Kritik atas Ulasan Singkat Clifford Geertz Mengenai Islam dan Kebudayaan

Kritik atas Ulasan Singkat Clifford Geertz Mengenai Islam dan Kebudayaan

Oleh : Fian Sofian, Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

 

Dalam buku hasil penelitiannya berjudul The Religion of Java–dan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Clifford Geertz membuat sebuah sub bab khusus mengenai  perbedaan santri dengan abangan. Ia membuat definisi mengenai agama Islam–menurut subjektivitasnya–bahwa ini adalah sebuah agama kenabian yang etis (ethical prophecy).[1] Meskipun begitu kita perlu menyikapinya secara kritis akan definisi yang diberikan oleh Geertz, meskipun dalam kalimat selanjutnya ia menjelaskan bahwa Nabi Muhammad Saw hanyalah pembawa wahyu Tuhan.

Untuk mengurai lebih dalam mengenai definisi Islam dan keterkaitannya dengan sang pembawa risalahnya, ada bahasan yang menarik dalam buku karya Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi mengenai Makna Islam. Dalam uraiannya, ia memulai pada sebuah pemahaman yang berkembang secara massif di Barat tentang upaya menyama-nyamakan antara semua agama yang ada. Ada upaya dari kalangan orientalis[2] untuk menyamakan agama Islam dengan agama-agama yang berkembang di dunia ini. Islam diasosiasikan dengan nama pembawa risalahnya, dalam hal ini Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karenanya, terkadang orang-orang Barat menyebut agama Islam sebagai Mohammedanism. Terkadang agama Islam juga diasosiasikan dengan wilayah tempatnya berkembang, dalam hal ini adalah wilayah Arab. Sehingga agama Islam pun disebut sebagai The Religion of Arab.[3] Mirisnya, ada beberapa kalangan umat Islam yang terjebak pada kategorisasi dan istilah-istilah yang dibawa oleh para orientalis ini, sehingga yang berkembang di kemudian hari adalah konflik rasial dan sikap chauvinisme ekstrim disertai tuduhan dengan narasi-narasi sumir terhadap sekelompok umat Islam lainnya–yang berpakaian layaknya umat Islam Arab–yang berbeda pendapat dengannya.

Kalau kita mau melakukan studi komparasi antara Islam dengan agama-agama lain, maka sangat jelas perbedaannya. Sebagai contoh saja agama Kristen, ia berasal dari nama Yesus Kristus. Budha, diambil dari nama pendirinya yaitu Budha Gautama. Agama Zoroaster, pun dari nama pendirinya yaitu Zoroaster. Adapula agama yang berasal dari ras atau daerah tempat penyebarannya seperti Yahudi, yang berasal dari nama ras atau suku Judea di negeri Judea. Hindu pun sama, mengambil nama dari tempat asal penyebarannya yaitu Hindustan.[4] Hal ini tentu berbanding diametris dengan agama Islam, yang merupakan murni berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalam beberapa ayat di al-Qur’an, Nabi-Nabi yang hidup sebelum Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam sudah disebut oleh Allah sebagai muslim. Artinya, Islam itu tidak terkait dengan nama tempat dan pembawa risalahnya. Islam merupakan agama yang melandaskan pada konsep dan ajaran. Dalam hal ini, mari kita simak kutipan ucapan dari Seyyed Hossein Nasr,

Islam adalah agama yang utama, yang namanya tidak terkait dengan individu atau kelompok etnis tertentu, tapi berkaitan dengan ide sentral agama itu.

Definisi lebih mendalam mengenai makna Islam ada baiknya kita kutipkan secara lebih lengkap dari buku karya Prof. Hamid Fahmy Zarkasy dalam bukunya berjudul Minhaj Berislam dari Ritual hingga Intelektual sebagai berikut,

Jika dikaji secara etimologis (lughatan), “Islam” merupakan bentuk masdar dari kata aslama (‘menundukkan’ atau ‘menghadapkan wajah’ atau ‘berserah diri’). Asal katanya salima (‘selamat’ atau ‘menyelamatkan’) yang juga menurunkan kata sallama (‘menyerahkan diri’), salaam (‘kesejahteraan’ atau ‘keselamatan’), saliim (‘kedamaian’) dan sullam (‘tangga’). Jadi, dari kata salima, yang artinya ‘selamat’ terbentuklah aslama yang artinya ‘menyerahkan diri’ atau ‘tunduk’ dan ‘patuh’. Dari kata aslama terbentuklah kata Islam. Dari makna-makna tersebut jelaslah bahwa kata Islam itu mengandung konsep.

