NEGARA PASUNDAN vs RI: Kebijakan Politik dan Kepastian Hukum Terhadap Umat Islam

Oleh: Fian Sofian

Negara Pasundan resmi berdiri pada tanggal 24 April 1948 secara de facto dan de jure di Jawa Barat, dengan wali negara alias presidennya bernama Raden Adipati Aria Wiranatakusumah (kita sebut Wiranatakusumah V). Beliau merupakan menak (priyayi Sunda) sekaligus santri yang memiliki keluasan pandangan mengenai masalah-masalah keislaman. Di Jawa Barat khususnya di Bandung beliau dikenal denga panggilan "Kanjeng Dalem Haji", panggilan tersebut disematkan karena beliau pernah menjalankan ibadah haji saat itu. Sangat jarang priyayi dan pangreh praja melaksanakan haji saat itu.

Di masa kolonialisme Belanda, banyak sekali jabatan politik yang beliau emban. Salah satunya menjadi bupati Bandung sebanyak dua periode. Di masa pendudukan fasis Jepang pun beliau masih diberi kepercayaan untuk mengemban amanah sebagai pemimpin di kota Bandung. 

Hal yang menarik dari Wiranatakusumah adalah kedekatannya dengan tokoh-tokoh Islam di kota Bandung saat itu, terutama Persatuan Islam (Persis) yang digawangi oleh A. Hassan/Hassan Bandung. Hal yang mengindikasikan kedekatannya tersebut adalah dengan beredarnya rumor bahwa A. Hassan didaulat menjadi Menteri Agama dalam pemerintahan Negara Pasundan Jilid II. Bukan hanya A. Hassan yang diberi amanat menduduki jabatan strategis oleh Wiranatakusumah, jauh sebelum berdirinya Negara Pasundan, salah seorang kader Persis -murid A. Hassan- pernah diberi jabatan sebagai Biro Pendidikan Kota Bandung, beliau adalah Mohammad Natsir. Selain A. Hassan dan Moh. Natsir, salah satu tokoh senior Sarekat Islam (SI) bernama Sjafei Wirakusumah juga memiliki kedekatan khusus dengan Wiranatakusumah, dibuktikan dengan pengakuan beliau kepada Ridwan Saidi taatkala meminta konfirmasi. Bahkan Sjafei yang merekomendasikan nama A. Hassan untuk bergabung dalam kabinet Negara Pasundan tahun 1948.

Percaturan pemikiran dan pergerakan Islam di kota Bandung menghantarkan tokoh-tokoh seperti Sjafei Wirakusumah (SI), A. Hassan (Persis), dan Moh. Natsir (Persis) menjadi terkenal di tengah-tengah masyarakat kota Bandung. Maka lumrah, seorang pemimpin sekaliber Wiranatakusumah dengan julukan menak-santri mengenal baik mereka. Tak sampai di situ, tokoh pergerakan nasional seperti Soekarno pun mengenal baik A. Hassan sebagai seorang 'ulama pemikir di kota Bandung. Hal ini dibuktikan dengan surat menyurat antara keduanya tatkala Soekarno diasingkan ke Endeh tahun 1930-an.

Pro Negara Pasundan=Pro Belanda&Anti Kemerdekaan Republik???

Banyak kalangan yang menilai bahwa para pendukung Negara Pasundan adalah orang-orang yang anti kemerdekaan Republik Indonesia, dan menuduh mereka sebagai pro penjajah Belanda. Hal ini pula yang diutarakan oleh sejarawan senior dari Universitas Padjajaran (Unpad), Ahmad Mansur Suryanegara. Kesimpulan yang beliau utarakan dalam bukunya "Api Sejarah" dinilai terburu-buru dan gegabah oleh sejarawan muda, Tiar Anwar Bachtiar. Dalam bukunya "JAS MEWAH" beliau mengkritik kesimpulan dari AMS yang menyebutkan tentang tokoh besar Persis bernama A. Hassan sebagai sosok yang inkonsisten, pragmatis, dan pendukung penjajah Belanda. Benarkah demikian? Hampir 10 halaman dibahas Tiar untuk mengulas lebih dalam kekeliruan AMS.

