RESENSI BUKU: LOGICAL FALLACY (Muhammad Nuruddin)

“Anak muda tau apa? Udah diem aja, biar ini jadi urusan orangtua!”

Atau, “Tau apa kamu tentang persoalan ini? Emangnya pernah mempelajarinya? Saya yang lebih tinggi ilmunya dari kamu aja ga tau, apalagi kamu!”

Lalu berkaitan dengan bidang pekerjaan, “Kamu anak baru tau apa? Saya yang lebih berpengalaman dan udah lama kerja di sini! Jangan sok cari muka di depan atasan deh!” 

Dan kalimat-kalimat lain yang senada dengan beberapa contoh di atas, mungkin pernah sahabat alami? Beberapa kejadian yang senada dengan contoh kalimat di atas, juga pernah saya alami. Merasa bahwa apa yang kita utarakan tidak dihargai di hadapan orang lain yang secara usia lebih senior dari kita. Atau orang yang mementahkan pendapat kita itu lebih memiliki banyak gelar akademik sehingga menganggap pendapat kita hanya angin lalu. Dan bahkan diremehkan oleh senior di tempat kerja, sehingga tuduhan bahwa kita ingin cari muka di hadapan atasan.

Hal di atas ternyata pernah saya anggap sebagai salah satu bentuk logical fallacy, atau kekeliruan dalam berpikir. Dan mirisnya, di sekitar kita –bahkan di lingkungan akademik– hal ini masih saja dipraktikkan. Sebagai contoh kating atau kakak tingkat kita –yang terlebih juga menjabat di kampus–, selalu membubuhkan kalimat-kalimat seperti “IPK saya di atas rata-rata” atau kalimat-kalimat lain yang membuktikan bahwa dia memilik prestasi akademik, dalam beberapa argumennya. Mungkin dengan cara seperti itu, akan ada anggapan bahwa argumen yang dia bangun adalah sudah pasti kebenarannya? Sehingga menutup ruang bagi adik tingkatnya untuk melakukan bantahan dan argumen tandingan.

Namun sebelum Barat –yang selama ini diasumsikan sebagai kiblat bagi ilmu pengetahuan– membuat teori-teori dalam berlogika, hal yang saya sebutkan di atas sudah lebih dahulu di bahas dalam ajaran Islam. Seseorang yang menolak kebenaran dan meremehkan orang lain, akan dikategorikan sebagai orang yang sombong. Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda,

اَلْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْتُ النَّاسِ

“Sombong itu adalah menolak kebenaran, dan meremehkan orang lain.”

Buku yang saya resensi ini, ditulis oleh seorang intelektual muda yang menempuh pendidikan di Universitas al-Azhar Kairo, Mesir. Isi buku ini, selain mengoreksi apa yang menjadi anggapan kita selama ini, juga menambahkan beberapa contoh kasus lain dalam kekeliruan berpikir dan berargumen.

Di awal pembahasannya, penulis menjelaskan tentang definisi argumen.           Menurutnya, argumen adalah sekumpulan klaim yang diajukan untuk membuktikan benar atau salahnya klaim lain. Penulis juga mengutip  definisi dari seorang filsuf dan penulis Amerika, T. Edward Damerd bahwasanya argumen itu adalah “klaim yang didukung oleh klaim-klaim lain.” Namun dalam menyusun klaim-klaim tersebut, adakalanya tidak memiliki korelasi satu sama lain. Maka inilah yang disebut dengan logical fallacy atau kekeliruan berpikir. T. Edward Damerd menyebut fallacy sebagai “pelanggaran atas standar pembangunan argumen yang baik.”

Namun bagi saya pribadi, sangat penting membuat standarisasi sebuah istilah. Agar kita tahu mana yang disebut dengan pelanggaran yang berimplikasi pada sebuah kesalahan, dan mana yang merupakan kebenaran hakiki. Bagi saya yang seorang muslim, kebenaran itu menurut Allah dan Rasul-Nya, dan segala ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia juga dari Allah. Logis atau tidak, maka kebenaran tersebut akan tersingkap seiring berjalannya waktu meskipun standarisasi-standarisasi dan teori-teori Barat menganggap itu sebuah kesalahan dan pelanggaran. Namun yang saya yakini, Islam tidak hanya mewajibkan ketaataan dan keimanan atas manusia, namun juga memberikan kebebasan bagi manusia untuk mengoptimalkan akal dan pikirannya. Maka saya sangat yakin, Islam bukanlah agama yang memusuhi ilmu pengetahuan, sains, dan teknologi.

Dalam bab berikutnya, Nuruddin menuliskan tentang pengalaman pribadinya ketika berdikusi dengan seorang doktor di platform media sosialnya. Yang mana doktor tersebut beranggapan bahwa sains itu lebih penting ketimbang ilmu logika. Namun, tak dikutipkan apa dasar argumen doktor tersebut yang oleh penulis dianggap tak berkualitas, memprihatinkan, dan kacau. Saya pribadi sangat menginginkan untuk mengetahui argumen masing-masing pihak, yang setidaknya dapat menambah wawasan saya dalam membuat suatu argumen. Dan yang cukup disayangkan, penulis pun tidak menjelaskan argumen yang menjadi antitesis bagi pernyataan doktor tersebut.

Dalam menjelaskan tentang tolak ukur kebenaran dan kesalahan, penulis membawakan beberapa contoh yang terjadi di masyarakat. Pertama, menggantungkan kebenaran pada suara mayoritas. Kedua, bersandar kepada keimanan. Ketiga, mengikuti kata orang. Dan disimpulkan bahwa beberapa contoh di atas merupakan tolak ukur yang tidak dibenarkan.