Dalam al-Qur’an, makna kata “Islam” dapat dikelompokkan sedikitnya menjadi tiga: Pertama, tunduk. Kedua, berserah diri. Ketiga, menyelamatkan.[5]

Ada sebuah definisi menarik menurut beberapa ulama rahimahullah,

الإسْلَامُ: اَلْإِسْتِسْلَامُ لِلهِ بِالتَّوْحِيْدِ وَالْإِنْقِيَادُ لَهُ بِالطَّاعَةِ وَالْبَرَاءَةُ مِنَ الشِّرْكِ وَأَهْلِهِ

“Islam itu adalah berserah diri kepada Allah dengan cara mengesakan-Nya, tunduk patuh kepada-Nya dengan ketaatan, dan berlepas diri dari segala bentuk kesyirikan dan para pelaku kesyirikan”.

Juga ada definisi yang menarik dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, bahwasanya agama Islam itu adalah agama seluruh Nabi ‘alaihimus shalatu was salam. Ia mengatakan,

وَهذَا الدِّيْنُ هُوَ دِيْنُ الْإِسْلَامِ اَلَّذِيْ لَا يَقبَلُ اللهُ دِيْنًا غَيْرَهُ لَا مِنَ الْأَوَّلِيْنَ وَلَا مِنَ الْآخِرِيْنَ فَإِنَّ جَمِيْعَ الْأَنْبِيَاءِ عَلَى دِيْنِ الْإِسْلَامِ

“Agama ini bernama agama Islam, yang mana Allah tidak akan menerima agama selainnya. Tidak pula agama dari orang-orang terdahulu dan yang awal, juga tidak pula orang-orang yang terakhir atau saat ini. Maka sesungguhnya seluruh para Nabi itu berada dalam agama Islam”.[6]

Kembali kepada substansi dari judul artikel ini, bahwasanya Islam memiliki perbedaan yang kontras dengan agama lainnya. Maka bagi Clifford Geertz, putusnya hubungan antara Muhammad dengan tradisi dan budaya adalah tajam dan jelas. Maka isi risalah yang dibawa oleh beliau adalah pesan dari Tuhan yang diwahyukan kepadanya yang mempunya inti ajaran yang rasional dan sederhana.

Di suatu tempat yang sebelum datangnya ajaran Islam banyak sekali tuhan, maka Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan satu Tuhan; di tempat yang tadinya diperbolehkan memiliki banyak wanita yang berlebih, maka ia mengajarkan poligami sampai empat orang isteri saja; di tempat yang tadinya ada pembiaran atas segala kesenangan yang berlebihan, maka ia menganjurkan sikap menahan diri (asceticism), melarang minuman keras dan perjudian. Nabi Muhammad juga menolak segala bentuk simbolisme yang berlebih, menyederhanakan upacara peribadahan, memproklamirkan bahwa ajaran Islam adalah universal tidak terbatas pada ras tertentu atau suatu daerah tertentu. Islam tidak terbatas para teritorial dan rasial.

Kesederhanaan Islam yang membedakannya dengan agama lain, adalah bentuk filterisasinya terhadap segala adat, tradisi, dan budaya yang cendrung rumit dan heterodoks. Karenanya meski nilai-nilai Islam berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, namun risalah yang disampaikan melalui Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sangat terpaut dengan kehidupan nyata manusia. Dalam permasalahan ini kita kutipkan pernyataan H.A.R. Gibb dalam bukunya berjudul Mohammedanism,

Sejak permulaan kariernya sebagai juru dakwah, pandangan dan penilaiannya terhadap orang-orang dan kejadian senantiasa didominasi oleh konsepsinya tentang pemerintahan dan maksud Tuhan dalam dunia manusia.

Sederhanya seperti ini, bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam itu adalah seorang yang membumikan pesan-pesan dari langit. Ajaran yang dibawanya sangat relevan dengan kehidupan seluruh umat manusia. Sebagai contoh ada baiknya kita komparasikan ajaran Islam dengan ajaran Kejawen, yang memiliki banyak sekali upacara-upacara yang bersifat budaya dan tradisi. Geertz mengutipkan dalam bukunya tersebut mengenai salah seorang warga di daerah Mojokuto (sekarang bernama Pare, di Kota Kediri, Jawa Timur) yang di daerah tempat tinggalnya masih banyak praktik-praktik Kejawen. Sebutlah punden, salah satu tempat yang dianggap keramat oleh warga sekitar. Banyak warga setempat yang mengadakan slametan di sana dalam rangka memenuhi nazar-nya. Sebagai muslim yang baik, maka si warga yang dikisahkan oleh Geertz tersebut mencoba untuk memindahkan patung manusia yang ada di sana ke masjid, kemudian ia hancurkan berkeping-keping. Ia pun tidak merasakan kejadian apa-apa, yang membuktikan bahwa benda-benda atau simbol-simbol peribadahan Kejawen tersebut tidak berguna.

