NEGARA PASUNDAN vs RI: Kebijakan Politik dan Kepastian Hukum Terhadap Umat Islam
Kartini dan Sejarah Feminisme di Indonesia
Oleh: Dr. Tiar Anwar Bachtiar
KATA "EMANSIPASI WANITA" sudah menjadi kata-kata klise di negeri ini. Paling tidak kata-kata ini dikenal sejak Armijn Pane menerjemahkan surat-menyurat Kartini dengan teman-teman Belandanya, Door Dusternis tot Licht (1910), yang dia beri judul Habis Gelap Terbitlah Terang pada tahun 1922. Buku ini menginspirasi kalangan pejuang kemerdekaan Indonesia untuk menyemangati agar kaum wanita pun turut serta berjuang menegakkan kemerdekaan negeri ini.
Dalam surat-suratnya, Kartini memang menceritakan apa adanya yang dialami para wanita priyayi di Jawa. Misalnya, dia mengisahkan tentang adat istiadat yang mengurung dirinya.
"Kami, anak-anak perempuan yang terantai dengan adat istiadat lama, hanya boleh memanfaatkan sedikit saja dari kemajuan di bidang pengajaran itu. Bahwa sebagai anak perempuan, setiap hari pergi meninggalkan rumah untuk belajar di sekolah, sudah merupakan pelanggaran besar terhadap adat kebiasaan negeri kami. Ketahuilah, adat negeri kami melarang keras gadis-gadis keluar rumah. Pergi ke tempat lain kami tidak boleh... . Pada usia 12 tahun saya harus tinggal di rumah. Saya harus masuk "kotak", dikurung di dalam rumah, sama sekali terasing dari dunia luar..."
Cerita-cerita Kartini hampir sepanjang bukunya itulah yang kemudian menjadi asumsi bahwa nasib para wanita di Indonesia pada umumnya seperti itu hingga kesimpulannya adalah bahwa wanita Indonesia harus dikasihani. Emansipasi wanita adalah suatu keharusan.
Dalam kasus Kartini bisa saja dia memang diperlakukan seperti itu. Namun, apakah dapat dianggap bahwa semua wanita di masanya diperlakukan seperti yang dialami Kartini? Apakah Kartini berani menjamin klaimnya bahwa adat di negeri ini (adat Timur) memperlakukan para wanita seperti itu adalah benar? Jangan-jangan kasus itu hanya menimpa Kartini; atau hanya dialami kaum priyayi seperti Kartini. Pertanyaan ini wajar diajukan mengingat banyak indikasi yang akhirnya harus menggugurkan klaim berlebihan Kartini mengenai perlakuan terhadap kaum wanita.
Sejarah Para Wanita di Indonesia Sebelum dan Semasa Kartini
Munculnya Cut Nyak Dhien sebetulnya cukup mengherankan. Bagaimana bisa dalam masyarakat yang -katanya- sangat dominasi laki-laki (patriarki) dapat muncul seorang panglima perang perempuan. Jelas membutuhkan suatu revolusi sosial untuk munculnya seorang seperti Cut Nyak Dhien dalam masyarakat patriarki. Nyatanya Cut Nyak Dhien bukan tokoh rekayasa. Jelas dia bukan tokoh ciptaan Belanda.
Harap diketahui, Aceh tidak pernah tunduk pada Belanda sampat tahun 1904. Kalaupun akhirnya ditaklukkan, para ulama Aceh tidak mengakui bahwa mereka tunduk pada Belanda. Oleh sebab itu, perlawanan terhadap Belanda terus dikobarkan. Jadi tidak mungkin munculnya sosok Cut Nyak Dhien dipengaruhi ide feminisme Barat.
Lebih menarik lagi, tradisi perempuan berkiprah di ruang publik, bahkan menjadi pemimpin negara bukan barang baru di Aceh. Pemimpin kerajaan Aceh antara tahun 1641 sampai tahun 1699 adalah perempuan. Mereka masing-masing Sri Ratu Tajul Alam Shafiatuddin Johan Berdaulat (1642-1675), Sri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin (1675-1678), Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah (1678-1688), dan Sri Ratu Kamalat Syah (1688-1699) (Ali Hasyimi, 1977).
