“Anak muda tau apa? Udah diem aja, biar ini jadi urusan orangtua!”
Atau, “Tau apa kamu tentang persoalan ini? Emangnya pernah mempelajarinya? Saya yang lebih tinggi ilmunya dari kamu aja ga tau, apalagi kamu!”
Lalu berkaitan dengan bidang pekerjaan, “Kamu anak baru tau apa? Saya yang lebih berpengalaman dan udah lama kerja di sini! Jangan sok cari muka di depan atasan deh!”
Dan kalimat-kalimat lain yang senada dengan beberapa contoh di atas, mungkin pernah sahabat alami? Beberapa kejadian yang senada dengan contoh kalimat di atas, juga pernah saya alami. Merasa bahwa apa yang kita utarakan tidak dihargai di hadapan orang lain yang secara usia lebih senior dari kita. Atau orang yang mementahkan pendapat kita itu lebih memiliki banyak gelar akademik sehingga menganggap pendapat kita hanya angin lalu. Dan bahkan diremehkan oleh senior di tempat kerja, sehingga tuduhan bahwa kita ingin cari muka di hadapan atasan.
Hal di atas ternyata pernah saya anggap sebagai salah satu bentuk logical
fallacy, atau kekeliruan dalam berpikir. Dan mirisnya, di sekitar kita
–bahkan di lingkungan akademik– hal ini masih saja dipraktikkan. Sebagai contoh
kating atau kakak tingkat kita –yang terlebih juga menjabat di kampus–, selalu
membubuhkan kalimat-kalimat seperti “IPK saya di atas rata-rata” atau
kalimat-kalimat lain yang membuktikan bahwa dia memilik prestasi akademik,
dalam beberapa argumennya. Mungkin dengan cara seperti itu, akan ada anggapan
bahwa argumen yang dia bangun adalah sudah pasti kebenarannya? Sehingga menutup
ruang bagi adik tingkatnya untuk melakukan bantahan dan argumen tandingan.
Namun sebelum Barat –yang selama ini diasumsikan sebagai kiblat
bagi ilmu pengetahuan– membuat teori-teori dalam berlogika, hal yang saya
sebutkan di atas sudah lebih dahulu di bahas dalam ajaran Islam. Seseorang yang
menolak kebenaran dan meremehkan orang lain, akan dikategorikan sebagai orang
yang sombong. Dalam sebuah hadits Rasulullah ﷺ
bersabda,
اَلْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْتُ النَّاسِ
“Sombong
itu adalah menolak kebenaran, dan meremehkan orang lain.”
Buku yang saya resensi ini, ditulis oleh seorang intelektual muda
yang menempuh pendidikan di Universitas al-Azhar Kairo, Mesir. Isi buku ini,
selain mengoreksi apa yang menjadi anggapan kita selama ini, juga menambahkan
beberapa contoh kasus lain dalam kekeliruan berpikir dan berargumen.
Di awal pembahasannya, penulis menjelaskan tentang definisi argumen.
Menurutnya, argumen adalah
sekumpulan klaim yang diajukan untuk membuktikan benar atau salahnya klaim
lain. Penulis juga mengutip definisi
dari seorang filsuf dan penulis Amerika, T. Edward Damerd bahwasanya argumen
itu adalah “klaim yang didukung oleh klaim-klaim lain.” Namun dalam menyusun
klaim-klaim tersebut, adakalanya tidak memiliki korelasi satu sama lain. Maka
inilah yang disebut dengan logical fallacy atau kekeliruan berpikir. T.
Edward Damerd menyebut fallacy sebagai “pelanggaran atas standar
pembangunan argumen yang baik.”
