Oleh: Fian Sofian, Mahasiswa Prodi Bahasa dan Sastra Arab UIN Sunan
Gunung Djati Bandung
Etika dan Moralitas dalam Berpolitik, Perlukah?
Jagat media sosial diramaikan dengan narasi-narasi mengenai etika.
Dalam beberapa debat capres cawapres, bahasan-bahasan mengenai etika selalu
diulang-ulang. Bukan hanya itu, beberapa hari pasca debat pun masih ada di
antara kandidat dan pendukungnya tersebut yang terus-menerus membahas mengenai
masalah etika dan menyanggah tudingan miring atasnya secara emosional dan
defensif. Sehingga muncul anekdot di kalangan netizen, bahwa debat yang
berlangsung hanya beberapa jam, namun jawaban dan sanggahannya bisa
berhari-hari di luar forum debat resmi.
Sebenarnya apa sih standar etika dan moral dalam politik Islam?
Sebelum lebih jauh membahas mengenai standar tersebut, memang apa saja
karakteristik politik Islam? Benarkah Islam mewajibkan kita berpolitik? Adakah
titah Allah dan Rasul-Nya agar kita menjalani politik? Apakah titah-titah
tersebut tertuang secara eksplisit dalam al-Qur’an dan al-Sunnah? Lalu,
bagaimana tanggapan para penganut sekularisme atas hal ini? Bukankah menurut
mereka agama tidak memiliki sangkut paut dengan masalah politik negara?[1]
Dalam buku Mengurai Hubungan Agama dan Negara, Kacung
Marijan—yang juga selaku editor di buku tersebut menuliskan sebuah judul Gus
Dur dan Kontemplasi Teoretisnya dalam bagian pendahuluan—membuat
pembagian antara negara dan agama dalam
ajaran Kristiani. Dalam agama Kristiani kedudukan antara negara dan agama
memiliki dikotomi arena masing-masing, di mana negara disebut sebagai public
sphere (ranah publik), sementara agama disebut sebagai domestic sphere
(ranah privasi) yang mengatur antara dirinya dengan Tuhan-Nya. Dijelaskannya,
Protestan lebih dahulu menerima sekularisme ketimbang Katolik. Namun saat ini
di antara keduanya memang sudah mengenal batasan arena antara negara dan agama.[2]
Melihat realitas yang terjadi dalam kehidupan umat Kristiani di
Barat, apakah Islam juga bisa menerima pembagian tersebut? Benarkah bahwa
kehidupan politik dan kenegaraan tidak boleh dicampuri dengan urusan agama?
Salahkah jika berpolitik dan bernegara dengan membawa ajaran agama, sehingga
muncul narasi-narasi tuduhan seperti politisasi agama dan politik identitas?
Kalaulah salah dan tidak diperbolehkan, maka apa standar etika dan moral dalam
berpolitik dan bernegara? Apakah kita harus mengikuti etika dan moral Barat
dalam berpolitik dan bernegara? Akan kita ulas mengenai sekularisme dan
dampaknya bagi etika dan moral para politikus dan negarawan di bawah ini.
Sekularisasi Penyebab Hilangnya Etika dan Moral dalam Berpolitik
Politik yang membuat dikotomi antara negara dan agama—yang saat ini
dianut oleh Barat sekuler—memang memberikan kebebasan seluas-luasnya bagi para
politikus dan negarawan, sehingga pada akhirnya melahirkan mental-mental
oportunistik di kalangan mereka. Apa yang dianut oleh masyarakat Barat sekuler tersebut
memang terinspirasi dari ajaran Nicolo Machiavelli dalam bukunya The Prince,
dan dianggap memiliki nilai yang tinggi dan besar pengaruhnya dalam kehidupan
politik dan sosial umat manusia. Tak heran, banyak yang menganggap ajarannya
tersebut amoral (tak memiliki moral), karena ia mengajak para penguasa dan
politikus untuk bersikap pragmatis demi meraih keinginan dan mempertahankan
kekuasaannya. Karena tujuan dari sebuah pemerintahan adalah survival
(mempertahankan kedudukan) meski harus menabrak batas-batas etika dan moral
agama. Hal-hal yang mengatur antara baik dan buruk, etika dan moral dalam ajaran
agama, harus dibuang dari kehidupan berpolitik dan bernegara, asalkan si
penguasa tersebut bisa menyelamatkan kepentingan pribadi dan negaranya. Bahkan
seorang penguasa bisa melanggar perjanjian dengan negara lain dan dapat
melakukan kejahatan dan teror bagi penduduk negara lain. Karenanya tak heran,
Barat sekulerlah yang menyebarkan kolonialisme dan imperialisme di
negara-negara lain, bahkan sampai terjadinya perang dunia. Karena itulah ciri politik
dan karakteristik negara modern menurut mereka.[3]
Berakhirnya perang dunia dan perang dingin antara Blok Barat dan
Blok Timur—yang diisi oleh kekuatan komunisme Soviet—mengundang tanda tanya di
kalangan Barat tentang siapa lagi yang akan mereka lawan? Kini Barat mencari
musuh lain. Untuk diketahui bahwa perang yang terjadi antara sekutu (penyebutan
lain untuk Blok Barat) dan Blok Timur tidak lain dan tidak bukan dalam rangka
menjaga kepentingan politik dan bisnis mereka di dunia. Pasca runtuhnya komunisme
di Soviet, maka Barat tidak lagi memiliki lawan yang seimbang kecuali kekuatan
umat Islam. Karenanya banyak para penulis Barat yang mulai mengarahkan penanya
terhadap umat Islam untuk dijadikan amunisi bagi kebijakan pemerintahan mereka.
