Fian Sofian – Mahasiswa Prodi Bahasa dan Sastra Arab UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Dalam
pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 di pasal 31 disebutkan bahwa:
1)
Tiap-tiap warga
negara berhak mendapat pengajaran.
Setelah
diamandemen berbunyi sebagai berikut:
1)
Setiap warga
negara berhak mendapat pendidikan.
Rasanya
tak perlu banyak berdalil untuk menyuarakan hal ini, karena para birokrat yang
kita tuntut lebih paham bagaimana dalil-dalil tersebut dijadikan dalih.
Dalam tulisan ini saya hanya ingin sedikit menyampaikan sejarah pendidikan
Indonesia (baca: nusantara) pra-kemerdekaan. Hidup mahasiswa! Hidup rakyat
Indonesia!
Pesantren,
dan Akses Pendidikan Mudah-Murah bagi Kaum Bumiputera
Seorang
antropolog dan orientalis Belanda, bernama Martin van Bruinessen menganggap bahwa
pesantren merupakan tradisi besar dalam khazanah pendidikan di Indonesia. Ia
beranggapan bahwa lembaga pendidikan khas Islam ini baru ada setelah abad
ke-18. Pun Nurcholis Madjid, seorang tokoh intelektual di era Orde Baru
menyebut pesantren sebagai indeginous (mengandung makna keaslian
Indonesia).
Ada
sebuah hipotesis yang menyebutkan bahwa pesantren –yang kini menjadi ciri khas
pendidikan Islam di Indonesia– merupakan hasil dari proses akulturasi dengan
budaya pendidikan ala Hindu dan Timur Tengah. Apapun itu, yang jelas kiprah
pesantren dalam mendidik rakyat Nusantara tetap eksis sampai saat ini dan telah
melewati fase di mana rakyat Nusantara menjadi budak kaum kolonialis kapitalis.
Hidup mahasiswa! Hidup rakyat Indonesia!
Pendidikan
Modern di Zaman Kolonialisme Belanda
Setidaknya
banyak sejarawan yang membagi fase pendidikan di zaman kolonialis menjadi tiga
bagian. Yang pertama, masa VOC. Pendidikan pada zaman tersebut
hanya bertujuan untuk melahirkan para pekerja terampil dari kalangan Inlander
(pribumi) yang kelak akan mengisi pos-pos di perusahaan dagang tersebut. Yang
kedua, pasca runtuhnya VOC. Pangeran Mangkubumi (kakek buyut Pangeran
Diponegoro), dari kerajaan Mataram merupakan salah seorang tokoh yang
menyebabkan bangkrut dan runtuhnya VOC pada tahun 1799. Namun, pendidikan di
zaman ini lebih baik dari zaman sebelumnya, dan perluasan pendidikan terjadi di
zaman tersebut. Yang ketiga, di zaman Politik Etis (Politik Balas
Budi). Inilah yang lebih masyhur di tengah-tengah kita, dan di zaman
inilah para founding father bangsa kita lahir dan tumbuh besar. Namun
bukan hanya sektor pendidikan saja yang diperhatikan oleh pemerintah kolonial
Belanda, namun juga irigasi dan imigrasi. Sebelum membahas lebih jauh, ada
baiknya kita mengetahui alasan dibalik kebijakan Politik Etis tersebut. Yang
jelas, Politik Etis selain merupakan gagasan dan inisiasi dari koalisi partai
politik Kristen Belanda, ia juga merupakan bentuk tanggung jawab dari Ratu
Wilhelmina terhadap rakyat pribumi yang sebelumnya sudah mengalami cultuur
stelsel (tanam paksa) yang di gagas oleh van den Bosch. Cultuur stelsel
merupakan kebijakan yang diambil ketika kerajaan Belanda mengalami defisit dan
kerugian, akibat pertempuran lima tahun (1825-1830) yang dilancarkan oleh
keturunan Pangeran Mangkubumi, Diponegoro. Hidup mahasiswa! Hidup rakyat
Indonesia!
Pendidikan
di Zaman Politik Etis, Langkah Awal Perlawanan Terhadap Penjajah
Tujuan
pendidikan yang diselenggarakan oleh kaum kolonialis tersebut tidak lain dan
tidak bukan dalam rangka mencetak abituren (lulusan) yang loyal terhadap
Belanda dan dapat bekerja dengan bayaran murah di bawah standar orang Eropa. Namun
akses pendidikan tersebut hanya dapat diperoleh keluarga priyayi dan bangsawan.
Sangat sedikit keluarga kaum proletar yang dapat bersekolah saat itu.