Namun kita tahu, Islam membolehkan seorang muslim untuk mengikuti kebenaran yang telah disepakati oleh mayoritas, yakni para ulama. Itulah yang dinamakan dengan ijma’. Keimanan merupakan hal yang sangat vital bagi seorang muslim. Seorang muslim tak mungkin beribadah kepada Allah dan menaati Rasul-Nya kalau tidak memiliki keimanan. Dalam agama Islam, keimanan terdiri dari tiga unsur. Yakni; pembenaran dengan hati, ucapan dengan lisan, dan perbuatan dengan anggota badan. Kita fokuskan pada perkara hati. Pada umumnya, manusia sudah mengetahui bahwa keimanan, kepercayaan, dan keyakinan itu “espisentrum” nya di hati. Dan dalam hadits, tatkala seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah mengenai kebaikan, maka jawaban beliau “Mintalah fatwa kepada hatimu” (اِسْتَفْتِ قَلْبَكَ), karena kebaikan adalah apa saja yang membuat tenang jiwa dan hati. Sementara keburukan adalah apa saja yang membuat resah di jiwa dan membuat bimbang dada manusia. Begitu pentingnya perkara keimanan, yang menjadi tolak ukur bagi seorang muslim sebelum menilai, berkata, dan memutuskan segala sesuatu. Lantas, bolehkah kita mengikuti pendapat orang lain? Dalam Islam ada sebuah istilah taqlid, bisa kita terjemahkan secara bebas bermakna membeo atau membebek. Namun secara terminologis atau istilah yang dikenal oleh para ulama, adalah “mengikuti perkataan seseorang tanpa mengetahui dasar dalilnya” (قَبُولُ قَولُ الْقَائِلِ مِنْ غَيْرِ مَعْرِفَةِ لِدَلِيْلِهِ). Taqlid ada yang tercela, yakni taqlid buta (اَلتَّقْلِيْدُ الْأَعْمَى). Namun bagi orang awam yang belum memiliki kemampuan untuk ber-ijtihad dalam memutuskan suatu perkara, maka dibolehkan untuk taqlid kepada ulama madzhab yang menjadi rujukannya. Salahkah? Tidak. Itulah ketentuan dalam Islam. Karena standar atau tolak ukur dalam menentukan suatu kebenaran dan kebaikan, bukan hanya dari satu sisi, namun dari berbagai sisi.

Ada empat teori yang diajukan penulis yang menjadi tolak ukur untuk menentukan kebenaran dan kesalahan. Pertama, kejelasan. Kedua, kegunaan. Yang benar adalah yang menghasilkan manfaat. Ketiga, korespondensi. Benar atau salahnya suatu pandangan bergantung pada sesuai tidaknya dia dengan kenyataan yang ada. Keempat, konsistensi. Benar atau salahnya suatu pandangan ditentukan pada konsistensinya dengan pandangan-pandangan lain yang telah disepakati kebenarannya.

A.    Argumentum Ad Hominem

Menolak argumen orang lain dengan cara menjatuhkan kepribadiannya. Penulis mengatakan di halaman 111, “Padahal, idealnya, seperti kata nabi, kita melihat apa yang dikatakan, bukan hanya melihat siapa yang mengatakan.” Mungkin pendapat penulis didasari oleh sebuah kalimat اُنْظُرْ مَا قَالَ وَلَا تَنْظُرْ مَنْ قَالَ. Perlu ditegaskan, ucapan ini bukanlah dari Nabi Muhammad .

Di paragraf akhir pembahasan, penulis memberi pengecualian dalam kondisi-kondisi tertentu. Dia memberikan contoh tentang konteks pemilu dan persaksian. Maka dalam menyikapi kedua keadaan ini, kita perlu melihat kepribadian orang lain ketika orang tersebut sedang berbicara.

Maka menurut hemat saya, begitupun dengan perkara agama. Kita perlu melihat kepribadian orang yang menyampaikan agama kepada kita. Sebagaimana yang diucapkan oleh seorang ulama tabi’in,

إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِيْنٌ فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِيْنَكُمْ

“Sesungguhnya ilmu itu adalah bagian dari agama, maka perhatikanlah dari mana kalian mengambil agama.”

B.     Appeal to Pity / Argumentum Ad Misericordiam

Menjadikan tolak ukur kebenaran dan kesalahan karena sebab emosional. Sebagai contoh ketika di persidangan, seorang hakim meringankan hukuman dikarenakan merasa kasihan.

Rasulullah yang merupakan seorang pemimpin negara, pernah mengatakan,

وَايْمُ اللهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتُ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا

“Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, maka aku yang akan memotong tangannya.”

C.    Appeal to Authority / Argumentum Ad Verecundiam

Menjadikan suara otoritas sebagai satu-satunya jalan kebenaran. Saya teringat pelajaran filsafat umum di kampus. Dalam buku tersebut dijelaskan tentang fenomena filsafat abad pertengahan yang mana penurut para ilmuwan disebut dengan medieval philosophy atau abad kegelapan dark age. Ilmu pengetahuan saat itu dibatasi dan cendrung mundur ke belakang. Hal itu dikarenakan otoritas pemangku kebijakan ada di gereja. Siapapun yang berlainan pendapat dengan gereja, maka akan mendapatkan konsekuensi dari gereja. Doktrin ini terus bertahan sampai zaman Reinassance. Sebagai contoh adalah Galileo Galilei yang mengikuti pendapat Nicolaus Copernicus, dihukum oleh otoritas gereja Katolik karena dianggap melakukan kesesatan.

 

Untuk lebih lengkapnya mengenai beberapa contoh kekeliruan berpikir, mungkin bisa dibaca kembali bukunya. Atau buku-buku lain mengenai hal ini. Namun ada beberapa kalimat atau uraian dari penulis yang sangat perlu saya berikan kritik. Sebagai seorang penuntut ilmu, sangat perlu bersikap kritis terhadap perkataan ataupun tulisan orang lain. Beberapa uraian yang saya akan kritisi adalah terkait dengan hukum-hukum akal. Bisa dilihat pada halaman 138 misalnya, syarat dalam membuktikan pandangan yang benar itu harus dari dalil yang kuat, kesesuaian dengan fakta, dan tidak bertentangan dengan hukum-hukum akal. Jika sebaliknya, maka menurut penulis itu merupakan pandangan yang salah. Saya ingin membawakan ucapan sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu,

لَوْ كَانَ الدِّيْنُ بِالرَّأْيِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلَاهُ

“Seandainya tolak ukur dalam beragama itu dengan akal logika, maka bagian bawah alas kaki lebih utama untuk dibersihkan ketimbang bagian atasnya.”