Namun bagi saya pribadi, sangat penting membuat standarisasi sebuah
istilah. Agar kita tahu mana yang disebut dengan pelanggaran yang berimplikasi
pada sebuah kesalahan, dan mana yang merupakan kebenaran hakiki. Bagi saya yang
seorang muslim, kebenaran itu menurut Allah dan Rasul-Nya, dan segala ilmu
pengetahuan yang dimiliki manusia juga dari Allah. Logis atau tidak, maka
kebenaran tersebut akan tersingkap seiring berjalannya waktu meskipun
standarisasi-standarisasi dan teori-teori Barat menganggap itu sebuah kesalahan
dan pelanggaran. Namun yang saya yakini, Islam tidak hanya mewajibkan ketaataan
dan keimanan atas manusia, namun juga memberikan kebebasan bagi manusia untuk
mengoptimalkan akal dan pikirannya. Maka saya sangat yakin, Islam bukanlah
agama yang memusuhi ilmu pengetahuan, sains, dan teknologi.
Dalam bab berikutnya, Nuruddin menuliskan tentang pengalaman
pribadinya ketika berdikusi dengan seorang doktor di platform media sosialnya.
Yang mana doktor tersebut beranggapan bahwa sains itu lebih penting ketimbang
ilmu logika. Namun, tak dikutipkan apa dasar argumen doktor tersebut yang oleh
penulis dianggap tak berkualitas, memprihatinkan, dan kacau. Saya pribadi
sangat menginginkan untuk mengetahui argumen masing-masing pihak, yang
setidaknya dapat menambah wawasan saya dalam membuat suatu argumen. Dan yang
cukup disayangkan, penulis pun tidak menjelaskan argumen yang menjadi antitesis
bagi pernyataan doktor tersebut.
Dalam menjelaskan tentang tolak ukur kebenaran dan kesalahan,
penulis membawakan beberapa contoh yang terjadi di masyarakat. Pertama,
menggantungkan kebenaran pada suara mayoritas. Kedua, bersandar kepada
keimanan. Ketiga, mengikuti kata orang. Dan disimpulkan bahwa beberapa
contoh di atas merupakan tolak ukur yang tidak dibenarkan.
Namun kita tahu, Islam membolehkan seorang muslim untuk mengikuti
kebenaran yang telah disepakati oleh mayoritas, yakni para ulama. Itulah yang
dinamakan dengan ijma’. Keimanan merupakan hal yang sangat vital bagi
seorang muslim. Seorang muslim tak mungkin beribadah kepada Allah dan menaati
Rasul-Nya kalau tidak memiliki keimanan. Dalam agama Islam, keimanan terdiri
dari tiga unsur. Yakni; pembenaran dengan hati, ucapan dengan lisan, dan
perbuatan dengan anggota badan. Kita fokuskan pada perkara hati. Pada umumnya,
manusia sudah mengetahui bahwa keimanan, kepercayaan, dan keyakinan itu
“espisentrum” nya di hati. Dan dalam hadits, tatkala seorang sahabat bertanya
kepada Rasulullah ﷺ mengenai kebaikan, maka jawaban beliau “Mintalah fatwa kepada
hatimu” (اِسْتَفْتِ قَلْبَكَ), karena kebaikan
adalah apa saja yang membuat tenang jiwa dan hati. Sementara keburukan adalah
apa saja yang membuat resah di jiwa dan membuat bimbang dada manusia. Begitu
pentingnya perkara keimanan, yang menjadi tolak ukur bagi seorang muslim
sebelum menilai, berkata, dan memutuskan segala sesuatu. Lantas, bolehkah kita
mengikuti pendapat orang lain? Dalam Islam ada sebuah istilah taqlid,
bisa kita terjemahkan secara bebas bermakna membeo atau membebek. Namun secara
terminologis atau istilah yang dikenal oleh para ulama, adalah “mengikuti
perkataan seseorang tanpa mengetahui dasar dalilnya” (قَبُولُ
قَولُ الْقَائِلِ مِنْ غَيْرِ مَعْرِفَةِ لِدَلِيْلِهِ). Taqlid ada
yang tercela, yakni taqlid buta (اَلتَّقْلِيْدُ
الْأَعْمَى). Namun bagi orang awam yang belum memiliki kemampuan untuk
ber-ijtihad dalam memutuskan suatu perkara, maka dibolehkan untuk taqlid
kepada ulama madzhab yang menjadi rujukannya. Salahkah? Tidak. Itulah ketentuan
dalam Islam. Karena standar atau tolak ukur dalam menentukan suatu kebenaran
dan kebaikan, bukan hanya dari satu sisi, namun dari berbagai sisi.