Hal pertama yang dilakukan oleh Tiar adalah melakukan kroscek di beberapa arsip nasional mengenai keterkaitan A. Hassan dengan Negara Pasundan. Sama sekali tidak ditemukan nama A. Hassan dan Sjafei Wirakusumah dalam jajaran kabinet Negara Pasundan. Akan tetapi dari beberapa sumber sejarawan lain yang pernah melakukan korespondensi dengan Sjafei Wirakusumah, mereka berkesimpulan bahwa benar A. Hassan pernah terlibat langsung dengan Negara Pasundan. Hal ini pun "diamini" oleh Tiar. Hanya saja yang menjadi ganjalan Tiar, sikap dari AMS yang cendrung tergesa-gesa, gegabah, dan simplistis dalam membuat kesimpulan terhadap A. Hassan. 

Hal berikut yang dilakukan Tiar adalah dengan mendudukan status quo Republik Indonesia yang sesaat pasca proklamasi kemerdekaan belum memiliki batas teritorial yang jelas. Terlebih belum ada negara luar yang mengakui secara de facto kedaulatan Republik Indonesia pasca proklamasi. Justru perundingan-perundingan yang digelar semakin merugikan pihak Republik Indonesia, dan batas teritorial wilayah Republik hanya sebatas Sumatera, Jawa, dan Madura. Ditambah setelah perjanjian Renville, Jawa Barat bukan lagi bagian dari Republik Indonesia. 

Meski Palestina mengakui kemerdekaan Indonesia secara de facto, hal itu diungkapkan setahun sebelum proklamasi kemerdekaan. Dan pasca proklamasi 17 Agustus 1945, Mesir mengakui kemerdekaan RI pada Maret 1946 secara de facto, dan barulah pada Juni 1947 secara de jure. Pengakuan-pengakuan tersebut belum dapat menjadikan teritorial Republik Indonesia berdaulat penuh seperti sekarang, karena sebab perundingan-perundingan yang dilakukan pemerintah RI saat itu justru membuat wilayah Republik semakin mengecil.

Banyak hal lain yang diungkap oleh Tiar dalam kritiknya terhadap AMS. Tiar menyebut faktor kedekatan A. Hassan dengan SI dan Wiranatakusumah, yang menjadi sebab dukungan A. Hassan terhadap Negara Pasundan. A. Hassan merupakan anggota khusus SI cabang Bandung. A. Hassan sering ikut dalam rapat-rapat internal SI, yang mana S.M. Kartosuwiryo menjadi salah satu petingginya. Tatkala nama Wiranatakusumah dinobatkan sebagai wali atau presiden Negara Pasundan, maka PSII -yang merupakan partai politik besutan SI- mendukungnya, pun dengan A. Hassan.

Dan faktor primer yang menjadi penyebab dukungan A. Hassan terhadap Negara Pasundan, menurut Tiar dikarenakan kepastian dan jaminan yang diberikan Negara Pasundan terhadap umat Islam di Jawa Barat. Dalam Sidang Parlemen Sementara Negara Pasundan tanggal 22 April 1948 di Bandung, secara khusus disebutkan dalam pasal 76 UUD Negara Pasundan tentang hak khusus terhadap umat Islam. (Jas Mewah, 232). Hal ini justru berbanding terbalik dengan sikap RI yang menghapus isi sila pertama Pancasila dalam menjamin terpelihara dan terselenggaranya syariat Islam, pada tanggal 18 Agustus.

Menjadi realistis jika A. Hassan dan kelompok pergerakan Islam di Jawa Barat lebih menaruh hati dan harapannya kepada Negara Pasundan, dikarenakan kebijakannya dan aturannya dinilai lebih cocok dengan prinsip politik mereka.

"Negara Pasundan justru dipimpin oleh orang-orang Islam yang dikenal taat, bahkan nyantri seperti R.A.A. Wiranatakusumah, sementara RI dipimpin oleh orang-orang yang Islamnya tidak jelas seperti Soekarno. Apalagi RI saat itu pemerintahannya dipimpin oleh seorang perdana menteri Katolik-Komunis Amir Syarifudin. Justru kalau bukan Negara Pasundan yang menjadi pilihan A. Hassan, malah harus dipertanyakan konsistensinya". (Tiar Anwar Bachtiar).

