Kritik atas Ulasan Singkat Clifford Geertz Mengenai Islam dan Kebudayaan

Kritik atas Ulasan Singkat Clifford Geertz Mengenai Islam dan Kebudayaan

Oleh : Fian Sofian, Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

 

Dalam buku hasil penelitiannya berjudul The Religion of Java–dan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Clifford Geertz membuat sebuah sub bab khusus mengenai  perbedaan santri dengan abangan. Ia membuat definisi mengenai agama Islam–menurut subjektivitasnya–bahwa ini adalah sebuah agama kenabian yang etis (ethical prophecy).[1] Meskipun begitu kita perlu menyikapinya secara kritis akan definisi yang diberikan oleh Geertz, meskipun dalam kalimat selanjutnya ia menjelaskan bahwa Nabi Muhammad Saw hanyalah pembawa wahyu Tuhan.

Untuk mengurai lebih dalam mengenai definisi Islam dan keterkaitannya dengan sang pembawa risalahnya, ada bahasan yang menarik dalam buku karya Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi mengenai Makna Islam. Dalam uraiannya, ia memulai pada sebuah pemahaman yang berkembang secara massif di Barat tentang upaya menyama-nyamakan antara semua agama yang ada. Ada upaya dari kalangan orientalis[2] untuk menyamakan agama Islam dengan agama-agama yang berkembang di dunia ini. Islam diasosiasikan dengan nama pembawa risalahnya, dalam hal ini Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karenanya, terkadang orang-orang Barat menyebut agama Islam sebagai Mohammedanism. Terkadang agama Islam juga diasosiasikan dengan wilayah tempatnya berkembang, dalam hal ini adalah wilayah Arab. Sehingga agama Islam pun disebut sebagai The Religion of Arab.[3] Mirisnya, ada beberapa kalangan umat Islam yang terjebak pada kategorisasi dan istilah-istilah yang dibawa oleh para orientalis ini, sehingga yang berkembang di kemudian hari adalah konflik rasial dan sikap chauvinisme ekstrim disertai tuduhan dengan narasi-narasi sumir terhadap sekelompok umat Islam lainnya–yang berpakaian layaknya umat Islam Arab–yang berbeda pendapat dengannya.

Kalau kita mau melakukan studi komparasi antara Islam dengan agama-agama lain, maka sangat jelas perbedaannya. Sebagai contoh saja agama Kristen, ia berasal dari nama Yesus Kristus. Budha, diambil dari nama pendirinya yaitu Budha Gautama. Agama Zoroaster, pun dari nama pendirinya yaitu Zoroaster. Adapula agama yang berasal dari ras atau daerah tempat penyebarannya seperti Yahudi, yang berasal dari nama ras atau suku Judea di negeri Judea. Hindu pun sama, mengambil nama dari tempat asal penyebarannya yaitu Hindustan.[4] Hal ini tentu berbanding diametris dengan agama Islam, yang merupakan murni berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalam beberapa ayat di al-Qur’an, Nabi-Nabi yang hidup sebelum Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam sudah disebut oleh Allah sebagai muslim. Artinya, Islam itu tidak terkait dengan nama tempat dan pembawa risalahnya. Islam merupakan agama yang melandaskan pada konsep dan ajaran. Dalam hal ini, mari kita simak kutipan ucapan dari Seyyed Hossein Nasr,

Islam adalah agama yang utama, yang namanya tidak terkait dengan individu atau kelompok etnis tertentu, tapi berkaitan dengan ide sentral agama itu.

Definisi lebih mendalam mengenai makna Islam ada baiknya kita kutipkan secara lebih lengkap dari buku karya Prof. Hamid Fahmy Zarkasy dalam bukunya berjudul Minhaj Berislam dari Ritual hingga Intelektual sebagai berikut,

Jika dikaji secara etimologis (lughatan), “Islam” merupakan bentuk masdar dari kata aslama (‘menundukkan’ atau ‘menghadapkan wajah’ atau ‘berserah diri’). Asal katanya salima (‘selamat’ atau ‘menyelamatkan’) yang juga menurunkan kata sallama (‘menyerahkan diri’), salaam (‘kesejahteraan’ atau ‘keselamatan’), saliim (‘kedamaian’) dan sullam (‘tangga’). Jadi, dari kata salima, yang artinya ‘selamat’ terbentuklah aslama yang artinya ‘menyerahkan diri’ atau ‘tunduk’ dan ‘patuh’. Dari kata aslama terbentuklah kata Islam. Dari makna-makna tersebut jelaslah bahwa kata Islam itu mengandung konsep.

Dalam al-Qur’an, makna kata “Islam” dapat dikelompokkan sedikitnya menjadi tiga: Pertama, tunduk. Kedua, berserah diri. Ketiga, menyelamatkan.[5]

Ada sebuah definisi menarik menurut beberapa ulama rahimahullah,

الإسْلَامُ: اَلْإِسْتِسْلَامُ لِلهِ بِالتَّوْحِيْدِ وَالْإِنْقِيَادُ لَهُ بِالطَّاعَةِ وَالْبَرَاءَةُ مِنَ الشِّرْكِ وَأَهْلِهِ

“Islam itu adalah berserah diri kepada Allah dengan cara mengesakan-Nya, tunduk patuh kepada-Nya dengan ketaatan, dan berlepas diri dari segala bentuk kesyirikan dan para pelaku kesyirikan”.

Juga ada definisi yang menarik dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, bahwasanya agama Islam itu adalah agama seluruh Nabi ‘alaihimus shalatu was salam. Ia mengatakan,

وَهذَا الدِّيْنُ هُوَ دِيْنُ الْإِسْلَامِ اَلَّذِيْ لَا يَقبَلُ اللهُ دِيْنًا غَيْرَهُ لَا مِنَ الْأَوَّلِيْنَ وَلَا مِنَ الْآخِرِيْنَ فَإِنَّ جَمِيْعَ الْأَنْبِيَاءِ عَلَى دِيْنِ الْإِسْلَامِ

“Agama ini bernama agama Islam, yang mana Allah tidak akan menerima agama selainnya. Tidak pula agama dari orang-orang terdahulu dan yang awal, juga tidak pula orang-orang yang terakhir atau saat ini. Maka sesungguhnya seluruh para Nabi itu berada dalam agama Islam”.[6]

Kembali kepada substansi dari judul artikel ini, bahwasanya Islam memiliki perbedaan yang kontras dengan agama lainnya. Maka bagi Clifford Geertz, putusnya hubungan antara Muhammad dengan tradisi dan budaya adalah tajam dan jelas. Maka isi risalah yang dibawa oleh beliau adalah pesan dari Tuhan yang diwahyukan kepadanya yang mempunya inti ajaran yang rasional dan sederhana.

Di suatu tempat yang sebelum datangnya ajaran Islam banyak sekali tuhan, maka Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan satu Tuhan; di tempat yang tadinya diperbolehkan memiliki banyak wanita yang berlebih, maka ia mengajarkan poligami sampai empat orang isteri saja; di tempat yang tadinya ada pembiaran atas segala kesenangan yang berlebihan, maka ia menganjurkan sikap menahan diri (asceticism), melarang minuman keras dan perjudian. Nabi Muhammad juga menolak segala bentuk simbolisme yang berlebih, menyederhanakan upacara peribadahan, memproklamirkan bahwa ajaran Islam adalah universal tidak terbatas pada ras tertentu atau suatu daerah tertentu. Islam tidak terbatas para teritorial dan rasial.

Kesederhanaan Islam yang membedakannya dengan agama lain, adalah bentuk filterisasinya terhadap segala adat, tradisi, dan budaya yang cendrung rumit dan heterodoks. Karenanya meski nilai-nilai Islam berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, namun risalah yang disampaikan melalui Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sangat terpaut dengan kehidupan nyata manusia. Dalam permasalahan ini kita kutipkan pernyataan H.A.R. Gibb dalam bukunya berjudul Mohammedanism,

Sejak permulaan kariernya sebagai juru dakwah, pandangan dan penilaiannya terhadap orang-orang dan kejadian senantiasa didominasi oleh konsepsinya tentang pemerintahan dan maksud Tuhan dalam dunia manusia.

Sederhanya seperti ini, bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam itu adalah seorang yang membumikan pesan-pesan dari langit. Ajaran yang dibawanya sangat relevan dengan kehidupan seluruh umat manusia. Sebagai contoh ada baiknya kita komparasikan ajaran Islam dengan ajaran Kejawen, yang memiliki banyak sekali upacara-upacara yang bersifat budaya dan tradisi. Geertz mengutipkan dalam bukunya tersebut mengenai salah seorang warga di daerah Mojokuto (sekarang bernama Pare, di Kota Kediri, Jawa Timur) yang di daerah tempat tinggalnya masih banyak praktik-praktik Kejawen. Sebutlah punden, salah satu tempat yang dianggap keramat oleh warga sekitar. Banyak warga setempat yang mengadakan slametan di sana dalam rangka memenuhi nazar-nya. Sebagai muslim yang baik, maka si warga yang dikisahkan oleh Geertz tersebut mencoba untuk memindahkan patung manusia yang ada di sana ke masjid, kemudian ia hancurkan berkeping-keping. Ia pun tidak merasakan kejadian apa-apa, yang membuktikan bahwa benda-benda atau simbol-simbol peribadahan Kejawen tersebut tidak berguna.