Yang menarik untuk dikritisi lagi, penulis membawakan contoh kasus Ahok pada halaman 156. Penulis beranggapan bahwa penistaan yang dilakukan Ahok hanya sekedar dugaan saja. Dan memberikan kesimpulan bahwa Ahok tak bermaksud untuk menistakan agama. Karena bagi penulis, apa yang Ahok ucapkan di pulau Pramuka itu merupakan suatu kebetulan semata. Karena niat Ahok hanya sekedar mengingatkan umat Islam agar tidak tertipu dengan kelompok yang suka mempolitisasi agama. Justru faktanya –masih menurut penulis–, Ahok peduli dengan warganya. Karena dia membangun masjid, membantu orang yang tidak mampu, ulama-ulama muslim didekati, marbot masjid diberikan hadiah umroh. Dan penulis beranggapan bahwa yang mempermasalahkan ucapan Ahok itu merupakan kelompok yang tidak menjadi representasi umat Islam. Benarkah begitu? Baiklah, kita simak uraiannya di bawah ini.

Dalam laman internetnya tanggal 11 Oktober 2016, MUI yang merupakan representasi dan gabungan dari seluruh ormas Islam yang ada di Indonesia memberikan fatwa bahwa Ahok itu dikategorikan sebagai mengina Al-Qur’an dan menghina ulama, dan memiliki konsekuensi hukum. MUI menyarankan agar pemerintah mencegah penodaan terhadap Al-Qur’an dan agama Islam tersebut, juga meminta dengan tegas agar aparat hukum menindaknya, dan meminta masyarakat agar tidak main hakim sendiri dan menyerahkan penanganannya terhadap aparat penegak hukum. Maka yang harus ditanyakan, kesimpulan dari mana bahwa umat Islam menginginkan agar Ahok disiksa saja? Dari mana penulis tahu niat yang tersembunyi dalam hati Ahok? Siapakah yang mempolitisasi agama? Apakah MUI –yang saat itu dibawah KH. Ma’ruf Amin– bukan representasi utama dari umat Islam? Lagipula menyebutkan orang lain mempolitisasasi agama, merupakan bentuk ketidakpahaman terhadap sejarah bangsa ini.

Di halaman 270, lagi-lagi saya mendapati penulis mengutip pandangan orang lain yang menjadi lawan diskusinya, entah di media sosial ataupun diskusi tatap muka secara langsung, tanpa memberi kejelasan siapa yang mengucapkan perkataan tersebut dan apa isi ucapannya. Setidaknya, saya sebagai pembaca ingin melakukan konfirmasi secara langsung terhadap yang bersangkutan. Dikhawatirkan kalau lawan diskusi penulis berada di dunia maya, akun tersebut adalah akun anonim yang tidak jelas asal-usulnya. Dan secara gegabah penulis kutip dan jadikan bahan tulisan di buku ini. Kenapa hal ini harus dipermasalahkan? Karena orang yang menjadi lawan diskusi penulis mengutip ucapan Ibnu Taimiyyah, yang menurut pandangan penulis bukanlah pakar dalam ilmu akidah dan melakukan banyak penyimpangan. Penulis juga melakukan framing busuk terhadap Ibnu Taimiyyah, bahwasanya pandangan Ibnu Taimiyyah itu menjadi rujukan baku dan dianggap sebagai kitab suci bagi pengikutnya. Dan penulis menyebutkan bahwa para teolog raksasa dari kalangan Sunni banyak yang meragukan otoritas keilmuan Ibnu Taimiyyah. Namun lagi-lagi, penulis tidak menyebutkan siapa teolog atau ulama yang meragukan keilmuan Ibnu Taimiyyah. Justru dalam berbagai kesempatan, Ibnu Taimiyyah mengatakan agar umat Islam mengikuti panduan dari Al-Qur’an, As-Sunnah, dan teladan para sahabat dan tabi’in.

Dalam salah satu babnya, Meaningless Question, penulis mengutip dari buku Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara tentang sebuah pertanyaan yang penting dan sah, yaitu “Apa itu Tuhan.” Bagi penulis, pertanyaan tersebut tergolong sia-sia dan tak bermakna. Lantas karena tertarik dengan tema yang disodorkan dalam buku tersebut, penulis pun memberikan contoh-contoh pertanyaan lain yang menurutnya sia-sia dan tak bermakna, yaitu “di mana Tuhan?”, karena bagi penulis Tuhan itu tidak bertempat. Kalau pertanyaan tersebut dijawab, maka jawaban tersebut keliru. Benarkah seperti itu? Kita lihat faktanya dalam beberapa literatur para ulama akidah.

Dalam kitab hadits imam Muslim, kitab al-Janaiz wa Maudhi ash-Shalah, disebutkan bahwa Nabi pernah bertanya kepada seorang budak perempuan, “Di manakah Allah?” Maka budak tersebut menjawab, “Ada di atas langit.” Beliau bertanya kembali, “Siapakah aku?” Dia menjawab, “Anda adalah Rasulullah.” Maka beliau bersabda,

أَعْتِقْهَا فَإنَّهَا مُؤْمؤنَةٌ

“Bebaskanlah ia, sesungguhnya ia orang yang beriman.”

Adakah yang berani mengatakan bahwa pertanyaan Rasulullah itu sia-sia dan tak bermakna?

Dalam mempelajari ilmu filsafat, saya mendapati salah satu definisinya adalah “The attempt to answer ultimate questions” (Usaha untuk menjawab pertanyaan yang berbobot). Salah satu bentuk pertanyaan yang penting dan berat bobotnya pernah diajukan oleh bapak filsafat, Thales, “What is the nature of the world stuff”, Apa bahan baku alam semesta ini? Ada yang menjawab air, dengan alasan bahwa air menghidupi tumbuhan dan hewan. Namun, pertanyaannya lebih berbobot dari pada jawabannya. Di halaman lain, saya dapati bahwa salah satu bentuk pertanyaan yang tidak berbobot menurut penulis buku filsafat tersebut adalah pertanyaan mengenai apa rasa gula? Karena kita akan tahu kalau sudah merasakannya. Contoh-contoh seperti ini mungkin bisa jadi pertimbangan bagi penulis ketimbang harus membawakan tema yang berkaitan dengan masalah akidah.