Dalam hal ini Samuel P. Huntington mengatakan, “Islam is the only
civilization which has put the survival of the West in doubt, and it has done
at least twice.” (Hanya Islam satu-satunya peradaban yang meragukan
kelangsungan kehidupan Barat, dan hal ini setidaknya telah terjadi selama dua
kali).[4] Senada
dengan ucapan gurunya, yaitu Bernard Lewis yang juga mengatakan terkait umat
Islam, “But a significant number of Muslims, are hostile and dangerous.”
(Namun kebanyakan orang Islam itu bersikap memusuhi dan berbahaya).[5] Dalam
sebuah konferensi internasional yang diselenggarakan di Jerman pada tahun 1995,
salah seorang senator Amerika mengatakan tentang hal ini, “Looking at the
Muslim world, I feel we might be heading for a fight to protect our basic
political order.” (Melihat keadaan dunia Muslim, saya merasa bahwa mungkin
saja kita sedang menuju perjuangan untuk melindungi tatanan politik dasar
kita). Hal senada juga diucapkan oleh salah seorang sekretaris jenderal NATO[6] agar
jangan meremehkan kekuatan Islam fundamentalis, “Islamic fundamentalism is
at least as dangerous as communism was.” (Setidaknya fundamentalisme Islam sama
berbahayanya dengan komunisme).[7]
Karenanya jelas bagi Barat bahwa kolonialisme, imperialisme, invasi,
dan peperangan yang selama ini mereka
lakukan adalah dalam rangka melindungi kepentingan dan menjaga eksistensi
mereka di dunia ini. Baik itu kepentingan dalam bidang politik, sosial,
ekonomi, budaya, dan peradaban mereka. Sehingga siapa pun yang
menghalang-halangi ambisi mereka, tak akan luput dari intervensi dan invasi mereka.
Dan bahwa yang dimaksud dengan fundamentalisme dalam Islam adalah mereka-mereka
yang dianggap menjalankan politik berdasarkan ajaran Islam. Atau kita lebih sering
mendengar istilah-istilah yang sering digaungkan oleh politikus-politikus
hipokrit dengan politisasi agama, Islam politik, politik identitas, dan juga
politik sektarianisme—yang diharamkan oleh Gus Dur. Maka solusi untuk menjaga
kepentingan politik Barat di dunia ini adalah dengan cara menawarkan gagasan sekularisme
dalam dunia Islam. Sehingga corak politik yang terbentuk dalam dunia Islam
bukan lagi berdasarkan aturan halal dan haram; pertimbangan baik dan buruk; mana
yang bermanfaat dan mana yang berbahaya; berlandaskan etika dan moralitas; dan
sesuai dengan ajaran dalam kitab suci umat Islam, melainkan berdasarkan
pandangan-pandangan Barat sekuler dan liberal. Karenanya menjadi jelas bahwa
tujuan sekularisasi adalah sebagaimana yang diucapkan oleh Cornelis van
Peursen, salah seorang teolog dan filsuf Belanda dari Universitas Leiden, “The
deliverance of man, first from religious and then from metaphysical control
over his reason and his language.” (Sekularisasi adalah pembebasan manusia,
yang pertama dari pengaruh ajaran agama, dan kemudian dari pengaruh metafisika
yang mengatur akal budi dan bahasanya). Pernyataan di atas juga dikutip Harvey
Cox, yang merupakan seorang teolog Amerika Serikat dari Universitas Harvard
dengan menambahkan,
The loosing of
the world from religious and quasi-religious understanding itself, the
dispelling of all closed world views, the breaking of all supernatural myths
and sacred symbols.
(Terpisahnya arena kehidupan duniawi
dari kehidupan yang berlandaskan ajaran agama dan yang serupa dengan ajaran
agama, tersingkapnya pandangan dunia yang tertutup, dan hancurnya pandangan
mitos supranatural dan simbol-simbol yang disucikan)
Sekularisasi juga tidak hanya mencakup dikotomi antara ajaran agama
dan aspek politik sosial, namun juga dari aspek budaya. Itulah yang dijelaskan
oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas ketika mengutip ucapan Harvey Cox, “Secularization
encompasses not only the political and social aspects of life, but also
inevitably the cultural,” (Sekularisasi tidak hanya mencakup aspek
kehidupan politik dan sosial, namun juga aspek budaya).[8]
Dalam menyikapi arus sekularisasi, tentunya ada perbedaan yang
signifikan antara dunia Islam dan Barat yang Kristen. Hal ini dinyatakan oleh
al-Attas dalam bukunya Islam and Secularism,
Islam is not
similar to Christianity in this respect that secularization, in the way in which
it is also happening in the Muslim world, has not and will not necessarily
affect our beliefs in the same way it does the beliefs of western man. For the
matter Islam is not the same as Christianity, whether as a religion or as a civilization.
(Agama Islam tidak sama dengan agama
Kristiani dalam menanggapi sekularisasi, seperti yang saat ini terjadi dalam
dunia muslim, dan hal tersebut belum mempengaruhi dan tidak akan mempengaruhi
keyakinan kita sebagaimana yang terjadi pada keyakinan orang-orang Barat. Dalam
hal ini Islam tidak sama dengan Kristen, baik sebagai agama maupun sebagai
peradaban).[9]
Terkait masalah sekularisasi, yang memisahkan antara kehidupan
agama dari kehidupan berpolitik dan bernegara, Gus Dur pun menyadari bahwa
Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik. Namun lebih lanjut ia
menegaskan bahwa diperlukan parameter yang jelas bagi pemikiran politik dalam pandangan Islam sehingga tidak
ada anggapan bahwa politik itu adalah sekedar pembagian kekuasaan antara yang
memerintah dan yang diperintah.[10] Menurutnya
sumber-sumber klasik mengenai relasi Islam dan negara memang sangat sedikit,
dan hanya membahas dari sudut pandang teori kekuasaan belaka, bukan dari sudut
pandang relasi antara negara dengan hak dan kewajiban rakyat. Hak dan kewajiban
seorang pemimpin negara sudah dirumuskan dengan sangat rinci, namun tidak
dengan hak dan kewajiban rakyat. Maksud dan tujuan ucapan Gus Dur tersebut
sudah jelas, untuk memasukkan nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan politik
umat Islam.