Berbicara mengenai simbol-simbol peribadahan, yang merupakan bentuk dan bagian dari suatu budaya. Maka ada hal yang menarik mengenai hal ini, yang sudah tercantum dalam ayat kedua puluh tiga dari surat Nuh. Ada nama lima orang yang dijadikan sesembahan oleh kaum tersebut. Nama orang-orang tersebut adalah Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr. Sahabat Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa ini semuanya adalah nama orang-orang saleh dari kaum Nabi Nuh. Ketika mereka mati, maka setan membisikkan kepada kaum mereka agar membuatkan patung-patung di tempat di mana mereka pernah mengadakan pertemuan. Patung-patung yang dibuat tersebut belum disembah. Hingga orang-orang yang membuat patung tersebut meninggal dunia, dan ilmu telah ditinggalkan, maka patung-patung tersebut pada akhirnya disembah oleh generasi setelahnya. Juga dikatakan oleh salah seorang ulama yang kurang lebih hampir sama dengan apa yang disampaikan Ibnu ‘Abbas, bahwa nama-nama tersebut adalah orang-orang saleh dari anak cucu Nabi Adam. Mereka memiliki pengikut yang meneladani mereka. Ketika orang-orang saleh itu mati, maka pengikutnya berkata, “Seandainya kita membuat patung mereka, niscaya hal itu lebih membuat kita bersemangat dalam beribadah”. Maka mereka merealisasikannya. Setelah pengikut tersebut mati, datanglah generasi setelahnya sehingga iblis membisikkan kepada mereka, “Mereka dahulu menyembah patung orang-orang saleh tersebut. Dan dengan orang saleh tersebut akhirnya hujan diturunkan”. Maka generasi selanjutnya mulai menyembah patung lima orang saleh tersebut.[7]

Ibnul Qayyim al-Jauziyyah Rahimahullah juga mengatakan,

قَالَ غَيْرُ وَاحِدٍ مِنَ السَّلَفِ: لَمَّا مَاتُوْا عَكَفُوْا عَلَى قُبُوْرِهِمْ ثُمَّ صَوَّرُوْا تَمَاثِيْلَهُمْ ثُمَّ طَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَعَبَدُوْهُمْ

Tidak sedikit kalangan ulama terdahulu yang mengatakan, “Ketika mereka mati, maka orang-orang tersebut mengerumuni kuburan mereka. Kemudian membuatkan patung-patung mereka. Setelah berlalu waktu, maka orang-orang pun menyembah mereka”.[8]

Itu sekilas dari bentuk atau simbolisasi peribadahan yang terkontaminasi dengan kebudayaan yang ada. Maka dalam bukunya, Clifford Geertz juga memberikan contoh varian upacara peribadahan kaum abangan yang sarat akan nuansa kebudayaan Jawa setempat, atau yang selama ini kita kenal sebagai kaum abangan. Beberapa bentuk keyakinan dan upara tersebut adalah seperti:

1.      Kepercayaan kepada makhluk halus.

Sebagai contoh seperti memedi (roh yang menakut-nakuti), lelembut (roh yang menyebabkan kesurupan), tuyul (makhluk halus yang karib), demit (makhluk halus yang menghuni suatu tempat), dan danyang (roh pelindung makna kepercayaan kepada makhluk halus.

2.      Slametan sebagai pesta komunal sebagai upacara inti.

Petungan (sistem numerologi orang Jawa), kelahiran (tingkeban, babaran, pasaran, dan pitonan), khitanan dan perkawinan, kematian seperti layatan, dll.

3.      Pengobatan tradisional.

Seperti dukun, tabib, juru sihir, dan spesialis keupacaraan. Ada juga khusus menangani kesurupan atau dukun tiban.

Contoh-contoh di atas jelas merupakan hasil produk kebudayaan manusia. Adapun Islam, merupakan agama yang memiliki sifat tauqifiyyah, yang memiliki arti sudah memiliki aturan yang jelas dan baku bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Maka segala hal yang berkaitan dengan budaya, maka perlu dilihat kembali apakah kebudayaan tersebut dianggap sebagai suatu peribadahan? Karena semenjak datangnya Islam ke Nusantara, maka ada proses akulturasi sehingga budaya-budaya atau ajaran-ajaran dari agama sebelumnya dimasukkan dalam kategori dan istilah-istilah baru yang diislamkan. Menarik mengutip kembali pernyataan Geertz mengenai proses kedatangan Islam ke Nusantara, meskipun sekali lagi wajib kita kritisi beberapa kalimatnya–terutama mengenai keyakinannya akan teori masuknya Islam  dari India. Ucapannya sebagaimana berikut,

Islam datang ke Indonesia dari India, dibawa oleh para pedagang. Karena rasa Timur Tengahnya pada keadaan kehidupan bagian luar telah ditumpulkan dan dibelokkan ke dalam oleh mistik India, ia hanya menimbulkan kontras minimal pada campuran Hinduisme, Budisme dan animisme yang telah mempesona orang Indonesia selama hampir lima belas abad. Walaupun ia menyebar–sebagian besar secara damai–hampir ke seluruh wilayah Indonesia dalam jangka waktu tiga ratus tahun dan sempurna mendominasi Jawa kecuali beberapa kantong kepercayaan musyrik pada akhir abad keenam belas, Islam Indonesia, terputus dari pusat ortodoksinya di Mekah dan Kairo, menumbuhkan tumbuhan tropis yang berliku-liku lainnya, pada wilayah keagamaan yang telah penuh sesak. Praktek mistik Budis memperoleh nama-nama Arab, raja-raja Hindu mengalami perubahan gelar untuk menjadi sultan-sultan Islam, dan orang awam menyebut beberapa roh hutan mereka dengan jin; tetapi sedikit sekali perubahan lainnya.[9]

Dalam sebuah kaidah fikih disebutkan,

اَلْأَصْلُ فِيْ الْعِبَادَاتِ التَّوْقِيْفُ وَالْأَصْلُ فِيْ الْعَادَاتِ الإِبَاحَةُ

Hukum asal dari ibadah itu harus berdasarkan dalil dan aturan yang berlaku, sementara hukum asal dari adat dan kebuadayaan itu boleh.[10]

Maka untuk menyikapi masalah ini, para ulama sudah sepakat bahwa seseorang yang telah memiliki beban untuk menjalankan ajaran Islam tidak diperkenankan untuk memulai suatu ibadah, sampai ia mengetahui bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengizinkan ibadah tersebut dan mensyariatkannya bagi mereka. Karena sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah diibadahi kecuali sesuai dengan apa yang Dia kehendaki. Aturan seperti ini telah ditetapkan pula oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits shahih yang berbunyi, “Barangsiapa yang mengadakan perkara baru dalam urusan agama kami yang tidak ada aturannya tentang hal tersebut, maka perkara tersebut tertolak”. Juga dalam hadits yang lain, “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amalan tersebut tertolak”.

Maka hal yang terbaik dalam menyikapi perbedaan antara Islam dan kebudayaan adalah perlunya meneliti, apakah kebudayaan yang akan kita kerjakan tersebut dikategorikan pula dalam perkara ibadah, atau sekedar adat, kebiasaan, dan budaya yang lumrah dijalankan oleh setiap orang? Jangan sampai kita mencampuradukkan kedua perkara tersebut. Wallahu a’lam bish shawwab.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Bin Hasan, Abdurrahman. 2010. Fathul Majid Penjelasan Lengkap Kitab Tauhid. Jakarta, Pustaka Sahifa.

Geertz, Clifford. 1983. Abangan Santri Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta, Pustaka Jaya.

Zarkasyi, Hamid Fahmy. 2023. Minhaj Beriman dari Ritual hingga Intelektual. Jakarta, INSISTS.

https://www.islamweb.net/ar/fatwa/127965/ judul بيان قاعدة: الأصل في العبادات التوقيف والأصل في العادات الإباحة Diakses pada tanggal 15/12/2023 pukul 05.00 WIB.

https://muslim.or.id/29329-keindahan-islam-2.html Diakses pada tanggal 15/12/2023 Pukul 03.00 WIB.



[1] Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Pustaka Jawa [Jakarta, 1983], hal. 165.

[2] Orientalis adalah pihak yang meneliti tentang masalah ketimuran, dalam hal ini adalah Islam.

[3] Hamid Fahmy Zarkasyi, Minhaj Berislam dari Ritual hingga Intelektual, INSISTS [Jakarta, 2023], hal. 3-5.

[4] Ibid., hal. 4.

[5] Ibid., hal. 6.

[6] Lihat https://muslim.or.id/29329-keindahan-islam-2.html . Diakses pada tanggal 15/12/2023 Pukul 03.00 WIB.

[7] ‘Abdurrahman bin Hasan, Fathul Majid Syarah Kitab Tauhid, Pustaka Sahifa [Jakarta, 2010], hal. 513-514.

[8] Ibid., hal. 518.

[9] Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Pustaka Jawa [Jakarta, 1983], hal. 170.

[10] Lihat https://www.islamweb.net/ar/fatwa/127965/ judul بيان قاعدة: الأصل في العبادات التوقيف والأصل في العادات الإباحة Diakses pada tanggal 15/12/2023 pukul 05.00 WIB.

Share:

KARAKTERISTIK PERADABAN ISLAM MASA BANI ABBASIYYAH


Oleh: Fian Sofian, Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab UIN SGD Bandung.

