23 

Sebagai seorang tokoh yang dijuluki bapak pluralisme yang lahir dari kalangan muslim tradisionalis, ditambah kedudukannya sebagai orang nomer satu di negeri ini, Gus Dur sering diundang oleh kelompok-kelompok minoritas seperti Ikatan Waria Indonesia (IWI) dalam acara pemilihan Putri Waria pada tahun 2006. Sebelumnya ia juga diminta untuk menjadi penasihat IWI oleh salah seorang humas acara tersebut bernama Shuniyya Ruhama Habiballah,24 seorang transpuan yang sampai saat ini menjadi pengasuh di Pondok Pesantren Tahfidzul Qur'an (PPTQ) Al Istiqomah Kendal, Jawa Tengah.25 Selain Shuniyya, banyak kalangan transgender yang menjadikan Gus Dur sebagai mentor sekaligus tokoh penguat mentalitas mereka dalam menjalani kehidupan yang jauh dari nilai-nilai kebenaran hakiki agama Islam, salah satunya adalah Dorce Gamalama, yang dahulu pernah malang melintang dalam dunia tarik suara dan host acara tv swasta nasional. Berlainan dengan Shuniyya dan Dorce, adapula Amar Alfikar, anak dari seorang kiai di Kendal, Jawa Tengah, yang kini menjadi seorang transpria. Ia menulis sebuah buku berjudul Queer Menafsir, yang juga berangkat dari dukungan penuh seorang Gus Dur terhadap nilai-nilai hak asasi manusia, toleransi, dan demokrasi.26 

  1. 2. Perspektif Islam Terkait Relasi Laki-Laki dan Perempuan  

Kita kembali lagi ke bahasan mengenai gender, yang jikalau kita mengacu pada terminologi dalam al-Qur’an, penciptaan laki-laki dan perempuan untuk saling berpasangan adalah fitrah yang sudah Allah berikan kepada manusia agar merasakan ketenteraman dan terciptanya rasa kasih sayang di antara mereka.27 Karenanya bukan suatu hal yang asing bagi seorang muslim dalam memahami ayat dalam al-Qur’an tersebut, yang memang selama ini selalu dikutip dalam kartu undangan pernikahan.  

Dalam agama Islam, relasi antara laki-laki dan perempuan ibarat seorang petani yang memilik sawah ladang. Jadi, sawah ladang tersebut dianalogikan sebagai seorang wanita. Karenanya, objek dari si petani tersebut adalah sawah ladang yang dalam hal ini adalah wanita. Apakah ini sesuatu yang negatif, yang bisa kita terjemahkan bahwa wanita hanya menjadi objek saja yang harus menerima konsekuensi untuk sekedar digauli? Tentu tidak. Toh setelah ladang tersebut “dipergauli”, maka dari ladanglah akan tumbuh berbagai tanaman dan tumbuhan yang akan menghasilkan manfaat tidak hanya kepada petani tersebut, melainkan kepada semua umat manusia. Itulah hakikat dari seorang wanita, yang ketika dia menerima konsekuensi kodratnya sebagai “ladang”, maka kelak dari penerimaannya itulah ia akan dapat mengaktualisasikan dirinya bagi kebermanfaatan semua orang, yang bukan saja suaminya, melainkan bagi orang-orang di sekitarnya, entah itu keluarga, “buah-buahan” atau anak yang dihasilkan, keluarga, sanak saudara, dan seluruh umat manusia. Tentu qiyas atau analogi di atas sangat positif bagi seorang perempuan yang menjalankan fitrahnya. Adapula ayat yang lain yang menganalogikan relasi antara laki-laki dan perempuan ibarat sebuah pakaian, “hunna libãsun lakum wa antum libãsun lahunna (para perempuan adalah pakaian bagi kalian para laki-laki, dan kalian para laki-laki adalah pakaian bagi para perempuan)”. Dalam ayat ini tentu kita bisa lihat relasi yang saling sinergis dan melengkapi antara laki-laki dan perempuan. Dalam ayat ini perempuan tidak pasif, namun aktif. Artinya dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, antara laki-laki dan perempuan tidak saling mengungguli atau bersaing, namun bersama-sama melakukan hal positif dan saling melengkapi.  