Ketiadaan parameter yang baku mengenai bentuk sebuah negara
menjadikan pembahasan ini lebih fleksibel menurutnya, dengan kata lain bentuk
sebuah negara tidak dilandaskan pada sumber-sumber dari kitab suci al-Qur’an,
tetapi tergantung kepada kebutuhan masyarakat pada saat itu. Namun dari sekian
sumber, ada satu hal yang memiliki dasar tertulis dalam ajaran Islam, yaitu
terkait proses pemindahan kekuasaan dengan syarat bahwa calon penguasa tersebut
merupakan keturunan Quraisy. Itu pun ada beberapa perbedaan bagi kalangan
yurisprudensi Islam bahwa hal tersebut bukanlah merupakan syarat yang wajib dan
mutlak, hanya sekedar anjuran dan prioritas.
Gus Dur juga dalam tulisannya yang lain membuat sebuah judul bernada
pertanyaan, Islam: Punyakah Konsep Kenegaraan? Ia mengutip pendapat
seorang pemikir berkebangsaan Mesir, yaitu Ali Abdel Raziq, yang menyangkal
adanya bentuk baku sebuah negara dalam Islam. Ia beralasan bahwa al-Qur’an
tidak menyebutkan tentang Daulah Islamiyah (Negara Islam), melainkan
sekedar menyebut Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur (Negara yang
paripurna dan senantiasa mendapatkan pengampunan Tuhan). Pendapat Ali Abdel
Raziq tersebut mengundang kontroversi di Mesir, karena bagi otoritas ulama
setempat—dengan anggapan seperti itu—berarti ia telah menawarkan gagasan sekularisme
yang memandang tidak adanya keterkaitan antara agama dengan masalah kenegaraan.
Di antara beberapa argumentasinya yang dikutip oleh Gus Dur, setidaknya ada
tiga. Pertama, bahwa di dalam al-Qur’an tidak ada doktrin tersebut. Kedua,
sikap Nabi Muhammad Saw. sendiri tidak memperlihatkan watak politik, tetapi
moral. Ketiga, Nabi tidak pernah merumuskan secara definitif mengenai
mekanisme penggantian jabatan. Katanya, kalaulah Nabi Muhammad Saw. memang
menghendaki berdirinya sebuah negara Islam, tidak mungkin masalah suksesi
kepemimpinan dan peralihan kekuasaan tidak ia rumuskan secara formal. Nabi hanya
memerintahkan untuk bermusyawarah.[11]
Diskursus mengenai relasi Islam dan negara ini memang menjadi topik
hangat sampai hari ini. Bagi beberapa kalangan tentu memiliki perspektif
masing-masing dalam membahas dan meyakini hal tersebut. Namun yang menarik dari
ucapan Ali Abdel Raziq yang telah dikutip oleh Gus Dur di atas, bahwa
setidaknya memang Islam memiliki pengaruh dalam kehidupan berpolitik dan
bernegara, khususnya sebagai sumber etika dan moral dalam mengelola sebuah
negara.[12]
Dan kalau kita kaitkan dengan kondisi perpolitikan di Indonesia saat ini,
sudahkah para politikus tersebut menjaga etika dan moralnya? Karena siklus lima
tahunan ini selalu saja berulang, mereka yang terkenal oportunis dan tamak
seketika berubah menjadi seorang yang peduli terhadap sesama dan menampilkan
sikap-sikap religiusitas jelang pemilu. Tentu kita semua senang jika para
pemangku negara ini menjaga etika dan moralnya, juga dapat menjadi teladan bagi
semua masyarakat. Namun tatkala mereka telah menjabat, etika dan moral hilang
dengan sekejap menjadi kebengisan dan kediktatoran. Itu baru aspek parsial
dalam ajaran agama yang diterapkan dalam kehidupan politik, lantas mengapa kita
harus apriori dan antipati untuk menerapkan seluruh aspek general dalam agama?
Karena toh agama tidak hanya mengajarkan etika dan moral belaka, melainkan
lebih luas dari itu.
Mengulas Politik Sektarianisme Menurut Gus Dur
Konflik sektarianisme memang sudah berlangsung sangat lama sekali.
Bagi beberapa sejarawan, konflik sektarianisme dalam tubuh umat Islam muncul di
zaman Nabi Muhammad Saw. Tepatnya ketika terjadi pembagian ghanimah
(harta rampasan perang), ada salah seorang yang bernama Dzul Khuwaishirah
al-Tamimi, berdiri dan mengomentari pembagian yang dilakukan oleh Nabi dengan
mengatakan “Wahai Rasulallah, berbuat adillah!”. “Celakalah kamu! Lantas siapa
lagi yang adil jika aku tidak berlaku adil? Anda akan celaka dan rugi jika aku
tidak berlaku adil”, jawab beliau.[13]
Namun ada beberapa pendapat dari sejarawan lain, pada saat itu
tidak bisa dikatakan sebagai munculnya sekte Khawarij—sekte pertama dalam
kelompok teologi Islam—dikarenakan pelakunya hanya sendiri. Namun hanya dikatakan
sebagai kemunculan benih-benih Khawarij, dan ia dijuluki sebagai pemuka dari
sekte teologis yang pertama dalam Islam. Namun pendapat yang kuat mengenai kemunculan
sekte Khawarij ketika terjadi perselisihan di antara sahabat Ali bin Abi Thalib
dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan pada tahun 37 H., atau sekitar tahun 657 M.