 

I. PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Masalah

Berbicara masalah peradaban Islam, tentu tidak akan lepas dari berbagai fase kehidupan umat Islam yang dinaungi oleh beberapa bentuk kepemimpinan dan juga konstelasi politik yang terus bergulir dari waktu ke waktu. Hal ini sudah diindikasikan dalam hadits Nabi Saw. sendiri,[1] yang membagi lima periodisasi kehidupan umat Islam–pasca kenabian (nubuwwah)–dari mulai kepemimpinan yang berjalan di atas petunjuk Nabi (khilafah ‘ala minhaj al-nubuwwah), lalu zaman kepemimpinan yang menggigit (mulkan ‘adhan), zaman kepemimpinan yang diktator (mulkan jabriyyan), dan terakhir kembali lagi pada periode kepemimpinan yang berjalan di atas petunjuk Nabi (khilafah ‘ala minhaj al-nubuwwah).[2]

Bagi beberapa kalangan umat Islam–yang terfokus pada bidang politik Islam (siyasah islamiyyah), tentu menganggap zaman sekarang ini sebagai periode kepemimpinan yang diktator (mulkan jabriyyan). Dan selanjutnya jelas, bahwa apapun kebijakan yang dilakukan oleh para pemimpin di dunia Islam manapun, dianggap tidak merepresentasikan kepemimpinan islami. Terlebih bentuk institusi pemerintahan mereka adalah nasionalisme ciptaan Barat yang mewajibkan mereka tunduk kepada Barat. Maka menjadi sebuah kewajiban bagi kalangan umat Islam politik untuk berusaha mengembalikan kepemimpinan yang berjalan di atas petunjuk Nabi melalui institusi khilafah.[3]

Dinasti Bani Abbasiyyah menorehkan sejarah–dalam kepemimpinan di dunia Islam–selama kurang lebih 524 tahun.[4] Bangkit dan runtuhnya merupakan hal yang memang sunnatullah. Ada beberapa catatan terkait penyebab lemah dan runtuhnya dinasti Abbasiyyah,[5] yang beberapa di antaranya adalah munculnya konflik primordialisme, sektarianisme, fanatisme golongan, dan juga munculnya kembali permusuhan atau rivalitas dengan kalangan Alawiyyin (yang terafiliasi secara genealogis dengan Ali bin Abi Thalib ra.). Namun, bagi beberapa kalangan umat Islam yang lebih memilih bersikap apologi, penyebab keruntuhan dinasti Umayyah, dinasti Abbasiyyah, bahkan sampai Utsmaniyyah merupakan sunnatullah yang kemudian mereka bawakan dalil dari al-Qur’an terkait dengan keruntuhan tersebut.[6]

Ada fakta menarik terkait bangkit dan runtuhnya dinasti Abbasiyyah yang akan kita bahas dalam makalah ini, yang tentu bagi para penulis di kalangan umat Islam politik lebih banyak bersikap denial. Jelang kedatangan bangsa Mongol, salah seorang pemimpin dinasti Abbasiyyah yang dijuluki sebagai al-Nashir li Dinillah sempat berkonflik dengan rival politiknya bernama Khawarizm Syah. Konflik tersebut memicu al-Nashir menyurati Jengis Khan yang kafir agar mau menyerang rivalnya yang juga sesama muslim. Jikalau dalam kasus-kasus konflik sebelumnya yang dipanggil adalah sesama umat Islam, untuk menyerang umat Islam lainnya, maka kali ini yang dipanggil adalah bangsa Mongol yang kafir.[7]

B.     Sistematika Penulisan

Dalam berbagai buku rujukan yang kami miliki, sebelum membahas karakteristik peradaban beserta para tokoh di zaman dinasti-dinasti yang sedang dibahas, para penulis memulainya dengan penelusuran asal-usul (al-nasab) para pemimpin dari masing-masing dinasti tersebut. Oleh karenanya, kami mendahulukan untuk membuat penelusuran tentang asal-usul (al-nasab) dari dinasti Abbasiyyah beserta hubungan dan konflik mereka terhadap dinasti Umayyah. Beberapa penulis bahkan tidak ragu menyebut bahwa dinasti Abbasiyyah diperoleh dari hasil pemberontakan-pemberontakan dan perselihan-perselisihan mereka terhadap pemimpin sah dari kalangan dinasti Umayyah. Hal ini tentunya menarik, karena dalam bab tersebut akan dibahas juga mengenai konstelasi politik antara penguasa dinasti Umayyah dengan para tokoh penggagas dinasti Abbasiyyah. Kami berusaha menghindari penyebutan khilafah bagi kedua dinasti tersebut, dikarenakan ada beberapa pandangan yang shahih bahwa kedua dinasti tersebut bukanlah institusi khilafah sebagaimana yang dijalankan oleh para al-khulafa’ al-rasyidin sepeninggal Rasulullah Saw., melainkan kerajaan. Namun, tatkala para penulis sejarah menyebutkan tentang khilafah sebagai institusi negara Islam dari mulai zaman sahabat sampai dengan dinasti Utsmani, bukan berarti membatasi pada bentuk institusi kekhilafahan seperti layaknya khalifah yang empat (al-khulafa’ al-arba’ah) saja, melainkan bisa juga dalam bentuk monarki atau kerajaan (al-mamlakah) yang dipimpin oleh seorang raja–dimana pandangan stereotip masyarakat sang raja mewarisi tahta dari ayah atau saudara mereka.[8] Dan raja pertama dalam Islam dimulai dari Mu’awwiyyah bin Abu Sufyan. Lalu di Bab pamungkas, kami akan memaparkan karakteristik peradaban Islam yang dibangun di masa dinasti Abbasiyyah beserta beberapa tokoh kuncinya. Tidak semua tokoh pemimpinnya kami kutipkan di sini, karena pasti akan memakan banyak lembaran-lembaran makalah dan tidak memiliki urgensi bagi kemajuan peradaban Islam yang dimaksud.[9]

Maka kalau kita rumuskan, makalah ini akan terbagi menjadi beberapa bahasan:

1.      Asal-usul kemunculan dinasti Abbasiyyah.

2.      Karakteristik peradaban dinasti Abbasiyyah beserta para tokoh di zamannya.

3.      Sejarah singkat benturan peradaban Islam dan Yahudi Kristen (Barat).

C.     Tujuan Penulisan

Sebagaimana tujuan dari mempelajari ilmu sejarah pada umumnya, yaitu untuk mengetahui keadaan suatu golongan, negeri-negeri, potret kehidupan, adat-kebiasaan, hasil kebudayaan, garis keturunan, dan bahkan sampai waktu wafat mereka. Baik itu dari kalangan para Nabi, para wali, ulama, pemimpin, raja-raja, sastrawan, dan lain-lain. Kesemuanya ini tentu memiliki manfaat sebagai pelajaran dan nasihat bagi orang-orang setelahnya. Dan hendaknya para pembaca dapat mengambil suatu pelajaran dari apa-apa yang telah dilakukan oleh umat terdahulu, dan memiliki sikap waspada dari segala bahaya yang ada, di samping dapat mengambil contoh terbaik dari umat terdahulu.[10]

 

II. ASAL-USUL DAN NISBATNYA

A.     Asal-Usul (al-Nasab) dan Nisbatnya

Imam al-Mawardi dalam kitabnya al-Ahkam al-Sulthaniyyah menyebutkan tujuh syarat seorang pemimpin–dimana syarat ketujuh adalah asal-usul garis keturunan (al-nasab) dari kalangan Quraisy–berdasarkan dalil-dalil hadits, dimana para ulama bersepakat atas syarat tersebut.[11]

Dan adapun pemegang kepemimpinan, maka syarat yang diakui oleh para ulama ada tujuh… Yang ketujuh adalah nasabnya, yang mengharuskan dari kalangan Quraisy berdasarkan dalil-dalil dari hadits, yang mana para ulama bersepakat atasnya. Dan tidak dianggapnya pendapat yang menyelisihi (syarat mutabar) meskipun manusia membolehkan (selain Quraisy) tersebut. Karena sesungguhnya Abu Bakar ra. menolak pada hari Saqifah di kalangan sahabat Anshar (penduduk asli Madinah) yang membaiat Sa’ad bin ‘Ubadah dengan mendasarkan pendapatnya pada hadits Nabi Saw., “Para pemimpin itu dari Quraisy”. Lantas kaum Anshar tersebut melepaskan baiat dari kepemimpinan yang mereka miliki, dan kembali kepada persatuan umat seraya mengatakan, “Kami memiliki pemimpin, dan kalian memiliki pemimpin. Kami menerima dan membenarkan perintah dari Nabi tersebut”, seraya rela dengan pernyataan “Kami (kalangan Quraisy) adalah pemimpin, sementara kalian adalah para menterinya”. Nabi Muhammad Saw. bersabda, “Utamakanlah orang-orang Quraisy, dan jangan kalian abaikan hak-haknya”.

Al-Abbas bin Abdul Muthallib adalah paman Nabi Muhammad Saw. Garis lengkap keturunannya adalah al-Abbas bin Abdul Muthallib bin Hasyim bin Abdu Manaf. Ia merupakan salah seorang tokoh senior Quraisy baik pada masa jahiliyyah (sebutan bagi zaman sebelum kemunculan Islam di Mekah) maupun pada masa kemunculan Islam. Al-Abbas adalah moyang dari para penguasa dinasti Abbasiyyah. Sebagai salah seorang tokoh senior Quraisy, ia merupakan pejabat dalam melayani kegiatan haji, pembangunan masjid al-Haram, ikut dalam perang Hunain, ikut dalam Fathu Mekah, dan meriwayatkan 35 hadits. Ia juga merupakan seorang tokoh terkemuka dari Bani Hasyim yang cerdas.[12] Selain al-Abbas, Abdul Muthallib memiliki salah seorang anak yang–dari keturunannya kelak–akan membentuk kelompok besar masyarakat Arab yang akan akan mengisi wilayah Maroko sampai Asia Tengah (Transoxania).