Ada empat teori yang diajukan penulis yang menjadi tolak ukur untuk
menentukan kebenaran dan kesalahan. Pertama, kejelasan. Kedua,
kegunaan. Yang benar adalah yang menghasilkan manfaat. Ketiga,
korespondensi. Benar atau salahnya suatu pandangan bergantung pada sesuai
tidaknya dia dengan kenyataan yang ada. Keempat, konsistensi. Benar atau
salahnya suatu pandangan ditentukan pada konsistensinya dengan
pandangan-pandangan lain yang telah disepakati kebenarannya.
A.
Argumentum Ad Hominem
Menolak argumen
orang lain dengan cara menjatuhkan kepribadiannya. Penulis mengatakan di
halaman 111, “Padahal, idealnya, seperti kata nabi, kita melihat apa yang
dikatakan, bukan hanya melihat siapa yang mengatakan.” Mungkin pendapat penulis
didasari oleh sebuah kalimat اُنْظُرْ مَا قَالَ وَلَا
تَنْظُرْ مَنْ قَالَ. Perlu ditegaskan, ucapan ini bukanlah
dari Nabi Muhammad ﷺ.
Di paragraf
akhir pembahasan, penulis memberi pengecualian dalam kondisi-kondisi tertentu.
Dia memberikan contoh tentang konteks pemilu dan persaksian. Maka dalam
menyikapi kedua keadaan ini, kita perlu melihat kepribadian orang lain ketika
orang tersebut sedang berbicara.
Maka menurut
hemat saya, begitupun dengan perkara agama. Kita perlu melihat kepribadian
orang yang menyampaikan agama kepada kita. Sebagaimana yang diucapkan oleh
seorang ulama tabi’in,
إِنَّ
هَذَا الْعِلْمَ دِيْنٌ فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِيْنَكُمْ
“Sesungguhnya ilmu itu
adalah bagian dari agama, maka perhatikanlah dari mana kalian mengambil agama.”
B.
Appeal to Pity / Argumentum Ad Misericordiam
Menjadikan
tolak ukur kebenaran dan kesalahan karena sebab emosional. Sebagai contoh
ketika di persidangan, seorang hakim meringankan hukuman dikarenakan merasa
kasihan.
Rasulullah ﷺ
yang merupakan seorang pemimpin negara, pernah mengatakan,
وَايْمُ
اللهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتُ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا
“Demi Allah, seandainya
Fatimah binti Muhammad mencuri, maka aku yang akan memotong tangannya.”
C.
Appeal to Authority / Argumentum Ad Verecundiam
Menjadikan
suara otoritas sebagai satu-satunya jalan kebenaran. Saya teringat pelajaran
filsafat umum di kampus. Dalam buku tersebut dijelaskan tentang fenomena
filsafat abad pertengahan yang mana penurut para ilmuwan disebut dengan medieval
philosophy atau abad kegelapan dark age. Ilmu pengetahuan saat itu
dibatasi dan cendrung mundur ke belakang. Hal itu dikarenakan otoritas pemangku
kebijakan ada di gereja. Siapapun yang berlainan pendapat dengan gereja, maka
akan mendapatkan konsekuensi dari gereja. Doktrin ini terus bertahan sampai
zaman Reinassance. Sebagai contoh adalah Galileo Galilei yang mengikuti
pendapat Nicolaus Copernicus, dihukum oleh otoritas gereja Katolik karena
dianggap melakukan kesesatan.