Di halaman 364, dalam menentukan tolak ukur suatu kemajuan umat, penulis tidak berpendapat bahwa kemajuan itu dengan banyaknya anak-anak yang hafal Al-Qur’an, tingginya animo masyarakat untuk memasukkan anaknya ke pesantren dan kampus islami. Karena baginya, orang yang hafal kitab suci belum tentu memberikan kontribusi, dan orang yang belajar Islam belum tentu membawa kemajuan yang signifikan. Hal ini wajib kita tanyakan kepada penulis, siapakah yang menyatakan klaim seperti di atas? Apakah penulis sedang melakukan strawman fallacy (kekeliruan berpikir manusia jerami)? Yaitu argumen yang tidak pernah dinyatakan oleh orang lain, namun kita nisbatkan kepada orang lain yang menjadi lawan diskusi kita atau objek pembahasan kita. Padahal sejatinya penulis sedang berdialektika dengan manusia khayalan yang dibuat-buat sendiri, layaknya manusia jerami. Maka penting sekali menyertakan sumber dan referensi dari lawan diskusi atau objek kita. Karena tidak ada kebenaran mutlak dalam berdialektika, maka perlu bagi para pembaca menelusuri dan menggali fakta dari dua pihak yang sedang berdialektika. Bisa jadi, lawan diskusi penulis tersebut membawakan fakta bahwa ketika Indonesia masih dalam penjajahan Belanda, orang-orang yang terus melawan penjajahan Belanda adalah kalangan kaum santri, kalangan umat Islam. Hal ini jauh sebelum adanya kebijakan politik etis di Hindia Belanda. Sebutlah misalnya perang yang diusung Diponegoro selama lima tahun di tanah Jawa. Perang tersebut bukan seperti yang dituliskan dalam lembaran sejarah pada umumnya, yakni karena masalah tanah yang direbut oleh pihak Belanda, namun dalam berbagai sumber perang yang dilakukan Diponegoro dan para ulama kala itu adalah untuk menegakkan agama dan syariat Islam, demi kemajuan Islam dan rakyat Jawa khususnya. Maka sangat jelas, jauh sebelum adanya politik etis, umat Islam sudah sangat maju karena berani melakukan konfrontasi dengan kaum kafir kolonialis. 

Di bab kedua terakhir dalam bukunya, Subverted Support (Dukungan yang Ditumbangkan), penulis memberikan sebuah dialog imajiner antara dua orang yang membahas tentang mayoritas anak-anak sekarang yang menyimpang dari tuntunan agama. Bantahan yang diajukan penulis juga tidak kalah jauh minimnya dari data dan fakta. Penulis hanya mengatakan “Anak-anak yang berprestasi dan berperilaku baik justru jauh lebih banyak ketimbang anak-anak yang berperilaku menyimpang.” Namun sama sekali tidak ada data yang diajukan oleh penulis. Dikutip dari CNN Indonesia, detikcom, dan liputan6.com, mengangkat berita yang hampir sama tentang ratusan anak yang mengajukan dispensasi nikah. Berita tersebut diunggah pada tanggal 14 Januari 2023 oleh CNN. Namun di beritasatu.com, 60 persennya sudah hamil duluan, menurut Plt. Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak KemenPPPA, Rini Handayani. Ini baru di Ponorogo, belum di daerah yang lain, yang seharusnya dicarikan fakta dan datanya oleh penulis. Bagi saya pribadi, tidak ingin terlalu dalam terlibat mengenai kasus tersebut. Kalau pun berita itu benar, maka setidaknya kita selaku muslim bersikap antisipatif dan lebih menjaga keluarga kita, bukan memilih sikap denial dengan keadaan saat ini. Yang saya yakini, sesuai dengan sabda Nabi Muhammad ,

اِصْبِرُوْا فَإِنَّهُ لَا يَأْتِيْ عَلَيْكُمْ زَمَانٌ إِلَّا وَالَّذِيْ بَعْدَهُ شَرٌّ مِنْهُ حَتَّى تَلْقَوا رَبَّكُمْ

“Hendaklah kalian bersabar. Sesungguhnya tidak datang kepada kalian suatu zaman, kecuali yang setelahnya lebih buruk dari sebelumnya. Sampai kalian menemui Rabb kalian.”


Share:

FILSAFAT BARAT ABAD PERTENGAHAN DITINJAU DARI PERSPEKTIF KETIMURAN

ABSTRAK

Filsafat selalu lahir dan hadir ke tengah-tengah masyarakat karena suatu krisis dan gejolak. Krisis ini pernah melanda Eropa, khususnya Yunani. Peradaban Yunani kuno merupakan peradaban kelam dalam sejarah kehidupan umat manusia. Suatu peradaban di mana mitologi menjadi pegangan hidup dan diyakini oleh masyarakat tersebut.

Dalam beberapa literatur, Yunani selalu dikisahkan sebagai suatu negeri tempat bersemayamnya para dewa dan dewi. Anda tentu mengenal, atau barangkali pernah mendengar nama Zeus? Ya, Zeus yang hidup dalam mitologi Yunani disebut sebagai rajanya para dewa. Theogonia yang merupakan buku karangan penyair kenamaan Yunani bernama Hesiodos, menceritakan perihal asal-muasal dan lika-liku kehidupan para dewa-dewi tersebut, termasuk menceritakan tentang konflik dan skandal-skandal di antara mereka. Zeus yang digambarkan sebagai dewa terkuat dalam mitologi Yunani pernah mengalahkan kekuasaan ayahnya bernama Kronos. Sementara Kronos pernah mengalahkan kekuasaan kakeknya Zeus bernama Oranos. Zeus mengalami paranoia terhadap anaknya, yang kelak akan melawan dan mengambil kekuasaannya. Oleh karenanya, ia pun memakan isterinya bernama Metis yang saat itu tengah mengandung anak Zeus, yang bernama Athena. Anda pasti bingung, bagaimana anak tersebut bisa hadir sementara ia dan ibunya telah dimakan oleh Zeus? Diceritakan pula, bahwa suatu saat Zeus mengalami sakit kepala yang sangat hebat, sehingga para dewa lain membantu untuk mengobati sakitnya dengan cara membelah kepalanya. Dari kepalanya terlahir Athena, yang sudah lengkap mengenakan pakaian kebesarannya. Sementara nyawa si ibu tak terselamatkan.

Tak hanya konflik kekuasaan yang terjadi dalam keluarga tersebut, Zeus pun melakukan hubungan badan dan memperkosa saudari kandungnya (incest), bernama Hera dan Demeter. Zeus pun dikabarkan pernah memperkosa anak hasil hubungannya dengen Demeter, bernama Persephone. Tak cukup sampai di situ, Zeus diceritakan pernah menyamar sebagai burung elang demi bisa menculik seorang remaja laki-laki dari bumi bernama Ganymede, lalu dia membawanya ke singgasananya di Olimpus. Remaja laki-laki tersebut dijadikan kekasihnya dan ditugaskan untuk melayani para dewa di Olimpus.