Dikarenakan makalah ini menjelaskan tentang asal-usul dari dinasti Abbasiyyah, maka kita akan merinci riwayat al-Abbas bin Abdul Muthallib. Sebagai paman dan tokoh terkemuka di kalangan Quraisy dan Bani Hasyim, al-Abbas merupakan salah seorang yang tulus membantu perjuangan Rasulullah–di samping paman Rasulullah yang lain yaitu Abu Thalib. Ia juga yang menjadi perantara urusan Rasulullah Saw. dan kaum Anshar dengan perkataan yang mengagumkan. Pada malam pembaiatan kaum Anshar, al-Abbas lah yang kembali menegaskan tentang posisi Rasulullah di kalangan keluarga besarnya di Mekah, meskipun ketika Rasulullah menampakkan dakwah Islam mereka menolak dan mengusirnya. Al-Abbas menuntut kesetian kaum Anshar terhadap Rasulullah, dan menanyakan bagaimana cara mereka untuk memushi kaum musyrikin Mekah. Pertanyaan demi pertanyaan terus diajukan oleh al-Abbas untuk memastikan kesetiaan kaum Anshar. Al-Barra’ bin Ma’rur mengatakan, “Kami mendengar perkataanmu. Demi Allah, kalaulah dalam diri kami terdapat pemikiran selain yang kamu utarakan kepada kami, maka tentulah kami akan mengutarakannya. Akan tetapi kami ingin setia, jujur, dan mengorbankan jiwa dan raga kami demi membela Rasulullah”.[13]

Tatkala terjadi perang Badar, banyak kerabat Rasulullah yang menjadi tahanan Anshar. Namun Rasulullah memerintahkan agar jangan membunuh al-Abbas dan anak-anaknya, karena mereka dipaksa keluar dengan terpaksa oleh pihak kaum Quraisy. Dan ada suatu riwayat tatkala seorang Anshar sudah membawa al-Abbas kehadapan Rasulullah, dan seorang Anshar tersebut menyatakan bahwa ialah yang membawa al-Abbas. Namun al-Abbas menyanggahnya bahwa seorang Anshar tadi dibantu oleh Malaikat.[14] Sebelum perang Badar berkecamuk, al-Abbas lah yang memberikan segala informasi kepada Rasulullah dan kaum Muhajirin (masyarakat muslim Mekah yang pindah ke Madinah).

Dan yang menarik, tatkala peristiwa pembebasan kota Mekah (fathu Makkah), al-Abbas lah yang berperan sebagai faktor penyelamat Abu Sufyan. Beberapa hari sebelum kedatangan pasukan kaum muslimin ke Mekah, mereka terlebih dahulu singgah dan bermalam di Murr al-Dzahran. Lantas al-Abbas pergi menaiki baghal (peranakan kuda dengan keledai) berwarna putih milik Rasulullah Saw. Dia pergi guna mencari seseorang yang barangkali mampu menyampaikan pesannya kepada kaum Quraisy agar mereka dapat mengajukan perlindungan atau suaka kepada Rasulullah Saw. Abu Sufyan bersama dua orang sahabatnya biasa keluar untuk mencari informasi kedatangan pasukan kaum muslimin. Dan pada saat itulah al-Abbas bertemu dengan ketiga orang tersebut. Abu Sufyan bertanya kepada al-Abbas mengenai cara menghindari amukan pasukan kaum muslimin tersebut. Lantas mengajak Abu Sufyan untuk bersama-sama menaiki baghal tersebut guna menemui Rasulullah. Tatkala mereka berdua melewati api unggun pasukan kaum muslimin, mereka pun bertanya kepada al-Abbas. Ketika mereka melewati api unggun Umar bin al-Khattab, Umar pun mengenali Abu Sufyan dan mengatakan kepadanya, “Abu Sufyan, musuh Allah? Segala puji bagi Allah yang telah mendatangkanmu tanpa ada perjanjian”. Umar lantas bersegera menemui Rasulullah dan meminta izin kepadanya, “Wahai Rasulullah, ini Abu Sufyan, biarkan aku yang memenggal lehernya”. Namun al-Abbas segera menyanggahnya dan memohon kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, aku telah memberi perlindungan kepadanya”, seraya meminta izin agar jangan ada yang menghampiri dan berbicara dengan Abu Sufyan malam ini kecuali dirinya saja. Namun tentu saja Umar terus memaksa untuk mengeksekusi keinginannya. Dan al-Abbas meyakinkannya dan  membuat perandaian jika Abu Sufyan ini berasal dari kabilah yang sama dengan Umar, yaitu dari Bani ‘Adi bin Ka’ab, dengan keyakinan yang penuh al-Abbas mengira Umar akan membela Abu Sufyan. Namun Umar mengatakan bahwa meskipun ayahnya masuk Islam, namun keislaman al-Abbas lebih ia cintai ketimbang keislaman ayahnya. Hal ini memberikan penegasan bahwa Umar tetap akan bertindak tegas terhadap tawanan kaum musyrikin meskipun ia berasal dari kabilah yang sama atau bahkan keluarganya.[15]

Perdebatan yang berlangsung antara Umar dan al-Abbas pada akhirnya kembali kepada keputusan dan kebijakan Rasulullah. Rasulullah mengizinkan al-Abbas untuk membawa Abu Sufyan dengannya. Hal ini tentu mengindikasikan bahwasanya Rasulullah amat menghormati perlindungan dari seorang muslim terhadap karib-kerabatnya. Rasulullah juga masih tetap menaruh harapan kepada kaum Quraisy dan menginginkan keislaman mereka. Rasulullah pun mengantisipasi jikalau tawanan yang sudah memperoleh perlindungan tersebut mendapat amarah pasukan kaum muslimin.

Keesokan harinya, terjadi pertemuan antara Rasulullah Saw., al-Abbas, dan Abu Sufyan. Rasulullah mengajak Abu Sufyan masuk Islam, namun tampaknya Abu Sufyan masih memiliki ganjalan. Al-Abbas pun memaksa Abu Sufyan agar mau masuk Islam, sehingga Rasulullah tidak memenggal lehernya. Al-Abbas juga mengatakan tentang karakter Abu Sufyan yang suka dipuji dan dihormati. Sehingga membuat Rasulullah membuat kebijaksanaan bahwa barangsiapa di antara kaum Quraisy yang masuk ke rumah Abu Sufyan, maka ia aman.

Itulah sekilas tentang kuatnya hubungan, kedekatan dan kasih sayang yang terjalin antara pemimpin klan atau keturunan Bani Hasyim dan Bani Umayyah tersebut. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu Ishaq, bahwasanya al-Abbas mengharapkan agar Rasulullah Saw. tidak menduduki Mekah dengan kekerasan. Apa yang ia harapkan terwujud dengan terjadinya pertemuan antara dirinya dengan Abu Sufyan.[16]

Adapun mengenai ide-ide tentang pemindahan tampuk kekuasaan kepada dinasti Abbasiyyah, dimulai sejak zaman Ali bin Abdullah bin al-Abbas. Dari keturunannya akan tersebar para pemimpin dari Bani Abbas, dengan al-Saffah[17] sebagai pemimpin pertama dinasti Abbasiyyah. Mereka juga menjadikan wilayah Kufah (Irak) dan Khurasan (Afganistan)–yang sebelumnya merupakan bagian dari kekuasaan Persia–sebagai basis aktifitas mereka. Di tempat itu pula banyak tersebar para pendukung Ali bin Abi Thalib, kelompok Syiah,[18] dan kaum zindiq.[19] Dan di Kufah lah Abu al-Abbas al-Saffah dibaiat sebagai pemimpin pertama, sekaligus menjadi pusat pemerintahan dinasti Abbasiyyah yang pertama.

B.     Hubungan dengan Dinasti Sebelumnya

Bani abbasiyah menggantikan Dinasti Umayyah pada abad ke-8 Masehi. Perubahan ini menciptakan pergeseran kekuasaan di dunia islam, juga melibatkan kontinuitas dalam warisann budaya dan administratif.

Hubungan yang terjalin antara dinasti Abbasiyyah dengan dinasti Umayyah, tidaklah semulus hubungan kekerabatan antara al-Abbas (selaku tokoh Bani Hasyim) dengan Abu Sufyan (selaku tokoh Bani Umayyah). Jalinan kekerabatan mereka berdua bertemu di titik Abdu Manaf. Adapun hubungan para tokoh penggagas dinasti Abbasiyyah dengan para pemimpin dinasti Umayyah, bukan lagi hubungan kekerabatan yang hangat. Status para pemimpin dinasti Umayyah adalah pemimpin yang sah bagi kaum muslimin. Sementara para tokoh penggagas dinasti Abbasiyyah adalah pemberontak.