Pada awal abad ke-17 saat Eropa baru memasuki zaman yang mereka sebut "pencerahan" (renaisan, afklarung, enlightenment), jangan tanyakan soal wanita menjadi pemimpin publik. Para wanita Eropa nasibnya tidak lebih daripada budak. Kalaupun mereka menjadi bangsawati, perannya tetap berada di bawah subordinasi laki-laki. Struktur masyarakat yang patriarki sangat dominan di Eropa saat itu. Kenyataan ini pula yang menjadi sebab munculnya gerakan-gerakan feminis di Eropa yang sangat memusuhi dan membenci struktur patriarki. Walaupun umumnya diklaim bahwa gerakan ini mulai diperkenalkan Mary Wollstonecraft tahun 1790-an, gerakan sesungguhnya baru muncul menjelang abad ke-19.
Kalau dibandingkan dengan apa yang terjadi di Aceh, tidak mungkin bahwa munculnya raja-raja perempuan di Aceh ini adalah pengaruh dari Eropa. Lagi pula pada masa-masa berikutnya, ketidaksenangan dan permusuhan rakyat kerajaan Aceh terhadap Belanda (baca: Barat) begitu kuat. Inilah salah satu yang membuat Belanda harus berjibaku selama lebih dari satu abad untuk menaklukkan negeri ini. Namun, itu pun tidak sepenuhnya. Hanya kemenangan simbolik dan politik yang didapatkan Belanda. Sisanya Aceh masih seperti sediakala, terutama dalam masalah keyakinan dan budaya yang dipegang.
Sudah lama memang referensi sejarah bangsa ini melulu Jawa-sentris. Itu pun terbatas sejarah priyayi Jawa. Salah satunya soal Kartini. Kartini yang dibangga-banggakan itu adalah seorang priyayi perempuan Jawa. Apa yang diceritakannya adalah cerita mengenai kehidupan "para-priyayi" Jawa yang -barangkali- begitu. Tradisi para priyayi ini berbeda sangat mencolok dengan kehidupan kaum "cacah". Secara cukup atraktif Clifford Geertz berhasil mendemonstrasikan bagaimana perilaku komunitas priyayi yang berbeda dengan kaum "cacah" ini dalam Religion of Java.
Dari sisi relasi laki-laki dan perempuan dalam masyarakat "cacah" (rakyat biasa) Jawa ketimpangan seperti yang diceritakan Kartini terasa berlebihan. Lihat saja saat menggarap sawah atau kebun yang sejak berabad-abad menjadi pencaharian rakyat Jawa. Selalu sawah akan digarap bersama antara laki-laki dan perempuan. Selalu ada pembagian peran. Misalnya, laki-laki mencangkul, perempuan menyiangi rumput; dan sebagainya. Aktivitas di pasar-pasar pun selalu bercampur antara laki-laki dan perempuan. Di pesantren-pesantren, ulamanya tidak hanya laki-laki. Istilah "Kiai" (ulama laki-laki) dan "Nyai" (ulama perempuan) sudah hidup begitu lama. Pesantren pun sudah sejak awal berdirinya selalu diperuntukkan bagi santri putra dan putri.
Kalau melihat kenyataan ini, apakah sungguh-sungguh kaum perempuan Jawa ini termarginalkan? Jangan-jangan itu hanya terjadi di sekitar lingkungan Kartini yang priyayi. Sementara di akar rumput, apa yang diceritakan Kartini tidak pernah terjadi. Kalau memang begitu masih layakkah "curhatan" Kartini dipercaya dan dijadikan semacam "kitab suci" mengenai kondisi perempuan di negeri ini?
Soal pendidikan pun sepertinya hanya berlaku di lingkungan Kartini. Mungkin benar para priyayi Jawa lebih senang menyekolahkan anak-anak laki-laki daripada anak-anak perempuan seperti yang diceritakan Kartini. Namun, klaim ini patut dipertanyakan kalau digunakan untuk memotret kaum "cacah". Salah satu bukti adalah tradisi di pesantren-pesantren yang memberikan ruang seluas-luasnya, bahkan khusus, bagi kaum perempuan. Selain itu, masalah buta huruf sesungguhnya tidak hanya dialami kaum perempuan. Laki-laki pun menghadapi problem yang sama. Jadi, kalau perempuan saat itu tidak banyak yang bersekolah, bukan masalah diskriminasi, melainkan memang sekolahnya tidak ada. Jangankan perempuan, laki-laki pun sama-sama tidak pergi ke sekolah. Kebodohan ini merata di kalangan laki-laki dan perempuan. Sama sekali bukan monopoli kaum perempuan saja.