Anda boleh percaya, dan boleh pula menyangkalnya. Namun pada realitanya, sosok Zeus dan para dewa-dewi dalam mitologi Yunani pernah menjadi sosok yang dituhankan oleh masyarakat Yunani kala itu, mereka membangun kuil peribadahan untuk para dewa tersebut.

Akal dan hati manusia manapun pasti akan merasakan bahwa hal di atas sangat jauh dari nilai-nilai rasionalitas dan nilai-nilai kemanusiaan. Sama sekali tidak masuk akal. Namun, seperti itulah mitologi yang berkembang di Yunani dan sebagian besar Eropa kala itu. Hidup dalam budaya paganisme, menjadi pertanda bagi fase kemunduran peradaban suatu umat manusia.

Kami sadar, bahwa bahan-bahan yang kami miliki untuk masuk ke dalam tema tersebut amat sangat kurang. Karena pembahasan tersebut terkait dengan faktor penulisan sejarah atau bersifat kronologis semata. Maka untuk lebih mendalaminya, kami ingin melakukan sebuah komparasi atau studi banding antara realita di dunia Barat kala itu dengan realita yang terjadi di dunia Timur, terutama dunia Islam. Karena suatu pembahasan atau pemahaman akan lebih nampak esensi dan definisinya tatkala iya dihadapkan dengan lawannya. Sebagaimana sya’ir Arab menyebutkan,

فَالضِّدُّ يُظْهِرُ حُسْنَهُ الضِّدُّ وَبِضِدِّهَا تَتَبَيَّنُ الْأَشْيَاءُ

“Maka dengan adanya lawan, maka akan nampaklah kebaikan lawan tersebut. Dan dengan adanya lawan, segala sesuatu akan nampak jelas.”

Untuk itu hal pertama yang akan kami jelaskan adalah mengenai;

  1. Kedudukan mitos yang berkembang di suatu negeri dan kaitannya dengan penulisan sejarah.
  2. Kondisi sosio-kultural masyarakat Yunani yang menyebabkan lahirnya filsafat.
  3. Ciri khas filsafat abad pertengahan dan korelasinya dengan agama Kristen.
  4. Tokoh-tokoh filsafat abad pertengahan.

PEMBAHASAN

A.    Mitologi Yunani Pra-Filsafat

Sikap masyarakat terhadap sesuatu terkadang dapat ditunjukkan dengan mitos yang berkembang, hidup, dan dipercayai oleh masyarakat tersebut. Mitos tak melulu tentang dongeng dan khayalan semata, melainkan suatu kisah yang dipercayai pernah hidup di tengah-tengah pendahulu mereka. Mitos tidak dapat dibuktikan secara empiris, oleh karenanya seringkali sebuah mitos menegasikan ilmu pengetahuan atau science. Meskipun antara mitos, legenda, dan cerita fiksi tidak memiliki akar historis yang kuat, namun di antara hal-hal tersebut terdapat beberapa perbedaan yang signifikan. Dongeng, legenda, atau cerita fiksi sudah sejak awal disadari sebagai sesuatu yang tak berdasar, dan bahkan kita dapat menemukannya dalam cerita-cerita anak pengantar tidur, atau setidaknya dapat dijadikan sumber latihan bacaan bagi anak-anak sekolah dasar (SD). Sementara mitos, secara tidak sadar dipercayai oleh sebagian besar masyarakat sebagai suatu realitas yang pernah terjadi di masa lalu dan berpengaruh pada kehidupan masyarakat saat itu ataupun setelahnya.

Dalam catatan kaki dari buku karya Dr. Tiar Anwar Bachtiar berjudul Jas Mewah, ada sebuah kutipan yang mendukung argumentasi beliau di atas. Analisis Freudian terhadap fenomena mitos ini melihat bahwasanya mitos, meskipun tidak memiliki sandaran yang faktual dalam ceritanya, namun ia memiliki fungsi penting sebagai suatu pegangan dalam kehidupan di suatu nasyarakat yang memercayainya, antara lain sebagai suatu cara untuk memproyeksikan apa kenyataan fisik yang tengah dihadapinya. Melalui mitos tersebut, masyarakat tersebut membuat suatu  definisi  untuk menghadapi apa yang tengah mereka hadapi. Mitos juga diantaranya dapat dipercaya sebagai perwujudan dari alam bawah sadar manusia. Mitos juga berfungsi sebagai suatu sistem pertahanan sosial bagi masyarakat tersebut, dan juga berfungsi sebagai metafora atau perumpamaan.

Dalam mendudukan tentang mitos, kita harus melihat objektivitas mitos dari sisi “sikap mental” masyarakat tersebut, bukan pada isi dan alur dari “kisah”nya. Mitos yang berkembang pada suatu masyarakat dapat digunakan sebagai sistem analisis untuk melihat bagaimana sikap dan mental masyarakat terhadap sesuatu yang menjadi fokus dari mitos tersebut. Sebagai contoh kita ambil mengenai mitos tentang Raden Kian Santang, yang menjadi dasar bagi urang Sunda aseli (USA) dalam memahami dan memaknai agama yang mereka anut, yaitu Islam. Proses islamisasi tatar Sunda berlangsung secara damai. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya peninggalan sejarah berupa artefak, candi, atau bangunan yang dahulu pernah dijadikan tempat peribadahan masyarakat setempat atau bangunan istana para rajanya. Yang ada hanya sedikit prasasti, babad, dan kidung. Hal ini tentunya menjadi indikasi bahwa Islam yang datang saat itu dan termaktub dalam mitologi urang Sunda memang telah menanamkan perannya di tengah-tengah masyarakat Sunda secara damai dan tanpa pertumpahan darah. Oleh karenanya, Prabu Siliwangi yang dikisahkan dalam sebuah tembang Sunda digambarkan hilang atau tenggelam dalam sebuah hutan, atau disebut juga ngahiyang tatkala dikejar oleh puteranya yang bernama Prabu Kian Santang. “Bade diislamkeun anjeuna alim. Diudag puterana Prabu Kian Santang.”