Berbicara mengenai simbol-simbol peribadahan, yang merupakan bentuk dan bagian dari suatu budaya. Maka ada hal yang menarik mengenai hal ini, yang sudah tercantum dalam ayat kedua puluh tiga dari surat Nuh. Ada nama lima orang yang dijadikan sesembahan oleh kaum tersebut. Nama orang-orang tersebut adalah Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr. Sahabat Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa ini semuanya adalah nama orang-orang saleh dari kaum Nabi Nuh. Ketika mereka mati, maka setan membisikkan kepada kaum mereka agar membuatkan patung-patung di tempat di mana mereka pernah mengadakan pertemuan. Patung-patung yang dibuat tersebut belum disembah. Hingga orang-orang yang membuat patung tersebut meninggal dunia, dan ilmu telah ditinggalkan, maka patung-patung tersebut pada akhirnya disembah oleh generasi setelahnya. Juga dikatakan oleh salah seorang ulama yang kurang lebih hampir sama dengan apa yang disampaikan Ibnu ‘Abbas, bahwa nama-nama tersebut adalah orang-orang saleh dari anak cucu Nabi Adam. Mereka memiliki pengikut yang meneladani mereka. Ketika orang-orang saleh itu mati, maka pengikutnya berkata, “Seandainya kita membuat patung mereka, niscaya hal itu lebih membuat kita bersemangat dalam beribadah”. Maka mereka merealisasikannya. Setelah pengikut tersebut mati, datanglah generasi setelahnya sehingga iblis membisikkan kepada mereka, “Mereka dahulu menyembah patung orang-orang saleh tersebut. Dan dengan orang saleh tersebut akhirnya hujan diturunkan”. Maka generasi selanjutnya mulai menyembah patung lima orang saleh tersebut.[7]

Ibnul Qayyim al-Jauziyyah Rahimahullah juga mengatakan,

قَالَ غَيْرُ وَاحِدٍ مِنَ السَّلَفِ: لَمَّا مَاتُوْا عَكَفُوْا عَلَى قُبُوْرِهِمْ ثُمَّ صَوَّرُوْا تَمَاثِيْلَهُمْ ثُمَّ طَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَعَبَدُوْهُمْ

Tidak sedikit kalangan ulama terdahulu yang mengatakan, “Ketika mereka mati, maka orang-orang tersebut mengerumuni kuburan mereka. Kemudian membuatkan patung-patung mereka. Setelah berlalu waktu, maka orang-orang pun menyembah mereka”.[8]

Itu sekilas dari bentuk atau simbolisasi peribadahan yang terkontaminasi dengan kebudayaan yang ada. Maka dalam bukunya, Clifford Geertz juga memberikan contoh varian upacara peribadahan kaum abangan yang sarat akan nuansa kebudayaan Jawa setempat, atau yang selama ini kita kenal sebagai kaum abangan. Beberapa bentuk keyakinan dan upara tersebut adalah seperti:

1.      Kepercayaan kepada makhluk halus.

Sebagai contoh seperti memedi (roh yang menakut-nakuti), lelembut (roh yang menyebabkan kesurupan), tuyul (makhluk halus yang karib), demit (makhluk halus yang menghuni suatu tempat), dan danyang (roh pelindung makna kepercayaan kepada makhluk halus.

2.      Slametan sebagai pesta komunal sebagai upacara inti.

Petungan (sistem numerologi orang Jawa), kelahiran (tingkeban, babaran, pasaran, dan pitonan), khitanan dan perkawinan, kematian seperti layatan, dll.

3.      Pengobatan tradisional.

Seperti dukun, tabib, juru sihir, dan spesialis keupacaraan. Ada juga khusus menangani kesurupan atau dukun tiban.

Contoh-contoh di atas jelas merupakan hasil produk kebudayaan manusia. Adapun Islam, merupakan agama yang memiliki sifat tauqifiyyah, yang memiliki arti sudah memiliki aturan yang jelas dan baku bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Maka segala hal yang berkaitan dengan budaya, maka perlu dilihat kembali apakah kebudayaan tersebut dianggap sebagai suatu peribadahan? Karena semenjak datangnya Islam ke Nusantara, maka ada proses akulturasi sehingga budaya-budaya atau ajaran-ajaran dari agama sebelumnya dimasukkan dalam kategori dan istilah-istilah baru yang diislamkan. Menarik mengutip kembali pernyataan Geertz mengenai proses kedatangan Islam ke Nusantara, meskipun sekali lagi wajib kita kritisi beberapa kalimatnya–terutama mengenai keyakinannya akan teori masuknya Islam  dari India. Ucapannya sebagaimana berikut,