Sederet fakta lain seperti munculnya tokoh seperti Rohana Kudus di Sumatera Barat dan Dewi Sartika di Bandung semakin memperkokoh argumen bahwa sesungguhnya di negeri ini kesadaran akan kesetaraan laki-laki dan perempuan sudah sejak lama ada. Kesadaran ini bukan kesadaran impor seperti yang diklaim para aktivis feminis. Fakta-fakta ini juga semakin menegaskan bahwa sesungguhnya Indonesia tidak menderita sindrom patriarki seperti yang terjadi di Eropa sana.
Oleh karena kesadaran ini bukan impor, jelas pula prinsip kesetaraan yang dipegang masyarakat Indonesia sama sekali berbeda dengan kesetaraan gender yang diajarkan Barat-sekuler. Kesetaraan gender yang digadang-gadang para aktivis perempuan melabrak norma-norma budaya dan agama. Sementara kesadaran yang tumbuh di kalangan perempuan Indonesia seperti Cut Nyak Dhien adalah kesadaran yang berporos pada budaya. Budaya yang tumbuh sangat dipengaruhi prinsip-prinsip Islam. Adat basandi syara', syara' basandi Kitabullah. Oleh karena itu, sekalipun para perempuan Muslimah ini bergerak, agama tidak pernah mereka serang dan abaikan. Lebih dari itu, mereka malah mau bergerak karena diinspirasi oleh kesadaran keagamaan mereka. Kalau begitu, sesungguhnya membawa ide emansipasi dan feminisme dari Barat ke Indonesia adalah salah alamat.
Realitas Sejarah Kartini
Dalam surat-suratnya di atas, Kartini bercerita tentang kegetiran dan nestapa yang dialaminya sebagai anak perempuan seorang priyayi Jawa (bupati). Dia selalu ditempatkan sebagai makhluk kelas dua setelah saudara laki-lakinya. Perannya dianggap lebih rendah dibandingkan laki-laki. Ayahnya menikah secara poligami yang membuatnya sengat tidak senang, sekalipun akhirnya dia harus menerima kenyataan menjadi isteri keempat Bupati Rembang.
Atas pengalaman yang dialaminya itu, Kartini sampai pada kesimpulan bahwa wanita Indonesia harus bergerak dan bangkit melawan penindasan ini. Untuk bangkit itu, "Kartini bercita-cita memberi bekal pendidikan kepada anak-anak perempuan, terutama budi pekerti, agar mereka menjadi ibu yang berbudi luhur, yang dapat berdiri sendiri mencari nafkah sehingga mereka tidak perlu kawin kalau mereka tidak mau". (Sulastin Sutrisno, Surat-Surat Kartini, Djambatan, 1985: xvii).
Sampai pada titik ini, pemikiran-pemikiran feminis Kartini terlihat terang-benderang, walaupun akhirnya dia memilih untuk meninggalkan pemikirannya ini. Kartini rupanya lebih senang menjadi wanita Jawa apa adanya. Dia memilih untuk menikah, punya anak, dan tidak bekerja mencari nafkah sendiri seperti yang dia angankan sebelumnya. Bahkan pernikahan poligami yang sebelumnya sangat dimusuhi dan dianggapnya sangat "diskriminatif" terhadap wanita, akhirnya dia jalani. Keputusannya ini sangat disayangkan oleh teman-teman Belandanya, terutama Stella. Stella kecewa atas perubahan pikiran dalam diri Kartini. Sebagai seorang penganut feminisme yang sudah mendarah daging, Stella betul-betul tidak dapat mengerti keputusan Kartini.
Kartini sendiri tidak terlihat sama sekali merasa tertindas atas pernikahan poligaminya itu. Bahkan beberapa saat setelah pernikahannya Kartini menulis surat kepada J.H. Abendanon dan isterinya yang menunjukkan bahwa pernikahannya, sekalipun pernikahan keempat bagi suaminya, sama sekali baik-baik saja.