Untuk lebih
lengkapnya mengenai beberapa contoh kekeliruan berpikir, mungkin bisa dibaca
kembali bukunya. Atau buku-buku lain mengenai hal ini. Namun ada beberapa
kalimat atau uraian dari penulis yang sangat perlu saya berikan kritik. Sebagai
seorang penuntut ilmu, sangat perlu bersikap kritis terhadap perkataan ataupun
tulisan orang lain. Beberapa uraian yang saya akan kritisi adalah terkait
dengan hukum-hukum akal. Bisa dilihat pada halaman 138 misalnya, syarat dalam
membuktikan pandangan yang benar itu harus dari dalil yang kuat, kesesuaian
dengan fakta, dan tidak bertentangan dengan hukum-hukum akal. Jika sebaliknya,
maka menurut penulis itu merupakan pandangan yang salah. Saya ingin membawakan
ucapan sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu,
لَوْ
كَانَ الدِّيْنُ بِالرَّأْيِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ
أَعْلَاهُ
“Seandainya tolak ukur
dalam beragama itu dengan akal logika, maka bagian bawah alas kaki lebih utama
untuk dibersihkan ketimbang bagian atasnya.”
Yang menarik
untuk dikritisi lagi, penulis membawakan contoh kasus Ahok pada halaman 156.
Penulis beranggapan bahwa penistaan yang dilakukan Ahok hanya sekedar dugaan
saja. Dan memberikan kesimpulan bahwa Ahok tak bermaksud untuk menistakan
agama. Karena bagi penulis, apa yang Ahok ucapkan di pulau Pramuka itu
merupakan suatu kebetulan semata. Karena niat Ahok hanya sekedar mengingatkan
umat Islam agar tidak tertipu dengan kelompok yang suka mempolitisasi agama.
Justru faktanya –masih menurut penulis–, Ahok peduli dengan warganya. Karena
dia membangun masjid, membantu orang yang tidak mampu, ulama-ulama muslim
didekati, marbot masjid diberikan hadiah umroh. Dan penulis beranggapan bahwa
yang mempermasalahkan ucapan Ahok itu merupakan kelompok yang tidak menjadi
representasi umat Islam. Benarkah begitu? Baiklah, kita simak uraiannya di
bawah ini.
Dalam laman
internetnya tanggal 11 Oktober 2016, MUI yang merupakan representasi dan
gabungan dari seluruh ormas Islam yang ada di Indonesia memberikan fatwa bahwa
Ahok itu dikategorikan sebagai mengina Al-Qur’an dan menghina ulama, dan
memiliki konsekuensi hukum. MUI menyarankan agar pemerintah mencegah penodaan
terhadap Al-Qur’an dan agama Islam tersebut, juga meminta dengan tegas agar
aparat hukum menindaknya, dan meminta masyarakat agar tidak main hakim sendiri
dan menyerahkan penanganannya terhadap aparat penegak hukum. Maka yang harus
ditanyakan, kesimpulan dari mana bahwa umat Islam menginginkan agar Ahok
disiksa saja? Dari mana penulis tahu niat yang tersembunyi dalam hati Ahok? Siapakah
yang mempolitisasi agama? Apakah MUI –yang saat itu dibawah KH. Ma’ruf Amin–
bukan representasi utama dari umat Islam? Lagipula menyebutkan orang lain
mempolitisasasi agama, merupakan bentuk ketidakpahaman terhadap sejarah bangsa
ini.