Salah satu dari sekian doktrin yang ditawarkan oleh Khawarij akan
dijelaskan sebagai berikut. Pertama, menganggap kafir umat Islam lain
yang bersebrangan dengan pendapatnya. Termasuk mengkafirkan mereka yang
terlibat dalam perang saudara di Shiffin (perang antara Ali dan Mu’awiyah dan
mereka dianggap tidak mau tahkim). Kedua, orang Islam yang
berbuat dosa besar seperti zina dan membunuh dihukumi kafir dan kekal dalam
neraka. Ketiga, hak kepemimpinan tertinggi dalam Islam yaitu Khalifah
tidak harus berdasarkan garis keturunan Quraisy, melainkan bebas dari siapapun.
Bagi mayoritas ulama, syarat yang diakui untuk pemimpin tertinggi dalam Islam
(Khalifah) haruslah dari keturunan Quraisy. Dan ini sudah menjadi ijma’ (konsensus)
di kalangan mereka.[14]
Kelompok sekte kedua yang terlahir dari tubuh umat Islam adalah
Syiah. Banyak pendapat yang menyebutkan tentang awal mula kemunculan sekte
Syiah ini, bahkan dari zaman Rasulullah Saw. Namun kita hanya memfokuskan
beberapa ciri atau karakteristik ajaran mereka. Pertama, Syiah bersikap
kultus kepada keturunan dan keluarga Nabi dari jalur Ali. Hal ini perlu
dibedakan, karena kelak otoritas penguasa Abbasiyah yang memiliki garis
keturunan sampai kepada paman Nabi yaitu al-Abbas bin Abdil Muthallib—dan
mereka juga berhak menyandang gelar sebagai Ahlu Bait Nabi (keluarga Nabi
Muhammad Saw.), kelompok pendukung keturunan Ali, dan kelompok Syiah memiliki
perbedaan dan karakteristik masing-masing. Adalah al-Saffah,[15]
yang merupakan pemimpin pertama dari dinasti Abbasiyah menjadikan wilayah Kufah
(Irak) dan Khurasan sebagai basis pemerintahan mereka. Dan di tempat itu banyak
pula tersebar para pendukung Ali (yang biasa disebut sebagai Alawiyyun),
kelompok Syiah,[16]
dan kaum zindiq.[17] Kedua,
penolakan mereka atas kekhalifahan yang dipimpin oleh sahabat lain seperti Abu
Bakar, Umar, dan Utsman ra. Karena bagi mereka tidak sah kepemimpinan kecuali
oleh 12 imam yang merupakan anak keturunan Ali bin Abi Thalib ra. Dan salah
satu rukun (pokok) ajaran Syiah yang lima adalah imamah (kepemimpinan).
Hal ini tentu berbeda dengan umat Islam Ahlus Sunnah yang memandang bahwa
kepemimpinan adalah bagian dari kemaslahatan umum, bukan bagian dari rukun
Islam ataupun aqidah (keyakinan).[18]
Masih banyak lagi sekte-sekte lain yang mengaitkan doktrin
teologisnya dengan permasalahan politik dan kenegaraan. Termasuk apa yang
dialami oleh Imam Ahmad bin Hanbal—salah satu dari sekian penggagas aliran
yurisprudensi Islam—yang dihukum oleh otoritas penguasa di zaman dinasti
Abbasiyah, yang saat itu tertarik dengan salah satu sekte teologis Mu’tazilah. Konflik yang terjadi di zaman dinasti
Umayah antara al-Hasan al-Bashri dengan muridnya, Washil bin Atha’ mencapai
puncaknya sehingga terbentuklah kelompok Mu’tazilah—yang mendasarkan pemahaman
mereka kepada akal dan logika semata. Puncak dari semua ini adalah munculnya
sebuah anggapan bahwa al-Qur’an adalah makhluk (fitnah khalq al-Qur’an).
Di zaman dinasti Abbasiyah yang dipimpin oleh al-Ma’mun, banyak ulama Ahlus
Sunnah yang dihukum karena tidak mau mengikuti keyakinan yang dianut pemerintah
saat itu. Salah satu ulama yang mendapatkan hukuman tersebut adalah Imam Ahmad
bin Hanbal. Tidak hanya sampai di situ, sebelum al-Ma’mun wafat, ia mewasiatkan
kepada anaknya bernama al-Mu’tashim untuk meneruskan keyakinan ambisiusnya.
Imam Ahmad dihadapkan kepada al-Mu’tashim, dan disodorkan pertanyaan mengenai
kemakhlukan al-Qur’an. Namun Imam Ahmad tetap bergeming dengan keyakinannya.