Menyingkap Sejarah Awal Berdirinya Negara Pasundan Jilid I; Konflik Primordial Mang Karta dan Bau Politik Adu Domba Kaum Kolonial?

Sejarah berdirinya Negara Pasundan diproklamirkan pertama kali oleh Raden Adipati Aria Muhammad Musa Suria Kartalegawa (kita sebut Karta) pada tanggal 4 Mei 1947 di alun-alun Bandung. Karta lahir di Garut pada tanggal 26 Oktober 1897, dan pernah menjabat sebagai Bupati Garut pada periode 1928-1943. Konflik primordial yang digaungkan Karta -menurut sebagian kalangan-, merupakan salah satu latar belakang terbentuknya Negara Pasundan jilid I. Karena pada saat itu Soekarno mengangkat Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat yang bukan berasal dari kalangan Sunda. 

Melihat keadaan tanah jajahannya di Jawa Barat, Belanda pun menyokong dan menginisiasi berdirinya negara ini dengan cara mengerahkan armada truknya untuk mengangkut massa dari Bandung Timur dengan maksud agar mereka menghadiri deklarasi dan pidato Karta di alun-alun Bandung. Otak dibalik itu semua adalah Hubertus Johannes Van Mook (H.J. van Mook) yang merupakan seorang keturunan Belanda, dan lahir di Semarang Jawa Tengah pada tanggal 30 Mei 1884. Salah satu strategi yang dilakukannya dalam mencegah gelombang revolusi Indonesia adalah dengan membentuk negara federal, agar basis kekuatan rakyat Indonesia terpecah-belah. 

Ketidakcakapan Karta dalam menghimpun masa pendukung, membuahkan kegagalan bagi berdirinya Negara Pasundan jilid I ini. Pihak Belanda yang memang menginginkan tegaknya "negara boneka" ini tidak sepenuhnya menaruh harapan kepada Karta, karena melihat rekam jejaknya selaku teknokrat yang korup dan oportunis. Di kalangan para pemimpin dan tokoh di Jawa Barat pun Karta tidak mendapatkan dukungan. Bahkan rakyat kala itu pun tidak menaruh simpati dan memiliki pandangan negatif kepadanya. Mereka menjuluki Karta dengan sebutan Suria NICA-legawa, sebagai sindiran atas kedekatan intim dan ketundukan Karta terhadap pemerintahan Hindia-Belanda.

"Untuk mengatasi kebuntuan ini, diadakanlah Konferensi Jawa Barat I tanggal 12-19 Oktober 1947 yang melibatkan para pemimpin Jawa Barat dari berbagai elemen. Penulis menduga (masih perlu dicarikan buktinya), pemimpin-pemimpin Persis seperti A. Hassan mendapat undangan dalam pertemuan ini. Karena kongres ini belum menghasilkan keputusan apa-apa, kemudian diselenggarakan Konferensi Jawa Barat II tanggal 16-20 Desember 1947 dan Konferensi Jawa Barat III tanggal 23 Februari-5 Maret 1948 yang akhirnya menyetujui didirikannya Negara Pasundan (versi baru) dengan walinya Raden Adipati Aria Wiranatakusumah (R.A.A. Wiranatakusumah)". (Tiar Anwar Bachtiar).

Kekecewaan Pasca Perundingan Linggarjati dan Renville

Setelah kekalahan Jepang di Perang Pasifik (Perang Dunia II), pihak Belanda masih bernafsu ingin menguasai kembali Hindia-Belanda (Indonesia). Belanda membawa sekutu untuk melancarkan nafsunya tersebut.

Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 tidak otomatis menjadikan Indonesia sebagai negara yang berdaulat secara de facto dan de jure. Serangkaian perundingan di antara RI dan Belanda membahas lebih dalam mengenai status kemerdekaan Republik Indonesia. Pada akhirnya diadakanlah Perundingan Linggarjati pada tahun 1946. Beberapa isi perundingan tersebut mensahkan wilayah Republik Indonesia secara de facto berupa Sumatera, Jawa, dan Madura. Dan bentuk negara yang disetujui dalam perundingan tersebut adalah negara persemakmuran, bernama Republik Indonesia Serikat (RIS) -yang salah satu bagiannya adalah wilayah kedaulatan RI-. Kelak RIS yang terletak di wilayah Asia Tenggara ini membentuk Uni Indonesia-Belanda yang dipimpin oleh Ratu Belanda saat itu, Wilhelmina.