Di halaman 270,
lagi-lagi saya mendapati penulis mengutip pandangan orang lain yang menjadi
lawan diskusinya, entah di media sosial ataupun diskusi tatap muka secara
langsung, tanpa memberi kejelasan siapa yang mengucapkan perkataan tersebut dan
apa isi ucapannya. Setidaknya, saya sebagai pembaca ingin melakukan konfirmasi
secara langsung terhadap yang bersangkutan. Dikhawatirkan kalau lawan diskusi
penulis berada di dunia maya, akun tersebut adalah akun anonim yang tidak jelas
asal-usulnya. Dan secara gegabah penulis kutip dan jadikan bahan tulisan di
buku ini. Kenapa hal ini harus dipermasalahkan? Karena orang yang menjadi lawan
diskusi penulis mengutip ucapan Ibnu Taimiyyah, yang menurut pandangan penulis
bukanlah pakar dalam ilmu akidah dan melakukan banyak penyimpangan. Penulis
juga melakukan framing busuk terhadap Ibnu Taimiyyah, bahwasanya
pandangan Ibnu Taimiyyah itu menjadi rujukan baku dan dianggap sebagai kitab
suci bagi pengikutnya. Dan penulis menyebutkan bahwa para teolog raksasa dari
kalangan Sunni banyak yang meragukan otoritas keilmuan Ibnu Taimiyyah. Namun
lagi-lagi, penulis tidak menyebutkan siapa teolog atau ulama yang meragukan
keilmuan Ibnu Taimiyyah. Justru dalam berbagai kesempatan, Ibnu Taimiyyah
mengatakan agar umat Islam mengikuti panduan dari Al-Qur’an, As-Sunnah, dan
teladan para sahabat dan tabi’in.
Dalam salah
satu babnya, Meaningless Question, penulis mengutip dari buku Prof. Dr.
Mulyadhi Kartanegara tentang sebuah pertanyaan yang penting dan sah, yaitu “Apa
itu Tuhan.” Bagi penulis, pertanyaan tersebut tergolong sia-sia dan tak
bermakna. Lantas karena tertarik dengan tema yang disodorkan dalam buku
tersebut, penulis pun memberikan contoh-contoh pertanyaan lain yang menurutnya
sia-sia dan tak bermakna, yaitu “di mana Tuhan?”, karena bagi penulis Tuhan itu
tidak bertempat. Kalau pertanyaan tersebut dijawab, maka jawaban tersebut
keliru. Benarkah seperti itu? Kita lihat faktanya dalam beberapa literatur para
ulama akidah.
Dalam kitab
hadits imam Muslim, kitab al-Janaiz wa Maudhi ash-Shalah, disebutkan
bahwa Nabi ﷺ pernah
bertanya kepada seorang budak perempuan, “Di manakah Allah?” Maka budak
tersebut menjawab, “Ada di atas langit.” Beliau bertanya kembali, “Siapakah
aku?” Dia menjawab, “Anda adalah Rasulullah.” Maka beliau bersabda,
أَعْتِقْهَا فَإنَّهَا مُؤْمؤنَةٌ
“Bebaskanlah ia,
sesungguhnya ia orang yang beriman.”
Adakah yang berani mengatakan bahwa
pertanyaan Rasulullah itu sia-sia dan tak bermakna?
Dalam
mempelajari ilmu filsafat, saya mendapati salah satu definisinya adalah “The
attempt to answer ultimate questions” (Usaha untuk menjawab pertanyaan yang
berbobot). Salah satu bentuk pertanyaan yang penting dan berat bobotnya
pernah diajukan oleh bapak filsafat, Thales, “What is the nature of the world
stuff”, Apa bahan baku alam semesta ini? Ada yang menjawab air, dengan
alasan bahwa air menghidupi tumbuhan dan hewan. Namun, pertanyaannya lebih
berbobot dari pada jawabannya. Di halaman lain, saya dapati bahwa salah satu
bentuk pertanyaan yang tidak berbobot menurut penulis buku filsafat tersebut
adalah pertanyaan mengenai apa rasa gula? Karena kita akan tahu kalau sudah
merasakannya. Contoh-contoh seperti ini mungkin bisa jadi pertimbangan bagi
penulis ketimbang harus membawakan tema yang berkaitan dengan masalah akidah.
Di halaman 364,
dalam menentukan tolak ukur suatu kemajuan umat, penulis tidak berpendapat
bahwa kemajuan itu dengan banyaknya anak-anak yang hafal Al-Qur’an, tingginya
animo masyarakat untuk memasukkan anaknya ke pesantren dan kampus islami.