Konflik sektarian yang mendasarkan pada
perbedaan keyakinan teologis merupakan konflik klasik yang sampai hari ini
terus berkembang dan memiliki coraknya masing-masing. Masing-masing sekte tentu
mengklaim merekalah yang paling benar, sementara sekte lain menyimpang dan
sesat. Sehingga terkadang ada di antara mereka yang saling memvonis kafir
sehingga berujung pada pembunuhan dan peperangan. Tak jarang konflik yang
terjadi tersebut disebabkan oleh perebutan kekuasaan dan pengaruh di tengah
masyarakat. Seorang peneliti berkebangsaan Amerika Serikat bernama Lothrop
Stoddard menulis sebuah buku berjudul The New World of Islam, yang
kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul Dunia Baru Islam,
memberikan sebuah konklusi bahwa rusaknya ajaran Islam itu sejalan dengan
pecahnya kesatuan politik.[19]
Sebelum mengulas lebih jauh mengenai
sebab-sebab kemunduran umat Islam yang disebabkan oleh konflik politik sektarian
(jika meminjam perspektif Gus Dur yang berarti politik berdasarkan garis keyakinan
agama),[20]
Lothrop Stoddard mengakui bahwa di tiga abad petama (sekitar tahun 650-1000 M.),
bagian-bagian dunia yang dikuasai Islam adalah bagian yang paling maju dan
memiliki peradaban yang tinggi. Di masa ini merupakan abad kecemerlangan umat
Islam yang kontras dengan kondisi umat Kristiani di Barat yang saat itu tengah
tenggelam dalam zaman kegelapan. Namun kemunduran peradaban Islam mulai
terlihat di abad ke 10, yang di antara beberapa faktor utamanya adalah
kambuhnya rasa permusuhan yang selama ini terpendam. Di antara golongan-golongan
yang berselisih tersebut bersaing satu sama lain memperebutkan tampuk kepemimpinan
Islam. Sepeninggal para pahlawan-pahlawan pertama dalam Islam seperti Abu Bakar
dan Umar, tegaklah pemimpin-pemimpin duniawi yang disebut dengan Khalifah, yang
menganggap kedudukan mereka itu sebagai alat untuk mendapatkan kemegahan dan
kekuasaan secara mutlak.[21]
Kita tentu apresiatif dengan pendapat
Lothrop Stoddard di atas. Namun dalam keyakinan Ahlus Sunnah tentu kita sangat
menghormati para sahabat Rasulullah Saw. Adapun konflik dan perselisihan yang
terjadi di antara mereka, maka para ulama berpandapat bahwa mereka memiliki ijtihad
masing-masing yang hendaknya kita hormati. Kita tidak perlu ikut mencela mereka
sebagaimana kelompok sekte Syiah mencela para sahabat dan isteri-isteri Nabi
ra., sementara di sisi lain mereka mengkultuskan anak keturunan sahabat Ali ra.
Kita juga tidak perlu mencela Ali dan anak keturunannya sebagaimana kelompok
Nashibi. Terlebih lagi, kita menganggap para sahabat yang saling berselisih
tersebut kafir atau keluar dari agama Islam sebagaimana pandangan sekte
Khawarij.
Jangan karena besikap skeptis terhadap
konflik-konflik tersebut—sehingga melahirkan sikap antipati terhadap politik
sektarianisme—kita justru malah terjebak dalam konflik sektarianisme baru yang
memang sudah sejak dahulu terjadi, dengan membenci para sahabat Nabi yang
berpolitik dan berusaha meraih tampuk kepemimpinan. Lantas apa bedanya kita
dengan Khawarij, Syiah, dan Nashibi yang memang selalu mendasarkan doktrin
mereka pada praktik politik sempit dan ambisi kekuasaan semata dengan dalih
membela aqidah (keyakinan teologis)?
Memang perlu kita akui, bahwa dengan kemenangan
dalam bidang politik dan kekuasaan, maka siapa pun akan dengan dengan mudah menyebarkan
ideologi dan keyakinannya. Atau dengan kata lain, kemenangan dalam politik maka
berarti kemenangan dalam menjalankan agama dan keyakinan.[22]
Namun dalam kasus di Indonesia misalnya, pasca kepergian pemerintah kolonial
kursi-kursi pemerintahan otomatis menjadi kosong, sehingga setiap orang
menginginkan untuk duduk di kursi tersebut. Maka yang terjadi adalah perbedaan
agama semakin subur karena dipicu adanya perbedaan kepentingan dalam bidang politik.[23]
Seolah sepakat dengan pernyataan Lothrop Stoddard yang menyatakan bahwa
kerusakan ajaran Islam itu sejalan dengan pecahnya kesatuan dalam hal politik,
namun Clifford Geertz lebih menekankan aspek politik itu sendiri sebagai subjek
atau unsur utama pemecah belah yang semakin mempertajam konflik keagamaan.
Perjuangan politik yang kian meninggi menghasilkan suatu konflik internal yang
dipertajam antara berbagai kelompok keagamaan. Sehingga persoalan keagamaan menjadi
persoalan yang politis.[24]
Perkembangan konflik sektarian di zaman
klasik yang lebih dominan karena sebab perbedaan landasan aqidah (keyakinan
teologis), namun di zaman modern ini berubah menjadi konflik yang berdasarkan
afiliasi politik dan kehidupan sosial, meskipun diakui di sebagian kasus konflik
yang digaungkan adalah karena sebab perbedaan aqidah. Buku berjudul Abangan,
Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa yang ditulis oleh seorang peneliti asal
Amerika Serikat bernama Clifford Geertz rasanya masih sangat relevan di abad ke
21 ini. Meski kategorisasi yang dibuat Geertz berdasarkan pemahaman agama
dianggap tidak tepat menurut sebagian cendikiawan, namun ketika kita menggali
isi buku tersebut ternyata tidak melulu tentang perbedaan dalam keyakinan
agama. Hal ini digambarkan dengan sangat baik oleh Geertz yang meneliti konflik
antar umat Islam di Indonesia yang memang dipengaruhi oleh gerakan reformis di
Mesir, Saudi, dan bahkan di India.