"Wilayah ini menjadi semakin sempit sejak digelar perundingan Renville 17-19 Januari 1948 (PM Indonesia Amir Syarifudin). RI hanya diberi wilayah Banten, Yogyakarta, dan delapan keresidenan di Jawa Tengah. Belanda mengeplot sisanya menjadi negara-negara bagian yang nantinya akan digabungkan dalam persemakmuran Belanda, termasuk RI. Salah satu negara bagian yang disiapkan adalah Negara Pasundan". (Tiar Anwar Bachtiar).

Kekecewaan banyak dirasakan para pendukung republik  tatkala sebagian besar wilayah RI jatuh ke tangan Belanda, termasuk wilayah Jawa Barat. Banyak diantara mereka yang tidak setuju atas berdirinya Negara Pasundan ini. Namun pada kenyataannya -setelah kesepakatan Renville-, Jawa Barat sudah bukan bagian dari Republik Indonesia lagi, dan sah sebagai sebuah negara dalam wilayah kedaulatan Belanda dengan ide politik negara federalnya.

Salah satu tokoh pejuang nasional yang dijuluki sebagai Bapak Republik, Ibrahim (Tan Malaka), menyiratkan kekecewaannya dalam pidato tertulis yang ditujukan kepada panitia Kongres Rakyat Indonesia pada bulan Desember 1948.

"Setelah perjanjian Renville tercapai 1 Januari 1948 dan setelah diplomasi Belanda berhasil mengosongkan kantong di Jawa Barat dan Jawa Timur dengan ujung lidah saja, maka dengan memakai siasat "Fait Accompli" (keadaan/ketentuan yang harus dihapadi/diterima) dalam militer, ekonomi dan politik sambil merobek-robek dan memutar-balikkan perjanjian yang dibikinnya sendiri, maka kita sampai kepada perundingan terakhir ini dan mudah diputuskan baru-baru ini.

Ringkasnya: dalam perundingan terakhir ini siasat lama terus dijalankan, ialah perundingan dilakukan buat diperhentikan.

Di samping itu tujuan lama tetap dijalankan ialah memasukkan Republik ke dalam jajahan Hindia-Belanda dalam corak dan nama baru".

Dalam tulisannya yang lain, Tan Malaka mengungkapkan kekecewaannya secara langsung kepada Soekarno:
"Presiden Soekarno (yang walaupun atas desakan para pemuda Jakarta) pada 17 Agustus 1945 telah memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dan di masa Jepang menciptakan (slogan, -pen) Amerika Kita Setrika, Inggris Kita Linggis serta dengan sandiwara membakar potret Van Der Plas (Roosevelt dan Churchill) -dengan Naskah Linggarjati dan Renville Principles- menerima kembali Mahkota Raja Belanda di samping mengakui modal asing baik yang langsung memusuhi, maupun yang tidak langsung memusuhi Republik".

"Tiadalah perlu presiden Soekarno di masa republik ini terus menerus menerima usul Inggris, yang sangat merugikan rakyat ialah menghentikan pertempuran di Surabaya dan Magelang serta usul dari pihak Belanda mengakui beberapa negara boneka dalam beberapa wilayah Republik Indonesia (NIT, Borneo, dll) dan sekarang menerima dan menjalankan usul Belanda mengosongkan kantong dan menarik 35.000 prajurit dari Jawa Barat dan Jawa Timur dan seterusnya menerima kembali mahkota Belanda, N.I.S dan Uni Nederland-Indonesia, jadinya membatalkan proklamasi 17 Agustus". 
Share:

Kartini dan Sejarah Feminisme di Indonesia


Oleh: Dr. Tiar Anwar Bachtiar


KATA "EMANSIPASI WANITA" sudah menjadi kata-kata klise di negeri ini. Paling tidak kata-kata ini dikenal sejak Armijn Pane menerjemahkan surat-menyurat Kartini dengan teman-teman Belandanya, Door Dusternis tot Licht (1910), yang dia beri judul Habis Gelap Terbitlah Terang pada tahun 1922. Buku ini menginspirasi kalangan pejuang kemerdekaan Indonesia untuk menyemangati agar kaum wanita pun turut serta berjuang menegakkan kemerdekaan negeri ini.