Karena baginya, orang yang hafal kitab suci belum tentu memberikan kontribusi,
dan orang yang belajar Islam belum tentu membawa kemajuan yang signifikan. Hal
ini wajib kita tanyakan kepada penulis, siapakah yang menyatakan klaim seperti
di atas? Apakah penulis sedang melakukan strawman fallacy (kekeliruan
berpikir manusia jerami)? Yaitu argumen yang tidak pernah dinyatakan oleh orang
lain, namun kita nisbatkan kepada orang lain yang menjadi lawan diskusi kita
atau objek pembahasan kita. Padahal sejatinya penulis sedang berdialektika
dengan manusia khayalan yang dibuat-buat sendiri, layaknya manusia jerami. Maka
penting sekali menyertakan sumber dan referensi dari lawan diskusi atau objek
kita. Karena tidak ada kebenaran mutlak dalam berdialektika, maka perlu bagi para
pembaca menelusuri dan menggali fakta dari dua pihak yang sedang berdialektika.
Bisa jadi, lawan diskusi penulis tersebut membawakan fakta bahwa ketika
Indonesia masih dalam penjajahan Belanda, orang-orang yang terus melawan
penjajahan Belanda adalah kalangan kaum santri, kalangan umat Islam. Hal ini
jauh sebelum adanya kebijakan politik etis di Hindia Belanda. Sebutlah misalnya
perang yang diusung Diponegoro selama lima tahun di tanah Jawa. Perang tersebut
bukan seperti yang dituliskan dalam lembaran sejarah pada umumnya, yakni karena
masalah tanah yang direbut oleh pihak Belanda, namun dalam berbagai sumber
perang yang dilakukan Diponegoro dan para ulama kala itu adalah untuk menegakkan
agama dan syariat Islam, demi kemajuan Islam dan rakyat Jawa khususnya. Maka sangat jelas, jauh sebelum adanya politik etis, umat Islam sudah sangat maju karena berani melakukan konfrontasi dengan kaum kafir kolonialis.
Di bab kedua
terakhir dalam bukunya, Subverted Support (Dukungan yang Ditumbangkan),
penulis memberikan sebuah dialog imajiner antara dua orang yang membahas
tentang mayoritas anak-anak sekarang yang menyimpang dari tuntunan agama.
Bantahan yang diajukan penulis juga tidak kalah jauh minimnya dari data dan
fakta. Penulis hanya mengatakan “Anak-anak yang berprestasi dan berperilaku
baik justru jauh lebih banyak ketimbang anak-anak yang berperilaku menyimpang.”
Namun sama sekali tidak ada data yang diajukan oleh penulis. Dikutip dari CNN
Indonesia, detikcom, dan liputan6.com, mengangkat berita yang hampir sama
tentang ratusan anak yang mengajukan dispensasi nikah. Berita tersebut diunggah
pada tanggal 14 Januari 2023 oleh CNN. Namun di beritasatu.com, 60 persennya
sudah hamil duluan, menurut Plt. Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak KemenPPPA,
Rini Handayani. Ini baru di Ponorogo, belum di daerah yang lain, yang
seharusnya dicarikan fakta dan datanya oleh penulis. Bagi saya pribadi, tidak
ingin terlalu dalam terlibat mengenai kasus tersebut. Kalau pun berita itu
benar, maka setidaknya kita selaku muslim bersikap antisipatif dan lebih
menjaga keluarga kita, bukan memilih sikap denial dengan keadaan saat ini. Yang
saya yakini, sesuai dengan sabda Nabi Muhammad ﷺ,
اِصْبِرُوْا فَإِنَّهُ لَا يَأْتِيْ عَلَيْكُمْ زَمَانٌ إِلَّا
وَالَّذِيْ بَعْدَهُ شَرٌّ مِنْهُ حَتَّى تَلْقَوا رَبَّكُمْ
“Hendaklah kalian
bersabar. Sesungguhnya tidak datang kepada kalian suatu zaman, kecuali yang
setelahnya lebih buruk dari sebelumnya. Sampai kalian menemui Rabb kalian.”