Revolusi–jika tidak ingin dikatakan sebagai pemberontakan–yang dilakukan Bani Abbas sudah direncanakan secara matang dan berkesinambungan. Revolusi yang dilakukan Bani Abbas dibangun berdasarkan propaganda kelompok Syiah pendukung utama keturunan Ali bin Abi Thalib, bernama Muhammad bin Ali bin Abi Thalib (Muhammad bin al-Hanafiyyah). Kelompok ini juga disebut sebagai Alawiyyun.[20]

Sikap koeksistensi antara kelompok Syiah dengan Bani Abbas menghasilkan suatu hubungan–mengikuti apa yang dikatakan Muhammad Abduh saling membantu dalam menumbangkan kekusaan dinasti Umayyah, dan memaksa penguasa dinasti Abbasiyyah untuk memberikan jabatan bagi orang-orang Persia–yang kelak membuat opini umum bagi masyarakat Kufah dan Khurasan bahwa mereka bercita-cita mendirikan sebuah negara yang dipimpin oleh Ahlu Bait dan mendukung kesetaraan antara warganya, yang selama ini merasa diperlakukan sebagai hamba sahaya oleh dinasti Umayyah yang memiliki sikap chauvinisme terhadap ras Arab.[21]

Hal yang juga menarik dari sikap Bani Abbas–yang juga tergolong sebagai ras Arab sebagaimana Bani Umayyah, tatkala Ibrahim[22] bin Muhammad bin Ali memberikan kepercayaan kepada salah seorang tokoh Khurasan dalam memegang komando propaganda sehingga membawa revolusi tersebut kepada kesuksesan dan tampuk kekuasaan bagi saudaranya, al-Saffah. Ia pintar dalam mengatur strategi dan berpolitik, disamping mengetahui karakteristik suatu masyarakat yang akan menjadi cikal bakal pengikutnya. Orang-orang Khurasan tentu akan lebih bersemangat tatkala dipimpin oleh sesame mereka. Tokoh tersebut bernama Abu Muslim al-Khurasani, yang pada akhirnya dapat menguasai Khurasan.[23] Namun naas, di saat kepemimpinan Abu Ja’far al-Manshur ia pun dibunuh, dikarenakan kekhawatiran atas pamor dan popularitas Abu Muslim al-Khurasani yang kelak akan mendirikan pemerintahan otonom di Khurasan dan mencabut dukungan atasnya.

  

III. KARAKTERISTIK PERADABAN ABBASIYYAH

A.     Definisi Peradaban

Barat versus Islam

Berbicara mengenai peradaban, tentu tidak terlepas dari kualitas manusia dan segala pemikirannya. Jadi bukan sekedar bentuk bangunan fisik dan artefak yang ditinggalkan.

Cak Nur (sebutan untuk Nurcholish Madjid), dalam bukunya Islam Doktrin dan Peradaban membuat sebuah sub judul mengenai Iman dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan (Sebuah Tinjauan Historis Singkat). Ia mengajukan sebuah pertanyaan terkait pertautan antara iman dan ilmu, apakah dapat berwujud dalam realitas kehidupan manusia–terutama umat Islam? Dan apakah iman dan ilmu memiliki korelasi? Dalam pandangan beberapa orang, saat ini peradaban Islam tengah berada pada fase kemunduran dan kekalahan total dari dominasi peradaban Yahudi-Kristen (Barat). Peradaban Islam dikatakan tidak memiliki kontribusi apapun dalam pengembangan ilmu pengetahuan global. Untuk memberikan jawaban atas hal ini, Cak Nur terpaksa menengok ke masa lalu dengan memberikan alasan bahwa sejarah amat penting untuk diambil sebagai sebuah pelajaran karena itu merupakan perintah Tuhan. Ia membawakan surat Ali Imran ayat ke 137.[24]

Sebelum ia mengutip berbagai pandangan para orientalis Barat, ia menjadikan ayat 134 di surat al-Baqarah yang berisikan tentang sifat wasathiyyah (pertengahan) Islam, dan kemudian ia berikan kesimpulan mengenai letak geografis dari pusat episentrum peradaban Islam yaitu di Timur Tengah, yang menjadi penghubung antara peradaban Timur dan Barat. Lalu ia mengutip beberapa perkataan orientalis bahwasanya sifat open religion (keterbukaan) dan inner dynamics (dinamisnya) agama Islam, yang menjadikan agama ini dapat memberikan kontribusi bagi kehidupan spiritual umat manusia, yang juga dapat bermanfaat bagi semua orang. Inilah yang menjadi kesimpulan bagi Madjid, bahwasanya nilai-nilai keimanan dalam Islam sama menjadikan seorang muslim “klasik” memiliki pandangan yang positif terhadap bangsa lain, sehingga dapat memanfaatkan warisan peradaban bangsa lain tanpa sedikit pun meremehkan atau menghinakannya, selama itu tidak bertentangan dengan ajaran Tuhan. Dari nilai-nilai keimanan inilah, yang pada akhirnya menjadikan para pemimpin-pemimpin Islam klasik mengumpulkan segala ilmu pengetahuan dari mulai ilmu kedokteran, fisika, astronomi, matematika, dan filsafat Yunani; ilmu sastra dari Persia; serta ilmu matematika dan astronomi dari Hindu, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Sikap terbuka dan positif terhadap peradaban bangsa-bangsa lain inilah yang menjadikan peradaban Islam menyatukan khazanah keilmuan bersama secara internasional dan kosmopolitan. Artinya Islam menghimpun berbagai ilmu pengetahuan–yang tadinya hanya memiliki semangat nasionalistik, tertutup dan terbatas–menjadi tersebar ke seluruh penjuru dunia, terbuka, dan dapat dimanfaatkan oleh seluruh manusia.[25]

Kemudian Madjid banyak sekali mengutip para penulis dan intelektual Barat yang mengomentari peradaban Islam klasik secara positif dan apresiatif.[26] Tatkala Barat menyebutkan peradaban Arab, maka hal tersebut tertuju kepada Islam, karena agama Islamlah yang memberikan roh dan jiwa bagi bangsa Arab. Umat Islam klasik yang dimaksud oleh Madjid tentu merujuk pada fakta sejarah kehidupan umat Islam masa lalu, yang terpaksa ia ungkapkan pada paragraf di atas. Umat Islam klasik ia fokuskan pada peradaban dinasti Abbasiyyah, terutama di zaman kepemimpinan Harun al-Rasyid dan puteranya, al-Makmun sebagai mercusuar ilmu dan pemimpin peradaban dunia pada saat itu.[27] Di mana Barat yang Kristen masih dalam abad kegelapan sampai tahun 1000 Masehi dan harus menyandarkan dirinya kepada ilmu pengetahuan Islam. Kontak yang terjalin dengan dunia Islam menjadikan Eropa mulai mengenal ilmu pengetahuan secara luas sehingga pada abad kesebelas mereka mulai tergerak secara intelektual dalam paham Skolatisisme dan kemudian menuju pada abad Renaissance, yang merupakan titik tolak zaman modern bagi Barat.[28]

Lalu terkait dengan nilai-nilai Islam dan keindonesiaan, maka dalam membicarakan mengenai pengaruh Islam di Nusantara dan peradaban Melayu, Tiar Anwar Bachtiar mengutip ucapan Syed Muhammad Naquib al-Attas yang menolak anggapan kalangan orientalis bahwasanya proses islamisasi di Nusantara dan kebudayaan Melayu hanya berperan di permukaan saja, hanya menjadi pelitur–yang kalau digosok akan nampak isinya berupa kebudayaan Hindu-Budha. Al-Attas berusaha melihat proses islamisasi dari sisi pemikiran dan falsafah, yang pada akhirnya membawa masyarakat Nusantara dan Melayu mulai meninggalkan dunia mistis dan klenik menuju kepada dunia ilmu yang rasional, serta mengajarkan kepada mereka bagaimana memperlakukan alam ini.[29]

Al-Attas juga membawakan  beberapa contoh implikasi dari proses islamisasi terhadap dunia Eropa, yang mencapai kemodernan karena sebab interaksi dengan umat Islam–yang mengajarkan kepada mereka tentang cari berpikir ilmiah dan rasional. Tentang hal ini, akan kami bawakan beberapa bukti persentuhan dunia Eropa dengan dunia Islam di zaman kepemimpinan dinasti Abbasiyyah, terutama di zaman Harun al-Rasyid dan al-Makmun.

Definisi dan tafsir tentang peradaban nampaknya perlu kita satukan dalam perspektif yang sama. Sikap inferiority complex yang menjangkit sebagian besar umat Islam memaksa mereka untuk melihat peradaban Barat post-modern sebagai suatu peradaban yang superior dan tak tertandingi. Mengutip ucapan penasihat politik Amerika Serikat, sekaligus penulis buku The Clash of Civilizations, Samuel P. Huntington mengatakan, “Islam is the only civilization which has put the survival of the West in doubt, and it has done at least twice”.[30]

Perseteruan peradaban antara Islam dan Barat sudah dimulai sejak awal mula kemunculan peradaban Islam di kota Madinah, di mana Rasulullah pernah menyurati kekaisaran Romawi yang saat itu menganut agama Kristen. Apa yang dikatakan oleh Huntington setidaknya semakin meyakinkan kita, bahwa peradaban Barat–yang diragukan oleh Islam–sejatinya tidak membawa pengaruh positif bagi kehidupan manusia. Al-Attas membuat anggapan bahwa peradaban Barat adalah satu-satunya peradaban yang membawa umat manusia, makhluk hidup lainnya, dan bahkan bahan mineral masuk dalam bahaya. Karena konsep keilmuan Barat menganut sekularisme, yang memisahkan ilmu dari nilai-nilai agama. Sehingga ilmu dan pemikiran manusia berkembang menjadi liar. Meskipun jalan yang ditempuh Barat itu pada awalnya logis, karena Barat mengalami kondisi traumatis terhadap pengaruh dogma-dogma Gereja.[31]

Sikap skeptis terhadap peradaban Barat bukanlah bentuk apologi umat Islam yang saat ini mengalami kemunduran. Bahkan jauh-jauh hari Nietzsche mengatakan bahwa peradaban Barat berada di pinggir jurang kehancuran. Di abad berikutnya, Fritjof Capra juga mengatakan bahwa peradaban Barat telah hancur karena terlalu mendewakan rasio.[32] Lebih lanjut Capra membuat sebuah buku berjudul The Turning Point, berisi kritik terhadap dua negara adidaya Amerika Serikat dan Rusia terkait dengan proyek-proyek ambisius senjata nuklir mereka. Di sisi lain, belasan juta melayang dikarenakan negara-negara berkembang pun lebih mementingkan proyek persenjataan ketimbang kesehatan. “Penyakit peradaban”, begitu ia menyebutnya, juga menjangkit di negara ketiga.[33]

Peradaban Islam Mengangkat Derajat Manusia

Nabi Muhammad SAW., diserahi kewadjiban dan pekerjaan memperbaiki keadaan umumnja ummat manusia, jang sudah djatuh kedalam kerendahan deradjat jang serendah-rendahnja. Tetapi rochnja jang besar dan hatinja jang kuat tidaklah memberi kesempatan kepada hatinja akan gontjang sedikitpun djuga, meskipun njata-njata pertanggungan dan pekerdjaannja maha berat.