Dalam surat-suratnya, Kartini memang menceritakan apa adanya yang dialami para wanita priyayi di Jawa. Misalnya, dia mengisahkan tentang adat istiadat yang mengurung dirinya.

"Kami, anak-anak perempuan yang terantai dengan adat istiadat lama, hanya boleh memanfaatkan sedikit saja dari kemajuan di bidang pengajaran itu. Bahwa sebagai anak perempuan, setiap hari pergi meninggalkan rumah untuk belajar di sekolah, sudah merupakan pelanggaran besar terhadap adat kebiasaan negeri kami. Ketahuilah, adat negeri kami melarang keras gadis-gadis keluar rumah. Pergi ke tempat lain kami tidak boleh... . Pada usia 12 tahun saya harus tinggal di rumah. Saya harus masuk "kotak", dikurung di dalam rumah, sama sekali terasing dari dunia luar..."

Cerita-cerita Kartini hampir sepanjang bukunya itulah yang kemudian menjadi asumsi bahwa nasib para wanita di Indonesia pada umumnya seperti itu hingga kesimpulannya adalah bahwa wanita Indonesia harus dikasihani. Emansipasi wanita adalah suatu keharusan. 

Dalam kasus Kartini bisa saja dia memang diperlakukan seperti itu. Namun, apakah dapat dianggap bahwa semua wanita di masanya diperlakukan seperti yang dialami Kartini? Apakah Kartini berani menjamin klaimnya bahwa adat di negeri ini (adat Timur) memperlakukan para wanita seperti itu adalah benar? Jangan-jangan kasus itu hanya menimpa Kartini; atau hanya dialami kaum priyayi seperti Kartini. Pertanyaan ini wajar diajukan mengingat banyak indikasi yang akhirnya harus menggugurkan klaim berlebihan Kartini mengenai perlakuan terhadap kaum wanita.

Sejarah Para Wanita di Indonesia Sebelum dan Semasa Kartini

Munculnya Cut Nyak Dhien sebetulnya cukup mengherankan. Bagaimana bisa dalam masyarakat yang -katanya- sangat dominasi laki-laki (patriarki) dapat muncul seorang panglima perang perempuan. Jelas membutuhkan suatu revolusi sosial untuk munculnya seorang seperti Cut Nyak Dhien dalam masyarakat patriarki. Nyatanya Cut Nyak Dhien bukan tokoh rekayasa. Jelas dia bukan tokoh ciptaan Belanda.

Harap diketahui, Aceh tidak pernah tunduk pada Belanda sampat tahun 1904. Kalaupun akhirnya ditaklukkan, para ulama Aceh tidak mengakui bahwa mereka tunduk pada Belanda. Oleh sebab itu, perlawanan terhadap Belanda terus dikobarkan. Jadi tidak mungkin munculnya sosok Cut Nyak Dhien dipengaruhi ide feminisme Barat.

Lebih menarik lagi, tradisi perempuan berkiprah di ruang publik, bahkan menjadi pemimpin negara bukan barang baru di Aceh. Pemimpin kerajaan Aceh antara tahun 1641 sampai tahun 1699 adalah perempuan. Mereka masing-masing Sri Ratu Tajul Alam Shafiatuddin Johan Berdaulat (1642-1675), Sri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin (1675-1678), Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah (1678-1688), dan Sri Ratu Kamalat Syah (1688-1699) (Ali Hasyimi, 1977).

Pada awal abad ke-17 saat Eropa baru memasuki zaman yang mereka sebut "pencerahan" (renaisan, afklarung, enlightenment), jangan tanyakan soal wanita menjadi pemimpin publik. Para wanita Eropa nasibnya tidak lebih daripada budak. Kalaupun mereka menjadi bangsawati, perannya tetap berada di bawah subordinasi laki-laki. Struktur masyarakat yang patriarki sangat dominan di Eropa saat itu. Kenyataan ini pula yang menjadi sebab munculnya gerakan-gerakan feminis di Eropa yang sangat memusuhi dan membenci struktur patriarki. Walaupun umumnya diklaim bahwa gerakan ini mulai diperkenalkan Mary Wollstonecraft tahun 1790-an, gerakan sesungguhnya baru muncul menjelang abad ke-19.