  1. 3. Kesimpulan 

Pada masanya istilah gender tidak dikenal dalam diskursus akademik di Barat, melainkan sekedar menjadi kaidah bahasa atau bentuk klasifikasi grammar. Baru setelah tahun 1970-an istilah gender mulai digunakan oleh kaum feminis dengan kedok studi tentang wanita. Istilah feminisme jarang mereka jajakan disebabkan stigma masyarakat dan makna peyoratif karena memiliki definisi yang berasal dari kata fe (fides, faith, kepercayaan atau iman) dan mina (minus, kurang), yang berarti “imannya kurang”. Ditambah pula feminisme lebih dikenal sebagai ideologi yang mengusung kebebasan seperti melakukan seks bebas, aborsi, dan anti terhadap institusi keluarga.28 Karenanya menjadi sangat wajar jika kita sedikit kritis dan mempertanyakan korelasi gender dengan ajaran Islam yang berkaitan dengan perempuan.29 

Memaksakan ideologi gender—yang merupakan produk kaum feminis Barat—dengan studi keislaman sangatlah tidak tepat. Terlebih menjadikannya sebagai kurikulum dan fokus utama dalam perguruan tinggi di Indonesia, khususnya perguruan tinggi Islam. Yang pada akhirnya hanya akan memancing rasa kebencian terhadap agama Islam dikarenakan anggapan bahwa teks-teks agama merupakan sumber dari ketidakadilan terhadap perempuan. Jalan satu-satunya dengan cara merombak bangunan fiqih dan anjuran untuk reinterpretasi terhadap nash-nash al-Qur’an dan al-Hadits.30 Anggapan bahwa kaum perempuan tertindas dalam sejarah peradaban dunia, terlebih ketika anggapan tersebut dikhususkan untuk menyerang peradaban Islam—yang menurut mereka mengusung budaya patriarki,31 maka hal tersebut merupakan bentuk ahistoris yang mungkin keluar dari isi pikiran orang-orang yang memiliki gejala inferiority complex dan cenderung bersikap hiperbolis. 

  1. B. Berbagai Bentuk Bias Gender  

Istilah gender tidak pernah didengar dalam diskursus akademik sebagaimana yang telah penulis sampaikan di atas. Namun istilah gender telah digunakan semenjak abad ke 14 sebagai kaidah bahasa yang menunjukkan kata benda sebagai maskulin, feminim, maupun netral dalam bahasa Latin, Yunani, dan Jerman. Barulah di abad ke 20 ada perbedaan antara gender dan seksualitas yang merujuk pada perbedaan dari segi budaya dan sosial, dan perbedaan secara biologis. Istilah gender dan segala ide yang tertuang di dalamnya merupakan sebuah paham yang bersumber dari feminisme. Mereka mengganti stigma negatif tentang feminisme sebagai gerombolan wanita pemarah, egois, pembenci laki-laki, dan lesbian liar dengan isu kesetaraan gender. Jika dihubungkan dengan orientasi seksual, maka ide gender merubah bentuknya sebagai Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LBGT). Dalam kasus transgender, seseorang merasa bahwa identitas gendernya tidak sesuai dengan jenis kelamin yang telah ia dapatkan dari lahir, sehingga ia merubah bentuk jenis kelamin sesuai hasratnya.32 

Lantas, dari mana istilah bias gender menjadi suatu terminologi yang menindas dan mensubordinasikan perempuan? Sejak kapan ketidakadilan terhadap perempuan berlaku? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas akan mudah dijawab ketika kita mengetahui relasi antara agama dan perempuan. 

  1. 1. Apakah Islam Melanggengkan Budaya Patriarki?  

Sangat mudah kita jawab, tidak. Sebelum menjelaskan lebih lanjut, kita tarik kepada sejarah mengenai relasi antara agama dan perempuan. Kemunculan gerakan feminisme disebabkan oleh agama. Kelompok ini menuduh agama mengajarkan kebencian terhadap perempuan dan tidak berlaku adil terhadapnya, yang lagi-lagi disebabkan doktrin dari Gereja dan kitab suci. Kelompok feminis ingin mengubah sistem patriarki di Barat yang memang mendapatkan legitimasi dari doktrin-doktrin Gereja. Secara etimologis, patriarki bermakna rule of the father (kekuasaan bapak). Yang kemudian dipahami sebagai sebuah system sosial yang lebih berpihak kepada laki-laki ketimbang perempuan. Ciri khas patriarki adalah penindasan atas sebab gender.33 