"Kawan-kawan yang baik dan budiman. Saya tahu betul-betul, bagaimana surat ini diharap-harapkan, surat saya yang pertama dari rumah saya yang baru. Alhamdulillah, di rumah itu dalam segala hal keadaan saya baik dan menyenangkan; di situ yang seorang dengan dan karena yang lain bahagia...". (Surat-Surat Kartini, hlm. 348).
Mencermati perjalanan hidup Kartini seperti itu, patut dipertanyakan dari mana Kartini punya pikiran feminis pada awal-awal suratnya? Padahal, sejatinya Kartini adalah wanita Jawa yang ternyata lebih menghayati kehidupan budayanya. Kesenangannya justru lahir dalam harmoni mengikuti ritme budaya tempat sekian lama dia hidup dan sudah mendarah daging sejak lahir. Dia tidak pernah senang menjadi wanita pemberontak seperti yang diajarkan para feminis.
Pertanyaan ini tidak akan pernah terjawab kalau kita tidak mencermati di mana Kartini bersekolah dan dengan siapa dia berkirim surat. Kartini bersekolah di sekolah Belanda karena dia seorang anak bupati yang bisa menikmati sekolah bersama dengan anak-anak Belanda. Menjelang abad ke-20 saat Kartini bersekolah adalah saat ide-ide Politik Etis yang dipengaruhi kelompok liberal di Belanda tengah menjadi arus wacana utama di Hindia Belanda (baca: Indonesia).
Selain karena arus wacana Politik Etis, dengan bersekolah di sekolah Belanda sudah tentu Kartini akan menyerap berbagai paham yang tengah berkembang di Barat. Salah satu yang tidak bisa dihindari adalah liberalisme. Pandangannya tentang kedudukan laki-laki dan perempuan pun hampir bisa dipastikan banyak terpengaruh oleh pandangan-pandangan liberal yang diajarkan guru-guru belandanya di sekolah. Dari sekolah Belanda ini pula Kartini bertemu dengan buku-buku dan surat kabar yang berhaluan liberan.
Pengaruh feminis yang paling meyakinkan dalam surat-suratnya adalah teman-teman korespondensinya sendiri. Stella Zeehandelar adalah salah seorang yang paling feminis dibanding teman-temannya yang lain. Usianya lebih tua lima tahun dari Kartini, anak dari orangtua Yahudi-Belanda. Dia penganut sosialis yang sangat kuat dan aktivis feminis sejak masih di Belanda sampai bekerja di Indonesia. Kartini berkenalan dengan Stella pada tahun 1899 melalui redaksi De Hollandse Leile, majalah wanita yang saat itu sangat populer. Teman-temannya yang lain pun rata-rata berpaham liberal seperti pada umumnya orang-orang yang datang dari Belanda pada abad ke-19 dan 20.
Paham feminis yang muncul dalam surat-surat Kartini hampir bisa dipastikan berasal dari dua sumber di atas: sekolah Belanda dan teman-teman Belandanya. Beruntung bahwa Kartini sesungguhnya tidak benar-benar menjadi feminis yang ekstrem: memusuhi laki-laki. Feminisme bagi Kartini hanya sebatas wacana yang bergolak dalam pikirannya. Selebihnya ia sampaikan itu dalam surat-suratnya. Kartini sendiri tidak pernah berniat sama sekali memublikasikan pikiran-pikirannya itu, bahkan sampai ia meninggal tahun 1904 dalam usia 25 tahun beberapa hari setelah melahirkan anak pertamanya.
Justru yang mempromosikan pemikiran-pemikiran feminis ini adalah Mr. J.H. Abendanon, yang menjabat Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Dia mengumpulkan semua surat-surat Kartini, menyusunnya, kemudian menerbitkannya tujuh tahun setelah Kartini wafat. Abendanon sendiri, secara politis, adalah penganut aliran etis (baca: liberal) di Belanda. Sangat wajar kalau dia kemudian mempromosikan ide-ide liberal seperti yang tercermin dalam surat-surat Kartini. Secara tidak langsung Abendanon ingin mengajarkan feminisme-liberal kepada masyarakat Indonesia, namun meminjam tangan anak bangsa Indonesia sendiri, Kartini. Inilah sesungguhnya awal mula benih feminisme-liberal ditaburkan di bumi Indonesia yang sesungguhnya tidak menyimpan masalah besar dalam hubungan laki-laki perempuan sejak Islam datang ke negeri ini.
Wallahu a'lam.