Sebut
saja H.O.S. Tjokroaminoto yang disebut sebagai guru para pendiri bangsa,
terlahir dari keluarga ningrat. Ayah beliau merupakan seorang wedana, sementara
kakeknya pernah menjabat sebagai bupati Ponorogo. Pendidikan tinggi yang beliau
dapatkan saat itu dari OSVIA, sekolah tempat mencetak anak-anak bumiputera
untuk menjadi seorang pamongpraja atau ambtenaar (Pegawai Negeri Sipil)
Belanda. Dikarenakan karakter Tjokro yang keras dan tidak mau kalah, maka watak
itulah yang pada akhirnya membuat ia meninggalkan
pekerjaan sebagai juru tulis Patih di Ngawi. Pekerjaan yang diidam-idamkan oleh
para pemuda saat itu. Ia lebih memilih mencari pekerjaan lain yang dapat
mengasah akal kreatifnya. Selain berpindah-pindah pekerjaan, ia pun mengikuti
pendidikan di sekolah Burgelijke Avondschool, yaitu sekolah teknik mesin
pada zaman Belanda. Hingga pada akhirnya, ia bekerja di sebuah pabrik gula di
dekat kota Surabaya sebagai seorang chemiker.
Kalau
kita melihat gaya hidup Tjokro secara dangkal, maka dapat disimpulkan bahwa dia
adalah seorang yang tidak memiliki pendirian dan tidak mampu untuk menuntaskan
pekerjaan yang menjadi sumber kehidupannya. Namun siapa sangka, dari sikap
tersebut justru lahirlah sebuah gerakan nasional bernafaskan Islam bernama
Sarekat Islam pada tahun 1912. Adapun beberapa pendapat yang menyatakan bahwa
Boedi Oetomo-lah yang terlebih dahulu lahir (1908), maka menurut Prof. Dr.
Deliar Noer, gerakan tersebut adalah sebatas gerakan kebudayaan dan kaum
intelektual yang terbatas untuk orang Jawa saja (meliputi Madura dan Bali).
Dari
banyaknya fakta tersebut, kita bisa menarik kesimpulan bahwasanya Politik Etis
yang salah satunnya adalah pendidikan, menjadi tonggak awal lahirnya para
intelektual bangsa ini yang justru di kemudian hari akan mengusir kolonialisme
dan imperialisme dari negeri ini. Pendidikan! Ya, Pendidikan!
Maka
dalam UUD 45 preambul alinea ke empat dituliskan sebagai berikut,
“…untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,
dan keadilan sosial,…”
Maka
yang jadi pertanyaan saat ini, sudahkah negara mencerdaskan kehidupan bangsanya
dengan memberikan akses pendidikan yang mudah dan murah –kalau tidak ingin
mengatakan gratis– kepada anak bangsa?! Ataukah pendidikan hanya khusus bagi
mereka-mereka yang berasal dari keluarga pejabat dan ningrat?! Sementara rakyat
miskin dan tidak memiliki kedekatan dengan pejabat pemerintah sulit untuk
mengenyam pendidikan tinggi?! Jadikanlah sejarah sebagai pelajaran, wahai para
pejabat dan siapapun yang memiliki kewenangan di lembaga pendidikan! Jangan
sampai kaum intelektual muda itu sadar bahwa sejarah akan terulang kembali, dan
kalian diposisikan layaknya kolonialis penjajah yang hanya memberikan akses
pendidikan untuk kepentingan dan keberlangsungan hidup kalian saja! Hidup
mahasiswa! Hidup rakyat Indonesia!
“Jika
kalian ingin menjadi pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah
seperti orator”.
Lahirlah
seorang pemuda dari asuhan sang bapak kos di gang Peneleh Surabaya, Koesno muda.
Dari ucapan gurunya itulah, yang pada akhirnya membawa Koesno menjadi seorang
orator ulung dan penulis handal dengan tulisan-tulisan kaya akan sumber
referensi ilmiah.