Bagi kalangan akademisi pendukung kesetaraan gender dan feminisme, banyak sekali ayat-ayat dalam al-Qur’an yang cenderung mensubordinasikan perempuan. Salah satunya adalah ayat “Al-rijâlu qawwâmûnaalâ al-nisâ’i bimâ fadhdhalallâhu ba’dhahumalâ ba’dhin (Laki-laki/suami itu pelindung bagi perempuan/isteri, karena Allah telah melebihkan sebagaian mereka atas sebagian yang lain)”,34 yang kemudian dipermasalahkan oleh kalangan pendukung ide gender sebagai ayat yang mendukung budaya patriarki. Namun bagi Henri Shalahuddin, dalam sebuah bukunya berjudul Indahnya Keserasian Gender dalam Islam menyebutkan bahwa ayat tersebut justru menjadi argumentasi bagi para perempuan yang ditujukan kepada suami mereka, agar lebih bertanggung jawab dan mengayomi isteri dan anak-anak mereka. Tatkala kebutuhan rumah tangga sudah hampir habis, hendaklah bacakan ayat ini kepada suami. Tatkala kebutuhan biaya pendidikan anak semakin membengkak, maka bacakanlah ayat ini. Tatkala suami marah, bacakanlah ayat ini sembari ingatkan tentang teladan Rasulullah Saw terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.35 

Relasi antara laki-laki dan perempuan sudah diatur dalam Islam. Mereka memiliki posisi yang sama di hadapan syariat Islam, yaitu sama-sama mendapatkan taklif (beban) syariat. Beban atau tuntutan syariat Islam umum untuk laki-laki dan perempuan, sampai ada dalil yang mengecualikannya. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Rusyd dalam Bidâyatul Mujtahid wa Nihâyatu al-Muqtashid, yang dikuti oleh Henri Shalahuddin,  

“Laki-laki dan perempuan itu setara, karena pada awalnya hukum keduanya adalah satu, sampai ditetapkannya pengecualian syar’i yang menjelaskan hal itu”.36  

  1. 2. Kritik Islam atas Praktik-Praktik Misoginisme  

Tuduhan bahwa Islam membenci perempuan adalah tuduhan yang mengada-ada, yang pasti terlontar dari mereka-mereka yang apriori terhadap Islam dan bersikap ahistoris. Kebencian terhadap perempuan justru bisa didapatkan dalam ajaran Kristen yang menganggap bahwa setiap perempuan membawa kutukan. Perempuan dianggap sebagai sumber godaan dan pintu gerbang iblis, dan oleh karena perempuan lah Adam tergoda dan diturunkan dari Surga. Banyak sekali teks-teks dalam Alkitab yang berisi kebencian terhadap perempuan.  

  1. Memandang perempuan sebagai symbol kejahatan. “Dan pada dahinya tertulis suatu nama, suatu rahasia: Babel besar, ibu dari wanita-wanita pelacur dan dari kekejian bumi. Dan aku melihat perempuan itu mabuk oleh darah orang-orang kudus dan darah saksi-saksi Yesus”.  

  1. Anak perempuan bisa dijual sebagai budak. “Apabila ada seorang menjual anaknya yang perempuan sebagai budak, mala perempuan itu tidak bisa keluar seperti cara budak-budak laki-laki keluar”.  

  1. Perempuan dipandang sebagai objek seks laki-laki dari jenis manusia dan makhluk-makhluk lain. “Maka anak-anak Allah melihat, bahwa anak-anak perempuan manusia itu cantik-cantik, lalu mereka mengambil isteri dari antara perempuan-perempuan itu, siapa saja yang disukai mereka”.37 

Dan masih banyak lagi teks-teks dalam Alkitab yang tidak memberikan tempat yang adil kepada perempuan.

Praktik-praktik misoginisme tetap berlangsung sampai abad ke 17, di mana masyarakat Eropa yang memang terpengaruh oleh doktrin Gereja menganggap bahwa perempuan sebagai jelmaan setan ata alat setan untuk menggoda manusia. Oleh seorang penulis Jerman disebutkan, “It is a fact that women has onlye a weaker of faith (In God). Therefore, the female is evil by nature (Adalah sebuah kenyataan bahwa kaum wanita hanya memiliki iman yang lebih lemah (kepada Tuhan). Oleh karenanya, wanita itu secara alamiah merupakan makhluk jahat)”.38  

Footnote 

  1. 1. https://dinsos.kulonprogokab.go.id/detil/391/gender-itu-apa-sih Diakses pada tanggal 06/03/2024 Pukul 21.35 WIB. 