Kalau dibandingkan dengan apa yang terjadi di Aceh, tidak mungkin bahwa munculnya raja-raja perempuan di Aceh ini adalah pengaruh dari Eropa. Lagi pula pada masa-masa berikutnya, ketidaksenangan dan permusuhan rakyat kerajaan Aceh terhadap Belanda (baca: Barat) begitu kuat. Inilah salah satu yang membuat Belanda harus berjibaku selama lebih dari satu abad untuk menaklukkan negeri ini. Namun, itu pun tidak sepenuhnya. Hanya kemenangan simbolik dan politik yang didapatkan Belanda. Sisanya Aceh masih seperti sediakala, terutama dalam masalah keyakinan dan budaya yang dipegang.

Sudah lama memang referensi sejarah bangsa ini melulu Jawa-sentris. Itu pun terbatas sejarah priyayi Jawa. Salah satunya soal Kartini. Kartini yang dibangga-banggakan itu adalah seorang priyayi perempuan Jawa. Apa yang diceritakannya adalah cerita mengenai kehidupan "para-priyayi" Jawa yang -barangkali- begitu. Tradisi para priyayi ini berbeda sangat mencolok dengan kehidupan kaum "cacah". Secara cukup atraktif Clifford Geertz berhasil mendemonstrasikan bagaimana perilaku komunitas priyayi yang berbeda dengan kaum "cacah" ini dalam Religion of Java.

Dari sisi relasi laki-laki dan perempuan dalam masyarakat "cacah" (rakyat biasa) Jawa ketimpangan seperti yang diceritakan Kartini terasa berlebihan. Lihat saja saat menggarap sawah atau kebun yang sejak berabad-abad menjadi pencaharian rakyat Jawa. Selalu sawah akan digarap bersama antara laki-laki dan perempuan. Selalu ada pembagian peran. Misalnya, laki-laki mencangkul, perempuan menyiangi rumput; dan sebagainya. Aktivitas di pasar-pasar pun selalu bercampur antara laki-laki dan perempuan. Di pesantren-pesantren, ulamanya tidak hanya laki-laki. Istilah "Kiai" (ulama laki-laki) dan "Nyai" (ulama perempuan) sudah hidup begitu lama. Pesantren pun sudah sejak awal berdirinya selalu diperuntukkan bagi santri putra dan putri. 

Kalau melihat kenyataan ini, apakah sungguh-sungguh kaum perempuan Jawa ini termarginalkan? Jangan-jangan itu hanya terjadi di sekitar lingkungan Kartini yang priyayi. Sementara di akar rumput, apa yang diceritakan Kartini tidak pernah terjadi. Kalau memang begitu masih layakkah "curhatan" Kartini dipercaya dan dijadikan semacam "kitab suci" mengenai kondisi perempuan di negeri ini?

Soal pendidikan pun sepertinya hanya berlaku di lingkungan Kartini. Mungkin benar para priyayi Jawa lebih senang menyekolahkan anak-anak laki-laki daripada anak-anak perempuan seperti yang diceritakan Kartini. Namun, klaim ini patut dipertanyakan kalau digunakan untuk memotret kaum "cacah". Salah satu bukti adalah tradisi di pesantren-pesantren yang memberikan ruang seluas-luasnya, bahkan khusus, bagi kaum perempuan. Selain itu, masalah buta huruf sesungguhnya tidak hanya dialami kaum perempuan. Laki-laki pun menghadapi problem yang sama. Jadi, kalau perempuan saat itu tidak banyak yang bersekolah, bukan masalah diskriminasi, melainkan memang sekolahnya tidak ada. Jangankan perempuan, laki-laki pun sama-sama tidak pergi ke sekolah. Kebodohan ini merata di kalangan laki-laki dan perempuan. Sama sekali bukan monopoli kaum perempuan saja.

Sederet fakta lain seperti munculnya tokoh seperti Rohana Kudus di Sumatera Barat dan Dewi Sartika di Bandung semakin memperkokoh argumen bahwa sesungguhnya di negeri ini kesadaran akan kesetaraan laki-laki dan perempuan sudah sejak lama ada. Kesadaran ini bukan kesadaran impor seperti yang diklaim para aktivis feminis. Fakta-fakta ini juga semakin menegaskan bahwa sesungguhnya Indonesia tidak menderita sindrom patriarki seperti yang terjadi di Eropa sana.