Setamatnya
sekolah di Surabaya, Koesno bersama isterinya bernama Siti Oetari pergi ke
Bandung untuk melanjutkan sekolah tinggi di Technische Hogeschool atau
yang sekarang kita kenal ITB. Selain melakukan aktifitas kuliah, Koesno juga
aktif mengikuti kegiatan politik dna tergabung dengan Partai Nasional Indonesia
dibawah asuhan bapak kosnya yang baru. Aktifitas politik inilah yang
menghantarkan seorang intelektual muda sepertinya semakin kritis dengan keadaan
rakyat Indonesia kala itu. Koesno ditangkap, didakwa melakukan makar terhadap
pemerintah kolonialis kapitalis Belanda. Yang pada akhirnya dia dipenjara di Landraad,
Bandung. Landraad adalah penjara khusus bagi rakyat pribumi yang
terlibat dalam gerakan politik dan makar. Di penjara tersebut, Koesno membuat
sebuah pledoi yang mengguncangkan Hindia-Belanda dan bahkan sampai ke negeri
Belanda nun jauh di sana. Pledoi ini pun menarik perhatian dunia Timur dan
Barat, karena banyaknya sumber bacaan berbahasa asing entah itu dari Belanda,
Inggris, Prancis, dan Jerman. Pledoi ini kemudian dijadikan sebuah risalah berjudul
“Indonesia menggugat”. Dalam salah satu isinya, beliau mengatakan,
“Toh,
diberi hak-hak atau tidak diberi hak-hak, diberi pegangan atau tidak diberi
pegangan, diberi penguat atau tidak diberi penguat, tiap-tiap makhluk,
tiap-tiap umat, tiap-tiap bangsa tidak boleh tidak, pasti akhirnya berbangkit,
pasti akhirnya bangun, pasti akhirnya menggerakkan tenaganya, kalau ia sudah
terlalu sekali merasakan celakanya diri teraniaya oleh suatu daya angkara
murka! Jangan lagi manusia, jangan lagi bangsa, walau cacing pun tentu bergerak
berkeluget-keluget kalau merasakan sakit! Seluruh riwayat dunia adalah riwayat
golongan-golongan manusia atau bangsa-bangsa yang bergerak menghindarkan diri dari
sesuatu keadaan yang celaka. Seluruh riwayat dunia, menurut perkataan Herbert
Spencer, adalah riwayat reactief verzet van verdrukte elementen (perlawanan
terhadap elemen yang menindas)”.
Hidup
mahasiswa! Hidup rakyat Indonesia!
[Artikel ini
dituliskan beberapa jam sebelum aksi penuntutan UKT UIN Sunan Gunung Djati
Bandung, tanggal 15 Maret 2023. Dan aksi yang akan kami lakukan ini
dilatarbelakangi oleh rasa solidaritas kami tatkala adalah salah seorang
Mahasiswi di Fakultas Adab dan Humaniora yang dipersulit oleh Universitas
karena terkendala UKT. Harap diperhatikan, yang bersangutan mendapatkan UKT golongan
6 dengan nominal Rp. 3.790.000, dimana golongan itu untuk orangtua yang PNS.
Sementara profesi ayah Mahasiswi tersebut sebagai satpam, yang nominal UMK
Bandung dibawah Rp. 3.000.000. Di sisi lain, banyak tanggungan di luar biaya
UKT. Segala upaya sudah dilakukan, termasuk banding UKT dan mendaftar beasiswa
KIP. Namun belum ditakdirkan untuk mendapatkannya. Di sisi lain, pihak
Universitas yang seharusnya memberikan kebijaksanaan, malah mempersulit yang
bersangkutan. Padahal semangat yang bersangkutan sudah terlihat semenjak awal
perkuliahan semester 2, di Minggu pertama masuk, sampai pada akhirnya mundur
perlahan dengan perasaan kecewa. Kami yang mengetahui, segera melakukan
komunikasi di antara internal mahasiswa Adab dan Humaniora, bahkan sudah
melakukan advokasi terhadap pihak rektorat Universitas atau al-Jami’ah. Namun,
kami selalu “dipingpong” dan hasilnya tetap nihil. Pihak Universitas kepala
batu dan sama sekali tidak memiliki rasa kemanusiaan. Semoga dengan aksi ini
berjalan dengan sukses, dan dapat mencairkan kerasnya kepala rektor dan
pihak-pihak terkait]
Referensi:
Soekarno. Indonesia
Menggugat. 1983. PT. Inti Idayu Press, Jakarta.
Gonggong,
Anhar. H.O.S. Tjokroaminoto. 1985. Depdikbud, Jakarta.
Marasabessy,
Mikael. H.O.S. Tjokroaminoto. 2020. Pustaka Al-Kautsar, Jakarta.
Bachtar, Tiar
Anwar. Jas Mewah. 2018. Pro-U Media, Yogyakarta.
A. Fillah,
Salim. Sang Pangeran dan Janissary Terakhir. 2019. Pro-U Media,
Yogyakarta.
http://www.historislam.com/2022/03/muqoddimah-perspektif-sejarah.html
https://media.neliti.com/media/publications/110344-ID-hak-warga-negara-dalam-memperoleh-pendid.pdf