Konflik keagamaan yang dulu menyeluruh ini telah diubah bentuknya
menjadi konflik politik ketika para pemimpin kedua kelompok itu sama-sama
menerima versi modernisme yang umum dan telah dicairkan, kemudian memindahkan
perhatian mereka lebih-lebih kepada persoalan yang terus menerus menggoda
tentang bagaimana mereka dapat sampai pada kekuasaan.[25]
Kritik Atas Sikap Hipokrit Gus Dur
Kita perlu mengkritisi perspektif Gus Dur tentang politik
sektarianisme yang teramat dibencinya itu. Karena jikalau penolakan atas
politik sektarianisme melahirkan sikap penentangan atas keterkaitan agama dan
negara, maka itu sama saja menawarkan gagasan sekularisme dengan wajah dan nama
baru. Penolakan Wahid Hasyim untuk mempertahankan tujuh kata yang dihapus dalam
Piagam Jakarta—karena ia khawatir akan munculnya politik sektarianisme jika
terus dipertahankan—telah membawanya untuk lebih bersikap akomodatif terhadap segala
keinginan rezim Soekarno. Atas sikap akomodatifnya tersebut, posisi kementrian
agama dalam pemerintahan rezim Soekarno tetap dipertahankan oleh kelompok
tradisionalis. Berbanding diametris dengan kelompok modernis—yang mendominasi
di Masyumi—yang tetap mempertahankan tujuh kata tersebut, sehingga mereka
sangat dibenci dan dianggap oportunis oleh rezim Soekarno. Apa yang dilakukan
oleh Wahid Hasyim tentu menjadi inspirasi tersendiri bagi Gus Dur. Sehingga
ketika Gus Dur memiliki pendirian yang menentang setiap usaha mengaitkan agama
dan negara, ia merasa telah meneruskan perjuangan ayahnya.[26]
Bagi Gus Dur Pancasila merupakan win win solution dan kompromi
terbaik untuk menyelesaikan masalah disintegrasi bangsa yang disebabkan
perbedaan pandangan dalam beragama dan
bernegara. Dan ia berdalih bahwa Pancasila tidak bersifat sektarian dan sekuler.
Ada beberapa hal yang perlu diulas. Pertama, yang menjadi dasar sikap
akomodatif NU terhadap Asas Tunggal Pancasila adalah karena kesadarannya akan segala
bentuk pluralitas. Gus Dur mengatakan, “Islam bersifat pluralistik dan oleh
karena itu pelaksanaan ajaran Islam harus bersifat pluralistik, dan hal ini
sesuai dengan tradisi NU”. Kedua, terkait sekularisme. Senada dengan apa
yang diucapkan oleh Soekarno dan Mustafa Kemal, Gus Dur mengatakan bahwa ketika
negara dilibatkan untuk menjadi juri bagi masalah keagamaan, maka justru akan
menginjak-injak kebebasan warga negara untuk beragama. Karenanya solusi terbaik
untuk masalah ini adalah agar negara menjaga jarak dari permasalahan agama, dan
biarkan organisasi keagamaan saja yang mengurusinya. Oleh karenanya menganggap
bahwa Pancasila tidak memiliki sifat sekuler, namun di sisi lain ia memiliki
pendapat yang hampir sama dengan para penganut sekularisme merupakan bentuk
inkonsistensi dan ahistoris. Selain berpendapat akan pemisahan antara agama dan
negara, Gus Dur juga menganggap hubungan organisasi keagamaan dan partai
politik merupakan hubungan yang tidak sehat, sehingga ia menggagas agar NU
kembali ke khittah. Baginya NU adalah jam’iyah diniyah
(organisasi keagamaan), karenanya mereka menarik diri dari politik. Jika NU
tetap melibatkan diri dalam partai politik, akan membatasi kebebasan beragama
dan munculnya sektarianisme dalam politik.[27]
Selain permasalahan internal NU, Gus Dur juga mengamati
permasalahan eksternal yang berkaitan dengan kelompok-kelompok elit intelektual
konservatif seperti ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Baginya ICMI terdiri dari sekelompok kecil kaum Islam
radikal konservatif yang sudah lama tidak memiliki posisi dalam percaturan
politik sosial di Indonesia, dikarenakan tokoh-tokoh mereka yang dahulu
bergabung di Masyumi sudah dibubarkan dan tidak boleh terlibat dalam bidang
politik. Namun kini mereka mendapatkan sambutan hangat dari rezim Soeharto yang
memfasilitasi berdirinya ICMI untuk memanipulasi sentimen agama dan mendorong
timbulnya sektarianisme. Meski begitu ICMI bukan hanya diisi kalangan modernis
saja, mereka juga menerima kalangan tradisionalis NU. Namun Gus Dur menolak
untuk bergabung dengan ICMI.
Telah saya katakan bahwa mayoritas
anggota ICMI adalah orang-orang baik. Saya memuji aspirasi mereka. Sayang
sekali, pada tingkat tertentu, ada anggota ICMI yang bersikap sektarian. Hal
ini telah saya katakan sejak semula. Mengapa demikian? Maksudnya agar mereka
memahami hal ini. Sehingga mereka dapat mengambil tindakan tepat untuk
memperbaiki keadaan ini.