Nabi Muhammad SAW., menemui orang-orang ummi (bangsa Arab pada umumnja dan lain-lain ummat djuga) dan penduduk lain-lain bahagian dunia didalam ketjemaran dan kerusakan budi-pekerti; kepada mereka itu (orang-orang ummi) Nabi Muhammad Çlm. menambahkan kepertjajaan kepada Allah Jang Esa. Ia mendapati mereka itu didalam perpetjahaan kebangsaan dan senantiasa didalam peperangan diantara satu dengan lain; ia mempersatukan mereka itu mendjadi suatu ummat jang bersatu dengan tali-ikatan lahir, jaitu keperluan kebangsaan dan kemanusiaan, dan tali-ikatan batin, jaitu kepertjajaan, rasa persaudaraan dan budi kedermawanan. Semendjak masa jang tidak teringat lagi didalam riwajat, segenap djazirah adalah diselimuti didalam kedjahilan. Apa-apa jang pada mulanja berupa kerusakan budi-pekerti, penindasan si-lemah oleh si-kuat dan perlanggaran hukum kemanusiaan dan hukum ke-Tuhan-an, didalam waktu beberapa tahun sadja oleh Nabi Muhammad Çlm. telah diubah mendjadi suatu taman kemuliaan dan taman keutamaan. Penjembahan berhala jang sudah berabad-abad lamanja, beserta dengan kehidupan jang tjemar, hanja melulu menudju kepada peri-kebendaan dan keduniaan sadja, didalam suatu masa jang pendek sekali didalam hitungan riwajat, oleh Nabi Muhammad Çlm. diubah mendjadi Tauhid besarta dengan kehidupan dunia jang menudju kemuliaan, sebagai benih jang akan menimbulkan kehidupan achirat jang lebih tinggi dan lebih sutji; sementara itu didunia dilakukan kedermawanan, kebadjikan, keadilan dan ketjintaan terhadap kepada sesama manusia. Kebangunan dan pergerakan jang baru itu, Nabi Muhammad Çlm. jang mendjadi sumbernja, dengan petundjuk dan pertolongan Ilahi. Kebenaran-kebenaran, adjaran-adjaran dan ketentuan-ketentuan, jang dinjatakan oleh Nabi Muhammad Çlm. selama dua puluh tahun, sudah tertanamlah didalam otak-benak dan masuk didalam hati-sanubari pengikut-pengikutnja, dan pada zaman sekarang ini, telah diakui djuga mendjadi asas-asas oleh tiap-tiap ummat dan bangsa jang beradab dan sopan. Wet dipersatukannja dengan keutamaan budi-perkerti![34]

B.     Karakteristik Peradaban Abbasiyyah, Tokoh, dan Gagasannya.

Karakteristik Peradaban Abbasiyyah

Para tokoh penggagas dinasti Abbasiyyah sudah memiliki perencanaan yang matang sebelum melakukan revolusi. Mereka menyerukan dan menganjurkan para propagandisnya untuk bersikap loyal terhadap Ahlul Bait. Di samping itu, mereka memajukan konflik primordial, sektarian, dan rasialisme dalam menumbangkan dinasti Umayyah. Revolusi yang dilancarkan Bani Abbas dibangun atas propaganda dan dukungan kelompok Syiah. Meskipun di awal mendasari prinsip-prinsipnya pada Syi’ah, namun ketika mereka sukses mencapai tampuk kekuasaan, mereka meninggalkan paham Syi’ah dan pada perkembangan berikutnya mencerminkan madzhab Sunni.[35]

Akulturasi budaya Arab, Persia, Turki, dan Transoxania (Asia Tengah) tentunya tidak terhindarkan. Pada masa ini juga terjadi penerjemahan buku-buku filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab yang didukung oleh al-Manshur, al-Rasyid, dan al-Makmun. Pada zaman tersebut berdiri Bait al-Hikmah (house of wisdom) sebagai pusat pengembangan filsafat dan sains. Para pemimpin dinasti Abbasiyyah, terutama Harun al-Rasyid dan al-Makmun memang pecinta ilmu.

Tokoh-Tokoh dan Gagasan-Gagasannya

1.       Al-Manshur

Nama lengkapnya Abu Ja’far Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin al-Abbas. Lahir pada tahun 101 H di kota Hamimah. Ia adalah pemimpin kedua dinasti Abbasiyyah. Salah satu gagasannya adalah memindahkan ibukota pemerintahan dari Anbar ke Hasyimiyyah. Ia menetap di sana, sampai menjelang ide pembangunan ibukota di Baghdad, yang akan menjadi ikon kebanggaan dan kebesaran dinasti Abbasiyyah. Konstruksi kota Baghdad yang membentuk melingkar, dengan masjid Agung di tengah kota menghabiskan dana mencapai delapan belas juta dinar. Al-Manshur mengisi kota tersebut dengan para ulama dari seluruh penjur negeri dan daerah. Kota tersebut sangat dikagumi bentuk arsitekturnya sehingga dijuluki sebagai Ummu al-Dunya (pusat dunia).[36]

2.      Harun al-Rasyid

Nama lengkapnya Harun al-Rasyid bin Muhammad al-Mahdi. Lahir pada tahun 145 H di kota Rayy. Ia adalah pemimpin kelima dinasti Abbasiyyah. Di masanya inilah dinasti Abbasiyyah mencapai puncak kejayaan dan kemakmuran. Baik dari segi ilmu pengetahuan, sastra, militer, dan ekonomi. Beberapa gagasannya adalah melakukan ekspansi militer ke wilayah Romawi Timur, yang saat itu dipimpin oleh Irene. Di tengah kecamuk peperangan, pada akhirnya Irene melakukan gencatan senjata dengan membayar kompensasi upeti kepada dinasti Abbasiyyah. Hal itu terpaksa dilakukan karena pasukan Abbasiyyah terus melakukan serangan terhadap kekaisarannya, sementara di sisi lain mereka pun di serang Charlemagne.

Ketidakcakapan Irene berbuah pemakzulan atasnya. Lantas kekaisaran Romawi Timur digantikan oleh Naqfur, yang berani mengirimkan surat ancaman kepada Harun al-Rasyid. Ia pun naik pitam setelah membaca surat tersebut, dan mengirimkan surat balasan berisi ancaman tegas, “Bismillah ar-Rahman ar-Rahim, dari Harun pemimpin Amir al-Mu’minin kepada Naqfur anjing Romawi. Aku telah membaca suratmu dan jawabannya akan segera kamu saksikan tanpa harus kamu dengar. Wassalam”. Naqfur yang diserang pasukan Abbasiyyah pun pada akhirnya menyerah, dan kembali membayar pajak dan upeti kepada dinasti Abbasiyyah.

Bentuk kebijakan politik lainnya adalah menjalin kerjasama dengan bangsa Eropa yang saat itu dipimpin Charlemagne. Charlemagne mendapat persetujuan untuk menyerang dinasti Umayyah di Andalusia. Cordova Andalusia yang dikuasai oleh dinasti Umayyah, dan Baghdad yang dikuasi dinasti Abbasiyyah, merupakan mercusuar ilmu pengetahuan kala itu, di saat Eropa mengalami abad kegelapan (dark ages). Karenanya, Charlemagne berupaya mereformasi aturan perundang-undangan pemerintahannya dengan mengacu kepada pemerintahan yang dipegang Harun al-Rasyid.

Baghdad saat itu menjadi pusat pendidikan Islam terkemuka. Di sana terdapat para pakar hadits, fiqih, ahli bacaan al-Qur’an, pakar bahasa dan sastra Arab. Ilmu kedokteran, filsafat, arsitektur, dan industri ada di sana. Banyak orang Eropa yang setelah menimba ilmu di sana, lalu kembali ke negeri asalnya.

3.      Al-Makmun

Nama lengkapnya Abdullah al-Makmun bin Harun al-Rasyid bin Muhammad al-Mahdi. Lahir pada tahun 170 H. Dia adalah pemimpin keenam dinasti Abbasiyyah. Di masanya, dinasti Abbasiyyah mencapai puncak kejayaan ilmu pengetahuan. Hal itu dikarenakan ia sendiri merupakan orang yang menghabiskan sebagian waktunya untuk ilmu pengetahuan. Ilmu yang tersebar saat itu bukan hanya ilmu agama dan sastra Arab, melainkan juga ilmu-ilmu pengetahuan umum dan logika.