Oleh karena kesadaran ini bukan impor, jelas pula prinsip kesetaraan yang dipegang masyarakat Indonesia sama sekali berbeda dengan kesetaraan gender yang diajarkan Barat-sekuler. Kesetaraan gender yang digadang-gadang para aktivis perempuan melabrak norma-norma budaya dan agama. Sementara kesadaran yang tumbuh di kalangan perempuan Indonesia seperti Cut Nyak Dhien adalah kesadaran yang berporos pada budaya. Budaya yang tumbuh sangat dipengaruhi prinsip-prinsip Islam. Adat basandi syara', syara' basandi Kitabullah. Oleh karena itu, sekalipun para perempuan Muslimah ini bergerak, agama tidak pernah mereka serang dan abaikan. Lebih dari itu, mereka malah mau bergerak karena diinspirasi oleh kesadaran keagamaan mereka. Kalau begitu, sesungguhnya membawa ide emansipasi dan feminisme dari Barat ke Indonesia adalah salah alamat.

Realitas Sejarah Kartini

Dalam surat-suratnya di atas, Kartini bercerita tentang kegetiran dan nestapa yang dialaminya sebagai anak perempuan seorang priyayi Jawa (bupati). Dia selalu ditempatkan sebagai makhluk kelas dua setelah saudara laki-lakinya. Perannya dianggap lebih rendah dibandingkan laki-laki. Ayahnya menikah secara poligami yang membuatnya sengat tidak senang, sekalipun akhirnya dia harus menerima kenyataan menjadi isteri keempat Bupati Rembang.

Atas pengalaman yang dialaminya itu, Kartini sampai pada kesimpulan bahwa wanita Indonesia harus bergerak dan bangkit melawan penindasan ini. Untuk bangkit itu, "Kartini bercita-cita memberi bekal pendidikan kepada anak-anak perempuan, terutama budi pekerti, agar mereka menjadi ibu yang berbudi luhur, yang dapat berdiri sendiri mencari nafkah sehingga mereka tidak perlu kawin kalau mereka tidak mau". (Sulastin Sutrisno, Surat-Surat Kartini, Djambatan, 1985: xvii).

Sampai pada titik ini, pemikiran-pemikiran feminis Kartini terlihat terang-benderang, walaupun akhirnya dia memilih untuk meninggalkan pemikirannya ini. Kartini rupanya lebih senang menjadi wanita Jawa apa adanya. Dia memilih untuk menikah, punya anak, dan tidak bekerja mencari nafkah sendiri seperti yang dia angankan sebelumnya. Bahkan pernikahan poligami yang sebelumnya sangat dimusuhi dan dianggapnya sangat "diskriminatif" terhadap wanita, akhirnya dia jalani. Keputusannya ini sangat disayangkan oleh teman-teman Belandanya, terutama Stella. Stella kecewa atas perubahan pikiran dalam diri Kartini. Sebagai seorang penganut feminisme yang sudah mendarah daging, Stella betul-betul tidak dapat mengerti keputusan Kartini.

Kartini sendiri tidak terlihat sama sekali merasa tertindas atas pernikahan poligaminya itu. Bahkan beberapa saat setelah pernikahannya Kartini menulis surat kepada J.H. Abendanon dan isterinya yang menunjukkan bahwa pernikahannya, sekalipun pernikahan keempat bagi suaminya, sama sekali baik-baik saja.

"Kawan-kawan yang baik dan budiman. Saya tahu betul-betul, bagaimana surat ini diharap-harapkan, surat saya yang pertama dari rumah saya yang baru. Alhamdulillah, di rumah itu dalam segala hal keadaan saya baik dan menyenangkan; di situ yang seorang dengan dan karena yang lain bahagia...". (Surat-Surat Kartini, hlm. 348).

Mencermati perjalanan hidup Kartini seperti itu, patut dipertanyakan dari mana Kartini punya pikiran feminis pada awal-awal suratnya? Padahal, sejatinya Kartini adalah wanita Jawa yang ternyata lebih menghayati kehidupan budayanya. Kesenangannya justru lahir dalam harmoni mengikuti ritme budaya tempat sekian lama dia hidup dan sudah mendarah daging sejak lahir. Dia tidak pernah senang menjadi wanita pemberontak seperti yang diajarkan para feminis.