  1. 2. Kalau boleh berhipotesis, maka dengan maraknya komunitas gay yang rutin melakukan gym dan body building, sejatinya mereka tengah mengubah stigma masyarakat yang selama ini beranggapan bahwa seorang gay itu feminis dan memiliki gestur tubuh bak perempuan. 

  1. 3. Ibrahim Nur A., Problem Gender dalam Perspektif Psikologi, Az-Zahra: Journal of Gender and Family Studies Vol. 1 No. 1 2020, hal. 48 dari 54. 

  1. 4. https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20220822201926-284-837756/7-jenis-identitas￾gender-yang-perlu-diketahui-selain-non-biner Diakses pada tanggal 07/03/2024 Pukul 14.54 WIB. 

  1. 5. Boti atau Boty adalah istilah gaul yang merujuk pada kata bottom (di bawah), di mana seorang laki-laki memilih peran layaknya seorang isteri. https://id.wikipedia.org/wiki/Boti_(bahasa_gaul Diakses pada tanggal 07/03/2024 Pukul 14.57 WIB. 

  1. 6. Henri Shalahuddin dan Hamid Fahmy Zarkasyi, Ideologi Gender dalam Studi Islam (Klarifikasi dan Solusi), INSISTS [Jakarta, 2022], hal. x dan 45-6. 

  1. 7. Menarik untuk mengulas permasalah hukum patung dalam Islam. Karena hal ini selalu saja dibenturkan dengan adat dan budaya suatu masyarakat. Larangan membuat patung adalah sebagai bentuk antisipasi agar patung-patung tersebut tidak disembah. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu al-Qayyim al-Jawziyyah, “Tidak sedikit kalangan ulama terdahulu yang mengatakan, ‘Ketika mereka mati, maka orang-orang tersebut mengerumuni kuburan mereka. Kemudian membuatkan patung-patung mereka. Setelah berlalu waktu, maka orang-orang pun menyembah mereka’.” Lihat https://www.historislam.com/2023/12/kritik-atas-ulasan-singkat-clifford.html Diakses tanggal 10/03/2024 Pukul 14.41. 

  1. 8. Henri Shalahuddin, Ideologi Gender dalam Studi Islam, INSISTS [Jakarta, 2022], hal. 122. 

  1. 9. Syamsuddin Arif dkk, Hermeneutika Tafsir & Worldview, INSISTS [Jakarta, 2023], hal. 5-6. 

  1. 10. Op.Cit., hal. 119-120. 

  1. 11. Merupakan sebagian isi ceramah beliau di Cihideung, Banten, menanggapi fenomena sekularisasi yang ditawarkan oleh Nurcholish Madjid. Diringkas oleh majalah Panji Masyarakat. Lihat https://www.instagram.com/p/Cay0dNkpPA-/?img_index=2 Diakses tanggal 10/03/2024 Pukul 14.22 WIB. 

  1. 12. Selanjutnya disebut UIN Jakarta. 

  1. 13. Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Paramadina [Jakarta, 1999], hal. xvii-xix. Henri Shalahuddin, Ideologi Gender dalam Studi Islam, INSISTS [Jakarta, 2022], hal. 124-8. Tiar Anwar Bachtiar, Pertarungan Pemikiran Islam di Indonesia, Pustaka Al-Kautsar, [Jakarta, 2017], hal. 74. 

  1. 14. Ibid., hal. 126-7. 

  1. 15. Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Pustaka Jaya [Jakarta, 1983], hal. 200&286. 

  1. 16. Meminjam ucapan Prof. Nasaruddin Umar dalam mendefinisikan kehadiran agama Islam di Nusantara. 

  1. 17. Henri Shalahuddin, Indahnya Keserasian Gender dalam Islam, INSISTS [Jakarta, 2020], hal. 56-7. 

  1. 19. Op.Cit. 

  1. 20. Henri Shalahuddin, Ideologi Gender dalam Studi Islam, INSISTS [Jakarta, 2022], hal. 117-9. 