Mitos tetaplah mitos, dalam perspektif sejarah ia tak bisa dianggap sebagai sebuah fakta dan pegangan argumentasi. Namun dari mitos tersebut kita dapat menunjukkan tentang gambaran atau realitas suatu masyarakat terhadap ajaran yang mereka yakini tersebut. Sebagaimana contoh pemahaman urang Sunda terhadap ajaran Islam, sehingga muncul sebuah istilah “Islam teh Sunda, Sunda teh Islam” (Islam itu Sunda, Sunda itu Islam). Dan saat ini terbukti, bahwa mayoritas urang Sunda adalah pemeluk agama Islam. Pun kiranya dengan masyarakat Yunani, yang menjadikan para dewa tersebut sebagai sesembahan mereka, dan hal ini dibuktikan secara empiris kuil-kuil peninggalan Yunani kuno.

Seorang antropolog Indonesia bernama Prof. Dr. Koentjaraningrat (1923-1999) mengatakan, “Kalau mau menilai kebudayaan suatu masyarakat, maka lihatlah agamanya.” Maka bisa kita tarik kesimpulan dari suatu premis, bahwa agama yang tersebar di suatu masyarakat itu merupakan hasil dari kebudayaan masyarakat tersebut. Atau kalau dalam istilah syari’at, mafhum mukhalafah (faham kebalikannya). Artinya ada korelasi antara kedua hal tersebut. Untuk memahami ucapan Prof. Dr. Koentjaraningrat, kira-kira seperti ini rumus premisnya:

Premis 1: P=>Q

Premis 2: Q

Kesimpulan: P

Maka sah-sah saja jika kita membuat suatu hipotesis mengenai keadaan yang terjadi di masyarakat Yunani atau masyarakat yang menganut agama paganisme, bahwa agama yang mereka anut merupakan hasil dari kebudayaan atau peradaban yang rendah dan jauh dari nilai-nilai moral kemanusian dan rasionalitas.

B.     Penyebab Lahirnya Filsafat

Plato mendefinisikan filsafat sebagai pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran asli. Dan bagi Aristoteles filsafat adalah segala usaha dalam mencari kebenaran. Kemunculan filsafat di Yunani setidaknya berdasarkan dua hal. Pertama dari suatu mitos yang berkembang di masyarakat sehingga muncul suatu sikap kritis. Kedua dari sebuah ketakjuban terhadap alam semesta sehingga mendorong pertanyaan-pertanyaan yang bersifat ulitimate question (berat bobotnya). Rasa keingintahuan yang tinggi tersebut merupakan dasar yang mendorong timbulnya filsafat. Mitos yang berkembang di Yunani menjadi penyebab munculnya sikap kritis di kalangan masyarakat mereka. Dan ketakjuban terhadap alam semesta, membuat sang bapak filsafat Thales mengajukan sebuah pertanyaan “What is the nature of the world stuff?” Pertanyaan ini lebih berbobot daripada jawaban-jawaban yang muncul setelahnya. Inilah dampak dari sebuah ketakjuban.

C.    Relasi Filsafat dan Agama Kristen di Abad Pertengahan

Filsafat pada periode ini dipengaruhi oleh agama Kristen. Selama periode tersebut, yakni dimulai pada abad ke 3 Masehi, filsafatnya berwatak teologis. Ciri khas filsafat abad tersebut adalah adanya istilah credo ut intelligam, believe in order to understand, percayalah dahulu supaya mengerti. Artinya kita wajib mempercayainya terlebih dahulu, setelah itu akan muncul pemahaman dengan sendirinya. Kalimat tersebut diucapkan oleh Saint Anselmus, yang merupakan seorang filsuf abad pertengahan sekaligus uskup agung dari Canterbury.

Sebelum agama Kristen melakukan kontak dengan filsafat, mereka telah memiliki suatu dogma yang merupakan pusat doktrin dalam agama mereka, yaitu trinitas: Tuhan Bapak, Tuhan Anak, dan Tuhan Roh Kudus. Istilah trinitas ini dipopulerkan oleh Theopilus dari Antakya (Antioch). Lalu diresmikan pada pertemuan Konstantinopel pada tahun 382 M. Konsep tentang tiga realitas ini kemudian diikuti oleh Plotinus dalam mengembangkan konsep filsafatnya, yaitu: The One, The Mind, dan The Soul. Pada zaman Plotinus, konsep trinitas Kristen masih dalam proses pembentukannya, karena mereka para teolog Kristen mengambil sumbernya dari kitab suci mereka yang jelas-jelas tidak menyebutkan secara eksplisit tentang trinitas.

D.    Tokoh-Tokoh Filsafat Abad Pertengahan dan Gagasannya

Berikut akan kami kutipkan tokoh-tokoh filsafat abad pertengahan beserta sedikit dari gagasan-gagasan mereka.

1.      Plotinus (204-270 M)

Plotinus lahir di Mesir, oleh karenanya ketika membahas tentang Filsafat Barat Abad Pertengahan namanya tidak masuk dalam tokoh kunci filsafat periode tersebut. Namun, nama dan ajarannya cukup dikenal di kalangan filsuf Barat, bahkan ia pun meninggal di Italia.

Salah satu konsep ajaran Plotinus yang terkenal adalah tentang tiga realitas: The One, The Mind, dan The Soul. The One artinya adalah Tuhan menurut pandangannya, suatu realitas yang tidak mungkin dapat dipahami melalui metode sains dan logika. Ia bersifat transendens, atau dalam bahasa Arabnya غير محدود, tak terbatas. Manusia tak mungkin mengetahui esensinya, dan Tuhan tak dapat didefinisikan. The Mind adalah pikiran yang tinggi, yang mana untuk mencapai dan menghayatinya harus melewati permenungan. The Soul adalah realitas ketiga dari konsep filsafat Plotinus, yang di dalamnya terkandung nilai intelektual dan irasional.

Teori tentang tiga realitas yang diajukan oleh Plotinus sulit untuk dipahami dengan akal logis, terlebih lagi tentang tiga realitas dalam konsep teologi Kristen yang menggambarkan tentang Tuhan 1=3 dan 3=1. “Apabila orang Barat menghendaki agama yang dapat memberi perasaan kuat dalam mencari kemajuan dan kesadaran kepada harga diri sendiri, tinggalkanlah agama yang mengajarkan bahwa manusia itu lahir ke dunia dengan membawa dosa, dan dia harus meminta pengampunan dengan perantaraan wakil-wakil Tuhan di atas dunia ini. Agama yang memaksa otak manusia membenarkan 1=3 dan 3=1. Ambillah agama Islam yang dengan sempurna mengesakan Tuhan.” (Mohammad Natsir).