Pertanyaan ini tidak akan pernah terjawab kalau kita tidak mencermati di mana Kartini bersekolah dan dengan siapa dia berkirim surat. Kartini bersekolah di sekolah Belanda karena dia seorang anak bupati yang bisa menikmati sekolah bersama dengan anak-anak Belanda. Menjelang abad ke-20 saat Kartini bersekolah adalah saat ide-ide Politik Etis yang dipengaruhi kelompok liberal di Belanda tengah menjadi arus wacana utama di Hindia Belanda (baca: Indonesia).

Selain karena arus wacana Politik Etis, dengan bersekolah di sekolah Belanda sudah tentu Kartini akan menyerap berbagai paham yang tengah berkembang di Barat. Salah satu yang tidak bisa dihindari adalah liberalisme. Pandangannya tentang kedudukan laki-laki dan perempuan pun hampir bisa dipastikan banyak terpengaruh oleh pandangan-pandangan liberal yang diajarkan guru-guru belandanya di sekolah. Dari sekolah Belanda ini pula Kartini bertemu dengan buku-buku dan surat kabar yang berhaluan liberan.

Pengaruh feminis yang paling meyakinkan dalam surat-suratnya adalah teman-teman korespondensinya sendiri. Stella Zeehandelar adalah salah seorang yang paling feminis dibanding teman-temannya yang lain. Usianya lebih tua lima tahun dari Kartini, anak dari orangtua Yahudi-Belanda. Dia penganut sosialis yang sangat kuat dan aktivis feminis sejak masih di Belanda sampai bekerja di Indonesia. Kartini berkenalan dengan Stella pada tahun 1899 melalui redaksi De Hollandse Leile, majalah wanita yang saat itu sangat populer. Teman-temannya yang lain pun rata-rata berpaham liberal seperti pada umumnya orang-orang yang datang dari Belanda pada abad ke-19 dan 20.

Paham feminis yang muncul dalam surat-surat Kartini hampir bisa dipastikan berasal dari dua sumber di atas: sekolah Belanda dan teman-teman Belandanya. Beruntung bahwa Kartini sesungguhnya tidak benar-benar menjadi feminis yang ekstrem: memusuhi laki-laki. Feminisme bagi Kartini hanya sebatas wacana yang bergolak dalam pikirannya. Selebihnya ia sampaikan itu dalam surat-suratnya. Kartini sendiri tidak pernah berniat sama sekali memublikasikan pikiran-pikirannya itu, bahkan sampai ia meninggal tahun 1904 dalam usia 25 tahun beberapa hari setelah melahirkan anak pertamanya.

Justru yang mempromosikan pemikiran-pemikiran feminis ini adalah Mr. J.H. Abendanon, yang menjabat Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Dia mengumpulkan semua surat-surat Kartini, menyusunnya, kemudian menerbitkannya tujuh tahun setelah Kartini wafat. Abendanon sendiri, secara politis, adalah penganut aliran etis (baca: liberal) di Belanda. Sangat wajar kalau dia kemudian mempromosikan ide-ide liberal seperti yang tercermin dalam surat-surat Kartini. Secara tidak langsung Abendanon ingin mengajarkan feminisme-liberal kepada masyarakat Indonesia, namun meminjam tangan anak bangsa Indonesia sendiri, Kartini. Inilah sesungguhnya awal mula benih feminisme-liberal ditaburkan di bumi Indonesia yang sesungguhnya tidak menyimpan masalah besar dalam hubungan laki-laki perempuan sejak Islam datang ke negeri ini. 

Wallahu a'lam.

Share:

Definition List

Definition list
Consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua.
Lorem ipsum dolor sit amet
Consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua.

Theme Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.
Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

Ordered List

  1. Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.
  2. Aliquam tincidunt mauris eu risus.
  3. Vestibulum auctor dapibus neque.

Recent Posts

Unordered List

  • Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.
  • Aliquam tincidunt mauris eu risus.
  • Vestibulum auctor dapibus neque.

Sample Text

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua.

Pages

Theme Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.