  1. 21. Sebutan untuk Presiden keempat Abdurrahman Wahid. 

  1. 22. Nama yang disamarkan oleh Geertz, namun pada beberapa tulisannya banyak peneliti yang menghubungkan daerah tersebut dengan Pare, Kediri. 

  1. 23. Henri Shalahuddin, Ideologi Gender dalam Studi Islam, INSISTS [Jakarta, 2022], hal. 109-111. 

  1. 24. Gus Dur menyebutnya mbak Shuniyya. Lihat https://news.detik.com/berita/d-623205/gus-dur￾hadiri-pemilihan-putri-waria-indonesia-2006 Diakses tanggal12/03/2024 Pkl. 09.40. 

  1. 25. Sumber akun facebook pribadi dan pesantrennya. 

  1. 26. Sumber akun facebook pribadinya. 

  1. 27. Lihat al-Qur’an surat al-Rum ayat ke 21. 

  1. 28. Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat, Gema Insani [Jakarta, 2005], hal. 19. Henri Shalahuddin, Indahnya Keserasian Gender dalam Islam, INSISTS [Jakarta, 2020], hal. Xxxv-xxxvi&91-2. 

  1. 29. Henri Shalahuddin, Indahnya Keserasian Gender dalam Islam, INSISTS [Jakarta, 2020], hal. 87. Henri Shalahuddin, Ideologi Gender dalam Studi Islam, INSISTS [Jakarta, 2022], hal. 45. 

  1. 30. Op.Cit., hal. 89-94. 

  1. 31. Hal tersebut dituliskan dalam sampul belakang sebuah buku berjudul Isu-Isu Gender dalam Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah yang diterbitkan oleh Pusat Studi Wanita dari sebuah universitas Islam. Ibid., hal. xii. 

  1. 32. Henri Shalahuddin, Ideologi Gender dalam Studi Islam, INSISTS [Jakarta, 2022], hal. 11-3. 

  1. 33. Ibid., hal. 40. 

  1. 34. Al-Qur’an surat al-Nisâ’i ayat ke 34. 

  1. 35. Henri Shalahuddin, Indahnya Keserasian Gender dalam Islam, INSISTS [Jakarta, 2020], hal. 160-1. 

  1. 36. Ibid. 

  1. 37. Henri Shalahuddin, Ideologi Gender dalam Studi Islam, INSISTS [Jakarta, 2022], hal. 25-9. 

  1. 38. Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat, Gema Insani [Jakarta, 2005], hal. 19-20. 

Daftar Pustaka 

Al-Bukhari. 2008. Shahih al-Bukhari. Mesir, Maktabah al-‘Ibâd al-Rahmân.  

Al-Mubarakfuri, Shafiyyurrahman. 2001. Perjalanan Hidup Rasul yang Agung. Jakarta, Kantor Atase Agama Saudi Arabia.  

Arif, Syamsuddin. 2023. Prosiding Hermeneutika Tafsir & Worldview. Jakarta, INSISTS.  

Bachtiar, Tiar Anwar. 2021. Rasional Tanpa Menjadi Liberal. Jakarta, INSISTS.  

Barton, Greg. 1999. Gagasan Islam Liberal di Indonesia. Jakarta, Paramadina.  

Geertz, Clifford. 1983. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta, Pustaka Jaya.  

Husaini, Adian. 2005. Wajah Peradaban Barat. Jakarta, Gema Insani.  

Madjid, Nurcholish. 1992. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina.  

Shalahuddin, Henri. 2022. Ideologi Gender dalam Studi Islam. Jakarta, INSISTS.  

Shalahuddin, Henri. 2020. Indahnya Keserasian Gender. Jakarta, INSISTS.  

Tafsir, Ahmad. 2021. Filsafat Umum. Bandung, Rosda.  

Web:  

Share:

Definition List

Definition list
Consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua.
Lorem ipsum dolor sit amet
Consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua.

Theme Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.
Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

Ordered List

  1. Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.
  2. Aliquam tincidunt mauris eu risus.
  3. Vestibulum auctor dapibus neque.

Recent Posts

Unordered List

  • Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.
  • Aliquam tincidunt mauris eu risus.
  • Vestibulum auctor dapibus neque.

Sample Text

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua.

Pages

Theme Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.