2.      Augustinus (354-430M)

Augustinus lahir di Numidia (sekarang Aljazair). Ia memegang jabatan sebagai pembantu uskup di daerah Hippo (salah satu daerah di Aljazair). Menurut Augustinus, Tuhan itu ditemukan dengan rasa atau intuisi, bukan dengan proses pemikiran atau logika. Tuhan baginya adalah suatu kebenaran yang abadi. Tuhan bagi Augustinus diposisikan sebagai guru tatkala manusia ingin mencari kebenaran. Jadi teori pengetahuan pada Augustinus adalah teori pengetahuan yang membutuhkan pencerahan ilahiah. Pemikiran itu bukanlah pencapaian tertinggi seorang manusia, yang tertinggi adalah pencerahan ilahiah. Dalam memandang tentang ilmu astronomi, ia memiliki anggapan yang sama dengan umumnya kaum gerejawan, yaitu beranggapan bahwa bumi merupakan pusat tata surya atau geosentris. Pengetahuan alam yang ia miliki bercorak supranatural.

3.      Boethius (480-524 M)

Memiliki nama lengkap Anicius Manlius Severinus Boethius, lahir di kota Roma Italia pada tahun 480 Masehi. Ada riwayat yang menyebutkan ia lahir di tahun 470 atau 475 Masehi. Ayahnya adalah seorang konsul pada tahun 487. Konsul adalah jabatan politik tertinggi pada masa Romawi. Dan kakeknya adalah penjaga Praetorian, mungkin semacam aparat keamanan tertinggi di zaman Romawi. Ia dihukum mati atas perintah Valentinian III karena dianggap sebagai pengkhianat bagi kekaisaran Romawi. Filsafat yang ditawarkan oleh Boethius bersifat teologis. Baginya, filsafat adalah cinta dan pengejaran tentang kearifan. Dan kearifan atau kebijaksanaan itu ia bawa kepada suatu pencarian tentang Tuhan. Menurut dia hal itulah yang akan membawa seseorang ke dalam kekuatan dan kemurnian sifat sejati mereka.

4.      Johannes Scotus Eriugena (815-877 M)

Ia lahir di Irlandia. Dan lebih dikenal sebagai seorang teolog ketimbang filsuf. Namun dalam buku yang kami miliki berjudul Medieval Philosophy, ia masuk dalam daftar filsuf abad pertengahan. Namun hal ini amat penting kami sampaikan, untuk mendukung anggapan kami bahwa corak filsafat abad ini memang bersifat teologis.

Johannes merupakan seorang sarjana Yunani, dan ia terpengaruh dengan ajaran Plato dan Aristoteles. Filsafat yang dibawakan oleh Johannes terjalin dengan teologinya, sehingga semua pembahasannya mengenai manusia dan alam memiliki dasar ketuhanan dalam setiap pembahasannya. Berikut sedikit kutipan yang menjadi gambaran bagi filsafatnya, “Saya melakukan perkerjaan saya terlebih dahulu untuk Tuhan, yang berfirman: Mintalah, dan Dia akan memberimu, carilah, dan kamu akan menemukan-Nya, dan di samping kamu ada saudara dalam Kristus. Biarkan setiap orang menggunakan akal yang dia miliki sampai cahaya itu datang dan mengusir kegelapan dari orang-orang yang berfilsafat dengan cara yang salah dan tidak layak.” 

5.      Anselmus (1033-1109 M)

Anselmus lahir di Aosta, Italia. Seluruh kehidupannya dipenuhi oleh kepatuhan kepada Gereja. Pada tahun 1093 ia menjadi uskup agung Canterbury dan ikut ambil bagian dalam perselisihan antara golongan pendeta dan orang-orang sekular.

Anselmus mengeluarkan pernyataan credo ut intelligam. Ungkapan itu mempunyai arti, percaya agar mengerti (believe in order to understand) atau lebih sederhananya, percayalah lebih dulu supaya mengerti. Dari ungkapan tersebut, Anselmus mengatakan bahwa wahyu harus diterima lebih dulu sebelum mulai berpikir. Pernyataan Anselmus ini dapat dianggap ciri utama filsafat abad pertengahan.

Dalam membuktikan adanya Tuhan, Anselmus menjelaskan bahwa semua konsep adalah relatif. Menurut pendapatnya, makhluk terbatas ini tidaklah menciptakan dirinya sendiri, mereka memerlukan pencipta, dan itu adalah Tuhan. Selain itu, Anselmus sering kali menyatakan bahwa ia tidak perlu tahu tentang Tuhan. Ia telah beriman kepada Tuhan. I believe, that unless I believe, I should not understand.

Singkatnya, kata Anselmus, bila kita berpikir tentang Yang Mahabesar, kita berpikir tentang Tuhan. Mengenai sifat Tuhan, Anselmus menyebutkan Tuhan bersifat esa, kekal, baik, dan sempurna. Tuhan tidak berada di dalam ruang dan waktu, tetapi segala sesuatu berada di dalam Tuhan. Teori pengetahuan Anselmus menyatakan bahwa pengetahuan dimulai dari penginderaan, lalu terbentuklah pengetahuan akliah, terakhir adalah menangkap kebesaran Tuhan melalui jalur mistik.

 Kebaikan tertinggi bagi manusia ialah perenungan tentang kebesaran Tuhan. Selanjutnya ia mengatakan bahwa kita selalu dalam kurungan selama kita masih dibimbing oleh nafsu duniawi dan selama kita masih terikat pada keinginan-keinginan jasmani.

6.      Thomas Aquinas (1225-1274 M)

Thomas Aquinas lahir di Roccaseca, Italia, pada tahun 1225. Aquinas memancarkan seluruh babakan pemikiran abad pertengahan. Melalui gurunya, Albertus Magnus, Aquinas belajar tentang alam, dan dapat disaksikan dalam filsafatnya lebih empiris daripada pandangan orang-orang yang diikutinya.