Penolakan atas ajakan tersebut disikapi oleh Gus Dur dengan
mendirikan Forum Demokrasi, yang kemudian menjadi kekuatan pengimbang untuk melawan
dominasi ICMI yang memang didukung oleh rezim. Forum Demokrasi berkampanye
menentang pemanfaaan sentimen politis aliran. Forum Demokrasi bukan bagian dari
organisasi non pemerintah (Ornop) yang digagas oleh NU. Karena di dalamnya ada
dari kalangan penganut agama Katolik, Protestan, dan bahkan dari kalangan
Sosialis.[28]
Sikap Gus Dur yang menjadi oposisi rezim cukup menyulitkan dirinya
dan organisasi tempatnya bernaung. Gus Dur tetap menjadi seorang agitator
politik yang menentang rezim Soeharto yang saat ini dekat dengan kelompok Islam
militan dan radikal seperti ICMI. Di samping itu, kedekatan Soeharto dengan
jenderal-jenderal hijau semakin menguatkan politik sektarianisme yang selama
ini ia kutuk. Rapat akbar NU pada tanggal 1 Maret 1992 menyambut ulang tahun
ke-66 berdirinya NU, dimanfaatkan oleh Gus Dur untuk melawan dominasi kelompok
sektarian yang ia maksud, sekaligus show off kekuatan massa NU di
hadapan rezim. Meski ia menjadikan sikap akomodatifnya terhadap Asas Tunggal
Pancasila sebagai tameng, namun tetap saja acara rapat akbar tersebut di
sabotase oleh rezim Soeharto. Sehingga banyak sekali massa NU beserta kendaraan-kendaraan
yang mengangkut mereka diberhentikan dan dilarang untuk datang ke Jakarta.[29]
Angin reformasi disambut baik oleh seluruh kalangan masyarakat
Indonesia, tak terkecuali bagi kalangan NU yang selama ini tidak memiliki
partai politik tempat bernaung. Meski rezim Soeharto telah memfasilitasi adanya
tiga partai,[30]
namun PPP yang didominasi oleh kelompok Islam sama sekali tidak mewakili dan
merepresentasikan kalangan NU. Terlebih lagi Idham Chalid yang menjadi Pemimpin
PPP dan Ketua Tanfidziyah[31]
NU dituding sama sekali tidak bisa memberi perhatian pada kegiatan sosial dan
keagamaan NU. Munculnya PKB yang didirikan atas persetujuan PBNU—yang merupakan
partai bagi kalangan tradisionalis dan memiliki ketergantungan terhadap
anggota-anggota NU—diharapkan dapat menarik banyak kalangan yang sebelumnya
bergabung dengan PPP. Perubahan sikap Gus Dur yang selama ini menolak politik
sektarianisme dan keterkaitan antara agama dan partai politik, kini berangsur
merubah haluan politiknya dengan terlibat dalam pendirian PKB yang diklaim
sebagai partai nonsektarian. Kondisi mendesak dan darurat menjadi alasan Gus
Dur untuk menerima berdirinya PKB demi melawan dominasi Golkar yang selama ini
menguasai kursi pemerintahan. Bagi Gus Dur yang memang terlahir dari lingkungan
pesantren tradisionalis, tentu sudah tidak asing dengan kaidah dasar dalam
yurisprudensi Islam yang berbunyi Al-Dharurat Tubih Al-Mahdzurat (Hal
yang bersifat mendesak membolehkan untuk melakukan hal yang dilarang). Gus Dur
yang selama ini menolak politik sektarianisme justru malah terjebak di
dalamnya. Dan di kemudian hari Gus Dur menjadi Presiden yang didukung oleh
partai-partai poros tengah yang terafiliasi pada ormas keagamaan seperti PAN,
dengan basis massa di kalangan modernis Muhammadiyah yang berhaluan inklusif
nonsektarian. Meski banyak analis yang berargumen bahwa koalisi antara modernis
dan tradisionalis secara mendasar tidaklah mungkin terjadi oleh karena; adanya
antagonisme antara Amien dan Gus Dur; dan juga karena perbedaan-perbedaan yang
mendasar dalam hal masyarakat, kebudayaan, dan sejarah antara Muhammadiyah dan
NU.[32]
Namun toh pada akhirnya terjalin juga koalisi poros tengah yang didominasi oleh
partai-partai Islam melawan Golkar yang disokong oleh pemerintah dan PDIP yang
diisi oleh kalangan nasionalis sekuler pimpinan Megawati.
Amien Rais yang memiliki latar belakang Islam modernis mendukung
Gus Dur sebagai calon presiden dari kalangan Islam. Hal itu dilakukan untuk
menengahi dominasi partai Golkar yang mengusung Habibie—yang juga merupakan
cendekiawan ICMI—dan partai PDIP yang mengusung Megawati dengan basis massa
kalangan rakyat proletar, nasionalis sekuler dan komunis. “Harus ada tokoh alternatif,
bukan hanya kelompok Megawati atau kubu Habibie. Anak-anak bangsa hendaknya
jangan dibuat percaya seolah-olah tak ada calon presiden lain di negeri ini”,
ucap Amien. Namun Gus Dur dengan malu-malu berkomentar atas pencalonannya,
Hal ini penting bagi saya karena
untuk pertama kalinya partai-partai yang berbasis Islam sepakat untuk memilih orang
semacam saya. Artinya penting sekali. Tapi, saya telah membuat pilihan saya.
Saya mendukung Megawati walaupun belum lagi final. Sebagai seorang warga negara
yg baik dan seorang muslim yang baik, saya selalu menaati keputusan MPR, tak
peduli siapa saja yang akan dipilih.