Islam datang ke Indonesia dari India, dibawa oleh para pedagang. Karena rasa Timur Tengahnya pada keadaan kehidupan bagian luar telah ditumpulkan dan dibelokkan ke dalam oleh mistik India, ia hanya menimbulkan kontras minimal pada campuran Hinduisme, Budisme dan animisme yang telah mempesona orang Indonesia selama hampir lima belas abad. Walaupun ia menyebar–sebagian besar secara damai–hampir ke seluruh wilayah Indonesia dalam jangka waktu tiga ratus tahun dan sempurna mendominasi Jawa kecuali beberapa kantong kepercayaan musyrik pada akhir abad keenam belas, Islam Indonesia, terputus dari pusat ortodoksinya di Mekah dan Kairo, menumbuhkan tumbuhan tropis yang berliku-liku lainnya, pada wilayah keagamaan yang telah penuh sesak. Praktek mistik Budis memperoleh nama-nama Arab, raja-raja Hindu mengalami perubahan gelar untuk menjadi sultan-sultan Islam, dan orang awam menyebut beberapa roh hutan mereka dengan jin; tetapi sedikit sekali perubahan lainnya.[9]

Dalam sebuah kaidah fikih disebutkan,

اَلْأَصْلُ فِيْ الْعِبَادَاتِ التَّوْقِيْفُ وَالْأَصْلُ فِيْ الْعَادَاتِ الإِبَاحَةُ

Hukum asal dari ibadah itu harus berdasarkan dalil dan aturan yang berlaku, sementara hukum asal dari adat dan kebuadayaan itu boleh.[10]

Maka untuk menyikapi masalah ini, para ulama sudah sepakat bahwa seseorang yang telah memiliki beban untuk menjalankan ajaran Islam tidak diperkenankan untuk memulai suatu ibadah, sampai ia mengetahui bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengizinkan ibadah tersebut dan mensyariatkannya bagi mereka. Karena sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah diibadahi kecuali sesuai dengan apa yang Dia kehendaki. Aturan seperti ini telah ditetapkan pula oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits shahih yang berbunyi, “Barangsiapa yang mengadakan perkara baru dalam urusan agama kami yang tidak ada aturannya tentang hal tersebut, maka perkara tersebut tertolak”. Juga dalam hadits yang lain, “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amalan tersebut tertolak”.

Maka hal yang terbaik dalam menyikapi perbedaan antara Islam dan kebudayaan adalah perlunya meneliti, apakah kebudayaan yang akan kita kerjakan tersebut dikategorikan pula dalam perkara ibadah, atau sekedar adat, kebiasaan, dan budaya yang lumrah dijalankan oleh setiap orang? Jangan sampai kita mencampuradukkan kedua perkara tersebut. Wallahu a’lam bish shawwab.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Bin Hasan, Abdurrahman. 2010. Fathul Majid Penjelasan Lengkap Kitab Tauhid. Jakarta, Pustaka Sahifa.

Geertz, Clifford. 1983. Abangan Santri Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta, Pustaka Jaya.

Zarkasyi, Hamid Fahmy. 2023. Minhaj Beriman dari Ritual hingga Intelektual. Jakarta, INSISTS.

https://www.islamweb.net/ar/fatwa/127965/ judul بيان قاعدة: الأصل في العبادات التوقيف والأصل في العادات الإباحة Diakses pada tanggal 15/12/2023 pukul 05.00 WIB.

https://muslim.or.id/29329-keindahan-islam-2.html Diakses pada tanggal 15/12/2023 Pukul 03.00 WIB.



[1] Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Pustaka Jawa [Jakarta, 1983], hal. 165.

[2] Orientalis adalah pihak yang meneliti tentang masalah ketimuran, dalam hal ini adalah Islam.

[3] Hamid Fahmy Zarkasyi, Minhaj Berislam dari Ritual hingga Intelektual, INSISTS [Jakarta, 2023], hal. 3-5.

[4] Ibid., hal. 4.

[5] Ibid., hal. 6.

[6] Lihat https://muslim.or.id/29329-keindahan-islam-2.html . Diakses pada tanggal 15/12/2023 Pukul 03.00 WIB.

[7] ‘Abdurrahman bin Hasan, Fathul Majid Syarah Kitab Tauhid, Pustaka Sahifa [Jakarta, 2010], hal. 513-514.

[8] Ibid., hal. 518.

[9] Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Pustaka Jawa [Jakarta, 1983], hal. 170.

[10] Lihat https://www.islamweb.net/ar/fatwa/127965/ judul بيان قاعدة: الأصل في العبادات التوقيف والأصل في العادات الإباحة Diakses pada tanggal 15/12/2023 pukul 05.00 WIB.

Share:

Definition List

Definition list
Consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua.
Lorem ipsum dolor sit amet
Consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua.

Theme Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.
Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

Ordered List

  1. Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.
  2. Aliquam tincidunt mauris eu risus.
  3. Vestibulum auctor dapibus neque.

Recent Posts

Unordered List

  • Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.
  • Aliquam tincidunt mauris eu risus.
  • Vestibulum auctor dapibus neque.

Sample Text

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua.

Pages

Theme Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.