Pandangannya tentang pengetahuan dipengaruhi oleh keyakinannya bahwa Tuhan adalah awal dan akhir segala kebijakan. Kita, katanya, tidak dapat menjelaskan masalah penciptaan berdasarkan hukum kausalitas. Akan tetapi, dalam argumennya ia menggunakan prinsip kausalitas itu. Di sini kausalitas dianggap sebagai hukum yang berasal dari Yang Mahatinggi. Secara singkat alam semesta ini dalam pandangan Aquinas dibagi ke dalam lima kelas: realitas anorganis, realitas animal, realitas manusia, realitas malaikat, dan realitas Tuhan.

Semua realitas itu dibimbing oleh Tuhan. Tanpa bimbingan Tuhan, manusia tidak mengetahui apa-apa. Salah satu usahanya yang dilakukan dengan penuh ketekunan ialah memberantas kekafiran. Dalam hal ini ia banyak menggunakan pendapat orang Arab, tetapi ia tidak dapat menerima pemikiran orang Arab itu.

Menurut Aquinas, eksistensi Tuhan dapat diketahui dengan akal. Untuk membuktikan pendapatnya ini ia mengajukan lima dalil (argumen) seperti yang diringkaskan berikut ini:

  1. Argumen pertama, diangkat dari sifat alam yang selalu bergerak.
  2. Argumen kedua, disebut sebab yang mencukupi (efficient cause).
  3. Argumen ketiga, argument kemungkinan dan keharusan (possibility and necessity).
  4. Argumen keempat, memperhatikan tingkatan yang terdapat pada alam ini.
  5. Argumen kelima, berdasarkan keteraturan alam.

Argumen-argumen ini sangat terkenal pada abad pertengahan. Namun, kelima argumen ini tidak ada yang dapat meyakinkan kita tentang adanya Tuhan. Aquinas berpendapat bahwa Tuhan menciptakan alam semesta dari tiada, sekaligus, jadi berlawanan dengan teori Darwin. Dalam mencipta itu Tuhan tidak dipengaruhi oleh apa pun, karena itu ia tidak memerlukan penciptaan secara evolusi.

Menurut Aquinas, tujuan diciptakannya alam semesta ini adalah untuk memperlihatkan kebaikan Tuhan. Melalui penciptaan itu Tuhan bermaksud memperlihatkan kesempurnaan-Nya, kemahakuasaan-Nya.

Salah satu kutipan ucapan Thomas Aquinas yang mencirikan filsafatnya lebih dominan kepada hati daripada akal adalah seperti berikut ini, “Orang yang beriman tidak butuh penjelasan. Orang yang tidak beriman tidak mungkin menerima penjelasan.”

 

PENUTUP

Periode abad pertengahan dimulai ketika wilayah bekas kekuasaan kerajaan Romawi Barat mulai bersatu pada abad ke-5 M. Zaman kegelapan atau dark age muncul setelah kawasan Eropa mengalami stagnasi atau bahkan kemunduran akibat dari kuatnya posisi gereja di segala bidang kehidupan masyarakat Eropa saat itu. Tidak ada satupun masyarakat yang diperbolehkan menyebarkan pengaruhnya melebihi pengaruh gereja. Oleh karenanya pada masa ini tidak banyak menghasilkan tokoh-tokoh berpengaruh, terutama untuk perkembangan ilmu pengetahuan modern. Abad Pertengahan juga sering diartikan sebagai periode kekuasaan agama. Segala hal yang tidak berhubungan dengan agama dianggap melanggar hukum. Hal itu semakin menghambat perkembangan ilmu pengetahuan empiris dan teori-teori baru. Masyarakat hanya mengandalkan teori lama yang diperbolehkan oleh gereja.

Hal ini tentu berbanding 180 derajat dengan kondisi di belahan bumi bagian Timur, tepatnya di wilayah Islam. Fungsi akal sangat dihargai oleh Islam, namun tidak sampai mendominasi jalan hidup mereka sehingga agama ditinggalkan dan mereka mengambil materialisme dan atheisme. Para filsuf muslim tidak meninggalkan keimanan mereka terhadap Allah, karena memang dasar dari kitab suci mereka yaitu Al-Qur’an -dalam beberapa kesempatan- sangat menghargai fungsi akal, tidak seperti kitab suci Kristen yang memang tidak memberi tempat bagi akal. Hal tersebut terulang-ulang dalam Al-Qur’an sebagaimana contoh berikut: Tentang kewajiban mempotensikan akal ada di surat Al-Baqarah: 44&76 dan surat Alu Imran: 65. Tentang perintah berfikir, ada di surat Al-A’raf: 176, surat Yunus: 24, surat Ar-Ra’du: 3, dan surat An-Nahl: 11.

Kalaulah selama ini Eropa mengalami masa-masa kelam pada abad pertengahan, hal ini berbanding terbalik dengan satu wilayah kecil di Eropa bernama Andalusia (sekarang Spanyol). Di bawah kekuasaan Islam, peradaban mereka sangat maju kala itu. Orang-orang Eropa menjuluki mereka sebagai Saracen (orang Arab yang tinggal di tanah Eropa). Cordoba atau dalam bahasa Arabnya Al-Qurthubah, merupakan pusat pendidikan dan peradaban Islam di tanah Eropa.

Mengenai ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad, Frederick Denison Maurice memujinya setinggi langit dengan mengatakan, “Ucapan dan perbuatannya membawa moral dari sejarah sebelumnya. Muhammad memproklamirkan Tuhan yang sebenarnya kepada manusia yang sebelumnya berdebat mengenai eksistensi Tuhan. Muhammad memberi penegasan bahwa manusia harus tunduk kepada aturan Tuhan. Itu adalah pernyataan yang luar biasa. Filsafat menyusut dan mengerut di hadapannya. Semua spekulasi etis disimpulkan oleh satu dalil, bahwa perintah Tuhan harus dipatuhi, semua spekulasi metafisik dibungkam oleh teriakan tersebut. Manusia diutus untuk menegakkan kekuasaan-Nya di bumi. Ketuhanan Kristen tampak terhuyung oleh pesan tersebut.” 

Share:

Definition List

Definition list
Consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua.
Lorem ipsum dolor sit amet
Consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua.

Theme Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.
Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

Ordered List

  1. Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.
  2. Aliquam tincidunt mauris eu risus.
  3. Vestibulum auctor dapibus neque.

Recent Posts

Unordered List

  • Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.
  • Aliquam tincidunt mauris eu risus.
  • Vestibulum auctor dapibus neque.

Sample Text

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua.

Pages

Theme Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.