Selain Baghdad, ada pula Bashrah yang lebih dahulu menjadi pusat penyebaran ilmu keislaman dan terdapat banyak ulama terkenal seperti al-Hasan al-Bashri. Konflik yang terjadi antara al-Hasan al-Bashri dengan muridnya, Washil bin Atha’ mencapai puncaknya sehingga membentuk kelompok Mu’tazilah, yang mendasarkan pemahaman mereka kepada akal dan logika semata. Puncak dari semua ini adalah munculnya sebuah anggapan bahwa al-Qur’an adalah makhluk (fitnah khalq al-Qur’an). Di zaman al-Makmun, banyak ulama Ahlus Sunnah yang dihukum karena tidak mau mengikuti keyakinan yang dianut pemerintah saat itu. Salah satu ulama yang mendapatkan hukuman tersebut adalah Ahmad bin Hanbal. Tidak hanya sampai di situ, sebelum al-Makmun wafat, ia mewasiatkan kepada al-Mu’tashim untuk meneruskan keyakinan ambisiusnya. Imam Ahmad dihadapkan kepada al-Mu’tashim, dan disodorkan pertanyaan mengenai kemakhlukan al-Qur’an. Namun Imam Ahmad tetap bergeming dengan keyakinannya.

  

PENUTUP

A.     Kesimpulan

Istilah khilafah, imamah, dan mamlakah bukanlah hal yang substantif untuk diperdebatkan. Namun yang pasti, kebutuhan umat akan penjagaan terhadap agama dan kehidupan dunianya tidaklah mungkin tercapai dengan sempurna tanpa ada pemimpin yang  memberikan perhatian secara penuh terhadap aturan-aturan agama Islam. Dalam hal ini, mungkin tepat jika kita mengacu kepada kaidah fiqih yang berbunyi, “La yatimmu al-wajib illa bihi fahuwa wajib”, tidak sempurnyanya suatu kewajiban kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib. Pelaksanaan ibadah, penjagaan terhadap kehormataan agama, penyebaran dakwah Nabi, dan lain sebagainya, tentu membutuhkan sokongan para pemangku jabatan yang memang peduli terhadap keberlangsungan agama Islam.

Peradaban yang dibangun oleh dinasti Abbasiyyah, sudah cukup merepresentasikan peradaban Islam dan cukup pula melindungi keberlangsungan agama dan kehidupan dunia. Meski banyak catatan dan kritik, yang tentu berlandaskan aspek teologis. Setidaknya, dakwah Islam pada saat itu tersebar luas bahkan sampai ke Nusantara ini. 

B.     Saran

Sejarah merupakan bahan refleksi. Menjadi ibrah atau pelajaran bagi generasi setelahnya, agar tak salah dalam melangkah dan masuk ke lubang yang sama. Namun, pengertian sejarah saat ini bukan lagi sekedar history, namun bergeser menjadi his story, ceritanya. Tak usahlah risau dengan catatan sejarah kita kelak. Sejarah hanya sekedar persepsi, soal ruang dan waktu. Tergantung pihak mana yang menulisnya. Mungkin kelak kita dituliskan dengan tinta emas sebagai pahlawan yang berjasa. Namun bisa jadi kita ditulis dengan tinta muram. Karenanya, buatlah sejarah.[37]


DAFTAR PUSTAKA 

Abduh, Muhammad. 1976. Risalah Tauhid. Jakarta, Bulan Bintang.

Abdul Lathif, Abdussyafi Muhammad. 2023. Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Bani Umayyah. Jakarta, Pustaka Al-Kautsar.

Al-Khudari, Muhammad. 2016. Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Bani Abbasiyah. Jakarta, Pustaka Al-Kautsar.

Al-Mawardi, Abu Hasan. 2014. Al-Ahkam al-Sulthaniyyah. Kairo, Syirkah al-Quds.

Al-Mubarakfuri, Shafiyyurrahman. 2001. Perjalanan Hidup Rasul yang Agung. Jakarta, Kantor Atase Agama Saudi Arabia.

Al-Suyuthi, Jalal al-Din. 2019. Tarikh al-Khulafa’. Kairo, Maktabah al-Tibyan.

Bachtiar, Tiar Anwar. 2018. Jas Mewah. Yogyakarta, Pro-U Media.

Bachtiar, Tiar Anwar. 2021. Rasional Tanpa Menjadi Liberal. Jakarta, INSISTS.

Capra, Fritjof. 2019. The Turning Point (Titik Balik Peradaban). Yogyakarta, Mata Bangsa.

Husaini, Adian. 2005. Wajah Peradaban Barat. Jakarta, Gema Insani.

Madjid, Nurcholish. 1992. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina.

Pandawa, Nicko. 2021. Khilafah dan Ketakutan Penjajah Belanda. Bogor, Komunitas Literasi Islam.

Tafsir, Ahmad. 2021. Filsafat Umum. Bandung, Rosda.

Tjokroaminoto, H.O.S. 1955. Tarich Agama Islam. Jakarta, Bulan Bintang.


 


[1] https://islamqa.info Judul artikel شرح حديث: تكون نبوة فيكم ما شاء الله أن تكون. Diakses pada tanggal 17 September 2023 pukul 23.10 WIB.

[2] Ibid. Hadits tersebut menjelaskan perihal keadaan umat Islam dari zaman kenabian sampai dengan akhir zaman. Pertama, zaman kenabian (nubuwwah) terjadi dari mulainya kepemimpinan Nabi Muhammad Saw. sampai dengan wafatnya. Kedua, periode kepemimpinan yang berada di jalan kenabian yang tetap berpegang teguh kepada perintah-perintah Allah dan menjalankan syariat dan hukum-hukum Islam. Periode ini berlangsung selama 30 tahun menurut pendapat yang valid. Mereka dijuluki sebagai para pemimpin yang mendapat petunjuk (al-Khulafa’ al-Rasyidin). Ketiga, periode pemimpin yang memperlakukan rakyatnya dengan kejam dan zalim (mulkan ‘adhan). Periode ini dimulai dari zaman al-Hajjaj. Keempat, periode kepemimpinan yang melampaui batas-batas kemanusiaan, diktator dan otoriter (mulkan jabriyyan). Kelima, kembali pada periode kepemimpinan yang mengikuti jalan Nabi. Ditandai dengan kemunculan al-Mahdi dan nuzul-nya Nabi Isa As.

[3] Lihat Nicko Pandawa, Khilafah dan Ketakutan Penjajah Belanda, Komunitas Literasi Islam [Bogor, 2021], hal. 29-44. Sangat menarik menyimak uraian dalam buku hasil penelitian skripsi tersebut, yang menurut Moeflich H. Hart (Dosen Sejarah Senior di UIN Sunan Gunung Djati Bandung) bercita rasa disertasi. Penulis mengajak untuk melakukan identifikasi terkait pemerintahan seperti apa yang layak disebut sebagai khilafah. Dalam hal ini, penulis ingin memberikan justifikasi terkait keabsahan dinasti Utsmaniyyah sebagai institusi khilafah, yang memiliki tugas untuk menjaga agama dan aturan hidup di dunia (li hirasati al-din wa siyasati al-dunya), serta menjadi kepemimpinan umum bagi umat Islam di seluruh dunia yang sanggup menegakkan syariat Islam.

[4] Muhammad al-Khudari, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Bani Abbasiyah, Pustaka Al-Kautsar [Jakarta, 2016], hal. xv.

[5] Ibid., hal. 793-823

[6] Allah Ta’ala berfirman,

وَتِلْكَ الْأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللهُ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا وَيَتَّخِذَ مِنْكُمْ شُهَدَاءَ. وَاللهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِيْنَ

“Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran), dan agar Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir), dan agar sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang zalim.” (QS. Alu Imran: 140).

[7] Op.cit., hal. 759

[8] Perdebatan mengenai siapa yang layak disebut khalifah dan raja tidak akan dibahas lebih rinci dalam makalah ini. Namun beberapa ulama sepakat bahwa yang dimaksud sebagai khulafa’ ala minhaj al-nubuwwah atau khulafa’ al-rasyidin adalah keempat sahabat yang utama, ditambah dengan al-Hasan bin Ali. Nicko Pandawa, Khilafah dan Ketakutan Penjajah Belanda, Komunitas Literasi Islam [Bogor, 2021], hal. 32. Beberapa ulama seperti Ibnu al-Jauzi dan al-Hasan al-Bashri menyebutkan tentang Umar bin Abdul Aziz–yang menjadi pemimpin setelah berlalunya kezaliman al-Hajjaj, bahwa ia dikecualikan dari kriteria pemimpin mulkan ‘adhan dan mulkan jabriyyan. https://islamqa.info Judul artikel شرح حديث: تكون نبوة فيكم ما شاء الله أن تكون. Diakses pada tanggal 19 September 2023 pukul 09.29 WIB. Al-Suyuthi menyebutkan ucapan ulama terkait hadits tentang periode khilafah selama 30 tahun, “Para pemimpin yang empat dan beberapa hari masa kepemimpinan al-Hasan adalah yang dimaksud dengan periode khilafah selama 30 tahun tersebut, yang terjadi setelah wafatnya Nabi Saw.”. Jalal al-Din al-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa’, Maktabah al-Tibyan [Kairo, 2019], hal. 37.

[9] Lihat Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Rosda [Bandung, 2021], hal. 238. Dalam berbagai penulisan sejarah atau bahkan mengenai filsafat Timur (Islam), tokoh-tokoh pemimpin Dinasti Abbasiyyah yang sering disebut-sebut dan berkontribusi penuh dalam ilmu pengetahuan Barat adalah al-Manshur, Harun al-Rasyid, dan al-Makmun. Mereka menginisiasi penerjemahan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab. Dan kemudian berdirilah lembaga pendidikan bernama Bait al-Hikmah (house of wisdom).

[10] Jalal al-Din al-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa’, Maktabah al-Tibyan [Kairo, 2019], hal. 6.