Ucapan Gus Dur tersebut sekaligus mengindikasikan bahwa Gus Dur dan
NU menerima poros tengah dan mau berkoalisi dengan kalangan modernis. Dan pada
tanggal 7 Oktober 1999 fraksi poros tengah mencalonkan Gus Dur sebagai
alternatif calon presiden lain. Menurut Alwi Shihab, mereka para Kiai akan
berkumpul bersama Gus Dur. Lagi-lagi, Gus Dur pun tidak menampik dukungan dari
otoritas pemuka agama dalam pencalonan dirinya menjadi presiden. Termasuk di
kemudian hari ketika singgasana kepresidenannya mulai digoyang, ia mengajukan
dekrit presiden yang kemudian didukung oleh ribuan ulama dari kalangan NU. Apakah
ia sudah mulai menerima politik sektarianisme yang dahulu ia tolak? Sejarah
sudah menjawabnya. Alwi Shihab mengatakan terkait pencalonan Gus Dur sebagai
presiden,
PKB dan NU akan mengikuti kata-kata
orang-orang bijak yang suci ini dan hal itu berlaku pula bagi Gus Dur. Pada
saat-saat terakhir, orang-orang suci ini akan memberikan persetujuan atau
penolakan mereka.[33]
[1]
Abdurrahman
Wahid, Mengurai Hubungan Agama dan Negara, Grasindo [Jakarta, 1999],
hal. 64.
[2]
Ibid., hal. 3.
[3]
Adian Husaini, Wajah
Peradaban Barat, Gema Insani [Jakarta, 2005], hal. 163-4.
[4]
Ibid., hal. 131
[5] Ibid., hal. 150.
[6]
North
Atlantic Treaty Organization, salah satu organisasi dunia yang terdiri dari negara-negara di
Amerika Utara dan Eropa Barat.
[7]
Lihat Islam
is Not The Threat NATO Make it Out to Be https://www.chicagotribune.com/news/ct-xpm-1995-02-12-9502120298-story.html Diakses pada
tanggal 27/01/24 pukul 08.22 WIB.
[8]
Syed Muhammad
Naquib al-Attas, Islam and Secularism, Ta’dib International [Kuala
Lumpur Malaysia, 2022], hal. 17.
[9]
Ibid., hal. 15
[10]
Abdurrahman
Wahid, Mengurai Hubungan Agama dan Negara, Grasindo [Jakarta, 1999],
hal. 54.
[11]
Ibid., hal. 64.
[12]
Ibid., hal. 5.
[13]
Lihat https://islamqa.info/ar/answers/197919/كان-ذو-الحويصرة-التميمي-منافقا Diakses pada tanggal 27/01/24 pukul
14.27 WIB.
[14]
Tim Ulin Nuha
Ma’had Aly An-Nur, Dirasatul Firaq, Pustaka Arafah [Solo, 2019], hal.
60-1&69.
[15] Namanya adalah
Abu al-Abbas Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin al-Abbas, dari
seorang ibu bernama Rithah binti Ubaidillah. Lahir pada tahun 40 H di Hamimah.
[16] Muhammad
al-Khudari, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Bani Abbasiyah, Pustaka
Al-Kautsar [Jakarta, 2016], hal. 14-16.
[17]
Muhammad Abduh,
dalam bukunya berjudul Risalah Tauhid menyebutkan tentang hubungan
antara bangsa Persia dengan dinasti Abbasiyyah, yang menurutnya memiliki peranan
penting dalam membantu Bani Abbasiyyah menumbangkan kekuasaan terakhir dinasti
Umayyah. Karenanya, dinasti Abbasiyyah menyediakan jabatan-jabatan tinggi bagi
orang-orang Persia yang di antaranya sebagai menteri dan wakil menteri,
meskipun kebanyakan dari mereka bodoh dalam masalah agama, bahkan tidak
menganut agama sama sekali. Dengan kesempatan dan kepercayaan yang diberikan
oleh dinasti Abbasiyyah itulah, mereka menyebarkan berbagai macam buah pikiran
mereka dan melahirkan kekafiran dan banyak munculnya tokoh-tokoh zindiq.
Lihat Muhammad Abduh, Risalah Tauhid,
Bulan Bintang [Jakarta, 1976], hal. 46.
[18]
Tim Ulin Nuha
Ma’had Aly An-Nur, Dirasatul Firaq, Pustaka Arafah [Solo, 2019], hal.
85-6
[19]
Lothrop
Stoddard, Dunia Baru Islam, Panitia Penerbit Menteri Koordinator
Kesedjahteraan [Djakarta, 1966], hal. 15.
[20]
Greg Barton, Biografi
Gusdur, LKiS [Yogyakarta, 2002], hal. 225.
[21]
Op.cit., hal. 13-4.
[22]
Clifford
Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Pustaka Jaya
[Jakarta, 1983], hal. 200&286.
[23]
Ibid., hal. 476.
[24]
Ibid., hal. 485-6.
[25]
Ibid., hal. 177.
[26]
Greg Barton, Biografi
Gusdur, LKiS [Yogyakarta, 2002], hal. 79-82.
[27]
Ibid., hal.
160-3&173-6.
[28]
Ibid., hal. 223-8.
[29]
Ibid., hal. 228.
[30]
Setidaknya ada
tiga partai yang diizinkan oleh rezim Soeharto. Pertama Golkar, yang
merupakan partai resmi pemerintah dan banyak dari kalangan militer yang
bergabung. Kedua PDI yang di dalamnya tergabung eks PNI dan PKI. Ketiga,
yang didominasi oleh kelompok Islam baik itu tradisionalis maupun modernis. PPP
merupakan kelanjutan dari Parmusi, yang juga dibentuk oleh rezim Soeharto untuk
menggantikan dominasi Masyumi yang telah mereka bubarkan, dan juga menghalangi
eks Masyumi untuk berperan di dalamnya.
[31]
Tanfidziyah
adalah dewan yang mengurusi urusan nasional NU dan didominasi oleh kalangan
teknokrat politik. Dewan ini berada di bawah Syuriah, yang didominasi oleh para
Kiai dan tokoh agama.
[32]
Greg Barton, Biografi
Gusdur, LKiS [Yogyakarta, 2002], hal. 330-2.
[33] Ibid.,
hal. 363-9&479.