[11] Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, Syirkah al-Quds [Kairo, 2014], hal. 32-33.

[12] Muhammad al-Khudari, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Bani Abbasiyah, Pustaka Al-Kautsar [Jakarta, 2016], hal. 1.

[13] Ibid., hal. 2-3.

[14] Ibid., hal. 3; Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Perjalanan Hidup Rasul yang Agung, Kantor Atase Agama Kerajaan Saudi Arabia [Jakarta, 2001], hal. 319; https://shamela.ws/book/97932/111 Diakses pada tanggal 20 September pukul 11.42 WIB.

[15] Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Perjalanan Hidup Rasul yang Agung, Kantor Atase Agama Kerajaan Saudi Arabia [Jakarta, 2001], hal. 594-596.

[16] Abdussyafi Muhammad Abdul Lathif, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Bani Umayyah, Pustaka Al-Kautsar [Jakarta, 2023], hal. 17.

[17] Namanya adalah Abu al-Abbas Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin al-Abbas, dari seorang ibu bernama Rithah binti Ubaidillah. Lahir pada tahun 40 H di Hamimah.

[18] Muhammad al-Khudari, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Bani Abbasiyah, Pustaka Al-Kautsar [Jakarta, 2016], hal. 14-16.

[19] Muhammad Abduh, dalam bukunya berjudul Risalah Tauhid menyebutkan tentang hubungan antara bangsa Persia dengan dinasti Abbasiyyah, yang menurutnya memiliki peranan penting dalam membantu Bani Abbasiyyah menumbangkan kekuasaan terakhir dinasti Umayyah. Karenanya, dinasti Abbasiyyah menyediakan jabatan-jabatan tinggi bagi orang-orang Persia yang di antaranya sebagai menteri dan wakil menteri, meskipun kebanyakan dari mereka bodoh dalam masalah agama, bahkan tidak menganut agama sama sekali. Dengan kesempatan dan kepercayaan yang diberikan oleh dinasti Abbasiyyah itulah, mereka menyebarkan berbagai macam buah pikiran mereka dan melahirkan kekafiran dan banyak munculnya tokoh-tokoh zindiq. Lihat Muhammad Abduh, Risalah Tauhid,  Bulan Bintang [Jakarta, 1976], hal. 46.

[20] Lihat halaman 2; Abdussyafi Muhammad Abdul Lathif, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Bani Umayyah, Pustaka Al-Kautsar [Jakarta, 2023], hal. 656.

[21] Abdussyafi Muhammad Abdul Lathif, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Bani Umayyah, Pustaka Al-Kautsar [Jakarta, 2023], hal. 659; Muhammad al-Khudari, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Bani Abbasiyah, Pustaka Al-Kautsar [Jakarta, 2016], hal. 16.

[22] Ia merupakan saudara kandung dari Abu al-Abbas Abdullah bin Muhammad bin Ali al-Saffah.

[23] Abdussyafi Muhammad Abdul Lathif, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Bani Umayyah, Pustaka Al-Kautsar [Jakarta, 2023], hal. 661.

[24] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Yayasan Wakaf Paramadina [Jakarta, 1992], hal. 131-132.

[25] Ibid., hal. 134-135.

[26] In science, the Arabs outdistanced the Greeks. Greek civilization was, in essence, a lush garden full of beautiful flowers that bore little fruit. It was a civilization rich inphilosophy and literature, but poor in techniques and technology. Thus it was the historic task of the Arabs and the Islamic Jews to break through this Greek scientific cul-de-sac, to stumble upon new paths of science to invent the concepts of zero, the minus sign, irrational numbers, to lay the foundations for the new science of chemistry ideas which paved the path to the modern scientific world via the minds of post-Renaissance European intellectuals.

(Dalam science, orang-orang Arab jauh meninggalkan orang-orang Yunani. Peradaban Yunani itu, pada esensinya, adalah sebuah kebon yang subur penuh dengan bunga-bunga indah yang tidak banyak berbuah. Ia adalah peradaban yang kaya dengan filsafat dan sastra, tapi miskin dalam teknik dan teknologi, karena itu, adalah usaha bersejarah orang-orang Arab dan Yahudi Islam untuk memecahkan tabung buntu ilmu-pengetahuan Yunani itu, guna merintis jalan-jalan baru science menemukan konsep nol, rumus minus, angka irasional, dan meletakkan dasar-dasar untuk ilmu kimia baru-yaitu ide-ide yang meratakan jalan bagi dunia ilmu pengetahuan modern melalui pikiran para intelektual Eropa pasca Renaissance). [Max Isaac Dimont, Sejarawan Yahudi Amerika, dalam buku The Indestructible Jews].

 

They improved algebra, inveted trigonometry, and built astronomical observatories. They invented the lens and founded the study ofoptics, maintaining that light rays issue from the object seen rather than from the eye. In the tenth century Alhazen discovered a number of optical laws, for example, that a light ray takes the quickest and easiest path, a fore runner of Format's “least action” principle. The Arabs also extended alchemy, improving and inventing a wealth of techniques and instruments, such as the alembic, used to distill perfumes. In the eight century the physician al-Razi laid the foundations of chemistry by organizing alchemical knowledge and denying its arcane significance. Inventor of animal-vegetable-mineral classification, he categorized a host of substances and chemical operations, some of which, such as distillation and crystallization, are used today.

(Mereka (orang-orang Islam) mengembangkan al-jabar, menemukan trigonometri, dan membangun berbagai observatorium astronomi. Mereka menemukan lensa dan menciptakan kajian tentang optik, dengan berpegang pada teori bahwa sinar cahaya berasal dari objek yang dilihat, bukan dari mata. Pada abad kesepuluh Alhazen menemukan sejumlah hukum optik, misalnya, bahwa seberkas cahaya menempuh jalan yang tercepat dan termudah, suatu pendahulu prinsip Format tentang “tingkah laku terkecil”. Orang-orang Arab juga mengembangkan kimia, memperbaiki dan menemukan jumlah yang sangat banyak teknik dan instrumen, seperti alembic (dari Arab: al-anbiq, bejana distilasi, Madjid), yang digunakan untuk distilasi parfum. Pada abad kedelapan, ahli fisika al-Razi meletakkan dasar-dasar ilmu kimia dengan menyusun pengetahuan kimiawi disertai penolakan tentang kegunaannya yang tersembunyi. Sebagai penemu klasifikasi binatang, tumbuhan, dan mineral, ia menyusun kategori sejumlah zat dan praktek kimiawi, beberapa di antaranya, seperti distilasi dan kristalisasi, yang masih digunakan saat ini). [George F. Kneller, penulis berkebangsaan Inggris].

 

The civilazation of the Arabs has made deep contribution to European civilization, and this fact is very clearly reflected by the many important words we have borrowed from the Arabic language. Most did not come directly into English but were borrowed through Turkish, Italian, Spanish, and French. In the selection below, note how many of the words relate to science and technology and to sophisticated products, objects, and conforts of civilized life.

(Peradaban Arab telah memberi kontribusi yang mendalam kepada peradaban Eropa, dan kenyataan ini dengan amat jelas dicerminkan dalam banyak kata-kata penting yang kita pinjam dari bahasa Arab. Kebanyakan tidak datang langsung ke bahasa Inggris, tetap dipinjam melalui bahasa-bahasa Turki, Itali, Spanyol dan Perancis. Dalam seleksi di bawah, perhatikanlah betapa banyaknya kata-kata yang berhubungan dengan science dan teknologi dan kepada produk-produk dan obyek-obyek canggih, serta kepada berbagai kenyamanan hidup berperadaban). [Peter Davies, penulis berkebangsaan Inggris, dalam bukunya Succes with Words].

[27] Mereka berdua berkuasa dari tahun 783-833 Masehi, dan memiliki perbedaan pemahaman teologis antara ahlu al-sunnah dan muktazilah.

[28] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Yayasan Wakaf Paramadina [Jakarta, 1992], hal. 143.

[29] Tiar Anwar Bachtiar, Jas Mewah, Pro-U Media [Yogyakarta, 2018], hal. 28-31; Tiar Anwar Bachtiar, Rasional Tanpa Menjadi Liberal (Islam: Ruh Kemajuan Peradaban Melayu), INSISTS [Jakarta, 2021], hal. 324-331.

[30] Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat, Gema Insani [Jakarta, 2005], hal. 131.

[31] Ibid., hal. 124-126.

[32] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Rosda [Bandung, 2021], hal. 257-258.

[33] Fritjof Capra, The Turning Point (Titik Balik Peradaban), Mata Bangsa [Yogyakarya, 2019], hal. 3-7.

[34] H.O.S. Tjokroaminoto, Tarich Agama Islam, Bulan Bintang [Jakarta, 1955], hal. 56&174.

[35] Abdussyafi Muhammad Abdul Lathif, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Bani Umayyah, Pustaka Al-Kautsar [Jakarta, 2023], hal. 656.

[36] Muhammad al-Khudari, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Bani Abbasiyah, Pustaka Al-Kautsar [Jakarta, 2016], hal. 121.

[37] Kalimat ini terinspirasi dari puisi Syaukani al-Karim.

Share:

Definition List

Definition list
Consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua.
Lorem ipsum dolor sit amet
Consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua.

Theme Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.
Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

Ordered List

  1. Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.
  2. Aliquam tincidunt mauris eu risus.
  3. Vestibulum auctor dapibus neque.

Recent Posts

Unordered List

  • Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.
  • Aliquam tincidunt mauris eu risus.
  • Vestibulum auctor dapibus neque.

Sample Text

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua.

Pages

Theme Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.